Tanpa terasa hari sudah malam.
Jingga sudah selesai berendam gantian Biru yang masuk ke dalam kamar mandi.Tidak lama pria itu keluar dengan menggunakan pakaian tidur yang berupa sweater dan celana training.“Mau makan di luar apa di resto resort?” Biru memberikan tawaran untuk membuat Jingga nyaman.Sekarang prioritas Biru adalah Jingga.“Di taman deket privat pool ada tempat pembakaran terus aku liat di buku menu ada menu barbeque party dengan minimal empat porsi ….”“Kamu mau itu?” Belum selesai Jingga bicara, Biru sudah langsung bertanya.“Tapi sayang ya kebanyakan, nanti siapa yang makan?”“Kita kasih ke petugas hotel aja.” Biru melangkah mendekati meja di mana sebuah pesawat telepon berada di atasnya.Pria itu kemudian menghubungi bagian resto untuk memesan paket barbeque lengkap beserta kokinya.Beberapa menit kemudian dua orang petugas hotel yang Biru tebaKeesokan paginya Jingga bangun dalam pelukan Biru sementara pria itu masih terlelap. Napas Biru menerpa wajahnya, jarak wajah mereka memang sangat dekat jika Jingga mendongak seperti ini. Dan meski terlelap, Biru memeluknya erat sekali. Selama beberapa saat Jingga melamun, memikirkan kembali ucapan Biru tadi malam yang mengatakan bahwa dia memang mencintai Geisha dan harus melupakan kekasihnya itu karena sedang berusaha mencintainya. Sekarang Jingga mengerti kalau semua yang dilakukan Biru mulai dari perhatian sampai physical touch adalah untuk membuatnya bisa melupakan Geisha dan mensugesti perasaan agar bisa mencintainya. Apakah dia juga perlu melakukan itu kepada Biru? Jingga memang tersentuh dengan perhatian Biru tapi untuk mencintainya, dia tidak tahu apakah bisa. Ketika mereka berciuman tadi malam, semua rasa campur aduk. Jingga merasa bersalah terhadap Davian kemudian ingin m
Sinar matahari sore menembus masuk dari bagian belakang kamar melewati dinding dan pintu kaca yang tirainya terbuka. Biru hendak menutup tirai tapi melihat kolam air hangat yang belum dia sentuh semenjak tiba di sini membuatnya ingin berendam sebentar sambil menikmati senja. “Aku berenang ya,” kata Biru memberitahu Jingga. “Kamu mau berenang juga enggak?” sambungnya bertanya. Jingga belum menjawab, dia malah berjalan ke area kolam renang diikuti Biru yang kemudian membuka kaos dan celananya menyisakan boxer. “Aku enggak bawa baju renang.” Jingga bergumam. “Aku juga,” ujar Biru sebelum akhirnya menceburkan diri ke kolam. “Ayo,” ajaknya seraya mengusap wajah dan rambut yang telah basah. “Anget lho airnya.” Biru membujuk. Jingga sebenarnya ingin sekali, dia sudah merencanakan akan berenang semenjak pertama kali melihat kolam air hangat itu. Kenapa juga dia lupa membel
“Yaaa … yaaa ….” Cinta mengesah, tiba-tiba mobil listrik mewah hadiah ulang tahun dari papi berhenti karena mesinnya mati. Beruntung Cinta masih sempat menepi sebelum mobil benar-benar berhenti. Jalanan yang sepi dan hujan cukup deras membuat Cinta berdecak lidah kesal. Dia tidak mengerti tentang mobil, hapenya juga mati karena kehabisan baterai. Lengkap sudah penderitaannya. Kedua tangannya mencengkram stir kuat, Cinta sedang berpikir. Mobilnya adalah mobil listrik, mungkin ada salah satu kabel yang lepas yang menyebabkan mesin mobil mati. Baiklah, dia hanya perlu mencari kabel yang terlepas itu. Cinta membulatkan tekadnya untuk turun dan membuka kap mobil di tengah-tengah guyuran hujan. Dia menarik handle pintu lalu keluar dari dalam mobil setelah menekan tombol dekat stir untuk membuka kap mobil. Dengan kekuatan penuh Cinta mengangkat kap mobil hingga terbuka lebar
“Baru bangun kamu?” Pertanyaan mami membuat Jingga yang tengah menata lauk pauk di atas meja makan menoleh mengikuti arah pandang beliau. Netra Jingga menangkap sosok Biru tengah bersandar setengah bagian tubuhnya pada dinding sambil melipat kedua tangan di dada. Rambut Biru sedikit berantakan ala bangun tidur memberikan kesan nakal dan berhasil mencetuskan desiran di sekujur tubuh Jingga. “Iya … terus laper,” sahut Biru berjalan mendekat. “Ini hampir semuanya Jingga yang masak, Mami malah ghibah sama Cinta tadi.” Mami bangga sekali memiliki menantu yang pandai memasak. “Oh ya? Kamu jago masak juga?” Biru mengambil perkedel jagung dari atas piring saji kemudian melahapnya. “Enggak, resep mami semua kok … aku cuma bantu masakin aja.” Jingga menuang air dari jar ke dalam gelas kemudian memberikannya kepada Biru. “Enak.” Biru memuji perkedel jagung buatan Jingga. “Minum dulu ab
“Nak Biru enggak usah angkut-angkut, biar pak Ujang aja yang bawa koper itu ke mobil …,” kata mama Irma agar menantu kesayangan kerepotan. “Enggak apa-apa, Ma … biar cepet,” balas Biru seraya keluar dari dalam kamar Jingga sembari menarik sebuah koper. “Jingga … dilarang donk, suaminya … dokter bedah loh itu suaminya, tangannya harus dijaga.” Mami masuk lebih dalam ke kamar Jingga di mana sang putri tengah merapihkan barang-barangnya. “Mama lebay, lagian dia cowok … udah seharusnya bantu-bantu.” Jingga mengatakannya tanpa menatap wajah mama. Dia sibuk memasukan barang ke dalam plastik container besar. “Mau kamu bawa semua barang-barang kamu?” Mama yang sudah duduk di tepi ranjang bertanya, beliau membantu Jingga melipat pakaian untuk dimasukan ke dalam koper. “Enggak, cuma sebagian aja … siapa tahu nanti Jingga pulang ke sini atau mungkin rumah tangga Jingga enggak berhasil.” Jingga men
Satu persatu makanan dan minuman pesanan Cinta dan Davian datang. Mereka menghentikan sejenak obrolan absurd itu untuk mengisi perut. Dan dilanjutkan usai makanan di piring habis. Karena enggan berpisah dengan Davian, Cinta sampai memesan satu minuman lagi beserta dessert. “Kamu boleh pulang malem?” Pertanyaan Davian layaknya sebuah peringatan bagi Cinta. Cinta melirik arlojinya, tanpa terasa sudah jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Gawat, mami bisa marah. Melihat ekspresi wajah Cinta yang memucat membuat Davian tahu kalau sang gadis tengah didera panik. “Kita pulang aja ya, saya anter ayo … nanti saya jelasin sama orang tua kamu.” “Eeeh, jangan … nanti mami papi mikir yang enggak-enggak tentang Ayang, eh ….” Kelopak mata Cinta mengerjap gugup, melipat bibirnya ke dalam dia kelepasan lalu memalingkan wajah agar Davian tidak melihat pipinya yang telah mero
“Ada apa sih kok rame?” tanya Jingga pada teman-teman yang berkerumun, dia melongokan kepala ke lantai bawah dari pagar pembatas beton di lantai dua. “Ada artis, Bu.” Seorang marketing kartu kredit menjawab. “Artis siapa?” Jingga bertanya sembari berusaha melongokan kepala lebih jauh, mencari tahu secara langsung. “Geisha … aktris dan penyanyi terkenal itu,” jawab Melissa yang berdiri paling dekat dengan pagar pembatas. Deg. Jingga memiliki firasat buruk. Mereka kemudia turun berbondong-bondong untuk meminta tanda tangan. “Bu Jingga, ada yang nyari.” Seorang sekuriti yang akhirnya berhasil naik ke lantai dua memberitahu. Jingga menoleh, menatap sekuriti itu beberapa saat. Tentu saja kedatangan Geisha ke sini bukan untuk membuat kartu kredit melainkan pasti untuk menemuinya. Semenjak mengetahui Geisha menghubungi Biru ketika di Puncak beberapa minggu lalu, Jingga
Cinta yang polos senang-senang saja sewaktu Davian mengajaknya ke apartemen. Dia memindai apartemen Davian yang cukup luas yang terdapat dua kamar, ruangan televisi dan dapur kecil lengkap dengan segala peralatan masak juga ada meja makan yang terletak di samping dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan kota Jakarta. Selagi Davian masak, Cinta duduk di salah satu kursi meja makan memandang ke luar. “Ayang kenapa tinggal di apartemen?” tiba-tiba Cinta bertanya tanpa mengalihkan tatapannya dari luar dinding kaca. “Malu, udah umur tiga puluh tahun masih tinggal sama orang tua … lagian capek disuruh nikah terus.” Davian terdengar menggerutu. Cinta menoleh bersamaan dengan Davian yang selesai membuat makan malam. Pria itu berjalan mendekat membawa dua buah piring besar. “Waaaaaa … Seriusan Ayang bisa buat chicken cordon blue?” Mata Cinta berbinar takjub. Davian tertawa pelan sembari kembali k