Share

Bukan Pernikahan Impian
Bukan Pernikahan Impian
Автор: Naya

Bab 1

<span;>Laki-laki itu berdiri di hadapan Fara dengan wajah yang begitu dingin. Tatapan matanya tajam seakan menusuk langsung ke dalam jantung. Fara tercekat. Dia membalas tatapan laki-laki itu dengan perasaan bingung. Ada apakah? Adakah yang salah denganku? Kenapa dia menatapku seperti itu? Pandangan matanya seolah penuh kebencian. Padahal baru pagi tadi dia mengucap ijab kabul, menghalalkan aku sebagai teman hidupnya. Lantas, kenapa sekarang dia memandangku tajam seperti itu?

<span;>Saat ini mereka sudah berada dalam kamar pengantin setelah seharian lelah duduk bersanding di pelaminan menyambut para tamu yang datang. Tapi tak ada kemesraan yang terjadi. Tak ada tatapan lembut dan penuh cinta yang Ivan berikan pada Fara, istrinya. Yang ada justru satu tatapan tajam yang membuat Fara seperti terpaku di tempatnya dengan jantung yang berdegup kencang tak karuan.

<span;>Fara terus berpikir, mencari penyebab kenapa laki-laki yang baru beberapa jam jadi suaminya itu bersikap seperti itu padanya. Tapi dia tak bisa menemukan jawaban dari pertanyaannya. Fara pun cuma bisa berdiri bengong dengan perasaan bingung yang terus memenuhi rongga dadanya. Sementara Ivan, suaminya, terus memakunya dengan pandangan yang membekukan.

<span;>"Ada apa, mas?" tanya Fara memberanikan diri.

<span;>Ivander Camilio Gusman, suaminya, mendengus pelan tanpa ingin menjawab pertanyaannya tadi. Laki-laki gagah itu tampak kesal mendengar pertanyaan Fara barusan. Fara pun semakin bingung dibuatnya. Sekali lagi dia mencoba mencari kesalahan apakah kiranya yang telah dia lakukan hingga membuat suaminya jadi kesal seperti ini? Tapi tetap saja dia tak menemukan jawabannya. Fara tak merasa melakukan kesalahan apa pun pada suaminya. Bahkan punya kesempatan untuk berdua dengannya pun baru saat ini. Karena sejak pagi tadi mereka cuma duduk di pelaminan dan sibuk menebarkan senyum kepada para tamu undangan yang datang di pesta mereka itu.

<span;>"Apa kamu bahagia dengan pernikahan ini?" Ivan memberikan satu pertanyaan setelah beberapa saat membiarkan pertanyaan Fara tanpa jawaban.

<span;>"Maksud Mas Ivan apa?" Lagi-lagi pertanyaan dibalas dengan pertanyaan.

<span;>"Jawab pertanyaanku. Apa kamu bahagia dengan pernikahan kita ini, Fara?" Ivan mengulang pertanyaannya. Raut wajahnya masih tetap terlihat dingin.

<span;>"Aku..., aku tidak tahu. Pernikahan ini keinginan orangtua kita, mas," sahut Fara dengan suara yang pelan dan gugup.

<span;>"Huh, aku benci pernikahan ini!" ketus Ivan hingga Fara tersentak kaget mendengarnya.

<span;>"Mas membenci pernikahan kita ini? Tapi kenapa mas mau menerimanya?" tanya Fara. Suaranya terdengar bergetar karena rasa terkejut yang tak bisa disembunyikannya.

<span;>"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, Fara. Kenapa kamu menerima perjodohan kita ini? Kamu kan masih bisa menolaknya? Sedangkan aku? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku cuma bisa diam saat orangtuamu menginginkan pernikahan ini! Aku terjebak! Orangtuamu menuntut balas jasa atas kebaikan keluargamu pada papaku dulu!" sarkas Ivan hingga Fara merasa hatinya tergores luka.

<span;>Fara pun memandang Ivan tak percaya. Bagaimana mungkin dia tega bicara seperti itu padanya? Mereka telah saling kenal sejak kecil meski pun tak akrab. Ivan adalah putra sulung dari Pak Arifin Gusman, kakak angkat ayah Fara. Sejak Pak Arifin kecil, kakek Fara-lah yang merawat dan menyekolahkan Pak Arifin hingga dia bisa sukses seperti sekarang ini. Dan ketika bulan lalu ayah Fara mengusulkan untuk menikahkan dia dan Ivan, Pak Arifin dan Bu Elsa, istrinya pun langsung menyetujuinya. Terkesan sebagai satu balas jasa memang. Tapi sungguh kedua orangtuanya tak pernah menuntut balas jasa seperti itu, apa lagi sampai menjebak seperti yang Ivan tuduhkan tadi. Mereka cuma mengusulkan dan ternyata kedua orangtua Ivan langsung menyetujuinya tanpa mempertimbangkannya lagi. Lantas, salah siapakah semua ini?

<span;>"Tega Mas Ivan bicara seperti itu. Bapak dan ibuku tidak pernah menuntut balas jasa, mas," sanggah Fara dengan hati terluka.

<span;>"Lantas apa namanya kalau tiba-tiba saja mereka datang ke rumah dan memintaku untuk menikahimu? Kalau mereka ingin melihat putri mereka menikah, kenapa harus aku yang mereka pilih? Kenapa tidak laki-laki lain saja? Dan kamu, Fara, kenapa harus kamu terima perjodohan ini Sedangkan kamu bisa untuk menolaknya?!"

<span;>Fara memejamkan matanya menahan rasa perih yang menyakitkan. Ivan telah menyayat hatinya teramat dalam lewat kata-katanya itu. Sebegitu menyesalkah dia dengan pernikahan ini? Batin Fara merintih.

<span;>"Aku tidak bisa menolak keinginan bapak, mas. Bapak sedang sakit. Aku takut sakit bapak bertambah parah jika aku sampai mengecewakannya. Aku hanya ingin membahagiakan bapak dan ibu," sahut Fara serak.

<span;>"Tapi kamu membahagiakan orangtuamu dengan cara mengorbankan aku, Fara. Atau jangan-jangan selama ini diam-diam kamu jatuh cinta padaku?" kata Ivan penuh rasa percaya diri seolah tak mempedulikan luka hati Fara.

<span;>Fara menatap Ivan dengan mata yang berkaca-kaca. Tak ditanggapinya kata-kata suaminya barusan. Malam ini dia bisa melihat seperti apa Ivander Camilio Gusman yang sesungguhnya. Ternyata dia tak seperti Ivan  yang Fara dan semua orang kenal selama ini. Dia tak lembut, sikapnya tak hangat dan menyenangkan. Bahkan dia seperti tak punya hati, tak bisa menjaga perasaan Fara sama sekali. Dimana Ivan yang sempurna itu? Yang gagah dan tampan, juga penuh kehangatan? Ternyata semua itu cuma topeng. Dia pandai memikat hati semua orang hingga dia terlihat begitu sempurna di depan semua mata yang memandangnya. Tapi malam ini, dia melepas topengnya itu dan memperlihatkan sifat aslinya di depan Fara.

<span;>"Apa mas ingin kita bercerai?" tanya Fara akhirnya.

<span;>"Bercerai? Bagaimana mungkin? Aku kan harus membayar jasa keluargamu, Fara. Kecuali jika kamu yang menceraikan aku."

<span;>Fara menggeleng. "Bapak sedang sakit. Aku tidak mau membuat sakit bapak bertambah parah," sahutnya lirih.

<span;>"Jadi pernikahan ini harus kita lanjutkan?" Ivan kembali menatap Fara dengan tajam.

<span;>Fara mengangguk.

<span;>"Tapi jangan harap aku bisa menjadi suami yang baik untukmu, Fara. Aku tidak mencintaimu dan aku tidak menginginkan pernikahan ini."

<span;>Fara pun kembali mengangguk dengan dua bulir air mata yang mengalir di pipinya.

<span;>"Kalau kamu bisa, buatlah aku jatuh cinta padamu. Mungkin dengan begitu aku bisa menerimamu menjadi istriku. Tapi saat ini, hatiku bukan untukmu, Fara."

<span;>Fara menatap Ivan dengan rasa kecewa yang teramat sangat. Oh, tuhan..., kenapa seperti ini kenyataan yang harus kuhadapi? Padahal tadi di pesta pernikahan itu aku sempat merasa bahagia. Ku pikir, pada akhirnya aku beruntung karena telah menikah dengan laki-laki setampan dan sebaik Mas Ivan Lihat, betapa gagahnya dia. Perempuan mana pun pasti akan bangga jika bisa bersanding dengannya di pelaminan, termasuk aku. Tapi nyatanya, semua itu cuma harapan semu yang jauh dari kenyataan. Sekarang, jika boleh menyesal, sungguh aku menyesali pernikahan ini. Tapi sayangnya tak ada yang bisa kulakukan untuk merubah semuanya. Mau tidak mau aku harus menjalani rumah tangga bersamanya, batin Fara terus merintih.

<span;>Fara memanglah bukan termasuk gadis yang beruntung. Di usianya yang ketiga puluh dia belum juga bertemu dengan jodohnya. Semua laki-laki yang pernah singgah dalam hidupnya, pergi mencampakan dia begitu saja. Entah mengapa, Fara seperti dikutuk. Kisah cintanya tak pernah indah. Setiap laki-laki yang menjalin kasih dengannya meninggalkannya demi wanita lain. Berulangkali Fara merasa hancur. Hingga akhirnya satu tahun belakangan ini dia memilih untuk sendiri. Tak ingin lagi mengenal cinta karena dia tahu pasti akan berakhir dengan luka.

<span;>Cinta itu kejam. Cinta itu luka. Begitu Fara menanamkan kebencian di hatinya terhadap cinta. Tapi bulan lalu orangtuanya memintanya untuk menikah dengan Ivan, putra Pak Arifin, kakak angkat ayahnya itu. Ah, secercah harapan pun muncul di hati Fara. Mungkin pada Ivan-lah dia bisa melabuhkan cintanya hingga segala mimpi indahnya bisa menjadi nyata. Tapi pada kenyataannya, harapan itu hancur secepat dia melambung. Kini Fara harus kembali menelan kecewa karena laki-laki yang sempat diharapkannya bisa menjadi pelabuhan terakhirnya, ternyata malah menyesali pernikahan dengannya. Oh, sekejam inikah kenyataan?

<span;>Setelah mengucapkan kata-kata yang menyakitkan itu, Ivan pun berjalan santai ke kamar mandi. Fara mengikuti dengan pandangan matanya sampai pintu kamar mandi yang berada di sudut kamarnya itu pun tertutup rapat. Dan tak lama terdengar suara gemericik air di sana.

<span;>Oh, Fara menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia pun terisak pelan dalam kecewanya. Pernikahan indah yang diharapkannya seketika menghilang tak berbekas seperti asap yang menipis disapu angin. Perlahan membumbung dan memudar, lalu menghilang.

<span;>Mungkin cinta memang tak tercipta untukku. Mungkin aku harus bisa menerima kenyataan kalau impian indah yang kuharapkan itu tak kan pernah bisa kudapatkan. Bahkan laki-laki yang terlihat sempurna itu pun ternyata menampakkan wujud aslinya setelah pernikahan kami. Oh, semua yang indah itu cuma mimpi. Pernikahan yang bahagia, malam pertama yang penuh gairah, semua itu tak kan pernah jadi kenyataan untukku.

<span;>Fara pun terus menangis, tenggelam dalam kecewanya yang menyakitkan. Hingga tanpa dia sadari ternyata Ivan telah keluar dari kamar mandi dan kini berdiri tegak di hadapannya hanya dengan menggunakan lilitan handuk di pinggangnya.

<span;>"Kenapa kamu terus menangis, Fara? Hentikan tangismu itu dan lakukanlah tugas pertamamu sebagai istriku."

<span;>Fara pun tersentak kaget mendengar suara Ivan yang begitu dekat dengannya. Dengan segera dia mengangkat wajahnya dan mendapati Ivan yang sedang berdiri di hadapannya dengan wajah yang dingin.

<span;>"Huh?" Fara menatap Ivan dengan bingung.

<span;>"Kau pasti tahu tugas seorang istri, kan? Layani aku dengan baik malam ini. Ini malam pertama kita."

<span;>Malam pertama? Oh, jantung Fara berdegup kencang mendengar kata-kata itu. Malam pertama! Itukah yang akan mereka lakukan sekarang? Tiba-tiba saja Fara pun diserang oleh perasaan gugup! Terlebih lagi ketika tangan Ivan bergerak hendak membuka lilitan handuk yang ada di pinggangnya. Oh, tubuh Fara pun kembali kaku di tempatnya! Dan jantungnya terasa berdegup kencang tak beraturan!

Комментарии (1)
goodnovel comment avatar
Wakit Nurhuda
kenapa mesti ada tulisan span melulu
ПРОСМОТР ВСЕХ КОММЕНТАРИЕВ

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status