Share

Keputusan Sulit

Di waktu yang sama ketika papa Reza dan ayah Roni bertemu untuk membicarakan pembatalan pernikahan anak-anak mereka—di tempat berbeda Jingga mengajak Davian untuk bertemu.

Jingga memang harus segera memberitahu Davian mengenai musibah yang telah menimpanya.

Dia juga ingin tahu bagaimana respon Davian.

Jujur, hati kecil Jingga ingin Davian tetap mempertahankannya dan melanjutkan rencana pernikahan mereka.

Jingga sampai lebih dulu ke restoran yang telah ditentukan.

Gugup melanda, telapak tangannya sampai dingin dan basah.

Beberapa saat kemudian sosok pria jangkung bertubuh atletis berjalan tegap melewati pintu utama dengan masih menggunakan seragam Abdi Negaranya.

Begitu tampan dan gagah, memesona setiap kaum hawa yang melihat.

Davian melemparkan senyum manis membuat hati Jingga berdebar.

Pria itu adalah pria yang sangat Jingga cintai, pria yang selama dua tahun ini menemani Jingga melewati banyak momen.

Mereka tidak pernah bertengkar karena Davian tidak memiliki ego, pria itu juga begitu sabar menghadapi Jingga.

Meski berprofesi sebagai anggota Polisi yang dituntut untuk tegas, Davian malah memiliki kepribadian santai dan tenang juga humoris.

Dia tidak pernah mengatur Jingga untuk melakukan ini dan itu.

Jingga dibiarkan bebas mengambil keputusan dan Davian akan menghargai bila masih dalam koridor yang aman.

Meski Jingga sibuk sekali dengan pekerjaannya, Davian tidak pernah menuntut waktu Jingga.

Jika dia merindukan Jingga yang sedang tidak memiliki waktu untuk bertemu karena sibuk oleh pekerjaannya maka dia yang akan pergi menemui Jingga di kantornya atau menjemput Jingga pulang kerja.

Davian adalah pria sempurna yang suami-able sekali.

Rugi bagi Jingga yang harus melepaskan Davian.

“Hai babe.” Davian membungkuk untuk mengecup kepala Jingga.

Jantung Jingga semakin berdetak kencang.

Davian sepertinya belum mengetahui apapun perihal tragedi di Bali.

“Gimana liburannya?” Pria itu bertanya seraya mengangkat tangan memanggil pelayan.

Jingga tidak bersuara hanya tersenyum sebagai respon.

Dia memberi waktu kepada Davian untuk memilih menu makan malam terlebih dahulu.

“Kamu sakit?” Davian bertanya setelah pelayan pergi.

Pria itu merasa aneh karena kekasihnya tidak banyak bicara.

“Dav … ada yang mau aku omongin, tolong kamu dengerin dulu cerita aku sampai selesai ya.”

Melihat raut serius di wajah tunangannya membuat Davian menegakan punggung, menyimpan kedua tangan di atas meja.

Matanya fokus menatap Jingga.

“Kenapa sayang?” tanyanya kemudian.

Jingga meraup udara banyak-banyak sebelum akhirnya mulai menceritakan semuanya.

Davian penurut sekali, dia tidak menyela kalimat Jingga meski Jingga tahu kalau Davian ingin.

Tunangannya itu juga tidak merespon dengan ekspresi yang mungkin bisa melukai hati Jingga padahal Jingga bisa merasakan apa yang ada di hati Davian saat ini dari matanya yang menyiratkan banyak hal.

Ada marah, kesal, kecewa dan kegetiran yang terlihat jelas sampai Jingga juga bisa merasakannya.

Kalimat Jingga sempat terjeda karena pelayan mengantar makanan tapi Davian tetap tidak menyela, masih mampu bersabar mendengar cerita Jingga hingga selesai.

“Maafin aku Davian.” Jingga mengakhiri ceritanya.

Dia pun leluasa menumpahkan tangis.

Davian mengembuskan napas panjang, kedua tangannya terlipat di dada dengan punggung kembali bersandar pada sandaran kursi.

Sekarang Davian tidak berselera makan padahal tadi dia lapar sekali karena melewatkan makan siang.

Tatapannya dia buang ke arah lain, ke mana saja asal tidak menatap Jingga untuk menyembunyikan matanya yang basah.

Hancur adalah kata yang tepat menggambarkan perasaan Davian saat ini.

Jingga sudah tidak sempurna lagi tapi Davian masih mencintainya.

“Siapa namanya?” Davian bertanya dengan ekspresi berang seakan ingin membunuh pria yang telah melecehkan Jingga.

Dalam ceritanya, sengaja Jingga tidak menyebutkan nama Biru juga jabatan papinya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan karena dia hapal betul bagaimana karakter Davian.

Biar lah nanti Davian tahu dengan sendirinya setelah amarahnya mereda.

Jingga menggelengkan kepala, menutup mulut rapat-rapat.

“Siapa namanya!” bentak Davian sambil memukul meja dengan kedua tangan yang dikepal.

Davian tersulut emosi, matanya yang merah menatap tajam Jingga penuh kebencian.

Rasanya Jingga tidak mengenali siapa pria di depannya.

Orang- orang yang berada di sekitar meja mereka seketika menjadikan Jingga dan Davian sebagai tontonan.

“Siapa nama laki-laki yang sudah memperkosa kamu, Jingga?” Davian bertanya lagi sambil menggertakan giginya, dia menggeram tertahan.

Air mata Jingga semakin mengalir deras, dia masih teguh untuk tidak memberitahu Davian.

Davian bangkit dari kursi.

“Pernikahan kita batal!” katanya dengan emosi membuncah karena Jingga menutupi identitas si pelaku.

Davian jadi berpikir kalau Jingga memang ingin menikahi pria yang telah memperkosanya.

Entah alasannya apa, bisa jadi karena lebih tampan, lebih kaya atau apapun, setidaknya itu yang ada dalam pikiran Davian saat ini.

Davian pergi membawa amarahnya yang tak terbendung.

Meski Jingga tidak memberitahu siapa nama laki-laki itu tapi Jingga lupa kalau dia tadi menceritakan bahwa setelah diperkosa langsung pergi ke Polsek terdekat.

Mudah bagi Davian untuk mencari tahu ke Polsek mana Jingga pergi, dia tinggal menghubungi teman satu angkatannya sewaktu menempuh pendidikan Akpol yang kebetulan sekarang menjabat sebagai Kapolsek di salah satu Polsek di pulau Bali.

Di mejanya, Jingga menangis tersedu.

Ternyata Davian tidak sesuai harapan.

***

“Aku enggak mau kamu nikah sama perempuan ituuu … aku enggak mauuuu hiks … hiks … hiks ….”

Geisha memukul-mukul dada Biru menggunakan kedua tangannya yang dia kepal.

Biru tidak merasakan sakit, mungkin karena Geisha pun tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh.

Dia mencintai Biru.

“Hanya ini cara agar pihak Jingga enggak menuntut kamu, aku lakukan demi kamu.”

Biru mencekal kedua tangan Geisha dan membawanya melingkar di pinggang.

Dia kemudian memeluk Geisha erat.

Diam-diam Biru menemui Geisha di apartemennya sebelum mami dan papi pulang ke rumah.

Geisha balas memeluk Biru, dia terharu karena Biru tidak marah setelah mengetahui kalau dirinya biang masalah ini.

Pria itu malah mengorbankan diri untuk melindunginya.

“Apa enggak ada cara lain? Kita sogok aja keluarganya.”

Geisha mengurai pelukan, dia hentikan tangisnya ketika mengungkapkan ide yang menurutnya brilian.

“Papanya juga bukan orang sembarangan … beliau punya jabatan tinggi di Bank BUMN, mereka enggak butuh uang kita.”

Geisha mengesah, menghentakan kaki sambil menggaruk kepalanya.

“Sayaaang.” Biru menarik kedua tangan Geisha agar kekasihnya itu tidak menyakiti diri sendiri.

“Terus kita gimana?” Geisha melirih, menatap sendu Biru yang hatinya jadi berdenyut ngilu.

Biru mengulurkan tangannya mengusap air mata di pipi Geisha.

“Kita harus berpisah.” Biru balas menjawab dengan suara lirih dan mata basah oleh buliran kristal.

“Enggak mauuu, aku mencintai kamu … aku masukin obat ke minuman kamu biar kita bisa menikah bukan berpisah … aku cuma mau sama kamu.” Tangis Geisha semakin kencang saja.

Biru kembali memeluk Geisha.

“Aku juga mencintai kamu, tapi aku harus bertanggungjawab agar kamu bebas dari tuntutan … aku enggak akan maafin diri aku kalau kamu sampe masuk penjara.”

Biru mengungkapkan fakta agar Geisha mengerti.

Geisha mengurai pelukannya lagi.

“Kamu menikahi perempuan itu hanya karena kamu telah merenggut keperawanannya, kan?”

Biru menganggukan kepala.

“Jadi kamu bisa ceraikan dia setelah setahun menikah, kalau status dia janda nanti enggak akan ada yang mempermasalahkan dia bukan perawan.”

Mata Biru mengerjap kemudian tercenung memikirkan ucapan Geisha barusan.

Ketika menyanggupi untuk menikahi Jingga, dia tidak berpikir sampai ke sana.

Tapi apakah tidak kejam kalau dia menikahi Jingga selama setahun hanya untuk memberinya status lalu menceraikannya?

Jika seperti itu apakah masih masuk ke dalam bertanggungjawab?

Jingga juga memiliki tunangan, Biru belum tahu bagaimana respon tunangannya.

Dan bila sekarang tunangannya Jingga tidak mau menerima Jingga sebagai istri karena sudah bukan perawan lagi, mungkin ketika dia dan Jingga bercerai nanti—tunangannya Jingga akan mau menerima Jingga yang sudah berstatus janda.

“Sayaaang …,” panggil Geisha yang entah sudah panggilan ke berapa karena Davian sibuk membuat rencana.

“Ya sayang?” sahut Biru refleks menoleh kepada Geisha.

“Kamu nikahin dia setahun terus ceraikan dia, ya?”

Geisha memohon dengan suara manja, tentu dia tidak bisa memaksa Biru untuk tidak menikahi Jingga karena pernikahan itu bisa menyelamatkannya dari jeratan hukum.

“Aku enggak bisa janji, tapi kalau Jingga yang menggugat cerai lebih dulu … akan aku kabulkan.”

Biru sudah mempertimbangkan, dia tidak bisa berbuat licik seperti itu meski mencintai Geisha.

Dia harus bertanggungjawab hingga tuntas namun bila di tengah-tengah pernikahan mereka—jingga tidak bisa menerimanya lalu mengajukan cerai maka Biru dengan senang hati akan mempermudah proses cerai tersebut.

“Kamu tuh gimana sih, sebenarnya kamu cinta enggak sama aku? Kenapa kamu malah ingin menikah sama si Jingga itu?” Geisha bangkit dari sofa besar di apartemennya.

Dia marah sampai terdengar suara hentakan setiap kali melangkahkan kakinya menjauh.

“Sayang.” Biru mengejar Geisha ke kamar.

“Kamu tahu aku enggak punya pilihan, kan?”

Biru menarik tangan Geisha hingga sang kekasih membalikan badan.

“Percuma aku bebas kalau harus kehilangan kamu.”

Geisha masih merengek tidak terima dengan keputusan Biru.

“Kita harus memilih … kamu masuk penjara atau kita berpisah dan aku memilih kita berpisah agar kamu enggak masuk penjara, kamu bisa meneruskan karir kamu … aku tahu perjuangan kamu untuk sampai di titik ini ….”

Geisha melepaskan cekalan tangan Biru lalu memeluknya.

“Tapi kita bisa selingkuh, kan? Kamu bisa jadiin aku istri simpanan.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status