"Bentar, Mas. Ini kira-kira yang mati lampu di rumah kita aja apa semua, ya?"
"Nggak tahu aku. Udah, yuk, balik ke kamar aja. Nyalain ponsel kamu." Dia masih menggelayut di tubuhku dengan erat.
"Aku nggak bawa ponsel, Mas."
Dia mendengkus. "Terus gimana caranya kita jalan sampai kamar?"
Sebuah tepukan di pundak seketika membuat bulu kuduk berdiri. Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa lagi sekarang?
"Sayang, ini siapa yang nepuk pundak?" Rafael juga mengalami ternyata. Kupikir hanya aku saja.
Aku menghela napas. "Nggak tahu, Mas."
Seketika pikiranku teringat pada film horor yang sering kutonton. Biasanya, pemeran utama akan terjebak dalam situasi ini. Mereka berbalik, lalu setannya muncul. Astaga! Rasanya aku ingin pipis sekarang.
Seperti diberi kode, aku dan Rafael perlahan berbalik bersamaan.
<Alvin mengangguk-angguk yakin. Padahal ucapannya itu jelas salah. Typo yang meresahkan."Tuh, Bunda. Dengerin kata Alvin. Bunda harus nenenin Ayah." Rafael memberi dukungan. Aku mendelik sebal. Ayah sama anak sama saja.**Seperti permintaan Alvin, hari ini aku stay di rumah untuk menemani Rafael. Catat, ya! Menemani, bukan meneneni!Bocah itu tak mau jauh dari Ayahnya. Dia tetap berada di pelukan Rafael. Di atas perut laki-laki itu lebih tepatnya. Keduanya terlihat sangat romantis. Ah, rasanya aku jadi diasingkan begini."Ih! Alvin, kok, dari tadi Ayah terus yang dipeluk? Bundanya enggak?" Aku bersuara setelah hanya diam mengamati mereka."Enggak. Bunda, kan, nggak akit."Aku mendengkus. Rafael mengejekku dengan semakin mempererat pelukannya pada Alvin. Aku beranjak dari sana."Bunda pergi kalau gitu. Mau beli laruta
Belum sempat kami balas, pesan kembali masuk.[Maaf kemarin aku masih terlalu gugup buat berbalas pesan sama kamu, jadi aku blokir tiba-tiba.]Aku dan Rafael saling pandang. Aku pikir juga, kami memiliki pikiran yang sama: takut. Entahlah. Aku takut dengan kehadiran Talita lagi. Rasanya hidupku seperti terancam."Akan aku blokir nomornya." Jemari Rafael bergerak cepat di atas layar ponsel. Aku sendiri masih tercenung. Masih tak menyangka kalau Talita bisa keluar dari penjara secepat itu."Aku takut." Akhirnya setelah lama diam, dua kata itu meluncur dari bibirku.Kurasakan usapan lembut tangan kekar Rafael di pundakku. Usapan yang biasanya bisa membuatku langsung tenang, tapi kini rasanya tetap saja aku ketakutan."Sudah. Jangan terlalu dipikirkan. Siapa tahu Talita sudah berubah. Siapa tahu dia mendapat pelajaran berharga di dalam penjara sana." 
"Maaf, Anda siapa, ya?" tanyaku.Laki-laki itu berbalik. Seulas senyum langsung tersungging di bibirnya. Seperti biasa saat dia bertemu denganku akhir-akhir ini."Mas Fatih? Kok, bisa ada di sini?""Ini rumahmu, May? Kok, bisa kebetulan begini, ya? Aku keponakan Dokter Fadil. Beliau memintaku menggantikannya malam ini karena ada kepentingan mendadak. Beliau juga menyampaikan maaf untuk kamu sekeluarga.""Oh, gitu? Tapi, kok, beliau nggak hubungi aku?""Dia buru-buru banget pergi tadi. Sepertinya nggak sempat menghubungi kamu."Aku masih belum bisa sepenuhnya percaya. Terlebih lagi setelah beberapa kali kami kebetulan bertemu. Seakan-akan ini adalah sebuah settingan."Masih belum percaya? Kamu bisa hubungi beliau sekarang."Demi keamanan bersama, akhirnya aku menghubungi Dokter Fadil sebelum mempersilakan Fatih masuk.
Rafael meringis. "Iya, Sayang, iya. Matanya dikondisikan itu. Elah!"Terdengar tawa kecil dari Fatih. Perawat muda itu lalu mendekat. Seperti biasa, memeriksa tensi adalah hal utama."Biasanya berapa tekanan darah Pak Rafael ini normalnya?" Fatih bertanya sembari menatapku dan Rafael secara bergantian.Baru saja mulutku akan terbuka, Rafael sudah menjawab lebih dulu. "Seratus sepuluh, sih, biasanya. Kadang juga seratus.""Tekanan darah Anda rendah. Ini hanya sembilan puluh. Sering mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi, ya. Nanti akan aku beri obat juga.""Aku disuruh makan besi gitu?"Astaga! Aku ingin sekali tertawa mendengar pertanyaan konyol Rafael. Fatih pun menutup mulutnya untuk menahan tawa."Kalau Anda mau, ya, terserah saja," balas Fatih santai."Yah, emangnya aku ini Limbad."
Matahari yang terik seakan membakar kulit. Jika bukan karena telepon dari Fira, aku tidak akan pergi ke mana-mana sekarang.Keluar dari kantor menuju area parkir saja kulitku seperti melepuh. Aku tak bisa membayangkan betapa sengsaranya orang-orang di luar sana yang rela berpanas-panasan hanya demi sesuap nasi. Terkadang jerih payahnya pun mendapat imbalan yang tak sesuai.Terkadang juga aku malu masih sering mengeluh saat keadaan sulit bertandang. Aku selalu mengeluh seakan-akan hanya aku yang bercucuran peluh. Padahal di luar sana banyak sekali yang lebih dan lebih sengsara daripada aku.Mobil kulajukan menuju toko kue. Fira baru saja mengabari bahwa ada beberapa pelanggan yang protes mengalami keracunan setelah mengonsumsi kue dari toko kami.Aku masih tak percaya. Bukankah selama ini baik-baik saja? Lalu kenapa sekarang jadi ada tragedi seperti ini?Lampu sein kuhidupkan saat
Lalu sebuah tarikan di tangan membuat cekalanku mengendur pada baju Talita."Sudah, Bu Mayang. Jangan bar-bar begini! Nggak enak dilihat orang-orang." Fira memegangi tanganku. Pandanganku menyapu keadaan sekeliling. Beberapa orang yang berada di sekitar toko menatap dengan heran.Akhirnya aku melepaskan cekalan dengan kasar. Membuat tubuh gadis itu terhuyung ke belakang."Dengarkan saya dulu, Mbak. Saya datang ke sini hanya ingin meminta maaf sama Mbak. Nggak ada maksud lain. Lagi pula setelah keluar dari penjara, baru kali ini saya datang ke sini." Talita berucap dengan tangan memegangi lehernya. Ada bekas kemerahan di sana. Mungkin karena cengkeramanku terlalu kuat."Saya tidak butuh maafmu! Tunggu saja sampai saya dapatkan bukti tentang kejahatanmu lagi!" Aku menunjuk-nunjuk wajah munafiknya."Fir, jangan pernah biarkan orang ini berkeliaran di toko. Besok saya akan carikan sa
"Mencari buktinya ke mana? Udahlah. Nanti kalau ada orang macam-macam lagi, kita bisa awasi dari CCTV. Masalah orang yang mengaku keracunan itu biarkan saja. Nanti kalau diperpanjang, justru tokomu yang akan tercoreng namanya."Dia menepuk kepalaku beberapa kali, lalu beranjak berdiri."Ayo makan siang dulu. Kamu belum makan, kan?" Dia mengulurkan tangan. Berniat membantuku bangun.Aku mendongak. Kuterima uluran tangannya. Tangan kiriku lalu menepuk-nepuk belakang celana. Siapa tahu kotor karena baru saja duduk lesehan."Belum, sih. Tapi nggak nafsu makan sekarang." Aku mengeluh, sementara tangan bergelayut manja di lengannya."Aku suapi nanti. Ayo!"**Begitu banyak suara di sini. Suara sendok yang beradu dengan piring, suara kendaraan berlalu lalang di jalanan, juga suara percakapan pengunjung warung yang sedang makan.&nbs
Perasaanku campur aduk. Ada rasa takut, marah, kesal, dan perasaan entah lainnya saat melihat sosok perempuan di sana.Aku melangkah cepat menghampiri mereka. Tanpa basa-basi kutarik rambut perempuan itu hingga si empunya memekik kesakitan. Sontak saja suasana di rumah menjadi kacau. Papa, Mama, dan Rafael berteriak memintaku untuk melepaskan tarikan pada rambut Talita."Mau apa lagi ke sini? Mau mencari gara-gara lagi, iya?" Aku bertanya nyalang. Tarikan di rambutnya makin kupererat. Dia semakin memekik sembari memegangi tanganku."Mbak, dengar dulu penjelasan saya. Saya ke sini bukan untuk mencari masalah sama Mbak dan keluarga. Saya hanya ingin minta maaf," jelasnya dengan bibir sesekali mendesis kesakitan.Aku tak peduli. Tarikan tidak kukendorkan sama sekali meski Rafael bersusah payah memintaku berhenti."Sudah, May. Kasihan dia." Mama menegur."Hentikan, Mayang. Niatnya datang ke sini baik. Dengarkan dia dulu." Papa pun ikut membela Talita."Sayang, please! Jangan main tangan s