Share

Bukti

“Gue lupa, Ra … gue lupa kamar kita itu 325 apa 352 … gue ketuk kamar 325 dan berakhir kaya gini, apa yang harus gue bilang sama Davian.”

Jingga meracau di sela isak tangis, terus mengulang kalimat penyesalannya tersebut.

Andaikan dia mendengarkan baik-baik nomor kamar yang diberitahu Kiara mungkin dia tidak akan salah kamar.

Ketiga sahabatnya memeluk Jingga, mereka semua pun menangis ikut merasakan penderitaan Jingga.

“Nanti kita bantu jelasin, ini musibah … kalau Davian cinta sama lo … dia pasti akan nerima lo.” Kiara mencoba menjelaskan.

Terdengar suara langkah kaki mendekat, keempat gadis itu menoleh ke arah pintu.

“Ibu Jingga sudah bisa dibawa kembali ke hotel agar bisa beristirahat.” Petugas berpakaian preman yang tidak lain adalah AKP Rizky yang menjabat sebagai Kapolsek di sana memberi ijin kepada Jingga untuk kembali ke hotel.

“Lalu bagaimana kelanjutan kasusnya? Apa laki-laki itu sudah ditahan?” Ghea memberanikan diri bertanya, secara tidak langsung mengintervensi kinerja petugas polisi karena dia sudah mendengar dari Jingga kalau pria yang memperkosa Jingga adalah seorang anak Jendral.

Sudah bisa Ghea dan dua sahabatnya yang lain bayangkan jika pria yang memperkosa Jingga akan lolos dari jerat hukum.

“Terlapor sudah kami mintai keterangan, sekarang sedang berada di ruangan sebelah.” AKP Rizky memberitahu.

“Mana orangnya? Saya mau ketemu, Pak.” Sabila langsung berdiri dan melangkah menuju pintu.

AKP Rizky merentangkan tangan menghalangi jalan Sabila. “Yang tidak berkepentingan tidak diperkenankan bertemu terlapor.”

“Saya berkepentingan sekali sama dia, Pak … dia udah memperkosa sahabat saya.” Sabila mendongak dengan suara lantang menantang petugas polisi dengan jabatan paling tinggi di kantor ini yang baru Sabila sadari kalau wajahnya cukup tampan.

“Sebaiknya kamu bawa sahabat kamu kembali ke hotel … saya telah menghubungi ayah dari sahabat kamu dan beliau sedang perjalanan ke sini.”

Kapolsek Rizky pergi usai berkata demikian.

“Udah Bil, kita bawa balik Jingga …,” kata Ghea sambil membantu Jingga berdiri.

Ghea dan Kiara memapah Jingga, Sabila membuka pintu lebar membuka akses mereka keluar dari ruangan itu.

Mereka berempat berjalan menyusuri lorong dan tanpa Jingga duga dia harus bertemu dengan sosok pria yang telah menorehkan trauma mendalam baginya.

Biru baru saja keluar dari toilet, hendak kembali ke ruangannya.

Mata Jingga menatap nyalang pada Biru yang berjalan mendekat, jantungnya berdetak kencang, dia pun menghentikan langkah.

Biru yang juga sedang menatapnya masih melangkah dengan ayunan pelan.

“Aaaarrrrggghhhh!” Jingga menjerit sekencang-kencangnya sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

Dia trauma melihat Biru karena bayangan tentang pemerkosaan itu melintas dalam benaknya.

“Jingga … Jingga ….” Kiara dan dua sahabatnya yang lain jadi panik.

Bukannya menjauh, karena didera perasaan bersalah dan ingin minta maaf—Biru malah mendekat mencoba membantu Jingga yang nyaris ambruk ke lantai.

Beberapa petugas polisi pun berhamburan keluar dari setiap ruangan.

“Lepas … toolooongg … jangaaaan ….” Jingga berteriak.

“Pak Bumi! Menjauh dari dia!” AKP Rizky berteriak dari pintu ruangannya sebelum berjalan cepat mendekat.

“Sa-saya—“ kalimat Biru terjeda karena sebuah tamparan mendarat di pipinya.

Plak!

“Jadi elo yang perkosa teman gue! Brengsek lo!”

Plak!

Sabila menampar Biru kembali di pipinya yang satu lagi.

Biru tidak melawan atau menghindar, dia membiarkan sahabatnya Jingga membalaskan dendam Jingga padanya.

“Hey … jangan main hakim sendiri.” AKP Rizky menahan tangan Sabila dan menyeretnya menjauh.

“Bawa ibu Jingga kembali ke hotel,” titah Rizky pada Kiara dan Ghea.

“Pak Biru, kembali ke ruangan anda!” AKP Rizky berseru pada Biru yang kemudian menarik langkah menjauh sambil sesekali menoleh ke belakang menatap punggung Jingga penuh penyesalan.

“Lepas, Pak.” Sabila menggguncang tangannya yang ternyata masih dicekal AKP Rizky.

“Apa Davian tahu tentang ini?”

Pertanyaan AKP Rizky membuat mata Sabila mengerjap cepat.

“Saya teman seangkatan Davian waktu di Akpol … saya kenal wajah Jingga dari foto yang sering Davian share di I*******m …,” ujar Rizky menjawab pertanyaan yang belum sempat Sabila lontarkan.

“Jingga ngelarang kita kasih tahu Davian … dia masih terpukul, biar Jingga yang ngomong sama Davian … Bapak juga jangan dulu bilang sama Davian.”

“Enggak bisa, saya temannya Davian … Jingga melapor di kantor saya dan saya harus kasih tahu Davian.”

Sabila menghentak tangannya hingga cekalan tangan AKP Rizky terlepas.

“Jangan cepu deh, Pak … Bapak juga ‘kan enggak dikenalin secara langsung sama Jingga oleh Davian … Bapak cuma tahu Jingga dari ignya Davian jadi Bapak pura-pura bego aja coba … kasian Jingga.”

Sabila jadi emosional, dia sampai mendongak mendekatkan wajahnya dengan wajah tampan di hadapannya itu, dia lantas pergi setelah menjadi pemenang dalam perdebatan dengan sang Polisi tampan.

***

Yuna Dewangga menatap tajam putra sulungnya begitu dia memasuki ruangan.

Yang bisa Biru lakukan hanyalah menundukan kepala menghindari tatapan sang papi yang bisa saja melubangi kepalanya.

Biru tahu kalau sang papi kecewa dan marah, dia juga tidak bisa memutar waktu atau menyogok semesta agar nasib sial ini tidak menimpanya.

AKP Rizky yang berada di ruangan itu keluar dari rongga antar kursi dan meja kerjanya untuk menyambut sang Jendral.

Pria itu mengulurkan tangannya dan segera disambut oleh Yuna Dewangga yang tatap matanya sudah melembut.

Pria yang seusia dengan Biru itu memperkenalkan diri dengan formal lalu keluar agar bisa memberi waktu kepada mereka untuk bicara.

Dia sudah bicara panjang lebar dengan Papi Yuna melalui sambungan telepon.

“Berapa botol yang kamu minum sampai mabuk dan tanpa sadar melecehkan seorang gadis?”

Yuna Dewangga mencoba tenang, dia duduk di sofa di depan Biru.

“Cuma satu gelas, bukan alkohol dengan kadar tinggi.” Biru menjawab lugas.

“Terus kenapa kamu bisa mabuk dan bikin masalah seperti ini?” Nada bicara papi mulai ketus.

Biru mengembuskan napasnya, sedari tadi dia banyak merenung dan berpikir lalu menemukan sebuah dugaan tapi dia sendiri belum yakin.

Dan pada kenyataannya sekarang, dia tidak berani mengungkapkan dugaannya tersebut demi Geisha.

“Mami kamu syok mendengar kejadian ini dan langsung dilarikan ke rumah sakit.”

Biru mengangkat pandangan, netranya bergerak cepat menatap papi dampak dari perasaan cemas yang besar membayangkan kondisi mami.

“Gimana keadaan mami, Pi?”

Papi membuang tatapannya ke arah lain, dia enggan menjawab pertanyaan Biru.

Tok …

Tok …

Pintu terbuka setelah dua kali terdengar ketukan.

Seorang pria yang Biru kenali masuk kemudian duduk di single sofa di antara Yuna Dewangga dan Biru.

Pria itu adalah orang kepercayaan papinya dan dia harus tahu kronologis yang sebenarnya terjadi agar bisa membantu Biru.

“Sekarang ceritakan yang sebenarnya kepada kami,” titah papi dengan suara tegas mengintimidasi.

Dan Biru harus kembali menceritakan semua yang tadi dia sudah sampaikan kepada petugas polisi.

Mau tidak mau Biru jadi membongkar sendiri kebohongannya yang mengatakan datang ke Bali untuk menghadiri seminar padahal sesungguhnya menemui Geisha.

Orang kepercayaan papi yang bernama Erik itu mendengarkan dengan seksama cerita Biru untuk mencari celah yang bisa menyelamatkannya.

Bersamaan dengan selesainya cerita Biru, pintu ruangan itu kembali di ketuk.

“Ayah dari ibu Langit Jingga sudah tiba,” ujar AKP Rizky memberitahu.

Pria yang sudah berganti pakaian dengan seragam dinas itu masuk diikuti dengan seorang pria paruh baya berperawakan tegap.

Beliau menatap satu persatu orang yang ada di dalam ruangan itu dan netranya berhenti sesaat terpaku pada Biru.

Papa Reza sudah mendapat informasi dari AKP Rizky mengenai apa yang terjadi dan siapa orang yang telah dengan keji melecehkan putri semata wayangnya.

“Saya Yuna Dewangga … saya ayahanda dari Bumi Xabiru Dewangga.” Papi yang mempertama kali memperkenalkan diri meski tahu papanya Jingga pasti sudah mengetahui siapa dirinya.

“Pak Yuna … saya Reza Bagaskara, papanya Langit Jingga.” Papa menjabat tangan papi Yuna dengan gelengan kepala samar dan raut wajah penuh kekecewaan.

“Ini Biru anak saya.” Papi merentangkan tangan ke depan Biru.

Papa Reza kembali menatap tajam ke arah Biru dengan napas memburu.

“Saya minta maaf, Pak … saya enggak sadar sewaktu melakukannya.”

Papa Reza mengetatkan rahang, dia sedang mengendalikan dirinya untuk tidak menghajar pria yang sudah merusak masa depan sang putri.

Terlalu enak hidup pria itu jika harus mati dengan mudah di tangannya, pria itu harus menderita di dalam penjara untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dia lakukan kepada Jingga.

“Silahkan duduk, Pak.” AKP Rizky mempersilahkan semua orang duduk kembali di sofa set yang berada di tengah ruangan.

Seorang petugas masuk membawa sebuah amplop dan tab.

“Ini adalah hasil dari tes urin dan darah pak Biru … di sini kita bisa lihat kalau dalam darah pak Biru terdapat zat Avanafil sejenis obat perangsang yang membuat pak Biru tidak bisa mengendalikan dirinya, sementara kandungan alkohol dalam darah sangat sedikit sekali jadi kami menduga kalau seseorang mencampur zat tersebut ke dalam minuman pak Biru.” AKP Rizky menjelaskan.

“Kemudian berdasarkan kronologis yang diceritakan pak Biru, kami mendatangi beach club tempat terakhir kali pak Biru berada sebelum pergi ke kamar hotel … kebetulan di tempat pak Biru duduk tepatnya di area meja Bar terdapat kamera CCTV yang mengarah langsung kepada pak Biru dan seorang gadis bernama Geisha.”

AKP Rizky mengarahkan layar tab pada mereka semua yang duduk di sana.

Mata papi Yuna membulat, begitu juga papa Reza tapi tidak dengan Biru yang sudah menduga tentang hal tersebut.

Dalam rekaman CCTV terlihat jelas Geisha memasukan sebuah bubuk ke dalam gelas minuman dan ketika Biru datang, Geisha memberikan minuman yang sudah diberi obat itu kepada Biru.

Biru mengingat ucapan Geisha yang memberi ide hamil di luar nikah untuk bisa mendapat restu mami yang tentu saja Biru tolak mentah-mentah.

“Lalu ini ada rekaman CCTV loby di mana ibu Jingga tidak ikut ke kamar bersama tiga sahabatnya … sepertinya ibu Jingga sedang dalam panggilan video.”

Jemari AKP Rizky menggeser layar tab.

“Dan di saat bersamaan, dari CCTV lorong di depan kamar Pak Biru … kami mendapat bukti kalau ibu Geisha yang sempat masuk ke kamar pak Biru kemudian keluar … sesuai dengan kronologis yang diceritakan pak Biru.” AKP Rizky melirik Biru sekilas.

Biru memang menceritakan semuanya termasuk niatnya yang akan bercinta dengan Geisha kemudian harus tertunda karena Geisha mendapat panggilan meeting.

“Lalu ini ada CCTV di depan lift, bisa kita lihat ibu Jingga keluar dan ibu Geisha masuk ke dalam lift.”

AKP Rizky kembali menggeser layar untuk memperlihatkan rekaman CCTV selanjutnya.

“Di sini sepertinya ibu Jingga ragu mengenai nomor kamar … tapi dia menekan bel dan mengetuk pintu.”

Kemudian dalam rekaman itu terlihat Biru menarik tangan Jingga dan setelahnya pintu tertutup.

AKP Rizky menghentikan rekaman CCTV.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status