Selama di perjalanan, Vanella hanya menatap ke luar kaca jendela mobil. Tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, sopir taksi itu menghentikan lamunannya.
"Mbak, abis ketemu pacarnya ya tadi?"
Vanella terkejut. "Bukan. Itu temen saya, Pak. Saya sudah menikah."
"Oh saya kira pacarnya, Mbak. Emang suami Mbak nggak marah kalau Mbak ketemu temen laki-laki?"
"Enggak. Saya juga sudah izin sama suami."
"Wah pengertian banget ya suami Mbak. Jarang lho ada lelaki kaya gitu. Kebanyakan malah pencemburu banget sama istri."
Vanella hanya terdiam karena apa yang dipikirkan sopir itu tidaklah sama dengan kenyataan. Vino bukan melarang karena pengertian, tetapi karena tidak peduli. Sama seperti dia yang juga tidak akan peduli kalau Vino bertemu atau dekat dengan wanita lain.
Baru turun dari taksi, Vanella sudah dihadang oleh Vino yang berdiri di depan pintu. Vanella menatap ke arah Vino sesaat. Lelaki itu masih memakai masker.
"Sorry. Nunggu lama, ya?" tanya Vanella.
"Nggak papa. Kamu ngapain pergi pake taksi online? Mobil di rumah kurang? Sopir kita kan juga nggak cuma satu."
"Nggak papa. Lagian sama aja."
"Nggak. Setelah ini kalau mau pergi-pergi kamu dianter sopir kita aja. Kamu nggak usah khawatir. Aku nggak nyuruh sopir buat ngawasin dan ngelaporin ke mana kamu pergi, ketemu siapa, atau ngapain aja."
Vanella yang semula menunduk langsung mendongak dengan tatapan kesal. "Kenapa kamu bicara seolah-olah aku ngelakuin aneh-aneh di luar sana dan takut diawasin sama kamu? Kamu pikir aku wanita macam apa?"
Vino terlihat gugup. Dia tidak tahu kalau ucapannya akan menyinggung Vanella. "Bukan gitu maksud aku. Udah nggak usah dibahas. Ada yang lebih penting dari itu. Ayo pergi."
Tidak ingin ribut dan rencananya gagal, Vino segera mengakhirinya dan masuk ke mobil. Vanella mengembuskan napas kasar, lalu mengikuti Vino masuk ke mobil.
Sepasang pengantin baru itu tiba di sebuah restoran mewah. Begitu turun, Vanella mengamati restoran yang ada di depannya.
Apa maksudnya ngajak ke sini? Nge-date? Bener kata Alby. Vino ini sebenernya nggak peduli dengan meninggalnya Malvin sama sekali.
Melihat Vanella bengong, Vino langsung menggandeng tangan Vanella usai melepas maskernya dan turun dari mobil. Dia berbisik. "Inget kan yang pernah aku bilang? Di luar rumah kita harus kelihatan romantis dan mesra. Aku udah pesenin makanan dan minuman. Di dalem juga ada orang yang nunggu kita. Jadi jangan tunjukin kesedihan kamu di depan orang itu. Tunjukin kebahagiaan kamu sebagai seorang istri Marvino Prawira."
Vanella hanya mengangguk.
Di dalem ada orang lain? Syukurlah dia nggak ngajak gue makan berdua. Paling juga rekan bisnisnya dia dan dia sengaja manfaatin gue sebagai ajang dia pamer. Dasar Marvino Prawira yang selalu mementingkan reputasinya.
Sampai di meja yang telah dipesan, seorang lelaki paruh baya telah menunggu di sana. Vino merangkul Vanella saat berhenti di depan lelaki itu.
"Pak Dito, perkenalkan, ini istri saya yang saya ceritakan tadi."
"Oh, selamat datang, Bu. Saya Dito." Pak Danu mengulurkan tangannya.
Vanella menjabat tangan itu sambil tersenyum. "Saya Vanella, Pak."
Vino menarik kursi Vanella dan mempersilakannya duduk. Lalu dia juga ikut duduk.
"Sayang, kenalin, Pak Dito ini adalah CEO sebuah perusahaan penerbitan besar yang bernama Penerbit Senja," terang Vino.
Vanella manggut-manggut. Dalam hatinya dia merasa geli karena untuk pertama kalinya Vino memanggilnya sayang. Bahkan dulu Malvin pun tidak pernah memanggilnya sayang.
"Iya, Bu Vanella. Pak Vino sudah menceritakan banyak tentang Ibu. Begini, Bu. Saya mau menawari Ibu sebuah pekerjaan. Perusahaan kami sedang membutuhkan editor tambahan karena buku yang akan dicetak semakin banyak. Saya dengar Ibu dulu kuliah jurusan sastra dan Ibu juga hobi membaca buku. Jadi saya pikir Ibu akan cocok dengan pekerjaan ini."
Vanella tercengang. Dia yang sedari dulu ingin sekali bekerja di perusahaan penerbitan, kini sebelum dia sempat melamar kerja di sana malah CEO perusahaan itu sendiri yang menawarkan pekerjaan padanya.
Di satu sisi Vanella merasa senang, tetapi di sisi lain dia juga kesal karena dia berpikir bahwa dia ditawari pekerjaan ini atas permintaan suaminya. Dia tidak ingin mendapatkan pekerjaan impiannya hanya atas dasar statusnya sebagai istri Vino.
"Maaf, Pak. Saya cukup mengenal Penerbit Senja. Saya mengikuti media sosialnya dan menurut saya itu penerbitan yang besar. Bahkan saya sering membeli novel-novel terbitan Penerbit Senja di mana buku-buku itu sangat bagus dan menarik untuk dibaca. Tentunya itu dihasilkan dari karya para penulis dan editor yang berkualitas. Sedangkan saya ini hanya lulusan S-1. Saya merasa tidak pantas untuk bekerja di sana."
Vino terkejut mendengar jawaban Vanella. Dia pikir istrinya itu akan antusias dan langsung menerima tawaran itu. Sementara Pak Dito tersenyum dan menatap Vanella serius.
"Begini, Bu. Dari dulu perusahaan kami tidak menyeleksi editor atau proofreader berdasarkan dia lulusan apa, dari mana, dan latar belakang lainnya. Yang terpenting dia punya hobi membaca, berminat untuk melakukan pekerjaan tersebut, serta mengerti KBBI dan PUEBI. Orang yang hobi membaca, dia akan tahu bagaimana penulisan cerita yang baik, kenapa cerita itu menarik, jadi seorang editor yang terpenting itu harus punya hobi membaca. Lagipula saya tidak akan langsung menerima Ibu dan meminta Ibu menandatangani kontrak dengan kami. Ibu akan melalui tahapan seleksi sama seperti yang lainnya."
"Tahapan seleksi, Pak? Apa bisa Bapak jelaskan biar saya lebih paham."
"Iya, Bu. Jadi nanti saya akan mengirimkan kepada Ibu salah satu cerpen. Saya akan beri waktu 24 jam untuk Ibu mengedit cerpen itu. Ibu harus perbaiki mulai dari tanda bacanya, tata bahasanya, kesesuaian dengan KBBI dan PUEBI, dan perbaikan-perbaikan lainnya yang memang diperlukan agar cerita itu menjadi rapi dan menarik. Cerpen itu akan saya kirimkan lewat email. Setelah Ibu membalas emailnya, saat itu waktu akan dihitung. Kenapa saya beri waktu 24 jam? Itu karena editor yang mau bekerja di perusahaan saya memang harus terbiasa kerja di bawah tekanan dan tepat waktu. Nanti kalau hasilnya bagus, saya akan menerima Ibu untuk bekerja di perusahaan saya, tetapi Ibu akan melalui masa training selama tiga bulan. Kalau sampai tiga bulan Ibu bisa mempertahankan kualitas kerja Ibu dan tidak melakukan kesalahan, baru Ibu akan diminta untuk menandatangani kontrak. Dalam tiga bulan itu meskipun masih masa trainee, Ibu akan digaji. Tenang saja. Cuma gajinya memang belum sebesar gaji editor yang sudah tanda tangan kontrak. Jadi bagaimana, Bu? Kalau masih ada yang kurang jelas boleh ditanyakan."
Vanella mendengarkannya dengan serius. Dia masih tetap berpikir. Dia mempertimbangkan matang-matang keputusannya.
"Pak, boleh saya tanya? Untuk kerjanya nanti apakah harus datang ke kantor?" tanya Vino.
"Oh tidak harus, Pak. Boleh saja kerja dari rumah. Nanti kan hasil editingnya bisa dikirim lewat email. Asal bisa selesai tepat waktu, saya tidak masalah. Jadi bagi para istri yang ingin tetap bisa mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus suami, pekerjaan ini sangat cocok."
"Baguslah kalau begitu, Pak. Saya tidak ingin nanti istri saya kecapekan. Kalau kerja di rumah kan dia bisa sambil nonton TV, nonton film, atau ngobrol dengan teman-temannya."
Vanella yang tengah berpikir serius langsung melirik kesal ke arah Vino. Dia muak mendengarkan lelaki itu yang selalu membual demi dipandang sebagai sosok suami sempurna yang sangat menyayangi sang istri.
"Bagaimana, Bu? Apakah sudah dipikirkan dengan baik?"
"Iya, Pak. Baiklah. Saya terima tawarannya."
Pak Dito tersenyum lega. "Saya sangat senang mendengarnya. Ini saya bawakan beberapa berkas. Ibu bisa isi data diri Ibu dan tanda tangan di sini. Besok pagi untuk tugas editingnya akan saya kirimkan lewat email."
"Baik, Pak," jawab Vanella sambil tersenyum.
"Baik kalau begitu saya permisi dulu, ya, Pak Marvino, Bu Vanella. Saya ada urusan lain."
"Oh iya, Pak. Terima kasih karena sudah meluangkan waktu ke sini," ujar Vino sambil menjabat tangan Pak Dito.
"Terima kasih, Pak." Vanella juga menjabat tangan Pak Dito.
Setelah Pak Dito pergi, eskpresi Vanella berubah menjadi kesal.
"Apa-apaan ini? Kamu kan yang minta Pak Dito buat menerima aku kerja di perusahaan penerbitannya? Ini juga bagian dari pencitraan kamu?" ujar Vanella sambil menunduk karena saat itu Vino tidak memakai masker.
"Kamu ngomong apa? Pak Dito itu CEO perusahaan penerbitan besar. Kamu pikir beliau mau disuap atau dipaksa? Aku cuma nyeritain tentang kamu ke Pak Dito. Masalah diterima atau nggaknya nanti kan kemampuan kamu yang nentuin. Aku udah bantuin kamu mewujudkan impian kamu, tapi kamu malah berpikir yang enggak-enggak."
Vino tampak kesal. Dia beranjak dari tempat duduknya, hendak meninggalkan Vanella sendirian di sana.
"Tunggu!"
Vanella berdiri di dekat Vino, lalu berbisik. "Kamu mau ninggalin aku sendirian di sini? Di sini ramai orang lho. Gimana kalau di antara orang-orang ini ada calon klien atau calon fans kamu, terus nanti mereka inget wajah kamu. Seorang lelaki yang tega meninggalkan istrinya di restoran sendirian. Kayanya itu judul artikel yang bagus."
Vino mendecih. Akhirnya dia terpaksa duduk kembali.
"Setelah bayar tagihan, kita langsung pulang."
Vanella mengangguk sambil tersenyum puas karena berhasil mencegah Vino meninggalkannya.
Vino melirik ke arah Vanella sambil menyeringai. "Bilang aja kamu nggak mau pulang sendirian karena lupa nggak bawa dompet, kan?"
"Iya lah. Kalau ada uang aku pilih pulang sendiri."
"Ngomong-ngomong soal uang, kamu butuh berapa per bulannya?"
"Bukannya bentar lagi aku kerja. Otomatis aku bakalan punya uang sendiri. Jadi kamu nggak perlu ngasih uang. Kalau untuk sekarang aku masih ada tabungan."
"Kamu gila, ya? Tugas suami itu ngasih nafkah untuk istrinya. Jadi mau kamu kerja atau nggak, aku bakalan tetep kasih kamu uang."
"Ini kan bukan pernikahan sungguhan. Nafkah batin aja kita nggak lakuin. Jadi nafkah lahir juga nggak perlu."
"Walaupun kita menikah tanpa rasa cinta, pernikahan kita sah di mata agama dan negara. Jadi aku akan tetap melakukan kewajibanku sebagai seorang suami. Udah nggak usah protes. Lagian aku ingin kamu kerja bukan untuk terbebas dari kewajiban aku membiayai hidup kamu."
"Terus apa tujuan kamu? Katanya juga bukan untuk pencitraan, kan?"
"Terkadang kita nggak perlu tau alasan dari setiap hal. Udah lah nggak usah bawel."
Akhirnya mereka berdua sama-sama diam dalam keheningan setelah sebelumnya saling berdebat tanpa menatap. Meski kesal, dalam hati Vino juga merasa sedikit lega karena kebawelan Vanella mulai terlihat. Dia tidak semurung sebelumnya.
Malam itu, Alby yang hendak pergi ke Jakarta mampir ke rumah Ranti untuk berpamitan. Di jok belakang motornya sudah ada tas besar yang berisi pakaian dan beberapa barang lainnya. Buru-buru akan berangkat, Alby tidak bisa lama-lama di sana. Sehingga mereka hanya berbincang sebentar di depan rumah."Cepet pulang, ya. Janji abis pulang langsung nikah," rengek Ranti sambil memegang erat lengan Alby."Iya iya. Sabar dong. Kan aku kerja juga buat bahagiain kamu. Aku pasti cepet pulang. Aku kan bakalan kangen terus sama lesung pipi ini." Alby mengusap lesung pipi Ranti."Sebel tau harus jauhan gini.""Kan nggak lama. Tenang aja. Ya udah ya aku mau berangkat. Mana tadi ayah kamu.""Oh ya, bentar."Ranti melepas tangan Alby, lalu masuk memanggil ayahnya. Mereka pun keluar bersama."Nak Alby udah mau berangkat?""Iya, Om."
Pagi itu Ranti mengunjungi butik miliknya, Ranti's Boutique. Dia berusaha menyibukkan diri agar tidak dibayangi kesedihan karena kepergian Alby. Sesekali bahkan Ranti membantu melayani para pengunjung yang datang.Mengetahui Ranti baru saja ditinggal Alby merantau kembali, Tara datang ke butik untuk menghibur Ranti. Dia pun mengejutkan Ranti dari belakang dengan menepuk bahu gadis berambut ikal sebahu itu. Melihat Tara ada di depannya, Ranti tersenyum hingga terlihat lesung pipinya."Tara! Ngapain lo pagi-pagi ke butik gue?""Gue udah nebak pasti lo ke sini buat menghibur diri, kan? Gue sengaja dateng karena gue tau pasti lo lagi galau, lagi mewek bombay.""Ih enggak lah. Nih buktinya gue senyum.""Ya itu kan karena lo di sini. Coba kalau di rumah. Pasti udah ngabisin tisu sekardus.""Gue mah kalau sedih ya nangis aja. Nggak peduli tempat. Gue bukan Vanella y
Sejak di mobil hingga tiba di rumah, Vanella beberapa kali mengecek ponselnya. Dia resah karena Pak Dito belum juga mengiriminya email. Ditambah masalah persahabatannya dengan Tara.Begitu fokus pada ponselnya, Vanella sampai terkejut saat melihat Vino yang ternyata sedari tadi duduk di sofa yang ada di depannya."Kok udah pulang?"Lelaki beralis tipis itu melipat tangan di depan dada. Dia mengernyit menatap sang istri sambil sesekali membetulkan maskernya."Kenapa kelihatan nggak tenang gitu? Ada masalah?"Vanella meletakkan tasnya di sofa, lalu duduk sembari menghela napas. "Aku cuma lagi nungguin email Pak Dito. Padahal katanya cerpen yang buat aku edit mau dikirim pagi ini. Kok nggak ada email ya sampai sekarang? Apa aku salah nulis alamat emailku kemarin?""Pak Dito udah ngirim ke emailku.""Apa? Kenapa ke email kamu?"&
Berbagai jenis lauk memenuhi piring Vanella yang memang porsi makannya selalu banyak. Apalagi semenjak kepergian Malvin. Kesedihan selalu membuatnya banyak makan. Berbeda dengan kebanyakan orang yang justru tidak nafsu makan saat suasana hati sedang buruk.Meski sepiring nasi lengkap dengan lauk itu tersaji di hadapannya, tetapi mata Vanella justru fokus pada ponselnya. Kali ini dia tidak makan dengan lahap seperti biasanya. Beberapa kali dia menatap layar ponselnya yang tidak kunjung menyala menampilkan notifikasi yang dia tunggu.Pagi itu Vanella memang sedang menantikan email dari Pak Dito. Dia terus saja khawatir kalau dia ditolak untuk bekerja di perusahaan Pak Dito.Vino yang sesekali melirik ke arah Vanella merasa risih melihat istrinya itu tak kunjung makan dengan benar dan fokus pada hal lain. Ingin rasanya menegur, tetapi dia memilih mengurungkan niatnya setelah keributan yang terjadi di antara mereka kem
Tawa bahagia Vanella hanya berlangsung sesaat. Dia kembali menjadi pendiam begitu Ranti pulang. Sosok Vanella yang dikenal ceria dan cerewet semasa sekolah seakan telah lenyap bersamaan dengan kepergian Malvin. Kini dia lebih banyak diam dan memilih menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan di rumah meski dia sudah memiliki beberapa ART. Keceriaan itu hanya muncul kembali saat dia bersama para sahabatnya. Tidak ada ruang untuk tertawa bahagia saat dia bersama orang lain. Meski itu suaminya sekalipun.Melihat Vanella yang sibuk membersihkan berbagai perabotan dengan kemoceng, para ART mulai saling berbisik."Nyonya Vanella rajin banget, ya. Biarpun udah ada kita, tapi tetep mau ngerjain pekerjaan rumah tangga," celetuk Bi Dara."Rajin atau haus pujian? Kan ada kita di sini. Dia kan tau kita sering lapor apa-apa ke Tuan Vino. Pasti ini biar dipuji Tuan Vino aja." Bi Lina melirik ke arah Vanella dengan sinis.
Dengan tergesa-gesa lelaki yang memiliki rahang tegas dan sorot mata tajam itu keluar dari lift dan segera menuju ke ruangannya, diiringi sapaan para karyawannya. Namun, jangankan tersenyum, Vino hanya melirik mereka sekilas sembari terus melanjutkan langkahnya. Tangan kanannya menggenggam ponsel, sedangkan tangan kirinya memasang earphone di telinganya.Sambil membuka pintu, lelaki dingin itu mulai berbicara dengan seseorang yang diteleponnya."Halo, Kak.""Iya. Ada apa, Vin? Aku masih di taksi nih. Perlu bantuan?"Vino mendudukkan dirinya di singgasana kebanggaannya sembari menarik napas panjang. Matanya terarah pada foto dirinya yang ada di meja."Bukannya harusnya ini foto sang CEO sama istrinya, ya?" gumam Vino sambil meraih foto dirinya dan dilihatnya lebih dekat."Vin? Kenapa? Foto apa? Suara kamu nggak begitu jelas."Foto it
Bab 14.Tidak seperti pagi biasanya, kali ini Vino terlihat santai. Lama dia duduk di sofa yang ada di balkon sambil menyeduh teh buatan istrinya. Pandangannya lurus ke depan, tetapi pikirannya seperti melayang entah ke mana. Dari sorot matanya terlihat kegundahan.Vanella yang sedari tadi memperhatikan suaminya sambil merapikan tempat tidur sebenarnya merasa penasaran. Tentu saja aneh. Sang suami yang selalu disiplin akan waktu, berangkat pagi-pagi ke kantor, kali ini malah seperti pengangguran tanpa beban. Beberapa kali Vanella menoleh ke arah jam dinding, tetapi enggan untuk bertanya. Kakinya ingin menghampiri, tetapi hatinya menahan.Tiba-tiba Vino beranjak dari sofa dan melangkah masuk. Dengan cepat Vanella mengalihkan fokusnya. Dia merapikan posisi bantal dan guling."Udah hampir setengah sembilan. Nggak ke kantor?" Vanella akhirnya memberanikan diri bertanya sambil berjalan ke arah lemari Vino, hendak menyi
Melihat sang ayah mertua, Vanella mempercepat langkahnya untuk menyapa. Namun, sang suami mengadang langkahnya."Tunggu! Siapa yang ngizinin kamu duduk di sana? Kamu duduk di sebelah sana. Pesen makanan. Belum sarapan, kan?" ujar Vino sambil menunjuk sebuah tempat duduk yang lumayan jauh dari tempat duduk Pak Gibran, ayahnya."Tapi papa....""Aku yang ada perlu sama papa. Bukan kamu. Aku akan jelasin nanti waktu pulang. Udah sana duduk. Istri harus nurut kata suami."Sebenarnya kesal, tetapi Vanella tidak ingin ribut di tempat umum. Jadi dia memilih untuk menurut saja dengan duduk di tempat duduk lain."Pagi, Pa. Udah nunggu lama, ya? Maaf aku lama," sapa Vino sambil menarik kursi di depan ayahnya, lalu duduk."Belum terlalu lama kok. Sebenernya apa yang ingin kamu omongin sampai ngajak papa ketemu di sini? Gak bisa di rumah aja? Terus kenapa kamu gak k