Share

(Bukan) Pernikahan Impian
(Bukan) Pernikahan Impian
Penulis: Nita Ve

Bab 1. Pertemuan dan Perpisahan

Hiasan bunga mawar memenuhi kamar pengantin itu. Kelopaknya pun bertaburan di tempat tidur. Warna merah muda mendominasi, mulai dari dinding, gorden, selimut, dan berbagai benda lainnya. Sementara di depan meja rias, sang calon pengantin tengah menatap pantulan dirinya di cermin. Terukir jelas senyuman kebahagiaan di wajahnya. Di belakangnya duduk kedua sahabat yang mendampingi saat-saat mendebarkan itu.

"Gue nggak nyangka, akhirnya hari ini datang juga," ucap Vanella Rose Karina sembari memegang tangan Ranti dan Tara sahabatnya yang sedari tadi berada di pundaknya.

Hari itu memang adalah hari yang dinantikan Vanella sejak lama, di mana dia akan menikah dengan Malvin Prawira, sahabatnya ketika SMA. Perjuangan mereka tidaklah mudah. Malvin yang telah jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama telah berkali-kali ditolaknya. Bahkan dulu dia sangat membenci Malvin karena baginya Malvin hanyalah seorang siswa yang hobi bolos dan dikenal bobrok. Apalagi cara yang digunakan untuk mendekatinya justru membuatnya risih. Namun, ketika Malvin mendekat sebagai sahabat, justru perlahan Vanella mulai mengenal sisi lain Malvin di mana lelaki itu ternyata begitu baik, tulus, dan sederhana, meski dia berasal dari keluarga kaya. Benih-benih cinta pun mulai tumbuh. Namun, dia dan Malvin sama-sama enggan mengungkapkan hingga masa SMA berakhir.

Sempat berhenti berkomunikasi dan tidak pernah bertemu lagi setelah lulus SMA karena Vanella melanjutkan pendidikan ke salah satu perguruan tinggi di Jakarta, Vanella pulang setelah pendidikannya hampir selesai. Dia kembali untuk mencari Malvin. Jarak yang jauh itulah yang membuatnya sadar bahwa dia mencintai Malvin. Apalagi setelah mengetahui semua pengorbanan yang diam-diam dilakukan Malvin untuknya selama masa SMA.

Hendak mengungkapkan perasaan, jarak justru kembali menjadi penghalang. Malvin menghilang. Namun, Vanella tidak menyerah dan terus menanti ketidakpastian itu. Begitu kembali, Malvin mengatakan bahwa dia baru saja dari luar negeri mengobati penyakit kankernya. Saat itulah mereka saling mengungkapkan rasa yang selama ini terpendam dan memutuskan untuk segera menikah.

Hari ini, semua pengorbanan dan ujian itu akan berakhir dengan akad dan tertulis abadi pada buku nikah. Kebaya berwarna merah muda Vanella akan menjadi saksi bisu dari momen membahagiakan itu. Meski hari ini hanya akad nikah saja. Resepsi mewah baru akan dilaksanakan seminggu setelahnya.

"Van, gue ikut terharu tau gak. Akhirnya sahabat gue yang udah dari bayi sama gue ini akan segera jadi istri orang. Berasa cepet banget ya lo gedenya." Ranti menyeka air mata yang menitik di pipinya.

"Tapi kayanya bentar lagi Malvin harus stok kesabaran sebanyak-banyaknya karena nikahin cewek segalak Vanella," ledek Tara.

"Iiih Tara! Kalau udah nikah mana berani gue galak. Ntar jadi istri durhaka gue. Dan lo, Ran. Jangan nangis dulu dong. Nanti jangan-jangan pas gue akad lo tersedu-sedu lagi. Tahan dong. Bentar lagi kan lo juga ngrasain momen kaya gini sama Alby."

"Makanya gue mau nyaksiin lo dulu buat pembelajaran gue nanti."

"Lo mah enak bentar lagi nyusul Vanella, Ran. Lah gue?"

"Tenang, bentar lagi juga akan dateng pangeran yang jemput lo dan langsung bawa lo ke KUA kok. Panjangin dikit dong rambut lo, masa dari dulu pendek gini. Kan cowok-cowok jadi ngira lo tomboi," ujar Ranti sembari mengalungkan tangannya pada bahu Tara.

"Apa hubungannya. Ini kan style gue."

Vanella menggeleng sambil tersenyum. "Kalian ini udah berhasil ngalihin pikiran gue. Jadi lebih tenang rasanya. Dari tadi detak jantung gue gak karuan kaya kereta api."

"Vanella....!" panggil Bu Selina, ibu Vanella yang mengetuk pintu kamar Vanella.

"Iya, Bu. Masuk aja."

Bu Selina masuk dengan senyum lebarnya, lalu duduk di samping Vanella. "Wah cantik banget anak ibu. Pasti deg-degan ya dari tadi?"

"Iya nih, Bu. Andai aja ayah masih ada ya, Bu. Pasti ayah juga akan muji Vanella. Sayang banget pas momen bahagia ini ayah nggak ada." Vanella menunduk sedih.

Bu Selina mengangkat dagu Vanella."Jangan sedih dong, sayang. Ayah kamu lagi menyaksikan dari sana. Di sini kan masih ada ibu. Ada om kamu juga nanti yang akan gantiin posisi sebagai wali nikah kamu. Pokoknya kamu harus tersenyum bahagia hari ini. Tuh calon suami kamu udah dateng."

"Lho, Malvin udah dateng, Bu?" Vanella begitu antusias.

"Iya, sayang. Ya udah ibu keluar dulu, ya. Nanti ibu panggil lagi. Ranti, Tara, titip Vanella dulu, ya. Tolong ditenangin dulu."

"Siap, Tante!" jawab Ranti dan Tara.

Setelah Bu Selina keluar, Ranti dan Tara merapatkan duduknya pada Vanella sembari menggenggam tangan sahabat mereka yang begitu dingin karena tegang itu.

Sementara itu di luar keluarga Vanella tengah menyambut kedatangan keluarga Malvin. Ada yang janggal. Malvin hanya datang bersama Bu Kirana, sang ibu. Tidak tampak batang hidung ayahnya di sana. Mata Bu Kirana pun terlihat sembap. Malvin juga terlihat aneh. Wajahnya terlihat datar dan tatapannya begitu dingin. Padahal biasanya dia selalu tersenyum. Apalagi dia telah lama menantikan hari bahagia ini. Hal itu membuat senyum bahagia Bu Selina memudar dan menimbulkan kerutan di dahinya.

"Bu, kok Pak Gibran gak ada? Ibu juga kelihatan sedih. Ada apa? Semuanya baik-baik aja, kan?" tanya Bu Selina usai bersalaman dan melakukan cipika cipiki dengan calon besannya.

"Nanti Ibu juga akan tau. Sebelumnya saya mau minta izin untuk menemui Vanella sebentar boleh, Bu?"

Tanda tanya semakin mengerumuni pikiran Bu Selina. "Bo—boleh, Bu. Silakan. Kamarnya ada di atas."

Bu Selina memperhatikan setiap langkah Bu Kirana yang menaiki tangga. Tampak sesekali Bu Kirana mengusap air matanya. Kecemasan pun mulai terasa.

"Vanella, ini mama, calon mertua kamu. Apa mama boleh masuk?"

Vanella yang asyik berbincang dengan kedua sahabatnya terkejut mendengar suara Bu Kirana.

"Iya, Ma. Masuk aja."

"Van, ada apa sih kok ibu mertua lo malah ke sini? Bukannya lo yang harusnya keluar buat ijab kabul?" Tara heran.

Vanella mengangkat bahunya tanda tidak tahu.

"Nak, mama cuma mau ngasih tau permintaan Malvin. Selama ijab kabul, kamu di sini dulu, ya. Setelah selesai, kamu baru boleh keluar."

Vanella bertukar pandang dengan kedua sahabatnya, lalu menatap heran sang calon mertua. "Kenapa mendadak begini, Ma? Sebelumnya Malvin gak minta kaya gini. Ya emang sebagian orang begitu sih pernikahannya, tapi aku pikir aku sama Malvin akan bisa berdampingan selama ijab kabul."

"Malvin penginnya seperti itu. Kamu bisa turuti permintaan dia, kan?"

"Ya udah, Ma. Aku setuju."

Bu Kirana mengusap lembut pipi Vanella. "Makasih, ya. Kamu tolong sabar dulu nunggu di sini sampai akadnya selesai. Oh ya, ngomong-ngomong kamu cantik hari ini. Mama seneng bakalan punya menantu secantik kamu."

Vanella tersenyum. "Iya dong, Ma. Anak Mama kan pinter milihin calon mantu."

"Kamu bener. Ya udah mama keluar dulu, ya. Berdoa aja semoga ijab kabulnya lancar."

"Iya, Ma. Pasti."

Setelah semua siap, akhirnya ijab kabul pun akan dimulai. Pak penghulu mengulurkan tangan.

"Tunggu dulu, Pak. Ada yang mau saya sampaikan."

"Ada apa Nak Malvin?"

"Saya sebenarnya bukan Malvin. Saya kembarannya, Marvino Prawira," ucap lelaki itu sambil berbisik agar tidak didengar para tamu sehingga berisiko menimbulkan kegaduhan. Meski saat itu yang hadir hanyalah beberapa kerabat dekat saja. Tidak ada para tetangga dan orang asing lainnya.

Bu Selina yang duduk di belakang pak penghulu mendengarnya hingga bibirnya ternganga. "A—apa maksud kamu?"

"Malvin sedang kritis di rumah sakit karena penyakit kankernya. Jadi Marvino yang akan menggantikan posisi Malvin. Dia adalah kembaran Malvin yang sedari kecil tinggal bersama neneknya di Jakarta," terang Bu Kirana dengan lirih.

"Apa-apaan ini! Mana bisa Malvin digantikan orang lain? Walaupun wajah mereka sama, tapi mereka adalah orang yang berbeda. Yang dicintai anak saya itu Malvin, bukan Marvino. Kenal dia aja enggak. Mana mungkin saya akan membiarkan anak saya menikahi laki-laki yang gak dia kenal," protes Bu Selina sambil meneteskan air mata.

Bu Kirana menggenggam tangan Bu Selina. "Saya mohon, Bu. Jangan cegah pernikahan ini. Ini juga atas permintaan Malvin. Saya akan Vanella akan mengerti itu."

"Nggak! Saya nggak akan membiarkan pernikahan ini terjadi tanpa persetujuan Vanella. Dia harus tau soal ini." Bu Selina beranjak dari duduknya dan bergegas menaiki tangga menuju kamar Vanella.

Para tamu yang hadir mulai saling berbisik. Mereka bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Vanella, cepet ikut ibu turun ke bawah," ujar Bu Selina yang langsung masuk ke kamar putrinya dan menarik tangan gadis itu.

"Ada apa ini, Bu? Ibu kenapa? Apa yang terjadi?"

Ranti dan Tara mengikuti kedua orang itu dengan bingung.

Bu Selina baru melepaskan tangan Vanella setelah sampai di hadapan penghulu.

"Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" Vanella menatap orang-orang di sekitarnya.

"Bu Kirana, tolong jelaskan semuanya pada Vanella dan seluruh tamu yang hadir di sini!" tegas Bu Selina.

"Biar saya yang bicara," sahut Marvino yang berdiri di hadapan Vanella.

"Saya bukan Malvin Prawira, tapi Marvino Prawira, saudara kembar Malvin."

Fokus Vanella langsung tertuju pada lelaki itu. Dia mengamati dengan detail dari atas sampai bawah. Terlihat sama seperti Malvin, tetapi memang model rambutnya sedikit berbeda, apalagi tatapannya. Malvin selalu terlihat konyol hingga dengan melihat tatapannya saja bisa membuat Vanella tertawa, tetapi lelaki ini terlihat begitu dingin.

"Ka—kamu bukan Malvin? Enggak! Kamu pasti bercanda kan, Vin? Tolong jangan bercanda di momen sakral ini. Lagian Malvin gak punya saudara kembar."

Marvino menyeringai menatap Vanella. "Kalian harusnya menikah hari ini, tapi dia belum jujur sepenuhnya sama kamu. Aku benar-benar Marvino, saudara kembarnya Malvin. Aku dari kecil memang tinggal bersama nenekku di Jakarta karena nggak ada lagi anak nenek yang nemenin nenek di sana. Beda sama Malvin yang dari dulu tinggal sama mama papa. Mungkin Malvin nggak pernah cerita karena dia selalu benci sama aku. Dia nggak pernah menganggap aku ada. Udah cukup itu aja yang aku ceritain."

"Vino benar, Vanella. Dia memang anak mama, saudara kembar Malvin," sahut Bu Kirana.

"Terus di mana Malvin? Kenapa laki-laki ini yang ada di sini? Aku mau nikah sama Malvin, Ma. Bukan orang lain."

"Malvin ada di rumah sakit. Sebenarnya saat dia pulang dari luar negeri dan nemuin kamu waktu itu, penyakit kankernya belum sembuh. Sudah berada di stadium 4 dan dokter menyatakan bahwa kecil kemungkinan untuk dia sembuh. Malvin begitu egois sampai dia menutupi itu demi bisa menikahi kamu. Dia pikir kalau dia jujur ke kamu, kamu akan ninggalin dia. Dia mau memiliki kamu setidaknya sebelum dia meninggal, tapi justru di H-3 pernikahannya kondisinya drop. Karena Vino datang ke sini untuk hadir di pernikahan kalian, Malvin meminta Vino untuk menggantikan posisi dia. Malvin nggak mau kamu sedih di hari di mana seharusnya kamu bahagia," jelas Bu Kirana sambil sesekali terisak yang kemudian berusaha ditenangkan oleh Marvino.

Mendengar hal mengejutkan itu, Vanella terduduk lemas. Air mata membanjiri pipinya. Bahkan Ranti, Tara, dan Alby juga ikut menangis mengetahui fakta mencengangkan itu.

"Nggak! Malvin nggak mungkin kritis! Hari ini dia mau nikah sama aku!" teriak Vanella.

Sang ibu memeluk putri tunggalnya yang tengah terisak itu.

"Bu, kenapa lagi-lagi Malvin mau ninggalin aku?"

"Van, mama ngerti perasaan kamu, tapi tolong lanjutkan pernikahan ini," pinta Bu Kirana.

"Gimana mungkin aku menikah dengan orang lain saat orang yang aku cintai sedang berjuang antara hidup dan mati, Ma? Nggak! Aku nggak bisa! Aku harus ke rumah sakit sekarang. Aku harus nemenin Malvin." Vanella bangkit dan hendak berlari keluar.

Tangan Bu Kirana menahannya. "Mama mohon, Van. Kabulkan permintaan terakhir Malvin. Dia udah banyak berkorban untuk kamu, kan? Kali ini tolong kamu juga berkorban buat dia. Malvin baru akan pergi dengan tenang kalau dia melihat kamu berada di tangan yang tepat untuk dijaga. Tolong jangan mengulur waktu lagi. Kamu pengin cepet-cepet ke rumah sakit nemuin Malvin, kan? Kita nggak tau berapa lama lagi dia akan bertahan. Tolong penuhi amanah Malvin."

Vanella berpikir sejenak. Dia terharu karena lagi-lagi Malvin berkorban demi kebahagiaannya. Bahkan di saat kondisinya memburuk seperti ini. Vanella pun mengusap air matanya. Dia menghela napas berat. "Oke. Aku akan menikah dengan Marvino, tapi ini cuma demi Malvin. Pak penghulu, tolong dipercepat karena saya harus segera ke rumah sakit."

Para tamu terkejut mendengar keputusan Vanella.

"Karena sebelumnya yang didaftarkan adalah pernikahan kamu dan Malvin, jadi hari ini aku baru menikahi kamu secara siri. Secepatnya kita akan menikah resmi secara negara," ujar Marvino.

"Aku nggak peduli. Aku cuma peduli soal Malvin. Bahkan pernikahan ini pun nggak ada artinya sama sekali buat aku," jawab Vanella dengan ketus.

Tanpa menunggu lebih lama, akad segera dilangsungkan. Akhirnya hari itu Vanella sah menjadi istri Marvino. Selama doa dibacakan, Vanella terus terisak. Sesekali dia melirik ke lelaki yang duduk di sampingnya. Hatinya semakin teriris. Yang dia harapkan adalah Malvin yang menikahinya pada hari itu, tetapi malah orang lain. Apalagi wajah mereka sama, membuat Vanella semakin terpukul menatap wajah lelaki itu.

Setelah selesai, Vanella langsung bangkit dari duduknya. "Bu, Ma, ayo kita segera ke rumah sakit."

"Aku akan anter kalian," sahut Marvino.

"Guys, ayo kita juga ikut," ajak Alby, kekasih Ranti.

Ranti dan Tara yang masih menangis mengangguk serentak.

Setibanya di rumah sakit, Vanella, Bu Selina, Bu Kirana, dan Marvino berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruangan tempat Malvin dirawat selama tiga hari ini.

Kaki yang semula melangkah dengan cepat itu kini terhenti. Tatapan Vanella tertuju pada lelaki paruh baya yang menangis di depan Malvin yang tidak lain adalah Pak Gibran, ayah Malvin.

"Pa, ada apa? Malvin baik-baik aja, kan?" tanya Vanella yang kini berdiri di samping sang ayah mertua.

Tidak ada jawaban. Tangisan Pak Gibran malah semakin menjadi. Padahal yang Vanella tahu Pak Gibran mirip dengan Malvin, senang bercanda dan tidak pernah terlihat sedih apalagi menangis.

"Papa tolong jawab, Pa," tanya Vanella lagi yang kali ini suaranya terdengar lirih karena dia mulai curiga dengan arti tangisan Pak Gibran.

"Malvin udah nggak ada. Dia tidur untuk selamanya," jawab Pak Gibran di sela tangisannya.

Air mata yang semula terbendung langsung meluap membanjiri pipi Vanella.

"Nggak! Nggak mungkin. Malvin nggak akan ninggalin aku."

Ranti dan Tara yang baru sampai lekas menghampiri Vanella dan mengusap punggung sahabat mereka itu.

Vanella yang tidak percaya berusaha memastikan sendiri. Dia mengusap wajah Malvin yang tampak seperti tertidur pulas. 

"Vin, kamu masih hidup, kan? Aku datang, Vin. Kamu pasti lagi ngerjain aku, ya? Kamu kan seneng bercandain aku. A—aku udah sering lihat wajah kamu yang kaya gini. Dulu kan kamu sering tidur di kelas. Vin, bangun. Apa kamu lupa kalau hari ini kita akan menikah? Aku udah pake kebaya yang kamu pilihin waktu itu. Vin, kamu denger aku, kan?"

Bibir yang pucat itu masih terkatup tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Vanella tidak menyerah. Dia memeluk Malvin dan mendekatkan telinganya di dada kiri Malvin. Vanella pun terisak.

"Enggaaaak....!!! Malvin nggak mungkin ninggalin aku. Ranti, Tara, coba dengerin detak jantungnya Malvin. Masih ada, kan? Pasti telinga aku aja kan yang nggak denger?"

Tangisan Ranti dan Tara ikut meledak. Ranti langsung memeluk erat Vanella. "Dia udah nggak ada, Van. Lo harus ikhlas."

Vanella melepaskan pelukan sahabatnya itu. "Apa-apaan ini. Kenapa Malvin selalu jahat sama aku? Dulu dia nggak ngungkapin perasaan dia dan malah biarin aku pacaran sama sahabatnya yang playboy itu. Setelah aku tau pengorbanan dia dan aku jatuh cinta sama dia, dia pergi ninggalin aku. Sekarang saat kami mau menikah pun, lagi-lagi dia pergi. Kenapa Malvin sejahat ini, Ran? Kenapaaa....!!!" 

Ranti kembali memeluk Vanella. "Malvin nggak jahat. Dia sayang banget sama lo. Dia pergi pun bawa cintanya buat lo. Jangan bikin Malvin pergi dengan sedih, Van. Ikhlasin dia."

Bu Selina, Bu Kirana, dan Pak Gibran hanya bisa menahan sesak melihat terpukulnya Vanella yang kehilangan Malvin di hari seharusnya mereka menikah.

Bahkan Alby dan Marvino pun ikut menitikkan air mata meski mereka berusaha menyembunyikan kesedihan mereka.

Dalam pelukan Ranti, Vanella terus menatap wajah Malvin. Rasanya dia tidak ingin melepaskan pandangannya dari lelaki yang sangat dicintainya itu karena setelah hari ini dia tidak akan bisa menatap wajah itu lagi. Wajah yang dulu selalu membuatnya tertawa saat menatap, yang terkadang juga membuatnya kesal, kini tanpa pernah dia bayangkan memandang wajah itu membuat dadanya sesak dan air matanya terus mengalir.

Raga kamu boleh pergi, Vin. Kamu boleh sekali lagi ninggalin aku, tapi aku nggak akan pernah ninggalin cinta kamu. Makasih untuk semua kenangan indah yang pernah kamu kasih. Aku akan selalu ingat itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Suryanti
lanjutkan.. penasaran nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status