“Eeeeh, pengantin baru … pagi sekali bangunnya.” Mama menyapa dengan kicauannya begitu Jingga dan Biru tiba di ruang makan.
Mereka sepakat untuk turun ke ruang makan bersama agar mama papa tidak banyak bertanya dan overthinking.“Pagi Ma… Pa,” sapa Biru tapi tidak dengan Jingga yang langsung duduk di kursi.“Pagi ….” Mama dan papa kompak menyahut.“Enggak tidur di sofa kamu ‘kan?” Papa yang bertanya dengan maksud menggoda anak dan menantunya.Biru hanya tersenyum menjawab ucapan Papa.Dia memang tidur di single sofa with footrest yang ada di kamar Jingga dengan alasan Jingga masih belum nyaman tidur satu ranjang dengan orang asing.Padahal orang asing itu adalah suaminya.“Jingga,” panggil mama kemudian mengendik memberi kode agar Jingga melayani Biru.“Biru udah besar, Ma … bisa makan sendiri.” Jingga bergumam.“Jinggaaaa.” Papa bukan sedang memanggil melainkan meJingga belum pernah bepergian mengendarai motor dalam jarak jauh. Jadi ketika Biru menawarkan pengalaman tersebut, Jingga cukup antusias. Dia bangun pagi sekali mempersiapkan pakaiannya yang cocok digunakan ke daerah dingin. “Kamu mau ke mana?” Biru bertanya melihat Jingga memasukan banyak pakaian ke dalam koper. “Katanya mau ke Puncak, naik motor.” Biru tertawa pelan, dia kemudian berjongkok di depan Jingga yang tengah bersila di lantai. “Koper ini mau di simpen di mana? Kita ‘kan naik motor?” Ditanya seperti itu, Jingga jadi bingung. “Terus gimana donk bawa bajunya?” “Jangan bawa banyak-banyak.” “Memangnya kita mau berapa hari di sana?” Biru tampak berpikir. “Terserah, kamu mau berapa hari di sana?” “Aku takutnya betah, jadi bawa banyak baju.” Mendengar hal tersebut, entah kenapa hati Biru menghangat. Jingga sa
“Geser,” kata Biru sembari mendorong tubuh Jingga ke samping menggunakan sisi tubuhnya agar Jingga menjauh dari meja kasir. Jingga melihat Biru mengeluarkan dompet. “Aku aja yang bayar, ini coklat aku.” Jingga tidak enak hati kalau harus semua Biru yang bayar, soalnya tadi pria itu sudah mentraktirnya makan siang. “Enggak apa-apa, aku aja yang bayar … nanti aku minta ya coklatnya.” Pria itu menaik turunkan kedua alisnya berkali-kali menunjukkan tampang jenaka sambil tersenyum membuat Jingga tidak ada pilihan lain selain membiarkan Biru yang membayar coklatnya. “Di sebelah ada factory outlet, kita beli baju di sana ya?” kata Biru usai membayar belanjaan Jingga. Jingga mengangguk saja mengikuti langkah Biru keluar dari gedung resto yang bersatu dengan pabrik coklat menuju factory outlet. Karena jaraknya dekat sekali, Biru dan Jingga berjalan kaki ke sana. Keduanya memasuki fac
Tanpa terasa hari sudah malam. Jingga sudah selesai berendam gantian Biru yang masuk ke dalam kamar mandi. Tidak lama pria itu keluar dengan menggunakan pakaian tidur yang berupa sweater dan celana training. “Mau makan di luar apa di resto resort?” Biru memberikan tawaran untuk membuat Jingga nyaman. Sekarang prioritas Biru adalah Jingga. “Di taman deket privat pool ada tempat pembakaran terus aku liat di buku menu ada menu barbeque party dengan minimal empat porsi ….” “Kamu mau itu?” Belum selesai Jingga bicara, Biru sudah langsung bertanya. “Tapi sayang ya kebanyakan, nanti siapa yang makan?” “Kita kasih ke petugas hotel aja.” Biru melangkah mendekati meja di mana sebuah pesawat telepon berada di atasnya. Pria itu kemudian menghubungi bagian resto untuk memesan paket barbeque lengkap beserta kokinya. Beberapa menit kemudian dua orang petugas hotel yang Biru teba
Keesokan paginya Jingga bangun dalam pelukan Biru sementara pria itu masih terlelap. Napas Biru menerpa wajahnya, jarak wajah mereka memang sangat dekat jika Jingga mendongak seperti ini. Dan meski terlelap, Biru memeluknya erat sekali. Selama beberapa saat Jingga melamun, memikirkan kembali ucapan Biru tadi malam yang mengatakan bahwa dia memang mencintai Geisha dan harus melupakan kekasihnya itu karena sedang berusaha mencintainya. Sekarang Jingga mengerti kalau semua yang dilakukan Biru mulai dari perhatian sampai physical touch adalah untuk membuatnya bisa melupakan Geisha dan mensugesti perasaan agar bisa mencintainya. Apakah dia juga perlu melakukan itu kepada Biru? Jingga memang tersentuh dengan perhatian Biru tapi untuk mencintainya, dia tidak tahu apakah bisa. Ketika mereka berciuman tadi malam, semua rasa campur aduk. Jingga merasa bersalah terhadap Davian kemudian ingin m
Sinar matahari sore menembus masuk dari bagian belakang kamar melewati dinding dan pintu kaca yang tirainya terbuka. Biru hendak menutup tirai tapi melihat kolam air hangat yang belum dia sentuh semenjak tiba di sini membuatnya ingin berendam sebentar sambil menikmati senja. “Aku berenang ya,” kata Biru memberitahu Jingga. “Kamu mau berenang juga enggak?” sambungnya bertanya. Jingga belum menjawab, dia malah berjalan ke area kolam renang diikuti Biru yang kemudian membuka kaos dan celananya menyisakan boxer. “Aku enggak bawa baju renang.” Jingga bergumam. “Aku juga,” ujar Biru sebelum akhirnya menceburkan diri ke kolam. “Ayo,” ajaknya seraya mengusap wajah dan rambut yang telah basah. “Anget lho airnya.” Biru membujuk. Jingga sebenarnya ingin sekali, dia sudah merencanakan akan berenang semenjak pertama kali melihat kolam air hangat itu. Kenapa juga dia lupa membel
“Yaaa … yaaa ….” Cinta mengesah, tiba-tiba mobil listrik mewah hadiah ulang tahun dari papi berhenti karena mesinnya mati. Beruntung Cinta masih sempat menepi sebelum mobil benar-benar berhenti. Jalanan yang sepi dan hujan cukup deras membuat Cinta berdecak lidah kesal. Dia tidak mengerti tentang mobil, hapenya juga mati karena kehabisan baterai. Lengkap sudah penderitaannya. Kedua tangannya mencengkram stir kuat, Cinta sedang berpikir. Mobilnya adalah mobil listrik, mungkin ada salah satu kabel yang lepas yang menyebabkan mesin mobil mati. Baiklah, dia hanya perlu mencari kabel yang terlepas itu. Cinta membulatkan tekadnya untuk turun dan membuka kap mobil di tengah-tengah guyuran hujan. Dia menarik handle pintu lalu keluar dari dalam mobil setelah menekan tombol dekat stir untuk membuka kap mobil. Dengan kekuatan penuh Cinta mengangkat kap mobil hingga terbuka lebar
“Baru bangun kamu?” Pertanyaan mami membuat Jingga yang tengah menata lauk pauk di atas meja makan menoleh mengikuti arah pandang beliau. Netra Jingga menangkap sosok Biru tengah bersandar setengah bagian tubuhnya pada dinding sambil melipat kedua tangan di dada. Rambut Biru sedikit berantakan ala bangun tidur memberikan kesan nakal dan berhasil mencetuskan desiran di sekujur tubuh Jingga. “Iya … terus laper,” sahut Biru berjalan mendekat. “Ini hampir semuanya Jingga yang masak, Mami malah ghibah sama Cinta tadi.” Mami bangga sekali memiliki menantu yang pandai memasak. “Oh ya? Kamu jago masak juga?” Biru mengambil perkedel jagung dari atas piring saji kemudian melahapnya. “Enggak, resep mami semua kok … aku cuma bantu masakin aja.” Jingga menuang air dari jar ke dalam gelas kemudian memberikannya kepada Biru. “Enak.” Biru memuji perkedel jagung buatan Jingga. “Minum dulu ab
“Nak Biru enggak usah angkut-angkut, biar pak Ujang aja yang bawa koper itu ke mobil …,” kata mama Irma agar menantu kesayangan kerepotan. “Enggak apa-apa, Ma … biar cepet,” balas Biru seraya keluar dari dalam kamar Jingga sembari menarik sebuah koper. “Jingga … dilarang donk, suaminya … dokter bedah loh itu suaminya, tangannya harus dijaga.” Mami masuk lebih dalam ke kamar Jingga di mana sang putri tengah merapihkan barang-barangnya. “Mama lebay, lagian dia cowok … udah seharusnya bantu-bantu.” Jingga mengatakannya tanpa menatap wajah mama. Dia sibuk memasukan barang ke dalam plastik container besar. “Mau kamu bawa semua barang-barang kamu?” Mama yang sudah duduk di tepi ranjang bertanya, beliau membantu Jingga melipat pakaian untuk dimasukan ke dalam koper. “Enggak, cuma sebagian aja … siapa tahu nanti Jingga pulang ke sini atau mungkin rumah tangga Jingga enggak berhasil.” Jingga men