“Jangan bilang Anda mau mencarinya dengan status dan wajah baru? Saya tahu keluarga Anda terkenal dengan keahliannya mencari orang, tapi Anda yakin mau mencari orang yang sudah terkubur?” Feira tertawa sebentar, membuka gambar-gambar hasil otopsi Nadhila.
“Apa yang membuat Anda begitu yakin, mayat itu bukan Nona kami?”
Tunangan dari Nadhila itu mengeluarkan ponselnya memperlihatkan foto hasil pemotretan milik Nadhila setahun lalu saat mereka jalan-jalan ke Bali. Austin memperbesar bagian lengan atasnya, terdapat bekas luka memanjang hingga pundak atas.
“Anda tahu alasan Nadhi tidak pernah menyepakati brand pakaian yang terbuka kan? Atau pemotretan yang harus memperlihatkan lengan kanannya? Karena luka ini.”
Feira dengan cepat memeriksa gambar hasil otopsi sebelah kanan, tidak ada. Bagian lengan kanannya hanya terbakar sedikit tapi warna kulitnya masih terlihat jelas. Sama sekali tidak ada tanda bekas luka di sana.
“Saya dengan hati-hati bertanya pada pihak kepolisian, mereka tidak menemukan tanda bekas luka di manapun. Hatiku mengatakan dia masih ada di suatu tempat.”
“Anda mencurigai Tuan Alvis yang melakukannya?”
“Bukankah mereka sahabatan saat SD sampai SMA? Tapi akhirnya berpisah karena Nadhi kuliah di luar negeri. Jadinya Alvis pacaran dengan Nabhila dan menikah, bukankah jelas?”
Feira memijat pelipisnya, “Mereka memang sempat dekat, sangat dekat. Tapi semua terpatahkan saat saya melihat sendiri bagaimana cintanya Tuan Alvis pada istrinya. Mereka bersama selama 6 tahun lamanya. Mereka pacaran dari umur 20 tahun hingga umur sekarang, semua orang tahu bagaimana terobsesinya Tuan Alvis pada istrinya, Anda pikir masuk akal mengatakan bualan ini?”
“Sayang! Hari ini aku happy ketemu sama Mba cantikku. Tapi tahu engga? aku rada risih pas ketemu suaminya, liatin aku aneh banget. Ups! Ini rahasia kita! Oke? Haha, love you sekebon.”
Voice note itu membuat Feira menatap Austin dengan cepat.
“Ayangkuh! Cintaku! Hihi. Aku ada pemotretan hari ini di kawasan kantornya kak Alvis. Orangnya rada aneh, kayak apa ya? Udahlah, diakan kakakku juga. Eh kamu di mana? Katanya mau ke sini, sama aku. Sebel deh! Tapi tenang, ada my friends Xera!” setiap ada Voice note Nadhi yang menyebut Alvis, Austin selalu memberinya tanda bintang.
“Anda pikir ini masuk akal?”
Dan Feira bingung mau menanggapinya bagaimana, pasalnya bukti ini tidak bisa ia sangkal. Ia kira selama 2 bulan ini Austin hanya membual atau setidaknya bentuk lukanya karena tunangannya meninggal.
“Capek banget tahu engga? mana kamunya engga ke sini lagi. Xera juga sok-so’an nemenin eh malah keluar bareng yang lain. Nyebelin tahu engga, mana akunya tunggu lama banget lagi. Aku males nelepon jadi Vn saja. Sayang! Jangan lama-lama, aku risih diliatin terus sama Kak Alvis. Orangnya mirip psikopat tahu! Mau ku tonjok tapi takutnya Mba marahin aku katanya engga sopan sama kakak ipar. Eh panjang banget? Bodoamat, aku bosen sekaligus ngeri ih! Mana sih?”
Voice note lain kembali Austin putar, ada gunanya juga ia membintangi semua VN Nadhi yang ada nama Alvis di dalamnya.
“Jadi Anda maunya apa?”
“Saya mana mungkin menggunakan koneksi keluarga karena ayahku pasti langsung tahu, tapi jika Anda yang melakukannya pasti ada jawaban. Biarpun butuh waktu 10 tahun sekalipun akan saya lakukan asalkan bisa mendapatkan Nadhi kembali. Dan saya mau ini rahasia kita.” Austin mengantongi ponselnya.
“Jadi, Anda berpikiran kecelakaan ini disengaja oleh Tuan Alvis demi membunuh istrinya dan mendapatkan Nona Nadhila?”
“Saya tidak mengatakan kecelakaan ini adalah karenanya, bisa jadi sudah takdirnya kecelakaan itu terjadi. Saya tahu betul bisa jadi dia mencintai istrinya dengan sangat, dan hanya tersisa perasaan lama pada Nadhi. Bisa saja di luar sana, dia menjadikan Nadhi menjadi istrinya.” Katanya tanpa membalikkan badannya.
Feira membulatkan matanya, “Mana mungkin. Sikap mereka berbanding terbalik.”
“Seperti kata Anda, jika memang bisa di selamatkan maka hanya ada wajah baru dan sikap baru. Dan bisa saja spekulasi saya benar.” Austin pergi dari sana.
Feira membekap mulutnya tak percaya. Bagaimana jika Austin benar?
“Mas tidak ada niatan bawa aku dan Kanza jalan-jalan? Aku bosen di rumah terus, Kanza pasti bosan juga. Aku sempat baca di internet di kawasan sini banyak wisata yang bisa kita kunjungi di akhir pekan. Daripada libur kerja begini di rumah terus.” Bujukku pada Mas Alvis, suamiku sibuk membaca koran di teras ruang tamu di temani Kanza yang sibuk bermain sejak tadi.“Kamu mau ke mana Sayang?”Aku dengan wajah bahagiaku duduk di samping kirinya, menatapnya dengan senyuman paling lebar membuatnya ikut tersenyum juga.“Aku mau ke kebun binatang? Kan bisa kenalin Kanza juga hewan-hewan begitu. Kanza cantik kita kan umurnya mendekati 4 bulan, Mas. Jadi endak masalah kalau di bawa ke sana, atau ke pantai? Aku mau kenalin Kanza pantai juga. Apalagi ya?” tangan Mas Alvis terulur mengusap rambutku, aku merasa nyaman setiap kali dia memperlihatkan betapa sayangnya dia pada kami yaitu aku dan Kanza.Sebenarnya ada yang mau aku tanyakan pada Mas Alvis perihal berita yang aku liat kemarin pagi tapi a
Kupandang Mas Alvis beberapa kali, aku ingin membahas tentang siapa itu Austin atau setidaknya ada kejelasan mengapa teleponnya mendadak di matikan. Apa aku tidak pantas tahu apa-apa? Kan itu keluargaku, yaps! Aku menduga Austin adalah keluargaku. Atau bisa saja, dia adalah pacarnya adikku yang telah meninggal itu? “Nabhila, bukankah Mas berulang kali mengatakan untuk tidak melamun? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu lagi? Mas siap mendengarnya.” Kupandang Mas Alvis lama, orangnya sibuk menatap ke depan. Tidak! Jangan dulu. Aku tidak boleh buru-buru membahasnya apalagi telepon tadi hanya beberapa detik. Kalau Mas Alvis marah terus membatalkan jalan-jalan kami? Aku sendirikan yang kena. Kugenggam tangannya sambil tersenyum senang, “Aku lagi bahagia tahu, Mas. Baru saja kemarin sedih karena tidak bisa jalan-jalan eh hari ini dibawa Mas Alvis keluar. Apa ya? hatiku senang banget, makasih suamiku makin sayang deh.” Bisa prediksi bagaimana senangnya dia? Sangat senang sekali b
Suasana mendadak canggung semenjak kami pulang mendadak, Mas Alvis tidak mengajakku bicara atau setidaknya menjawab pertanyaan yang aku tanyakan kepadanya. “Kita bicarakan di rumah setelah Kanza tidur.” Hanya itu yang dia katakan saat keluar dari mobil untuk mengajakku masuk kembali dan ke rumah. Ku tatap Mas Alvis yang sibuk menyetir, aku tidak bisa begini dengannya. Maunya, kita membahasnya sampai tuntas lalu tertawa bersama. Kami adalah keluarga bahagia dan aku tahu Mas Alvis sangat menyayangiku juga Kanza jadi Mas Alvis mana mungkin berbohong apalagi merahasiakan sesuatu dariku. Karena aku sangat mempercayaiku suamiku. Orang yang tetap ada di sisiku, menerimaku bahkan mencintaiku padahal keluargaku sendiri membuangku. Tangannya kugenggam pelan, “Mas, aku tidak bisa lama-lama diam begini. Aku tipikal perempuan yang tidak bisa diam apalagi dengan suamiku sendiri. Kalau memang kalian pernah dekat pun tak akan aku permasalahkan. Aku yakin, Nadhi dan aku sudah membahas ini jauh se
Apartemennya bersih tapi pemiliknya tidak ada di sini. Hanya foto hasil pemotretannya terpasang berjejer di dinding, sangat cantik.Austin menatap ke arah dapur, ia seakan bisa melihat adanya Nadhila di sana sedang memasak omlet untuknya dengan cerita menyenangkannya. Perempuan berambut pendek itu selalu menceritakan apa pun yang dia lalui ke Austin.“Agak engga suka sih sama konsepnya cuman terlanjur kontrak, bisa saja sih aku tolak terus apa ya? Minta ortu ganti rugi? Kayaknya mereka bakal happy banget karena akhirnya aku minta uangnya. Eh! Kok liatin aku segitunya?”“Senyum kamu cantik.”“Hahhaa, My Love Austin! Kamu juga sangat tampan makanya aku bersedia bertunangan denganmu.”Ia tersenyum sendirian mengingat kenangan lamanya dengan Nadhila, tapi deringan ponselnya membuatnya buru-buru keluar dari sana.Nama Feira tertera di sana.“Bagaimana? Kamu menem
Mataku mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya yang masuk, samar-samar suara Mas Alvis mulai bisa aku dengar dengan baik.“Tidak perlu ke rumah sakit kan Dok? Apa bagaimana?”“Tidak perlu Pak Alvis, cukup di pantau saja kesehatannya. Karena terlalu memaksakan ingatannya akhir-akhir ini jadinya Bu Nabhila sering pusing bahkan sampai ke tahap pingsan. Saran saya, minta beliau untuk menikmati harinya saja, masalah ingatan itu akan kembali seiring waktu.”“Baiklah Dok, terimakasih karena mau mampir ke sini.”“Sama-sama Pak Alvis, sebuah kehormatan karena bisa membantu Anda.”Aku merenung sendirian di ranjang, sepertinya ini bukan kamar utama karena tidak ada Kanza di sampingku. Apa tadinya Mas Alvis begitu mengkhawatirkanku sampai-sampai harus memanggil dokter kemari?Suara mobil yang menjauh bahkan bisa kudengar dengan jelas, aku agak menyesal karena membuat suami tersayangku khawatir.
Saat semua orang mengatakan Nadhila Meeaz telah tiada tapi tidak dengan Xera. Selama berminggu-minggu ini berkabung menatap nanar foto-fotonya dengan Nadhi, sahabatnya. Ada yang mengganjal di hatinya saat melihat jasad Nadhi terakhir kalinya.“Kamu kok perginya kecepatan sih Nad? Katanya mau ke Bali lagi sama aku terus mau foto bareng bahkan mau nikah di sana juga. Kamu lagi sembunyi di mana sih? Pasti lagi main petak umpet sama aku ya?” Xera berdiri dari duduknya.Di pegangnya salah satu figura foto berisi fotonya dengan Nadhila, si cerewet dan paling tak suka rambutnya panjang. Batas panjang rambutnya Nadhi itu sampai pundak bahkan di leher doang kalau lebih pasti di potong.“Hari ini jadi ke rumahnya Tante Nada engga?” tanya Ibunya dari arah pintu.“Jadi Ma, dari kemarin-kemarin Tante Nada nyariin aku terus katanya. Padahalkan dia harusnya nyariin Austin bukan aku.” Jawabnya malas, bukan membenci mamanya Nadhi hanya
Alvis memainkan gelas yang ada ditangannya sembari memperhatikan istrinya yang sedang tertidur lelap bersama Kanza di ranjang. Bukan tatapan penuh cinta melainkan tatapan sulit di artikan, ia bingung jalan apa yang ia pilih sekarang.Saat dunia mengira ia sedang berkabung, ia malah berpindah hati menemui cinta lainnya. Cinta yang dulunya sempat mengembang jauh ke luar negeri sana.“Mas Alvis kenapa liatin aku segitunya?” lamunannya buyar, ia mendekati istrinya dan duduk di pinggiran ranjang.“Senang saja, akhir-akhir ini kita menikmati hari yang bahagia. Mas menginginkan kebahagiaan seperti ini terus menerus sampai Kanza menemukan pasangannya.” Dan yang paling membahagiakan adalah Nabhila selalu menyambutnya dengan senyuman hangatnya.Senyuman yang jarang sekali Alvis temukan di masa-masa sebelumnya. ‘Nabhila’ tidak pernah tersenyum semanis ini, palingan sebatas kasih sayang saja.“Aku yang harusnya bersyuk
Karena beberapa bahan makanan habis terus suami tersayangku sibuk kerja engga tahu kapan belinya, jadinya aku memutuskan untuk pergi.Pastinya setelah meminta izin pada Mas Alvis dulu agar dia tidak kelabakan lagi mencariku di mana-mana. Kali ini keluarnya agak jauh dari rumah padahal biasanya sekedar keliling saja di kawasan kompleks bermain dengan Kanza.Saat ini aku mendorong troli, Kanza ada di depanku tepatnya di dalam gendongan kainnya.“Kecap manis, saus tiram sama bumbu serba guna.” Gumamku sembari membaca catatan yang aku buat tadi pagi.Sudah banyak barang yang aku masukkan ke dalam troli, ternyata membeli bahan makanan sambil bawa anak susah juga ya? aku pikir segampang aku memikirkannya, haha.Sayang sekali Mas Alvis sibuk padahal aku ngarepnya kami jalan bertiga, jadinya bisa makan bersama sehabis berlanja.“Mba? Engga jalan?” mataku mengerjap, aduh! Saking kangennya sama Mas Alvis jadi lupa jalan.