Malam, aku dan Rafael memilih untuk makan di luar. Aku terlalu lelah untuk memasak. Rafael pun tak mempermasalahkannya. Justru menurutnya, jika kami sering keluar berdua, cinta akan semakin lekat.
Aku melingkarkan tangan di pinggang kekarnya. Merasakan otot-ototnya yang kencang, membuat hatiku berdesir. Rasanya aku jatuh cinta berkali-kali pada pemuda ini. Aku jadi menyesal, kenapa tidak dari dulu saja mengenalnya?
"Lo mau makan apa, Tan?" tanyanya sedikit menoleh ke belakang.
"Apa ajalah. Gue nggak terlalu lapar juga, kok. Soalnya di toko gue nyomotin kue mulu," sahutku sambil terkekeh.
"Pantesan badan lu agak lebaran."
"Masa? Gendut, dong, gue?" Aku mendadak panik sendiri.
"Ya enggak. Mana ada badan segitu gendut. Yang ada jadi tambah seksi," jawabnya sambil nyengir. Terlihat jelas di kaca spionnya.
Aku mencebik. Lalu menunjuk warung na
Rafael bangkit dari duduknya. Dia mencengkeram kerah baju Ammar dengan kencang. "Bedebah! Iblis lo!"Aku menarik ujung kemeja Rafael. Dia bisa terkena masalah jika seperti ini. Ammar orang yang licik. Dia bisa berbuat apa saja dengan mudah. Bahkan dia tega membuat nyawa Rafael hampir melayang dulu."Udah, Raf. Jangan kayak gini." Aku mengajaknya duduk kembali. Ammar tampak kesal. Wajahnya terlihat memerah. Dia terlihat sangat berbeda jika seperti ini."Kalau kamu berani menyentuhku lagi, aku pastikan kamu mendekam di penjara," ancam Ammar."Stop, Mar! Cukup! Apa salah keluargaku padamu? Apa salah kami?" Nada bicaraku meninggi.Ammar berjalan dengan tangan terselip dalam saku celana menuju jendela. Dia menatap keluar sana dengan sorot tajam. Sorot yang sepertinya menyimpan sebuah kebencian dan dendam."Papamu sudah membunuh Papaku, May. Apa aku salah jika seka
"Tadi siapa yang nelpon?" tanyaku ketika kami sudah keluar dari tempat periksa."Oh, tadi si Fira. Dia nanya, ada pesanan mendadak diambil apa enggak."Aku mengangguk paham. Aku akan menanyakannya pada Fira nanti. Feeling-ku mengatakan ada yang disembunyikan Rafael dariku."Turunin aku di cafe depan, ya. Ada janji ketemu klien," ucapku sambil menepuk bahunya."Iya."Motor membelok saat cafe sudah terlihat. Aku turun perlahan. Rafael ikut turun. Dia membantuku melepas helm. Dia juga merapikan rambutku yang sepertinya berantakan."Aku langsung ke toko, ya. Kamu hati-hati," ucapnya.Aku mengangguk. Rafael mengusap pipiku sejenak, lalu kembali nangkring di atas motornya. Sebelum benar-benar berjalan, dia mengecek ponsel lagi. Dia lebih sering menatap benda itu sekarang. Membuatku semakin curiga. Jangan-jangan setelah sukses, dia punya selingk
"Pak Rafael terkena radang usus buntu. Sebenarnya saya sudah memperingatkan agar dia menjalani operasi, tapi selalu saja menolak. Beruntung keadaannya belum begitu parah." Penjelasan dokter masih terngiang di telingaku. Kenapa dia tega menyembunyikan penyakitnya dariku? Apa aku tidak berarti baginya? Rafael baru saja menjalani operasi. Sekarang dia masih belum sadar. "Ayo bangun, Raf! Gue punya banyak pertanyaan sama lo. Seenaknya aja lo nyembunyiin penyakit lo dari gue. Emang lo anggap gue apaan?" Aku menggerutu sendiri. Di saat kesal padanya seperti ini, panggilan lo gue selalu saja terlontar. Aku sangat kecewa padanya. Bagaimana jika kami tidak bertindak cepat tadi? Apa yang akan terjadi dengan pemuda bodoh ini? Apa jangan-jangan, telepon yang selama ini dia terima diam-diam adalah telepon dari dokter? Ah, bodohnya aku sebagai istri. Seharusnya aku tahu apa saja yang
Apa yang mau dia lakukan lagi di sana? Hatiku mendadak cemas. Tiap kali melihat wajah laki-laki itu, pikiran buruk pasti datang.Sepertinya aku harus ke toko sekarang untuk mengeceknya secara langsung.Kusambar tas kecil di atas meja. Lalu berjalan cepat menyusuri koridor. Sesekali kujawab sapaan karyawan yang kebetulan lewat.**Mobil kuhentikan di pelataran toko. Dengan perut yang sudah buncit, ruang gerakku menjadi terbatas. Tapi untuk menyetir sendiri aku masih bisa. Rasanya tak leluasa memakai sopir.Pandanganku terarah ke toko. Di sana sudah tidak ada laki-laki. Hanya ada beberapa pembeli perempuan bersama anak kecil."Loh, Bu Mayang, kok, udah sampai di sini? Bukannya tadi video call-an masih di kantor, ya?" Fira bertanya bingung."Laki-laki tadi mana?"Kening Fira mengernyit. "Laki-laki yang mana, Bu?"
Cahaya bulan memantul di permukaan air. Tampak indah dan sangat menenangkan. Sesekali kuusap lengan sendiri karena merasa dingin. Mataku mengedar menatap sekeliling. Sudah jam delapan tapi Rafael belum pulang juga. Dia pasti lembur lagi.Aku mendengkus pelan. Lalu mengelus perut yang buncit. "Ayahmu semakin hari semakin sibuk, Nak. Bunda jadi sering kesepian.""Ecie ... ada yang sepi tanpa Ayah El nih!"Aku sontak menoleh. "Kamu, kok, udah ada di sini?"Kapan dia datang? Tadi perasaan belum ada siapa-siapa.Rafael menarik kursi mendekat padaku. Seperti kemarin, wajah dan tangannya tampak kotor."Ngapain duduk di sini sendirian?" tanyanya. Sepasang matanya menatapku lekat. Entah kenapa, aku masih saja berdebar jika ditatapnya seperti ini."Habisnya di rumah sepi," keluhku."Papa sama Mama ke mana?"
"Ayo, Bu! Sedikit lagi. Ibu pasti bisa." Dokter memberiku arahan.Aku mengejan lagi sekuat tenaga. Hingga akhirnya, suara tangis bayi menggema memenuhi ruang bersalin ini."Alhamdulillah." Mama dan dokter yang membantu persalinanku mengucap hamdalah bersamaan. Tak terasa, air mataku luruh begitu saja. Aku berhasil, Raf. Aku berhasil melahirkan anak kita dengan selamat.Bayiku dibawa untuk selanjutnya ditimbang dan diukur panjang badan. Sejak tadi aku sudah tidak sabar ingin menanyakan keadaan Rafael pada Mama."Ma, Rafael gimana? Dia baik-baik aja, kan?"Wajah Mama tampak sendu. "Mama belum tahu, May. Papa belum kasih kabar."Mataku memanas. Ingin rasanya aku berlari dan menghampiri Rafael sekarang. Tapi apa dayaku? Tubuhku masih lemah. Bahkan dokter masih akan melakukan proses penjahitan.**"Ini bayinya, Bu Mayang.
Mataku mengerjap. Kurasakan tepukan pelan di pipi. Tangan ini, aku hafal betul tangan siapa yang tengah menepuk pelan pipiku ini.Senyum itu menyapaku setelah mata terbuka sempurna. Wajahnya yang sempat terlihat bersih, sekarang kusam lagi karena kembali berkutat di bengkel.Senyum itu perlahan berubah masam. "Mentang-mentang lagi dapet, bangunnya siang banget. Suamimu mau makan apa?"Kini aku yang tersenyum. Bangkit dan memeluk tubuhnya. Dia mengusap rambutku. Ini adalah hal yang sangat aku suka. Sentuhannya selalu menenangkan."Maaf, Mas. Aku ngantuk banget. Semalam Alvin ngajak begadang. Aku baru bisa tidur jam dua belas."Dia mengurai pelukan. Disibaknya rambutku ke belakang telinga. "Anak kamu ngajak begadang, tapi dia udah bangun duluan dari tadi.""Masa? Terus sekarang dia di mana?" Aku beringsut turun dari ranjang. Alvin memang kubiasakan tidur di kam
"Masa setiap hari aku yang kasih ciuman? Kamunya enggak." Dia manyun."Halah! Bilang aja minta dicium. Pakai acara ngomong nggak adil segala. Sini!"Rafael nyengir. Dia mendekat. Aku melakukan hal yang sama padanya. Mencium kening, kedua pipi, dan bibir. Singkat saja. Nanti kalau kelamaan bahaya. Bisa-bisa malah kebablasan. Ah, skip!"Love you," ucapnya sebelum benar-benar turun. Hatiku masih saja berdebar tiap kali mendengarnya mengungkapkan rasa itu."Love you too," balasku. Dia masih sempat mengacak rambutku juga."Ah, Mas ngeselin! Rambutku berantakan lagi, kan, jadinya," keluhku."Siapa suruh dandan cantik banget." Dia menyelinap keluar. Aku menggeleng pelan. Sikapnya memang sudah lebih dewasa, ditambah lagi dengan brewokan dan rambutnya yang nyaris gondrong. Tapi kadang sikap kekanakannya masih juga muncul.**S