Share

Bertanggungjawab

“Menurut kronologis yang disampaikan ibu Jingga, dia memang ragu apakah kamar sahabatnya di nomor 325 atau 352 … tapi karena tidak bisa menghubungi ponsel ketiga sahabatnya yang mati kehabisan batre jadi ibu Jingga mencoba mencari tahu dengan mengetuk kamar bernomor 325 yang ternyata adalah kamar pak Biru yang tengah dalam pengaruh obat … begitu mendapat rekaman CCTV kami langsung mendatangi kamar ibu Geisha tapi dia dan timnya sudah keluar dari hotel … kami melakukan pencarian dan dari informasi yang kami terima secara langsung dari Managernya melalui sambungan telepon yang nomornya berhasil kami dapatkan dari data booking kamar—ternyata mereka sudah menyeberang pulau dengan alasan ibu Geisha harus segera berada di Jakarta untuk pekerjaan.”

Geisha langsung pergi setelah mendengar berita ini dari Biru melalui sambungan telepon dini hari tadi.

Ada perasaan lega menjalar di dada papi mendapati semua bukti tidak memberatkan putranya bahkan bisa dibilang kalau putranya adalah korban.

Tapi hati papi juga terenyuh melihat ekspresi papanya Jingga yang tampak begitu sedih karena mungkin beliau tahu kalau tidak akan ada keadilan untuk putrinya.

Di samping itu, beliau mendengar secara langsung dari Biru kalau sebelumnya Jingga masih perawan terbukti dari bercak darah di atas seprei dan hasil visum dari spesialis forensik menunjukkan kalau robeknya selaput dara Jingga karena kekerasan seksual.

Di Negara yang menjunjung tinggi adat ketimuran ini, bisa jadi Jingga akan kesulitan mendapatkan suami karena sudah bukan perawan lagi.

“Pak Reza … saya turut prihatin atas apa yang menimpa putri anda, saya juga memiliki seorang putri dan akan melakukan segala cara untuk mendapatkan keadilan tapi mohon maaf, Pak … ternyata putra saya juga tidak sadar melakukan itu … dia dalam pengaruh obat ….” Papi Yuna menghentikan kalimatnya, dia menoleh kepada Biru.

“Biru,” panggil papi membuat Biru mengarahkan tatapannya kepada beliau.

“Apa kamu bersedia menikah dengan Jingga?”

Mata Biru mengerjap dengan sering, mulutnya terbuka sedikit.

Dia tidak percaya dengan indra pendengarannya.

Dari mana papinya mendapat ide konyol tersebut?

Sama halnya dengan papa Reza yang melongo menatap papi Yuna.

Tidak berbeda dengan AKP Rizky, satu alisnya terangkat dia tidak setuju karena mengetahui kalau Jingga adalah tunangan sahabatnya.

“Bagaimana kalau masalah ini kita selesaikan secara kekeluargaan? Apa yang terjadi pada Jingga tidak bisa diperbaiki … Biru yang merenggut keperawanan Jingga jadi Biru yang harus menikahi Jingga.”

“Piii.” Biru memprotes.

“Kamu harus menikahi Jingga dan ajukan tuntutan terhadap Geisha … dia lah tersangka sebenarnya karena sudah memasukan obat ke minuman kamu.”

Biru mengusap wajahnya kasar, dia tidak mungkin membuat kekasihnya di Penjara dia mencintai Geisha.

Jangankan harus tinggal di jeruji besi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya—menginap di hotel yang bukan bintang lima saja—Geisha tidak akan mau.

Sesaat ruangan itu begitu hening, tapi isi kepala mereka berisik sekali terutama Biru.

“Jingga sudah bertunangan, tiga bulan lagi akan menikah … undangan memang belum disebar tapi persiapan sudah rampung hampir tujuh puluh persen … saya enggak tahu apakah tunangannya bisa menerima keadaan Jingga sekarang.”

Papa Reza kehilangan kekuatannya setelah melihat rekaman CCTV, dia tidak bisa memenjarakan Biru.

Terlebih Biru tampak menyesal dengan apa yang terjadi.

“Biru akan menikahi Jingga jika tunangannya tidak bersedia tapi Biru enggak akan nuntut Geisha, Pi.”

“Biru!” Papi Yuna berseru marah.

“Pi … sebelum Geisha memasukan obat itu ke minuman Biru, Geisha meminta kepastian hubungan kami … tapi Biru enggak bisa kasih karena mami enggak suka sama Geisha, Geisha sempet mengeluarkan lelucon tentang apakah kalau dia hamil anak Biru lalu mami akan memberi restu? Saat itu Biru enggak setuju dengan idenya.”

Biru berusaha menjelaskan kenapa Geisha berbuat nekat seperti ini.

“Jadi kamu menyalahkan mami dan membela pacar kamu itu?”

“Bukan gitu, Pi … Biru hanya menjelaskan kenapa Geisha sampai masukin obat ke minuman Biru.”

“Sebaiknya Pak Reza terima tawaran saya untuk menikahkan anak-anak kita, saya juga ingin memberi pelajaran kepada Biru yang terus-terusan membangkang saya dan maminya.”

Papi Yuna menggeram tertahan, setengah memaksa papa Reza.

Papa Reza juga berpikir kalau tidak adil bila Davian mendapatkan Jingga yang sudah tidak sempurna.

Beliau khawatir di kemudian hari kejadian ini justru akan menjadi bom waktu yang bisa menghancurkan pernikahan mereka dan melukai hati putrinya.

Berdasarkan atas pemikiran itu, papa Reza menganggukan kepala.

“Baiklah, Pak Yuna … saya setuju … kita nikahkan saja putra dan putri kita.”

***

Jingga menangis dalam pelukan papanya, berulang kali minta maaf tapi papa tidak bisa mengembalikan Jingga seperti dulu.

“Jingga ingin dia dipenjara, Paaaa … dia udah ngerusak Jingga.”

Jingga berujar sambil menangis tersedu.

“Sayang, coba kamu lihat dulu CCTV di beach club dan hotel ini.”

Jingga mengurai pelukan, dia mengusap air matanya kasar.

“Apa yang harus dilihat?”

Papa mengotak-ngatik ponsel untuk membuka folder rekaman CCTV yang sempat diberikan AKP Rizky padanya.

Setelah itu papa memberikan ponselnya kepada Jingga yang langsung mengarahkan tatap pada alat komunikasi canggih milik sang papa.

“Jadi, laki-laki yang melecehkan kamu itu namanya Bumi Xabiru Dewangga tapi sering dipanggil Biru … kaya nama kamu Langit Jingga tapi dipanggil Jingga … dia punya pacar namanya Geisha, Geisha yang aktris sama penyanyi terkenal itu lho … sedangkan Biru adalah dokter spesialis bedah onkologi di rumah sakit swasta terbaik di Jakarta, jadi Biru ini enggak direstui maminya pacaran sama Geisha … terus Geisha nekat masukin obat ke minuman Biru tanpa sepengetahuan Biru agar bisa mendapatkan anak dari Biru ….”

Kebetulan ketika papa menjelaskan hal tersebut bersamaan dengan rekaman CCTV menayangkan momen pada saat Geisha memasukan obat ke dalam minuman Biru.

“Geisha punya ide kalau dia hamil anak Biru mungkin maminya Biru bisa kasih restu.” Papa menyambung kalimatnya.

“Dan kebetulan sebelum sempat Geisha melakukan niat tersebut, dia dapet telepon dari Managernya untuk meeting … keluar lah dia dari kamar Biru dan enggak lama kamu mengetuk pintu kamar Biru yang sedang dalam pengaruh obat … Biru berpikir kalau kamu Geisha.” Papa mengakhiri penjelasannya.

“Tapi si Biru ini akan masuk penjara ‘kan, Pa?”

Jingga menatap Papa penuh harap.

“Gimana Papa mau penjarain dia kalau dia juga korban, sayang?”

“Jangan bilang kalau Papa mau berdamai? Apa yang mereka tawarkan sampai Papa mau ngalah?”

Papa mengembuskan napasnya.

“Biru bersedia bertanggung jawab, dia akan menikahi kamu.”

“Paaa, tiga bulan lagi Jingga menikah sama Davian … apa Papa lupa?”

“Enggak sayang, Papa enggak lupa … tapi apa Davian bersedia menerima keadaan kamu seperti ini? Papanya Davian juga petinggi POLRI sedangkan kamu tadi melaporkan kejadian ini di Kapolsek … mungkin Davian bisa menerima, tapi apa kedua orang tuanya masih bersedia menerima kamu? Lalu, apakah ini adil bagi Davian? Papa juga enggak mau suatu hari dalam pernikahan kamu—Davian mengungkit masalah ini yang akan menyakiti kamu.”

Jingga tidak percaya, alih-alih memenjarakan Biru—sang papa malah ingin menjadikan pria yang telah memerkosanya sebagai menantu.

“Kok jadi gini sih, Pa?” Jingga kembali menangis.

“Hanya ini satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah … coba kamu pikirkan lagi, Papa tau kamu sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan.”

***

“Ha … lo ….” Suara lirih Geisha menjawab panggilan telepon dari Biru.

“Kamu baik-baik aja, kan?”

Tentu saja pertanyaan Biru itu membuat Geisha menangis.

Dia merasa bersalah karena telah meninggalkan Biru begitu saja.

Geisha juga sudah mendapat informasi dari polisi yang menghubungi Managernya kalau dia tertangkap kamera CCTV sedang memasukan obat ke dalam minuman Biru.

“Biruuu, maafin akuuuu.” Tangis Geisha pecah.

“Iya, aku maafin kamu … aku enggak nuntut kamu … aku juga berusaha meyakinkan pihak dari gadis itu untuk enggak nuntut kamu.”

“Ayaaaaang.” Geisha mengerang memanggil nama kekasihnya.

Betapa beruntungnya dia memiliki kekasih yang begitu mencintai dan bersedia melindunginya.

“Aku mencintai kamu, aku ingin hidup sama kamu … aku ingin punya anak banyak dari kamu … aku memang sengaja masukin obat itu biar kita bercinta tanpa pengaman … aku berani mengambil risiko hamil dengan harapan mami kamu memberi restu … aku akan tutup mata dan telinga dengan apa yang akan mami kamu lakukan sama aku setelah kita menikah yang penting aku jadi istri kamu.”

Biru tidak langsung memberikan komentar, dia menunggu Geisha yang tengah terisak.

“Aku mencintai kamu, Biru … aku enggak tahu akan seperti ini jadinya.”

“Yang … aku minta maaf, impian kamu enggak akan pernah terwujud … aku harus menikahi Jingga untuk mempertanggungjawabkan perbuatan aku dan demi agar kamu bebas dari tuntutan ….”

“Apa?” Suara Geisha begitu lantang dengan mata membulat sempurna karena terkejut.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status