Share

FLASHBACK

FLASH BACK ON

“Sayang!” Geisha berseru sambil melambaikan tangan memanggil sang kekasih yang rela datang ke Bali atas permintaannya.

Sudah dua minggu Geisha berada di Australia untuk syuting sebuah film terbaru dan sebelum kembali ke Jakarta, timnya merayakan kelancaran dan kesuksesan syuting dengan berkunjung ke Bali untuk sejenak melepas penat.

Geisha sudah tidak bisa menahan rindu sehingga memaksa Biru menyusulnya ke Bali.

Biru sampai harus membatalkan jadwal praktik di hari Sabtu demi dirinya dan Geisha senang sekali.

Tubuh tinggi besar itu langsung memeluk Geisha yang duduk di stool meja bar.

Geisha tenggelam di dada sang kekasih yang bidang.

Dia selalu suka aroma Biru, lelah karena syuting dari pagi hingga pagi selama dua minggu terakhir seketika sirna seakan Biru adalah charger yang bisa mengisi dayanya kembali.

“Aku kangen.” Geisha berujar manja.

Dia mendapat kecupan di kepala dari Biru yang juga begitu merindukan Geisha sampai tidak segan memperlihatkan kemesraan di depan para asisten Geisha.

Biru melepaskan pelukannya, dia duduk di stool di samping Geisha.

“Aku pikir kamu enggak bisa datang … aku tahu kamu bisa bolos praktik tapi kamu enggak bisa pergi kalau mami enggak kasih ijin ‘kan?” Geisha mengerucutkan bibirnya sebal.

Biru hanya tersenyum, dia tidak membantah karena ucapan Geisha benar.

Sebagai dokter, dia bisa sesekali ijin untuk tidak praktik karena urusan pribadi tapi sebagai anak yang masih tinggal dengan kedua orang tua meski usianya telah menginjak tiga puluh tahun—Biru tidak bisa membangkang kepada orang tua yang telah membesarkannya.

“Kenapa sih mami kamu enggak suka banget sama aku?”

“Kamu tahu alasannya … makanya kurang-kurangin skandal … kamu bisa sukses dengan kelebihan kamu ….”

“Tapi kata Manager aku, skandal bagus untuk naikin pamor … biar masuk infotainment terus … lagian semua cuma setingan kok.”

“Kayanya kamu harus ganti Manager, Yang.” Biru berpendapat.

“Aku bisa aja sih enggak peduli dengan pamor-pamoran gitu… kalau punya alasan.” Geisha meraih tangan Biru dan menggenggamnya erat.

“Misalnya jadi istri kamu … sekalipun sepi job, aku bisa bilang kalau suami aku ngelarang aku banyak ambil kerjaan,” sambung Geisha yang kemudian memeluk tangan kekar Biru dan menyimpan dagu di pundak pria itu.

Biru tertawa kering, mana mungkin untuk saat ini dia memperistri Geisha.

Mami masih belum memberi restu malah sering menjodohkannya dengan anak Jendral yang lain.

Dia pergi ke sini saja harus membohongi mami dan mengatakan hendak mengikuti seminar kedokteran.

Memang benar kebetulan sedang diadakan seminar kedokteran di Universitas Udayana selama dua hari di sabtu dan minggu tapi Biru tidak mendaftar seminar tersebut, dia malah menjadikannya kesempatan untuk bisa bertemu Geisha.

“Malah ketawa ….” Geisha melepaskan pelukan, dia menghela tangan Biru lalu menghentakan kakinya.

“Sayaaaang, aku usahain ya … aku akan bujuk mami tapi kamunya juga bantu aku dengan menjaga harkat dan martabat kamu sendiri ….”

Geisha berhenti merajuk, dia menatap wajah tampan kekasihnya lekat.

“Kamu cinta sama aku ‘kan?” Geisha bertanya pertanyaan yang sama yang hampir setiap hari dia tanyakan.

“Ya iya lah, aku cinta banget sama kamu.” Biru berkata jujur.

Dia tidak akan menjadikan Geisha sebagai seorang kekasih kalau tidak mencintainya.

“Kalau aku hamil anak kamu, kira-kira mami kamu mau restuin kita enggak?”

Pertanyaan bodoh yang diucapkan Geisha dengan takut-takut ternyata mampu mengubah ekspresi di wajah Biru.

“Kita udah pernah bahas ini ‘kan sayang, kamu akan semakin dianggap rendah sama mami kalau kamu hamil duluan.”

Hati Geisha berdenyut ngilu saat melihat tatap mata tajam tidak suka Biru kepadanya walau dia tahu kalau apa yang diucapkan Biru adalah demi kebaikannya dan keberlangsungan hubungan mereka berdua.

Geisha sangat mencintai Biru, meski pria itu bukan tipe pria romantis dan kadang tidak peka tapi Biru tidak mempermasalahkan dirinya yang sudah kehilangan keperawanan semenjak SMA.

Biru juga bersedia memperistrinya dan tidak pernah membahas tentang itu sekalipun setelah mengetahui hal tersebut.

“Maaf ….” Geisha mengalah, dia meminta maaf lebih dulu.

Biru menatap malas Geisha bersama hembusan napas panjang kemudian turun dari stool.

“Mau ke mana?” Geisha menahan tangan Biru.

“Aku ke toilet sebentar, kamu pesenin aku minum ya.”

Geisha menganggukan kepala, dia melepaskan tangannya dari lengan Biru yang kemudian pergi menjauh.

Biru sempat melirik ke arah daybed yang terdapat kumpulan gadis sedang tertawa kencang entah membicarakan apa.

Dan matanya terpaku pada salah seorang gadis yang hanya menutup mulutnya dengan tangan ketika dia tertawa.

Tampak anggun dan bersahaja dengan posisi duduk yang elegan seperti seorang keturunan Aristrokat.

Tanpa dia duga kalau gadis tersebut adalah Langit Jingga, gadis yang akan dia renggut keperawanannya sebentar lagi.

Masih di meja bar, Geisha yang sudah merencanakan semua ini memanggil asistennya.

Sang asisten memasukan obat dengan kandungan Avanafil ke dalam minuman yang baru saja dipesan Geisha untuk Biru agar mereka bisa bercinta tanpa pengaman malam ini.

Pasalnya Biru selalu ingat untuk memakai pengaman bila bercinta dalam keadaan sadar sementara Geisha ingin segera menikah dengan anak Panglima TNI itu.

Geisha keukeuh akan menempuh jalur hamil di luar nikah untuk bisa memiliki Biru sehingga dengan terpaksa maminya Biru akan memberi restu.

Setelah menikah, dia akan masa bodoh dengan calon ibu mertuanya itu.

“Kamar udah oke?” Geisha memastikan.

“Udah ….” Sang asisten mengangkat kedua jempolnya.

Tidak lama Biru kembali, dia duduk di tempat sebelumnya di samping Geisha dan meminum minuman yang disodorkan sang kekasih.

Biru dan Geisha menikmati perform persembahan pihak Beach Club yang mendatangkan DJ ternama Indonesia yang sedang naik daun.

Sampai akhirnya Biru merasa tidak nyaman dengan tubuhnya, hawa panas tiba-tiba menyeruak dari dalam, kepalanya pening dampak hasratnya yang telah terpicu.

Geisha yang melihat gelagat Biru langsung mengulurkan tangan mengusap paha pria itu kemudian meremat pelan miliknya yang ternyata telah mengeras.

“Yaaang.” Biru mengerang, dia menyelimuti tangan Geisha tanpa berusaha menyingkirkan dari miliknya.

“Kenapa sayang?” tanya Geisha tanpa dosa.

“Ke kamar yuk?” bisik Biru di telinga Geisha.

Geisha tersenyum kemudian mengangguk.

Dia turun dari stool diikuti Biru.

Keduanya berjalan saling berangkulan keluar dari Beach Club menuju loby di mana tadi Biru menitipkan kopernya di sana.

Geisha meminta petugas hotel membawakan koper Biru ke kamar karena dia sibuk menopang tubuh sang kekasih yang nyaris kehilangan kesadaran.

Obatnya sudah bekerja.

Tubuh Biru langsung ambruk di atas kasur, dia menarik Geisha hingga ikut jatuh menindihnya

“Sayang, aku kasih tip dulu ya … sabar.”

Geisha bangkit dari atas Biru, dia memberikan tip kepada petugas hotel yang tadi membantu membawa koper Biru.

Setelah menutup pintu dan mengunci sebanyak dua kali, Geisha mulai melucuti satu persatu pakaiannya.

Antara sadar dan tidak, Biru mendudukan tubuhnya.

Mata pria itu kini terbuka lebar menatap tubuh Geisha yang polos.

Biru tersenyum, dia mengulurkan tangan meminta Geisha mendekat yang langsung menuruti keinginannya dan duduk di atas pangkuan.

“Sayang.”

Usai mengerang memanggil Geisha, Biru memagut bibir ranum itu.

Kedua tangan Geisha melingkar di leher Biru sementara bagian intinya menekan milik Biru yang masih terbalut celana.

Sengaja Geisha menyiksa Biru sedikit lebih lama sambil menunggu kesadaran pria itu benar-benar hilang.

Namun sayang ponselnya berdering panjang menandakan sebuah panggilan masuk.

Geisha berusaha mengabaikan selama beberapa saat.

Dia berdecak lidah kesal tatkala mendengar suara bel dan ketukan di pintu.

Terpaksa Geisha harus menghentikan kegiatannya.

“Sayang, sebentar … aku angkat telepon dulu.” Geisha meringis melihat ekspresi tersiksa Biru.

Pria itu menghempaskan punggungnya di atas ranjang kemudian memejamkan mata.

“Hallo!” bentak Geisha menjawab panggilan telepon dari sang Manager.

“Di mana lo?” tanya Febri sang Manager tidak kalah nyolot.

“Di kamar, mau ngapain? Ganggu aja!”

“Gue di kamar lo tapi lonya enggak ada!”

“Gue di kamar Biru, dia nyusul ke sini.”

“Apapun yang lo sama Biru lakuin segera hentikan dan lo harus ke sini sekarang juga karena agensi dari Paris nawarin lo jadi model salah satu brand ternama dunia … kita meetingsama mereka sekarang!”

“Apa?” Geisha menoleh ke arah ranjang.

Dia bingung harus bagaimana.

Tapi kesempatan menjadi brand ambasador merk ternama dunia tidak akan datang dua kali.

“Ya udah … gue ke sana sekarang.” Geisha memutuskan bungagan telepon.

Dia bergegas memakai pakaiannya lagi.

“Sayang, tunggu sebentar ya … aku meeting dulu sebentar aja, nanti aku balik lagi.”

Biru yang memang kekasih pengertian terpaksa menganggukan kepala.

Mata pria itu tampak sayu berkabut, wajahnya memerah dampak dari menahan gelora hasrat yang telah sampai ke ubun-ubun.

Geisha menyesal sekali, tapi dia ingat masih memiliki satu kantung obat untuk digunakan nanti bila efek obat yang telah dia masukan ke minuman Biru tadi habis sekembalinya dari meeting.

Dengan terburu-buru Geisha keluar dari kamar Biru, ada asistennya yang bernama Susan telah menunggu di depan pintu.

Dia yang menggedor-gedor dan membunyikan bel tadi.

“Apa mereka enggak tidur? Masa tengah malem gini meeting?” Geisha bersungut-sungut sambil menghentakan kakinya menyusuri lorong.

“Jakarta lebih cepat enam jam dari Paris … di sana masih sore.” Susan memberitahu.

Geisha mendelik kesal pada Susan.

Tidak lama dari itu, bel pintu kamar Biru berbunyi disusul suara pintu di ketuk.

Biru yang kesadarannya menipis bangun dari atas ranjang untuk membuka pintu.

Dia langsung menarik gadis di depannya yang dia pikir adalah Geisha.

Dan tanpa Biru sadari kalau dia kemudian melecehkan gadis tersebut yang ternyata bukan Geisha.

FLASHBACK OFF

Usai menceritakan apa yang dia ingat meski beberapa kali harus memejamkan mata dan terdiam sebentar mengingat kembali apa yang telah terjadi—akhirnya Biru diminta untuk melakukan tes urin.

Dia meraih gelas kecil kosong dari tangan petugas.

“Pak, apa saya bisa bicara dengan Kapolseknya?” Biru bertanya kepada petugas.

“Kapolseknya sedang berada di sambungan telepon dengan ayah Pak Bumi.” Petugas itu memberitahu.

Biru menganggukan kepala, dia keluar menuju toilet.

Mungkin setelah mengetahui nama belakangnya, Kapolsek langsung menghubungi ajudan papi.

Sekembalinya dari menampung urin, dia melewati ruangan di mana tadi melihat seorang gadis sedang menangis sambil dikelilingi tiga hadis lain.

Masih terdengar isak tangis dari dalam sana dan dia berhenti tepat di depan pintu.

“Itu adalah gadis yang melaporkan Pak Bumi.”

Biru sampai menoleh terkejut mendengar suara di sampingnya.

“Dia datang dengan tubuh bergetar dan ketakutan, memar terdapat di pergelangan tangan dan lehernya … dia menceritakan semuanya sambil menangis … saya yang menerimanya pertama kali,” sambung petugas polisi tersebut.

“Tapi dia wanita kuat, dia masih bisa menjelaskan kronologis kejadian dengan lancar … dia hanya ingin keadilan.” Petugas polisi tersebut pergi usai mengakhiri ucapannya dengan kalimat menohok.

Biru memejamkan mata sekilas, napasnya terembus panjang.

Dia melanjutkan langkah kembali ke ruangan tadi dan memberikan sampel urinenya kepada seorang petugas yang telah menunggu.

Biru sangat kooperatif karena dia tahu telah melakukan kesalahan.

Dia sudah tidak bisa menghindar lagi.

“Pak … boleh saya bicara dengan gadis yang telah saya lecehkan?”

Polisi yang tadi menginterogasi Biru mengangkat pandangan dati layar komputer.

“Sebaiknya tidak … gadis itu bernama Langit Jingga dan dia masih syok … Ayah Pak Bumi dan ayah bu Langit sedang dalam perjalanan ke sini … mungkin mediasi akan langsung dilakukan oleh beliau-beliau….”

Biru menjatuhkan bokongnya di salah satu kursi, dia mencerna kembali kalimat petugas polisi tersebut.

Namanya dan nama gadis itu sama-sama memiliki unsur alam dan warna.

Apakah ini hanya kebetulan?

Atau kah memang takdir yang sudah digariskan sang Pencipta?

Jadi langkah pertama untuk masalah ini adalah mediasi.

Dengan kekuasaan papi, mungkin dia akan terlepas dari jeratan hukum.

Tapi hidupnya tidak akan tenang mengingat ada gadis yang sudah dia hancurkan masa depannya.

Ponsel Biru berbunyi nyaring, dia merogoh saku celananya mencari tahu siapa yang menghubungi.

Nama sang kekasih muncul di layar.

“Hallo, Yang.” Suara Biru terdengar putus asa.

“Sayang … buka pintu, kamu enggak denger aku gedor-gedor?”

“Yang … aku di kantor polisi.”

“Apa? Kenapa?”

Ada jeda cukup lama, Biru ragu mengatakan yang sebenarnya.

Tapi dia tidak mungkin menyembunyikan kejadian ini dari Geisha.

“Tadi waktu kamu pergi, enggak lama bel pintu kamar bunyi … di balik pintu berdiri seorang gadis … aku pikir itu kamu, aku tarik tangan gadis itu ke dalam kamar dan ….” Biru memutuskan memberi tahu Geisha meski dia sendiri tidak mampu melanjutkan kalimatnya.

“Dan apa?” Suara Geisha begitu lantang, dia terdengar panik.

“Dan aku memperkosa gadis itu … aku enggak sengaja, aku enggak sadar, aku—“

Klik.

Biru menghentikan kalimatnya karena tahu Geisha memutus sepihak panggilan tersebut.

Itu yang selalu dilakukan Geisha bila sedang marah pada Biru.

Biru mengembuskan napas panjang, dia mengusap wajahnya kasar.

Nasib sial menghampiri Biru mungkin karena dia telah membohongi mami agar mendapat ijin pergi ke Bali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status