Liburan Jingga dan ketiga sahabatnya yang berakhir tragedi itu menyisakan kenangan pilu.
Mereka berempat beserta papa Reza kembali ke Jakarta sore harinya.“Maafin gue ya Jingga … kalau aja gue enggak maksa lo datang ke Bali, mungkin lo enggak akan kaya gini.”Kiara yang paling menyesal karena dia yang paling bersikeras agar Jingga datang ke acara ulang tahunnya.“Bukan salah lo … gue yang salah karena lupa nomor kamar.” Jingga mengatakannya sambil menahan isakan.Mereka semua menangis, saling berpelukan di depan pintu kedatangan sebelum berpisah kembali ke rumah masing-masing.“Berkabar ya, hubungin kita kalau lo butuh sesuatu.” Sabila berujar sambil menatap sendu Jingga.“Sabar ya, gue tau lo pasti bisa ngelewatinya.” Ghea memeluk Jingga lagi kemudian dengan berat hati melepaskannya.“Maafin kami semua ya, Om.” Tidak lupa Kiara meminta maaf kepada papa Reza.“Sudah lah, ini bukan salah kalian.”Kiara, Ghea dan Sabila pamit.Mereka pulang menggunakan mobil Kiara yang diparkir di Bandara.Papa Reza merangkul pundak Jingga, kini sorot mata putrinya selalu tampak kosong.“Sayang… apa perlu Papa yang bicara sama Davian?”Papa bertanya setelah mereka masuk ke dalam mobil yang di kemudikan driver.“Enggak perlu, Pa … biar nanti Jingga yang bicara sama Davian kalau waktunya tepat dan Jingga udah siap.”Jingga mengatakannya dengan suara lemah.“Papa enggak akan memaksa kamu menikah dengan Biru … tapi menurut Papa itu yang terbaik untuk kamu ….”Jingga mengembuskan napas panjang, pundaknya melorot.“Jingga benci Biru, Pa.” Jingga bergumam.Papa tidak memberikan komentar, beliau mengulurkan tangan mengusap kepala putrinya.Setibanya di rumah, Jingga dan papa disambut oleh mama Irma yang matanya bengkak karena terus memeras air mata.“Jingga … anak Mama.” Mama memeluk Jingga erat, air mata mama sampai membasahi pundak Jingga.Mama Irma sudah mendapat informasi inti dari papa termasuk solusi yang ditawarkan papinya Biru.Jingga jadi ingin tahu bagaimana tanggapan mama tentang solusi tersebut.Mereka duduk di ruang televisi dengan mama yang masih memeluk Jingga.“Apa kamu perlu pergi ke psikiater?” Mama bertanya hati-hati.“Enggak perlu, Ma.” Jingga menggelengkan kepala.Jingga merasa tidak ada trauma yang mendalam.Tapi Jingga sangat membenci Biru.“Tadi Davian telepon Mama, katanya hape kamu enggak aktif.”Jingga mengalihkan tatap dari mama, dia mengusap wajahnya bersama hembusan napas panjang.“Kamu harus segera memberitahu dia, Jingga … pernikahan kalian sudah di depan mata … biar dia memiliki waktu untuk berpikir dan mengambil keputusan apakah perlu melanjutkan pernikahan ini?” Mama memberi saran.“Jingga yakin kalau Davian belum pernah bercinta dengan gadis mana pun Ma karena Davian sangat menjaga Jingga … dia enggak pernah melewati batas ….” Jingga mulai terisak.“Terus … kalau Davian bersedia menikah sama Jingga, apa ini adil buat dia?” sambung Jingga sambil menangis.Ternyata Jingga memikirkan ucapan papa.“Lalu bagaimana kalau Davian enggak bersedia?” celetuk mama bertanya membuat tangis Jingga semakin kencang.Jingga adalah gadis tangguh dan mandiri, dia mampu berjuang mengalahkan para pria untuk bisa memegang jabatannya sekarang di kantor.Tapi masalah ini sungguh membuat Jingga hancur lebur.Dia terlanjur mencintai Davian sepenuh hati, dia tidak ingin kehilangan pria itu.“Kalau yang Mama tangkap dari cerita papa di telepon, kayanya Biru juga enggak sengaja memperkosa kamu … dia dalam pengaruh obat dan kalau dia mau bertanggungjawab dengan menikahi kamu padahal dia juga mencintai kekasihnya—berarti dia pria baik-baik.” Mama berpendapat.Ternyata mama juga membela Davian.Jingga sampai tidak habis pikir.Sebenarnya yang diperkosa itu dirinya apa si Biru?“Papa akan bicara dengan papanya Davian,” ujar Papa penuh keyakinan lantas beranjak dari sofa.“Paaa …,” sergah Jingga mengerang.“Kita langsung batalkan pernikahan kamu dengan Davian dan menerima lamaran Biru … Papa enggak mau kamu sakit hati mendapat penolakan dari Davian.”Papa pergi usai berkata demikian, Jingga hanya bisa menangis dalam pelukan mama.“Sudahlah sayang, mungkin ini juga takdir … buktinya nama panggilan kalian sama … Jingga … Biru … terus nama depannya Langit … Bumi … kayanya kalian memang jodoh.” Mama coba menenangkan.“Ah Mamaaaa … yang ada kita tuh enggak akan bisa bersatu, kaya Bumi dan Langit … kalau bersatu kiamat.” Dengan nada kesal, Jingga menyanggah.***Yang pertama Biru lakukan ketika tiba di Jakarta adalah mengunjungi sang mami yang katanya dirawat di rumah sakit.Sudah bisa dipastikan kalau rumah sakit mami dirawat adalah tempat Biru berpraktik.“Siang Dok,” sapa seorang perawat yang berpapasan dengannya di pos perawat lantai itu.“Udah balik dari Bali, Dok?” Perawat senior bertanya.“Mami saya masuk rumah sakit, jadi saya pulang lebih awal.”“Oh iya betul, maminya Dokter dirawat di Presidential Suite 305.”Biru tertegun saat, ada apa dengan angka tiga dan lima yang akhir-akhir ini seperti menghantuinya.“Saya bisa lihat rekam medisnya?”Perawat tersebut memberikan berkas mami kepada Biru yang kemudian pria itu baca dengan hati-hati.Beruntungnya tidak ada yang serius terjadi pada mami.Beliau hanya syok saja mendengar anak kebanggaannya melecehkan seorang gadis hingga digiring ke kantor Polisi.“Terimakasih.” Biru mengembalikan berkas milik mami kepada perawat.Pria itu kemudian pergi ke kamar rawat mama yang tadi disebutkan sang perawat.Begitu masuk ke dalam kamar itu, Biru mendapati mami sedang tidur sementara Cinta-adik bungsunya duduk di sofa bed tidak jauh dari ranjang mami dengan headset menutupi telinga.Gadis yang masih duduk di bangku kuliah itu melototkan matanya menatap Biru yang tengah melangkah pelan masuk lebih jauh ke dalam ruangan setelah menutupi pintu.“Abang bikin mami sakit, pergi sana!” ketus Cinta yang menahan suaranya kemudian melempar bantal ke arah Biru.“De, maafin Abang.” Dia berbisik, memungut bantal yang jatuh ke lantai dan tidak sempat mengenainya.“Abang malu-maluin papi sama mami … sampe dibawa ke kantor polisi segala.”Biru menjatuhkan tubuh di samping Cinta, matanya berat sekali karena tidak tidur semalaman, harus memberikan kesaksian di kantor polisi.Dia bersandar punggung di sandaran sofa dengan kepala menengadah dan mata terpejam.“Abang beneran udah perkosa cewek?” bisik Cinta hati-hati.Dia iba sekali melihat sang Abang yang tampak menyedihkan.“Enggak sengaja De, minuman Abang dimasukin obat.”“Sama siapa?”Biru tidak menjawab, dia memilih diam tapi tidak lama kemudian kembali mengeluarkan suara.“Pelajaran buat kamu, jangan terima minuman dari cowok manapun … siapa tahu dia masukin obat ke minuman itu.”Biru malah mengalihkan pembicaraan membuat bibir Cinta mencebik sebal.“Biru ….” Terdengar suara mami Dian merintih.Biru sontak bangkit dari sofa mendekati ranjang mami.“Miii.” Dia menggenggam tangan mami erat.Perlahan mami membuka mata.“Kamu enggak apa-apa, kan?” Mami bertanya dengan suara serak.“Biru enggak apa-apa, Mi … jangan banyak pikiran ya Mi.”“Enggak mungkin Mami enggak mikirin kamu, anak kebanggaan Mami digiring ke kantor polisi.”Mami sampai menitikan air mata.“Miii, maafin Biru.”“Kenapa kamu tega bohongin Mami? Kenapa kamu enggak jujur sama Mami mau ke Bali buat nemuin Geisha?”“Karena Biru tahu kalau Biru jujur … Mami enggak akan kasih ijin ….”Mami memejamkan mata, melepaskan genggaman tangan Biru pertanda kalau beliau kecewa berat.Tidak lama papi datang, raut wajahnya masih garang ketika menatap Biru.“Pulang lah, kamu belum tidur ‘kan?” titah papi tanpa mau menatap wajah Biru.“Cinta sama abang pulang ya, Pi … Mi ….” Cinta menarik tangan Biru untuk keluar dari ruang rawat mami.“Besok kalian enggak usah ke sini, dokter bilang besok mami udah bisa pulang.”“Oke, Pi.” Hanya Cinta yang menyahut tapi Biru yang diseret Cinta tidak juga melepaskan tatap dari mami hingga sang adik menutup pintu kamar.“Jadi gimana nasib Biru, Pa?” Mami tidak sabar untuk bertanya.“Biru enggak sadar ketika melakukannya, dia dalam pengaruh obat yang dimasukan Geisha ke minumannya … tapi Papi minta Biru agar bertanggung jawab dengan menikahi gadis itu.” Papi menjelaskan.“Siapa nama gadis itu?”“Namanya Langit Jingga, dia anak dari Regional CEO bank BUMN … Jingga sendiri kerja di bank swasta milik Amerika dan Jingga juga udah punya tunangan … Mami tau siapa ayah dari tunangannya?”“Siapa?” Mendadak mami jadi kepo.“Roni Dharta.”Mendengar nama itu disebut sontak mata mami membulat sempurna.“Roni Sofyan Dharta yang KAPOLRI itu?”Papi menganggukan kepala.“Mami yakin Widya enggak akan mau punya menantu yang udah enggak perawan … dia mah, pembantunya aja harus masih perawan.” Mami mencibir karena bunda Widya yang tidak lain adalah bundanya Davian itu adalah musuh dalam selimutnya mami.Papi dan mami memang mengenal ayah dan bundanya Davian.Diam-diam mami dan bunda bersaing dalam segala hal.“Tapi pak Reza-papanya Jingga setuju untuk menikahkan Jingga dengan Biru.”Mami mengembuskan napas panjang, raut wajahnya tampak begitu sendu.“Biru yang udah mengambil kehormatan Jingga jadi memang seharusnya Biru yang menikahi Jingga dan biar si Geisha itu berhenti deketin anak kita… dia pengaruh buruk bagi Biru.”Papi menganggukan kepalanya setuju dengan pendapat mami.“Tapi gimana kalau Jingga trauma ketemu Biru?” Sebagai wanita tentu mami lebih peka.“Itu akan jadi urusan Biru untuk menyembuhkan trauma Jingga.” Dengan kejam papi berujar demikian.Bukan jahat tapi papi ingin Biru bertanggungjawab atas keputusan yang telah dia ambil.Biru memutuskan untuk mencintai Geisha tanpa restu sampai berbohong agar bisa ke Bali yang kemudian mengantarkannya pada tragedi ini.Biru merangkul pundak Jingga, mengecup pelipisnya sebagai ungkapan Terimakasih yang sudah ribuan kali dia ungkapkan semenjak Jingga dengan kesadaran sendiri mengajak Biru ke dokter kandungan setahun lalu untuk membuka KB IUD.Katanya Jingga merindukan suara tawa bayi dan pekerjaannya yang sekarang pun tidak seberat dulu.Jadi Jingga merasa mungkin sudah waktunya memiliki anak ke tiga.Dan tanpa dia duga, hanya dalam jangka waktu kurang lebih setahun setelah membuka KB IUD—Tuhan mempercayakan malaikat kecilnya lagi kepada mereka. Semua bahagia mendengar kabar kehamilan Jingga.Kehamilannya yang ketiga ini pun begitu dinikmati oleh Jingga.Pekerjaan Jingga tidak terganggu karena tidak ada kendala berarti selama kehamilan.Sampai Jingga lupa mengajukan cuti hamil, dia tetap pergi ke kantor meski kandungannya sudah memasuki masa persalinan.Pagi itu satu kantor geger karena Jingga ditemukan jatuh di kamar mandi oleh stafnya dengan ketuban pecah.“Panggil ambulan!” Atasan Jingga berseru k
Papi sudah pensiun sebagai Panglima TNI Republik Indonesia, sekarang beliau sedang menikmati masa tua di rumah saja. Ada beberapa bisnis yang digeluti papi yang sudah dipersiapkan sebelum pensiun tapi tidak memerlukan perhatian khusus dari beliau.Hanya sesekali saja mengecek dan sisa waktunya papi bisa habiskan dengan bermain bersama cucu.Setelah Cinta menjadi sarjana meski sempat terseok menjalaninya karena harus melahirkan anak ke tiga, papi meminta besannya yaitu papanya Jingga untuk memasukan Cinta menjadi pegawai Bank dari jalur Officer Development Program.Kebetulan Cinta berkuliah di kampus unggulan dan memiliki IPK yang baik dan ternyata Cinta bisa lulus menjalani test yang dilakukan pihak ketiga dan sekarang Cinta seperti kakak iparnya, menjadi seorang bankir.Davian tidak melarang Cinta berkarir, seperti halnya Biru yang justru mendukung karir Jingga.Meski sekarang Jingga lebih menikmati bekerja dibalik meja menjadi backoffice berkutat setiap harinya dengan kertas dan an
Hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya, Cinta seakan bukan miliknya lagi.Cinta dikuasai oleh Kiana dan Bara apalagi Bara yang masih sering tantrum, kalau kata bunda dan mami—mungkin Bara tahu akan memiliki adik sementara dia masih ingin kasih sayang dan perhatian full dari kedua orang tuanya.Baiklah, ingatkan Davian untuk meminta Cinta pasang KB setelah melahirkan anak ketiga mereka nanti.Karena sesungguhnya, tanpa ada yang tahu kalau Cinta tertekan.Dia lelah karena harus membagi waktu dengan anak-anak dan kuliah.Berimbas pada bobot tubuh Cinta yang menurun padahal sedang mengandung.“Sayang.” Suara Davian yang baru saja masuk ke dalam kamar membuat Cinta refleks mengusap air mata di pipi.“Kamu nangis?” Davian bergerak mendekat dengan langkah cepat.Pria yang gagah dan selalu tampan di mata Cinta dengan seragam Polisinya itu langsung menangkup wajah Cinta menggunakan tangannya yang besar.“Kamu nangis?” Davian mengulang.“Enggak, tadi aku pakai obat tetes mata karena mata aku
Semenjak kejadian Davian menyusul Cinta yang pergi tanpa ijinnya ke Puncak, Cinta jadi banyak berubah.Sekarang Cinta lebih mementingkan keluarga kecilnya.Cinta sudah tidak lagi melimpahkan urusan anak-anak kepada Nanny kalau dia ada di rumah.Meski keteteran dengan tugas kuliah tapi sebisa mungkin Cinta yang mengambil peran untuk mengurus anak-anaknya.Davian juga sebagai suami tidak merasa dirinya paling benar, dia berpikir kalau Cinta sempat khilaf pasti karena kesalahannya juga.Bila dulu Davian jarang sekali mengajak Cinta jalan-jalan, setelah kejadian itu Davian membuat jadwal kencan berdua dengan Cinta di malam minggu.Jadi setiap malam minggu, Davian dan Cinta akan mengantarkan Kiana dan Bara bergantian antara rumah papinya Cinta atau rumah ayahnya Davian untuk menitipkan mereka sementara dia dan Cinta menghabiskan malam minggu berdua.Entah itu hanya makan malam, nonton konser, nonton film atau checkin di hotel berbintang dan pulang keesokan harinya. Dan malam ini—selagi ka
Davian menarik pundak Cinta kemudian mengecup pelipis istrinya.“Aku pake baju dulu ya, kasian papi sama mami udah nungguin.” Tidak ada respon dari Cinta, raut wajahnya masih masam.“Papi ganti baju dulu ya, Kiana duduk sini sama bunda.”Cinta merangkul Kiana sehingga Kiana mau duduk di atas pangkuannya sedangkan Davian pergi ke walk in closet memakai pakaian.“Kakak kenapa pukul ade? Adenya disayang ya?” Cinta menegur Kiana dengan suara lembut.Melihat jejak air mata di wajah sang bunda membuat perasaan Kiana jadi tidak nyaman.Dia memeluk sang bunda.“Maafin Kiana Buna.” “Harus sayang sama ade ya?” pinta sang bunda dengan pendar sendu di mata.Kiana mengangguk.Davian bisa mendengar percakapan Cinta dengan Kiana dari dalam walk in closet kemudian bibirnya tersenyum karena hatinya menghangat.*** Mobil yang kemudikan Davian dan Biru bersamaan tiba di pelataran parkir sebuah studio.Protokoler papi yang mengetahui kedatangan mobil putra dan menantu sang Jendral langsung mengarahkan
“Mas … tolong jawab dulu itu telepon enggak tahu dari siapa,” kata Cinta meminta bantuan saat sang suami masuk ke dalam kamar anak-anak untuk mencari tahu kenapa anak-anak menangis.“Oh … oke.” Davian bergerak ke sebuah meja di mana ponsel sang istri berada.“Kiana … hey, udah nangisnya … tadi Bunda ‘kan harus menyusui ade Bara dulu.”“Hallo ….” Suara Davian terdengar menyahut.Om Ridho sampai menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengecek apakah mungkin dia salah menekan nomor karena bukan suara Cinta yang seharusnya dia dengar malah suara seorang pria.“Om Ridho!” Davian berseru karena telah melihat nama di layar ponsel Cinta. “Oh … ini Mas Davian ya?” Ridho memastikan.“Iya, Om.” “Uuuh sayang … sayang …” Suara Cinta bersama tangisan anak kecil masih bisa didengar oleh Ridho.Seperti dejavu karena saat menghubungi Biru tadi dia juga mendengar hal yang sama.“Ini kalian masih di rumah ya? Ibu sama Bapak udah sampai, beliau meminta kalian segera datang.” Om Ridho memberitahu.“Iya Om
Mengetahui kalau Biru dengan Davian telah berdamai, papi dan mami berinisiatif untuk melakukan foto keluarga bersama anak, cucu, menantunya.Kebahagiaan yang setiap tahun dirasakan mami dan papi dengan kehadiran cucu-cucu patut diabadikan.Studio foto milik photographer ternama yang menjadi pilihan papi dan mami untuk mengabadikan moment kelengkapan keluarga mereka.“Lho … Biru sama Cinta belum sampai?” Papi bicara pada Ridho-sang ajudan begitu tiba di studio foto dan tidak mendapati anak cucu dan menantunya di sana.Ya mana Ridho tahu, ‘kan dia pergi dari rumah bersama papi.“Sepertinya belum, Pak.” Ridho menjawab.“Mungkin mereka kejebak macet. “Mami menimpali.”“Selamat siang Pak Yuna Dewangga.” Sang photographer menyambut.“Selamat siang.” Papi dan pria Photographer saling menjabat tangan, setelah itu pria photographer beralih pada mami.“Anak dan menantu beserta cucu-cucu saya belum datang, bisa kita tunggu sebentar?“ kata papi meminta waktu.“Oh … tidak masalah, bagaimana kalau
“Raina itu sekertaris aku … aku akan selalu ngajak dia ke pesta untuk cari tahu tentang klien dari sekertaris mereka … aku sengaja beliin dia gaun biar dia enggak ngoceh di luaran kalau uangnya habis beli gaun untuk nemenin aku ke pesta … hubungan aku sama Raina hanya sebatas pekerjaan.” Reyshaka akhirnya bersuara setelah beberapa lama diam sambil memeluk Namira.Namira tidak menyahut, membiarkan kalimat penjelasan Reyshaka menguap begitu saja.Gemas karena Namira tidak memberikan respon, pria itu lantas menegakan tubuh membawa Namira dalam pelukannya.“Terus … penjelasan kamu apa?” tanya Reyshaka menuntut setelah mengurai pelukan.Mata almond Namira mengerjap, istri cantiknya melongo bingung.“Penjelasan atas apa?” Namira bertanya polos.“Tadi ‘kan aku udah jelasin kenapa aku harus pergi ke pesta dengan Raina dan beliin dia gaun … sekarang aku mau denger penjelasan kamu kenapa bisa makan siang sama Erwan?”Namira tersenyum di dalam hati, suaminya ternyata benar-benar cemburu dan dia
“Pagi, Pak …,” sapa Jingga saat netranya bertemu dengan netra sang bos yang duduk di balik meja kerja.“Pagi … duduk, Bu Jingga.” Pak Kurnia mempersilahkan.Jingga tahu kalau dia akan dicecar habis-habisan karena target timnya masih merah sedangkan lima hari lagi akhir bulan.Jingga duduk, senyumnya tampak kaku tapi dia siap menerima apapun yang akan disampaikan pak Kurnia.“Begini Bu Jingga, mengingat hampir sepanjang tahun target Bu Jingga antara merah kuning belum pernah mencapai hijau … maka kemarin dalam panel saya terus dicecar oleh Bos … saya sudah mencoba mempertahankan Bu Jingga karena saya tahu kinerja Bu Jingga sebelum menikah tapi ternyata mereka tidak mau tahu … dan tetap memutuskan untuk mengganti Bu Jingga ….” Pak Kurnia menjeda mencari tahu ekspresi Jingga namun bawahannya itu memasang ekspresi datar hanya kerjapan mata sebagai respon.“Bu Jingga tidak diberhentikan tapi dipindahkan ke divisi lain, backoffice.” Pak Kurnia melanjutkan.Jingga mengembuskan napas berat,