Share

Bab 6. Keingintahuan

Sama seperti hari biasanya, pagi itu Vanella hendak ke dapur untuk membuatkan sarapan bagi sang suami. Dia tengah mengikat rambutnya di depan cermin.

Baru saja akan melangkah ke luar, Vino yang keluar dari kamar mandi mengadangnya. "Tunggu!"

Vino mengambil kertas yang ada di meja dan memberikannya pada Vanella. "Ini daftar makanan dan minuman yang aku suka dan nggak suka."

Bukannya fokus pada daftar isi, Vanella malah terheran-heran dengan Vino yang mengenakan masker. Karena wajah Vino tertutup masker, Vanella berani menatapnya.

"Kenapa? Sakit? Flu? Batuk? Biar aku ambilin obat, ya."

"Nggak usah. Aku nggak biasa minum obat."

"Nggak usah nolak. Kalau sakit harus diobatin.

"Aku nggak sakit." Vino memalingkan wajahnya.

"Terus kenapa pake masker?"

"Terserah aku. Inget ya, pernikahan kita cuma kesepakatan di atas amanah, jadi jangan saling mengganggu privasi masing-masing. Kamu berhak melakukan apa pun yang kamu mau tanpa aku berhak ikut campur, begitu juga aku."

"Terserah," jawab Vanella cuek. Dia lalu mengambil handuk kecil di kamar mandi.

"Mau ngapain? Mulai sekarang nggak usah ngeringin rambut aku lagi. Aku bisa sendiri," ujar Vino ketus sambil merebut handuk dari tangan Vanella.

Bingung dengan tingkah Vino, Vanella memutuskan untuk langsung ke dapur. "Ya udah aku siapin sarapan dulu. Kalau udah selesai siap-siapnya turun aja."

"Hmm."

"Oh ya, aku izin nanti mau keluar ketemu temen," ucap Vanella yang berhenti di depan pintu.

"Hmm." Lagi-lagi Vino hanya menjawab dengan berdeham.

"Orang aneh. Lagi PMS kali," gumam Vanella sambil berjalan keluar kamar.

Setelah Vanella keluar, Vino melepas maskernya dan duduk di sofa sambil mengeringkan rambutnya. Dia hanyut dalam lamunannya sendiri.

"Nyonya, maaf sebelumnya, tapi Nyonya dan tuan kan baru saja menikah. Apa nggak berencana melakukan bulan madu gitu? Masa pengantin baru malah jarang menghabiskan waktu bersama. Kemarin aja tuan pulangnya malem," celetuk Bi Sasti yang memasak di dapur bersama Vanella.

Vanella terdiam sejenak. Lalu dia pura-pura tersenyum. "Suami saya kan sibuk, Bi. Lagian saya juga nggak tertarik untuk bulan madu. Di rumah pun udah cukup."

Ketika membicarakan itu, Vino yang berjalan menuruni tangga menghentikan langkahnya dan mendengarkan. Dia tampak berpikir sesaat. Lalu melanjutkan langkahnya dan langsung menuju dapur.

"Aku buru-buru. Jadi nggak sarapan. Maaf, ya," ucap Vino pada Vanella.

"Ya udah aku bawain buat bekal aja, ya."

"Ya, boleh."

Vanella mengambil wadah bekal makanan di lemari atas, lalu memasukkan nasi dan lauk yang dimasaknya.

"Nih. Nanti dimakan pas makan siang," ujar Vanella.

Vino menerima wadah bekal itu. "Makasih. Ya udah aku berangkat."

Vanella mencium tangan Vino. "Iya. Hati-hati. Aku anter sampai depan."

Vino berjalan dengan tergesa-gesa, diikuti oleh Vanella. Setelah mereka berdua keluar, Bi Dara dan Bi Lina berlari menghampiri Bi Sasti.

"Eh, aneh nggak sih tuan dan nyonya? Kok kaya kaku gitu, ya," celetuk Bi Dara.

"Iya. Nggak pernah bercanda. Sama-sama dingin gitu kayanya. Bahkan kalau lihat mereka gandengan aja kaya aneh. Kelihatan banget kalau nggak beneran romantis aslinya. Jangan-jangan mereka menikahnya terpaksa," imbuh Bi Lina.

"Huss kalian ini. Pagi-pagi udah bergosip. Kalau tuan Vino denger bisa gawat. Udah sana balik kerja." Bu Sasti berusaha menyela.

"Ih nggak asyik banget sih, Sasti." Bi Lina kesal dengan jawaban Bi Sasti.

Sementara itu, Vino yang sudah berada di kantor termenung sendiri sambil memutar pena dengan jari-jari tangan kanannya beberapa kali. Tak lama kemudian pintu diketuk. Dia pun tersadar.

"Masuk aja."

Lelaki berkacamata yang mengetuk pintu itu pun masuk dan duduk di depan Vino setelah mereka berjabat tangan.

"Selamat pagi, Pak Vino."

"Duh apaan sih. Panggil Vino aja. Lagian Kak Harris kan lebih tua dari aku. Eh maksudnya lebih dewasa umurnya."

"Ya tetep aja ini kan kantor, Pak."

"Masih aja manggil pak. Jujur aku nggak suka dipanggil pak. Kelihatan tua banget. Di sini aja terpaksa aku mau dipanggil pak. Kak Harris kan bakalan jadi manajer aku, nggak kerja di kantor, jadi nggak usah panggil pak. Tolong, ya."

"Oke deh. Jadi gimana, Vin? Kapan aku bisa mulai kerja?"

"Mulai besok, ya. Nomor telepon sama email Kakak juga udah aku tulis di akun i*******m aku. Jadi kalau ada yang mau nawarin syuting film, series, atau iklan nanti bisa langsung menghubungi Kakak. Nanti aku seleksi dulu. Pokoknya Kakak atur jadwal aku sebaik mungkin. Jangan sampai satu bulan terlalu padet ya jadwal syutingnya."

"Iya, aku ngerti. Pengantin baru pasi penginnya di rumah terus."

"Pengantin baru apanya."

"Emang bener, kan? Udah nggak usah malu."

"Ini bukan pernikahan seperti yang Kakak kira."

Harris mengernyit. "Maksudnya?"

"Nanti aku ceritain. Kayanya selain jadi manajer, Kakak juga bakalan jadi penasihat pribadi nantinya. Ya aku butuh seenggaknya satu orang yang bisa aku percaya untuk aku ceritain semuanya."

"Oke. Kapan pun aku siap dengernya. Santai aja kalau mau cerita. By the way, aku nggak nyangka akhirnya kerja jadi manajer calon aktor terkenal yang dulu juniorku di SMA."

"Aku lebih nggak nyangka lagi. Kakak kenapa mau jadi manajer? Lowongan pekerjaan lain kan banyak. Daripada jadi manajer aktor, apa nggak lebih baik kerja di perusahaan? Kenapa bukan ngelamar kerja di perusahaan ini?"

"Ya setiap orang punya pilihannya masing-masing dan ini pilihanku. Lagian kayanya lebih enak jadi manajer aktor. Kalau kamu ke luar negeri atau paling nggak ke luar kota kan otomatis aku ikut. Kapan lagi coba ada kesempatan buat sering jalan-jalan gratis. Ditambah lagi bisa ketemu banyak aktor dan aktris lainnya. Aku udah capek dulu kerja di perusahaan. Sekarang mau nyoba pekerjaan baru yang nggak terlalu berat dan banyak bonusnya. Ya itu salah duanya, jalan-jalan gratis dan ketemu banyak entertainer lain."

"Dasar. Ada-ada aja."

Saat Vino sedang berdiskusi dengan calon manajer barunya, Vanella justru tengah bersiap untuk mencari jawaban dari tanda tanya yang terus berkeliaran dalam otaknya. Dia menelepon sahabatnya, Ranti.

"Halo, Van. Ada apa? Pagi-pagi udah nelpon aja," ujar Ranti yang langsung mengangkat telepon.

"Gini, Ran. Sebenernya ada beberapa hal yang mau gue tanyain secara pribadi ke Alby soal Malvin. Kalau lo nggak keberatan, gue boleh pinjem Alby bentar?" terang Vanella sambil mondar-mandir di ruang tamu.

Ranti malah tertawa. "Ya ampun, Van. Kita ini udah sahabatan dari bayi. Lo kaya sama orang asing aja. Nggak papa kali. Nggak perlu izin sama gue. Lagian gue kan belum jadi istrinya dia. Udah jadi istri pun mana mungkin gue ngelarang dia ketemu sama lo."

"Ya gue kan nggak mau ada salah paham nanti dan gimana pun gue harus jaga perasaan lo. Jadi bener nih lo nggak papa?"

"Iya, Vanella. Santuy aja lah."

"Ya udah. Thanks, ya. Kalau gitu gue mau nelpon Alby dulu."

"Oke. Hati-hati, ya."

"Iya, Ran."

Usai meminta izin Ranti, kini giliran Vanella untuk menelepon Alby. Untung saja Alby langsung mengangkatnya.

"Halo, Al. Sorry ya ganggu pagi-pagi."

"Iya nggak papa, Van. Tumben. Ada apa? Lo nggak kenapa-kenapa, kan?"

"Enggak kok. Sebenarnya ada hal yang mau gue omongin sama lo. Penting. Bisa nggak kita ketemu dan ngobrol? Gue udah minta izin sama Ranti kok."

"Yaelah. Emangnya Ranti emak gue sampai lo harus izin ke dia dulu? By the way, hal penting apa nih?"

"Nanti juga lo tau. Gimana? Bisa nggak? Besok kan lo udah berangkat ke Jakarta. Takutnya hari ini lo sibuk ngurus keberangkatan lo."

"Bisa kok bisa. Gue kan cowok. Nggak ribet kalau mau pergi. Apalagi cuma ke Jakarta doang. Ya udah mau ketemu di mana?"

"Di kafe, ya. Nanti gue kirim di chat alamatnya."

"Oke. Tunggu, ya."

"Yoi."

Setelah menutup telepon, Vanella berlari keluar rumah. Di depan sudah ada taksi online yang dia pesan. Vanella pun segera masuk.

Di sebuah kafe yang telah ditentukan, Vanella dan Alby saling bertatap muka. Alby begitu santai sambil menyeruput minumannya. Sedangkan Vanella terlihat begitu serius.

"Ada apaan sih? Kelihatannya serius banget," tanya Alby setelah meletakkan segelas jus nanas yang dipesannya.

Bukannya langsung bicara serius, mata Vanella malah tertuju pada perut buncit Alby. Dia sedikit tertawa.

"Hamil berapa bulan, Al? Makin gede aja tuh perut. Sampai diminumin jus nanas segala."

Mendengarnya, Alby langsung menegakkan badannya. "Sembarangan. Lo kira gue lagi hamil?"

"Abisnya perut lo bisa segede itu sekarang. Bahagia banget kayanya sama Ranti."

"Gue bahagia karena diri gue sendiri. Bukan karena orang lain."

"Elaah. Masih aja gengsi ngakuin perasaan lo. Oke, sekarang kita ngomong serius nih. Gue mau tanya tentang Malvin dan Marvino. Lo kan sahabatnya Malvin dari kecil. Pasti tau dong soal mereka? Lo tau dari dulu kan kalau Malvin punya saudara kembar?"

Ekspresi wajah Alby berubah menjadi serius. "Iya, Van. Sorry gue juga nyembunyiin ini dari lo. Gue nggak tau banyak sih. Yang gue tau dari dulu Malvin nggak suka sama saudara kembarnya. Dia bahkan menganggap dia hanyalah anak tunggal. Dia nggak mau ngomongin soal Vino apalagi ke orang lain yang belum tau soal Vino. Jadi ya banyak orang yang mengira kalau Malvin itu satu-satunya anak dari Tante Kirana dan Om Gibran."

Vanella mengerutkan dahi. "Emang kenapa sih Malvin sampai segitu bencinya sama Vino? Bukannya mereka udah nggak tinggal bareng dari kecil? Otomatis nggak pernah berantem dong. Jadi apa masalahnya?"

"Neneknya sering nelpon Tante Kirana dan nyeritain soal Vino yang semuanya berbanding terbalik dengan Malvin. Dari SD Vino selalu dapet peringkat satu, sering memenangkan berbagai perlombaan, dikenal sebagai murid teladan, bahkan S1 dan S2-nya aja di luar negeri. Beda sama Malvin yang selalu males belajar dan dikenal sebagai siswa yang bandel, bad boy, nggak punya prestasi apa-apa. Itu bikin Tante Kirana sering banding-bandingin Malvin sama Vino. Setiap kali Malvin abis berantem di sekolah, Tante Kirana selalu marah sampai bilang kalau beliau nyesel milih Malvin sebagai anak yang dirawatnya sendiri dan menyerahkan Vino ke neneknya. Selalu bilang kaya gitu. Itu yang bikin Malvin merasa seperti anak yang nggak diinginkan. Akhirnya dia jadi benci dan dendam sama Vino yang selalu dipuji-puji dan bikin dia semakin jelek di mata semua orang."

"Jadi gitu. Apa Vino juga benci sama Malvin? Kok kayanya yang aku lihat justru Vino sayang banget sama Malvin. Dia juga mau nikah sama gue kan demi menjalankan amanah Malvin."

"Kalau Vino sih enggak. Dia dari kecil pendiem, penurut, dan hampir nggak pernah benci sama orang. Setiap kali nelpon mama dan papanya, Vino sering nanyain Malvin dan pengin ngobrol sama Malvin, tapi Malvin selalu nolak."

"Eh tapi kalau Malvin sebenci itu sama Vino, kenapa dia malah minta Vino buat gantiin dia dan nikah sama gue?"

Alby mendekatkan wajahnya sambil berbicara dengan lirih. "Jujur gue juga ngerasa aneh. Kaya nggak masuk akal. Malvin yang selalu cemburu sama Vino, kenapa malah ngasih cewek yang dia cintai ke Vino. Cuma gue berusaha mikir positif aja sih. Mungkin aja karena dia udah ngerasa umurnya nggak lama lagi, jadi dia juga udah nggak benci sama Vino."

"Malvin bukan orang yang akan cepat berubah pikiran seperti itu, Al. Apalagi untuk urusan kebencian. Entah kenapa gue merasa ada yang janggal."

"Apa lo mau nyelidiki soal ini?"

Vanella menghela napas. "Gue juga nggak tau. Ngelupain Malvin aja udah berat. Kayanya belum bisa kalau harus nyelidikin hal itu untuk saat ini. But, thanks udah ceritain ke gue."

"Sama-sama. Gimana pun lo harus tetep hati-hati, Van. Jangan gampang terpengaruh sama sikap sok baiknya Vino itu. Walaupun dari kecil dia dikenal sebagai anak yang baik, belum tentu kan sekarang kaya gitu."

"Iya, Al. Lagian gue mau nikah sama dia juga cuma demi Malvin."

"Oke. Kalau ada apa-apa, lo boleh nanya atau cerita ke gue lagi."

"Iya. Makasih sekali lagi."

Vanella terdiam memikirkan apa yang diceritakan oleh Alby sambil meminum minumannya. Dia jadi meragukan kebenaran tentang amanah Malvin. Di tengah kesenyapan itu, ponsel Vanella berdering. Tertera nama Marvino.

"Halo. Ada apa?"

"Kamu lagi di mana?"

"Aku masih di luar, belum pulang."

"Cepet pulang, ya. Bentar lagi aku jemput."

"Mau ke mana?"

"Nanti kamu juga akan tau. Penting."

"Oke."

Vino menutup teleponnya. Dia mengernyit.

"Kenapa, Van?" tanya Alby.

"Vino nyuruh gue cepet pulang. Dia mau jemput ngajak gue pergi."

"Ke mana?"

"Gue juga nggak tau."

"Apa dia mau ngajakin lo jalan-jalan? Wah keterlaluan sih kalau gitu. Saudara kembarnya baru meninggal masa udah seneng-seneng. Jadi ragu apa dia beneran sedih atas meninggalnya Malvin."

"Entah, Al. Ya gue ikutin aja dulu semuanya. Apa pun kebenaran yang tersembunyi, pasti nanti akan terungkap."

"Ya udah gue anterin pulang, yuk." Alby bangkit dari tempat duduknya.

"Nggak usah. Ini gue udah pesen taksi online kok. Nggak enak kalau dianterin lo. Kan gimana pun gue udah nikah."

Ekspresi wajah Alby terlihat lesu dan dia kembali duduk.

"Apa dia ngelarang lo buat temenan sama temen lo yang cowok?"

"Enggak. Vino malah bilang kalau gue bebas nglakuin apa yang gue mau tanpa dia ikut campur."

Alby manggut-manggut. "Ya udah lo pulang gih. Ini biar gue yang bayar."

"Thank, ya."

Setelah itu taksi yang dipesan Vanella pun tiba.

"Eh itu deh kayanya."

Vanella menghampiri taksi itu. Sang sopir pun turun.

"Dengan Mbak Vanella, ya?"

"Iya, Pak."

Vanella menoleh ke belakang. "Al, gue pulang dulu, ya."

"Yoi. Take care."

Vanella mengangguk, lalu masuk ke mobil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status