Share

Bab 8. Merantaunya Kembali Alby

Malam itu, Alby yang hendak pergi ke Jakarta mampir ke rumah Ranti untuk berpamitan. Di jok belakang motornya sudah ada tas besar yang berisi pakaian dan beberapa barang lainnya. Buru-buru akan berangkat, Alby tidak bisa lama-lama di sana. Sehingga mereka hanya berbincang sebentar di depan rumah.

"Cepet pulang, ya. Janji abis pulang langsung nikah," rengek Ranti sambil memegang erat lengan Alby.

"Iya iya. Sabar dong. Kan aku kerja juga buat bahagiain kamu. Aku pasti cepet pulang. Aku kan bakalan kangen terus sama lesung pipi ini." Alby mengusap lesung pipi Ranti.

"Sebel tau harus jauhan gini."

"Kan nggak lama. Tenang aja. Ya udah ya aku mau berangkat. Mana tadi ayah kamu."

"Oh ya, bentar."

Ranti melepas tangan Alby, lalu masuk memanggil ayahnya. Mereka pun keluar bersama.

"Nak Alby udah mau berangkat?"

"Iya, Om."

"Nggak papa malem-malem berangkat sendirian?"

"Om Mahesa tenang aja. Aku berangkat sama beberapa teman lain. Nanti aku ke rumah mereka dulu. Lagian cuma ke Jakarta doang, Om. Ini juga kan baru abis magrib. Belom malem banget."

"Ya udah hati-hati ya, Nak. Jangan kebut-kebutan. Om doain kerjaannya lancar di sana. Rezekinya ngalir terus."

"Aamiin. Makasih, Om. Aku berangkat dulu." Alby mencium tangan Pak Mahesa.

"Hati-hati, ya." Giliran Ranti yang mencium tangan Alby.

Alby melambaikan tangan kepada anak dan ayah itu sambil tersenyum. Lalu dia bergegas melajukan motornya. Sementara Ranti melepas kepergian Alby dengan tatapan sedih. Ayahnya pun mengusap lengannya sambil tersenyum.

***

Melihat ruang kerja Vino yang terus tertutup, menandakan bahwa Vino masih sibuk menyelesaikan pekerjaan di dalam membuat Vanella berinisiatif untuk membuatkan minuman dan camilan untuknya.

Belum tahu betul apa yang disukai oleh sang suami, Vanella melihat catatan yang diberikan Vino terlebih dahulu.

"Jadi dia nggak suka kopi. Berarti bikinin teh aja, ya. Kalau camilan dia nggak suka pedes dan nggak suka makan banyak gorengan. Kalau dikit nggak papa kan, ya? Tapi nanti kalau dia jadi batuk bisa gawat. Oh ya, buah aja deh. Kalau buah, dia suka banyak buah. Pilih dua aja deh. Semangka sama apel aja ah."

Vanella bergegas ke dapur. Di sana ada beberapa ART-nya.

Saat tengah memotong semangka, Vanella teringat sesuatu.

"Bi Sasti, mau tanya."

"Ada apa, Nyonya?" sahut Bi Sasti yang tengah memotongi sayuran.

"Obat flu yang alami apa, ya? Bibi tau nggak? Tadi lupa mau cari di internet. HP saya ada di kamar. Kalau gampang kan bisa saya bikin."

"Nyonya sakit? Kalau gitu Nyonya istirahat aja. Biar saya yang nyiapin makanan sama minuman buat tuan."

"Enggak kok, Bi. Justru Vino yang sakit. Dia lagi flu kayanya."

"Flu? Kayanya tuan sehat-sehat aja, Nyonya."

"Tapi dari tadi seharian dia pake masker, Bi. Di rumah aja pake masker. Berarti kan lumayan parah flunya. Eh flu apa batuk, ya. Kalau batuk kayanya nggak denger dia batuk."

Dahi Bu Sasti mengernyit. Dia berhenti memotong sayuran. "Kapan tuan pake masker, Nyonya? Tadi tuan beberapa kali ke dapur nggak pake kok."

Vanella menengok ke belakang dengan ekspresi terkejut. "Serius, Bi? Dia nggak pake masker?"

"Iya, Nyonya. Beneran."

"Terus kenapa dia pake masker di depan gue? Tunggu, tadi waktu ketemu sama Pak Dito maskernya juga dilepas. Artinya beneran cuma di depan gue doang dia pake masker," gumam Vanella.

"Mungkin Tuan Malvin nganggep Nyonya virus kali," sahut Bi Dara.

Vanella terbelalak mendengar ucapan Bi Dara. Bahkan beberapa ART di sana pun ikut terkejut. Mereka langsung berbisik memarahi Bi Dara. Sementara Bi Dara yang menyadari kesalahan ucapannya langsung menepuk-nepuk mulutnya sendiri.

"Bi, itu masak aja sayuran-sayurannya, ya. Malam ini jangan masak yang lain selain sayuran."

"Siap, Nyonya."

"Mampus lo. Kan lo nggak suka sayuran. Malem ini lo nggak akan dapet daging, ayam, atau telur. Cuma akan ada sayur. Biar sekalian nggak makan. Siapa suruh nganggep gue virus," gumam Vanella dengan seringai liciknya.

Dengan menahan kesal, Vanella membawa piring berisi irisan semangka dan apel, juga segelas teh menuju ruang kerja Vino. Beberapa kali dia mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya dia membukanya. 

Tampak Vino masih fokus pada laptopnya. Sama sekali tidak menganggap ada Vanella yang masuk ke sana. Semakin menambah kekesalan Vanella saja. Namun, ada yang menjadi fokus utama Vanella. Yaitu wajah Vino tanpa masker. Dia menatap sebentar, lalu mengalihkan pandangannya lagi.

"Ini teh sama buah-buahan," ujar Vanella sambil meletakkan nampan di meja.

"Hmm."

"Cepet diminum. Keburu dingin."

"Hmm."

"Oh ya, jangan lupa turun. Bentar lagi udah jam makan malem."

"Hmm." Selalu sesingkat itu jawaban Vino sehingga membuat Vanella meliriknya dengan tatapan kesal.

Sebelumnya Vino tidak terlalu peduli dengan kehadiran Vanella, lalu tiba-tiba dia seperti panik mencari sesuatu. Dia pun meraih masker dari laci dan langsung memakainya. Hal itu membuat Vanella semakin geram.

"Kenapa kamu selalu pake...."

"Nyonya, ada temen Nyonya yang dateng," panggil Bi Lina, membuat ucapan Vanella terhenti.

"Iya, Bi."

Tanpa melanjutkan kata-katanya, Vanella bergegas keluar dari ruang kerja Vino. Sang suami yang kepo pun mengikutinya.

Begitu turun dan keluar di depan pintu, Vanella terkejut. Dia melihat lelaki berambut ikal tersenyum menatapnya.

"Alby. Ngapain ke sini malem-malem?"

"Gue dateng. Bukannya disuruh masuk kek. Kan gue pengin ngobrol-ngobrol."

"Ya ta—tapi kan...."

"Gue mau pamit. Kan mau pergi lama."

"Lho jadi lo mau berangkat ke Jakarta sekarang? Gue kira besok."

"Temen-temen gue ngajak berangkat malem. Makanya gue mampir ke sini dulu buat pamitan."

"Emang pantes buat seorang laki-laki malem-malem datang ke rumah wanita yang sudah bersuami untuk berpamitan? Nggak ada wanita lain buat dipamitin?" sahut Vino yang tiba-tiba muncul dari balik pintu tanpa mengenakan masker dan langsung merangkulkan tangannya di pundak Vanella.

"Segitunya ya cemburu ke istri sampai melarang sahabat istrinya mampir sebentar ke sini?"

"Setelah wanita menikah, antara suami dan sahabat, yang paling kuat ikatannya, yang paling berhak untuk dekat itu antara dia dan suaminya," tegas Vino.

"Van, suami lo kok posesif banget sih. Gue kan cuma...."

"Belum selesai juga acara pamitannya? Mau saya panggilkan security?"

"Nggak perlu. Gue bisa pergi sendiri." Alby menatap Vino sengit.

"Van, gue berangkat dulu, ya. Gue titip Ranti. Lo juga jaga diri baik-baik." Alby mengalihkan pandangannya pada Vanella dan menatap dengan lembut.

"Iya, Al. Hati-hati, ya."

Setelah itu Alby segera pergi meninggalkan rumah Vanella. Vino pun langsung melepaskan tangannya dari pundak Vanella dan menutup pintu. Mulailah terjadi perdebatan antara sepasang suami istri itu.

"Apa-apaan sih tadi? Dia Alby sahabat aku. Di depan dia kamu nggak perlu pura-pura bersikap seperti kita ini pasangan suami istri yang saling mencintai. Nggak perlu marah-marah berlebihan kek gitu."

"Aku cuma melakukan apa yang suami lain lakukan ketika ada seorang laki-laki menemui istrinya malem-malem. Aku juga nggak marahin dia. Ada nada aku yang membentak? Nggak, kan? Aku bicara dengan santai karena ketegasan nggak harus ditunjukkan dengan bentakan."

"Ya tapi kamu bisa kan nggak usah nyinggung perasaan dia?"

Vino menyeringai. "Dari tadi kamu cuma protes soal kemarahan aku ke dia tanpa protes soal larangan aku ke dia. Berarti kamu juga membenarkan itu, kan? Tau kan kalau yang dia lakuin salah?"

Dengan santainya Vino melenggang pergi meninggalkan Vanella.

"Alby emang salah dateng ke sini malem-malem. Ya walaupun cuma sekadar pamitan, tapi lebih baik kan ke Ranti aja. Ngapain ke sini segala? Apa dia ke rumah Tara juga? Harusnya dia menghargai status gue sebagai seorang wanita yang sudah bersuami, tapi Vino juga nggak seharusnya sekasar itu. Alby pasti tersinggung. Besok pagi gue harus chat minta maaf ke dia," gumam Vanella.

Di tengah keributan yang terjadi sebelumnya, ternyata para ART sibuk bergunjing di ruang makan sambil menyiapkan makanan untuk Vanella dan Vino.

"Tuh kan tuan dan nyonya ribut pasti gara-gara laki-laki yang tadi," ujar Bi Lina.

"Emang siapa sih laki-laki itu?" tanya Bi Dara penasaran.

"Itu lho yang pernah ke sini sama temen-temennya nyonya yang lain. Jangan-jangan dia naksir lagi sama nyonya."

"Bukannya pas ke sini itu dateng sama pacarnya, ya? Masa naksir nyonya juga," ujar Bi Dara.

"Huss. Udah. Kalian ini. Malah ngomongin majikan sendiri. Lagian mau naksir kek enggak kek. Nyonya nggak mungkin berpaling ke yang lain. Punya suami udah sesempurna itu, mana ada celah untuk lirik-lirik ke yang lain. Mereka itu udah paket komplit. Pasangan sempurna sepanjang masa," sahut Bi Sasti.

Tanpa para ART itu sadari, Vanella dan Vino sudah tiba di ruang makan dan mematung mendengar perkataan Bi Sasti. Bi Lina yang melihat pun langsung memberi kedipan mata pada Bi Sasti dan Bi Dara sehingga mereka menengok ke belakang.

"Eh Tuan, Nyonya, mari silakan makan. Sudah kami siapkan makanannya."

Mereka berdua langsung duduk. Saat menatap lauk di hadapannya, Vino terkejut. "Ini kenapa sayur semua?"

"Lho tadi Nyonya Vanella yang minta untuk kami biar masak sayur saja, Tuan," jawab Bi Lina.

Vino menghela napas. "Saya itu nggak suka sayur."

"Maaf, Tuan. Kami nggak tau," ujar Bi Dara ketakutan.

Vanella berusaha menahan tawa. Dia senang karena berhasil membuat Vino kesal. Dia pikir dia juga akan berhasil membuat Vino terpaksa memakan makanan yang tidak disukainya. Namun, ternyata Vanella salah. Vino malah membuka aplikasi pesan makanan di ponselnya.

"Saya pesen makanan dari luar aja. Yang ada di sini semua biar Nyonya Vanella yang habiskan, Bi. Sepertinya memang Nyonya Vanella ini penggemar berat sayuran. Jadi biarkan semua ini untuk Nyonya Vanella," ujar Vino santai sambil menyeringai licik.

Vanella melongo dibuatnya. 

Gue emang doyan sayur, tapi bukan berarti suka. Kalau sebanyak ini yang ada gue nggak nafsu makan. Apaan sih ini. Mau ngerjain cowok nyebelin ini malah gue yang disuruh ngabisin.

"Biar romantis, sini aku suapin," ujar Vino sambil mengulurkan sesendok nasi lengkap dengan sayur ke arah mulut Vanella.

Melihat di sekelilingnya ada para ART, Vanella terpaksa membuka mulut dan pura-pura tersenyum menikmati makanan dari suapan Vino.

"Kayanya kurang banyak tadi sayurnya. Nih lagi." Vino kembali menyuapi Vanella dengan sesendok penuh sayuran.

Akhirnya mulut Vanella dipenuhi oleh sayuran. Dia yang hanya sekadar doyan makan sayur, tetapi tidak menyukainya pun merasa kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status