<span;>Laki-laki itu berdiri di hadapan Fara dengan wajah yang begitu dingin. Tatapan matanya tajam seakan menusuk langsung ke dalam jantung. Fara tercekat. Dia membalas tatapan laki-laki itu dengan perasaan bingung. Ada apakah? Adakah yang salah denganku? Kenapa dia menatapku seperti itu? Pandangan matanya seolah penuh kebencian. Padahal baru pagi tadi dia mengucap ijab kabul, menghalalkan aku sebagai teman hidupnya. Lantas, kenapa sekarang dia memandangku tajam seperti itu?
<span;>Saat ini mereka sudah berada dalam kamar pengantin setelah seharian lelah duduk bersanding di pelaminan menyambut para tamu yang datang. Tapi tak ada kemesraan yang terjadi. Tak ada tatapan lembut dan penuh cinta yang Ivan berikan pada Fara, istrinya. Yang ada justru satu tatapan tajam yang membuat Fara seperti terpaku di tempatnya dengan jantung yang berdegup kencang tak karuan.<span;>Fara terus berpikir, mencari penyebab kenapa laki-laki yang baru beberapa jam jadi suaminya itu bersikap seperti itu padanya. Tapi dia tak bisa menemukan jawaban dari pertanyaannya. Fara pun cuma bisa berdiri bengong dengan perasaan bingung yang terus memenuhi rongga dadanya. Sementara Ivan, suaminya, terus memakunya dengan pandangan yang membekukan.<span;>"Ada apa, mas?" tanya Fara memberanikan diri.<span;>Ivander Camilio Gusman, suaminya, mendengus pelan tanpa ingin menjawab pertanyaannya tadi. Laki-laki gagah itu tampak kesal mendengar pertanyaan Fara barusan. Fara pun semakin bingung dibuatnya. Sekali lagi dia mencoba mencari kesalahan apakah kiranya yang telah dia lakukan hingga membuat suaminya jadi kesal seperti ini? Tapi tetap saja dia tak menemukan jawabannya. Fara tak merasa melakukan kesalahan apa pun pada suaminya. Bahkan punya kesempatan untuk berdua dengannya pun baru saat ini. Karena sejak pagi tadi mereka cuma duduk di pelaminan dan sibuk menebarkan senyum kepada para tamu undangan yang datang di pesta mereka itu.<span;>"Apa kamu bahagia dengan pernikahan ini?" Ivan memberikan satu pertanyaan setelah beberapa saat membiarkan pertanyaan Fara tanpa jawaban.<span;>"Maksud Mas Ivan apa?" Lagi-lagi pertanyaan dibalas dengan pertanyaan.<span;>"Jawab pertanyaanku. Apa kamu bahagia dengan pernikahan kita ini, Fara?" Ivan mengulang pertanyaannya. Raut wajahnya masih tetap terlihat dingin.<span;>"Aku..., aku tidak tahu. Pernikahan ini keinginan orangtua kita, mas," sahut Fara dengan suara yang pelan dan gugup.<span;>"Huh, aku benci pernikahan ini!" ketus Ivan hingga Fara tersentak kaget mendengarnya.<span;>"Mas membenci pernikahan kita ini? Tapi kenapa mas mau menerimanya?" tanya Fara. Suaranya terdengar bergetar karena rasa terkejut yang tak bisa disembunyikannya.<span;>"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, Fara. Kenapa kamu menerima perjodohan kita ini? Kamu kan masih bisa menolaknya? Sedangkan aku? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku cuma bisa diam saat orangtuamu menginginkan pernikahan ini! Aku terjebak! Orangtuamu menuntut balas jasa atas kebaikan keluargamu pada papaku dulu!" sarkas Ivan hingga Fara merasa hatinya tergores luka.<span;>Fara pun memandang Ivan tak percaya. Bagaimana mungkin dia tega bicara seperti itu padanya? Mereka telah saling kenal sejak kecil meski pun tak akrab. Ivan adalah putra sulung dari Pak Arifin Gusman, kakak angkat ayah Fara. Sejak Pak Arifin kecil, kakek Fara-lah yang merawat dan menyekolahkan Pak Arifin hingga dia bisa sukses seperti sekarang ini. Dan ketika bulan lalu ayah Fara mengusulkan untuk menikahkan dia dan Ivan, Pak Arifin dan Bu Elsa, istrinya pun langsung menyetujuinya. Terkesan sebagai satu balas jasa memang. Tapi sungguh kedua orangtuanya tak pernah menuntut balas jasa seperti itu, apa lagi sampai menjebak seperti yang Ivan tuduhkan tadi. Mereka cuma mengusulkan dan ternyata kedua orangtua Ivan langsung menyetujuinya tanpa mempertimbangkannya lagi. Lantas, salah siapakah semua ini?<span;>"Tega Mas Ivan bicara seperti itu. Bapak dan ibuku tidak pernah menuntut balas jasa, mas," sanggah Fara dengan hati terluka.<span;>"Lantas apa namanya kalau tiba-tiba saja mereka datang ke rumah dan memintaku untuk menikahimu? Kalau mereka ingin melihat putri mereka menikah, kenapa harus aku yang mereka pilih? Kenapa tidak laki-laki lain saja? Dan kamu, Fara, kenapa harus kamu terima perjodohan ini Sedangkan kamu bisa untuk menolaknya?!"<span;>Fara memejamkan matanya menahan rasa perih yang menyakitkan. Ivan telah menyayat hatinya teramat dalam lewat kata-katanya itu. Sebegitu menyesalkah dia dengan pernikahan ini? Batin Fara merintih.<span;>"Aku tidak bisa menolak keinginan bapak, mas. Bapak sedang sakit. Aku takut sakit bapak bertambah parah jika aku sampai mengecewakannya. Aku hanya ingin membahagiakan bapak dan ibu," sahut Fara serak.<span;>"Tapi kamu membahagiakan orangtuamu dengan cara mengorbankan aku, Fara. Atau jangan-jangan selama ini diam-diam kamu jatuh cinta padaku?" kata Ivan penuh rasa percaya diri seolah tak mempedulikan luka hati Fara.<span;>Fara menatap Ivan dengan mata yang berkaca-kaca. Tak ditanggapinya kata-kata suaminya barusan. Malam ini dia bisa melihat seperti apa Ivander Camilio Gusman yang sesungguhnya. Ternyata dia tak seperti Ivan yang Fara dan semua orang kenal selama ini. Dia tak lembut, sikapnya tak hangat dan menyenangkan. Bahkan dia seperti tak punya hati, tak bisa menjaga perasaan Fara sama sekali. Dimana Ivan yang sempurna itu? Yang gagah dan tampan, juga penuh kehangatan? Ternyata semua itu cuma topeng. Dia pandai memikat hati semua orang hingga dia terlihat begitu sempurna di depan semua mata yang memandangnya. Tapi malam ini, dia melepas topengnya itu dan memperlihatkan sifat aslinya di depan Fara.<span;>"Apa mas ingin kita bercerai?" tanya Fara akhirnya.<span;>"Bercerai? Bagaimana mungkin? Aku kan harus membayar jasa keluargamu, Fara. Kecuali jika kamu yang menceraikan aku."<span;>Fara menggeleng. "Bapak sedang sakit. Aku tidak mau membuat sakit bapak bertambah parah," sahutnya lirih.<span;>"Jadi pernikahan ini harus kita lanjutkan?" Ivan kembali menatap Fara dengan tajam.<span;>Fara mengangguk.<span;>"Tapi jangan harap aku bisa menjadi suami yang baik untukmu, Fara. Aku tidak mencintaimu dan aku tidak menginginkan pernikahan ini."<span;>Fara pun kembali mengangguk dengan dua bulir air mata yang mengalir di pipinya.<span;>"Kalau kamu bisa, buatlah aku jatuh cinta padamu. Mungkin dengan begitu aku bisa menerimamu menjadi istriku. Tapi saat ini, hatiku bukan untukmu, Fara."<span;>Fara menatap Ivan dengan rasa kecewa yang teramat sangat. Oh, tuhan..., kenapa seperti ini kenyataan yang harus kuhadapi? Padahal tadi di pesta pernikahan itu aku sempat merasa bahagia. Ku pikir, pada akhirnya aku beruntung karena telah menikah dengan laki-laki setampan dan sebaik Mas Ivan Lihat, betapa gagahnya dia. Perempuan mana pun pasti akan bangga jika bisa bersanding dengannya di pelaminan, termasuk aku. Tapi nyatanya, semua itu cuma harapan semu yang jauh dari kenyataan. Sekarang, jika boleh menyesal, sungguh aku menyesali pernikahan ini. Tapi sayangnya tak ada yang bisa kulakukan untuk merubah semuanya. Mau tidak mau aku harus menjalani rumah tangga bersamanya, batin Fara terus merintih.<span;>Fara memanglah bukan termasuk gadis yang beruntung. Di usianya yang ketiga puluh dia belum juga bertemu dengan jodohnya. Semua laki-laki yang pernah singgah dalam hidupnya, pergi mencampakan dia begitu saja. Entah mengapa, Fara seperti dikutuk. Kisah cintanya tak pernah indah. Setiap laki-laki yang menjalin kasih dengannya meninggalkannya demi wanita lain. Berulangkali Fara merasa hancur. Hingga akhirnya satu tahun belakangan ini dia memilih untuk sendiri. Tak ingin lagi mengenal cinta karena dia tahu pasti akan berakhir dengan luka.<span;>Cinta itu kejam. Cinta itu luka. Begitu Fara menanamkan kebencian di hatinya terhadap cinta. Tapi bulan lalu orangtuanya memintanya untuk menikah dengan Ivan, putra Pak Arifin, kakak angkat ayahnya itu. Ah, secercah harapan pun muncul di hati Fara. Mungkin pada Ivan-lah dia bisa melabuhkan cintanya hingga segala mimpi indahnya bisa menjadi nyata. Tapi pada kenyataannya, harapan itu hancur secepat dia melambung. Kini Fara harus kembali menelan kecewa karena laki-laki yang sempat diharapkannya bisa menjadi pelabuhan terakhirnya, ternyata malah menyesali pernikahan dengannya. Oh, sekejam inikah kenyataan?<span;>Setelah mengucapkan kata-kata yang menyakitkan itu, Ivan pun berjalan santai ke kamar mandi. Fara mengikuti dengan pandangan matanya sampai pintu kamar mandi yang berada di sudut kamarnya itu pun tertutup rapat. Dan tak lama terdengar suara gemericik air di sana.<span;>Oh, Fara menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia pun terisak pelan dalam kecewanya. Pernikahan indah yang diharapkannya seketika menghilang tak berbekas seperti asap yang menipis disapu angin. Perlahan membumbung dan memudar, lalu menghilang.<span;>Mungkin cinta memang tak tercipta untukku. Mungkin aku harus bisa menerima kenyataan kalau impian indah yang kuharapkan itu tak kan pernah bisa kudapatkan. Bahkan laki-laki yang terlihat sempurna itu pun ternyata menampakkan wujud aslinya setelah pernikahan kami. Oh, semua yang indah itu cuma mimpi. Pernikahan yang bahagia, malam pertama yang penuh gairah, semua itu tak kan pernah jadi kenyataan untukku.<span;>Fara pun terus menangis, tenggelam dalam kecewanya yang menyakitkan. Hingga tanpa dia sadari ternyata Ivan telah keluar dari kamar mandi dan kini berdiri tegak di hadapannya hanya dengan menggunakan lilitan handuk di pinggangnya.<span;>"Kenapa kamu terus menangis, Fara? Hentikan tangismu itu dan lakukanlah tugas pertamamu sebagai istriku."<span;>Fara pun tersentak kaget mendengar suara Ivan yang begitu dekat dengannya. Dengan segera dia mengangkat wajahnya dan mendapati Ivan yang sedang berdiri di hadapannya dengan wajah yang dingin.<span;>"Huh?" Fara menatap Ivan dengan bingung.<span;>"Kau pasti tahu tugas seorang istri, kan? Layani aku dengan baik malam ini. Ini malam pertama kita."<span;>Malam pertama? Oh, jantung Fara berdegup kencang mendengar kata-kata itu. Malam pertama! Itukah yang akan mereka lakukan sekarang? Tiba-tiba saja Fara pun diserang oleh perasaan gugup! Terlebih lagi ketika tangan Ivan bergerak hendak membuka lilitan handuk yang ada di pinggangnya. Oh, tubuh Fara pun kembali kaku di tempatnya! Dan jantungnya terasa berdegup kencang tak beraturan!<span;>Ivan membuka lilitan handuk di pinggangnya. Lalu dengan sembarangan laki-laki tampan itu menghempaskan handuk itu ke lantai. Fara yang melihat itu pun tertegun. Dia hampir tak bisa bergerak dengan jantung yang berdegup kencang. Bagi Fara, inilah kali pertama dia melihat secara langsung seorang laki-laki yang polos tanpa busana berdiri di hadapannya. Fara merasa malu. Dia pun menundukkan kepalanya setelah melihat milik Ivan yang sesungguhnya telah menjadi suaminya. Fara merasa bingung, tak tahu apa yang harus dia lakukan. <span;>"Kenapa menunduk begitu? Kamu tidak suka melihatnya?" tanya Ivan sambil mengangkat dagu Fara. <span;>"Huh?" Fara tak bisa menjawabnya. Dia hanya bisa menatap wajah Ivan yang juga sedang menatapnya dengan sorot mata yang mendebarkan. <span;>"Jangan bilang kalau kamu belum pernah melihatnya, Fara," kata Ivan lagi. <span;>"Tidak jika berhadapan seperti ini," sahut Fara lugu.
<span;>Langit masih gelap ketika Fara terjaga dari tidurnya. Dia mendapati Ivan yang sedang duduk di sampingnya sambil menatap telepon genggamnya dengan wajah yang kecewa. Sesaat Fara memperhatikan. Suaminya itu tampak kecewa dengan apa yang dia lihat atau dia baca di layar hpnya. Tapi dengan siapakah suaminya berkomunikasi di pagi buta seperti ini? Dengan kekasih hatinya itukah? <span;>"Mas," panggil Fara pelan. <span;>Ivan pun terkejut. Sepertinya dia tidak tahu jika Fara telah bangun. Dengan gugup dia seperti hendak menyembunyikan ponselnya itu dari Fara. Tapi Fara telah melihatnya. Termasuk melihat dengan jelas kegugupan suaminya itu yang bertingkah seperti seseorang yang baru saja berbuat salah. <span;>"Jangan mengejutkan aku seperti itu, Fara," protes Ivan tak suka. <span;>"Mas terkejut? Padahal aku cuma memanggil saja," kata Fara menyahuti. <span;>"Aku pikir kamu masih tidur."
<span;>Ivan menatap Fara yang baru saja keluar dari kamar mandi. Keningnya berkerut dan wajahnya cemberut hingga membuat Fara menjadi kikuk. Fara tak mengerti kenapa Ivan menatapnya seperti itu. Dia merasa sikap Ivan itu begitu aneh. Karena tanpa alasan yang jelas dia seolah menatap Fara dengan kesal. <span;>"Ada apa?" tanya Fara bingung. <span;>"Matamu bengkak." sahut Ivan cemberut. <span;>Huh? Fara pun cepat mengusap matanya. "Ini karena aku habis menangis." <span;>"Siapa yang menyuruhmu menangis?" tanya Ivan dengan nada marah. <span;>Huh? Fara melongo menatap suaminya yang masih terus menatapnya dengan wajah yang cemberut. <span;>"Aku sudah bilang jangan kelewat cengeng. Sekarang matamu bengkak begini bagaimana kamu bisa keluar dan bertemu orang-orang? Mereka pasti bertanya kenapa matamu sampai bengkak begitu? Terus aku harus jawab apa? Apa tidak mungkin jika nanti me
<span;>Seminggu sudah mereka tinggal di rumah orangtua Fara. Hari ini mereka berencana untuk pindah ke rumah orangtua Ivan dan menetap di sana seperti rencana mereka semula. Karena itulah sejak pagi Fara sibuk berkemas, memilih pakaian dan barang-barang lainnya yang akan dia bawa. <span;>Sebuah tas besar telah penuh oleh pakaiannya. Lalu satu tas lainnya akan dia isi dengan berbagai macam barang keperluannya. Fara berpikir sekiranya barang apa saja yang akan dibawanya. Fara pun mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Dia melihat deretan buku bacaan koleksinya yang tersusun rapi di lemari kecil. Juga koleksi parfum dan sepatunya. Hm, Fara bingung karena seakan tak rela berpisah dengan semua barang koleksinya itu. Tapi tadi Ivan telah berpesan dengan tegas supaya Fara tidak membawa banyak barang yang akan memenuhi kamarnya nanti. Padahal rasanya Fara ingin membawa semuanya. Terutama koleksi buku- bukunya yang selama ini selalu setia menemaninya disaat sepi.
<span;>Mereka tiba di rumah orangtua Ivan ketika langit hampir gelap. Memang hanya butuh waktu satu jam perjalanan saja untuk bisa sampai ke sana. Tapi itu pun kalau tak terjebak dalam kemacetan lalu lintas yang parah. Karena sore itu arus kendaraan tidak terlalu padat, maka mereka pun bisa sampai sebelum malam. Sedikit lebih cepat dari yang Ivan perkirakan. <span;>Ketika mereka sampai, rupanya kedua orangtua Ivan sudah menunggu kedatangan mereka. Pak Arifin dan Bu Elsa langsung menyambut mereka dengan hangat. Sepertinya mereka memang sangat senang karena anak dan menantu mereka mau tinggal bersama dengan mereka di sana. <span;>"Hanya ini barang yang kamu bawa, Fara?" tanya Bu Elsa ketika dilihatnya tas yang dibawa Fara. <span;>"Iya, ma. Kata Mas Ivan tidak usah membawa banyak-banyak," sahut Fara. <span;>"Ah, Ivan tidak mengerti kalau perempuan itu pasti memiliki banyak barang," kata Bu Elsa sambil melirik
<span;>Kita kembali ke malam hari di saat Ivan baru saja keluar dari rumahnya. <span;>Laki-laki tampan itu bergegas mengendarai mobilnya memecah kepadatan lalu lintas malam itu demi untuk menemui seseorang yang sangat dirindukannya. Mereka memang telah merencanakan pertemuan ini. Dan Ivan berharap masih ada setitik harapan baginya untuk bisa meraih kembali cintanya. Lantas bagaimana dengan Fara? Ivan berpikir tak apa jika dia bisa merahasiakannya dari istrinya itu. Jika dia tak tahu, berarti dia tak kan terluka, kan? Ivan merasa mampu untuk memenuhi kebutuhan dua istri. Jadi dia bisa tetap menjalani rumah tangganya bersama Fara sesuai dengan keinginan orangtuanya tanpa harus kehilangan cintanya. <span;>Adelia, adalah perempuan cantik yang telah dipacarinya selama lima tahun ini. Mereka bertemu di acara ulang tahun seorang teman. Dan dari pertemuan itulah tumbuh benih-benih cinta yang semakin hari semakin bermekaran. <span;>
<span;>Ivan duduk bersama tiga orang teman dekatnya. Hentakkan musik mengalahkan suara mereka yang sedang asyik bercanda dan berbincang tentang masalah perempuan. Tapi Ivan tak banyak bicara. Dia hanya menimpali sesekali saja obrolan teman-temannya itu. Pikirannya sebagian masih terpusat pada Adelia. Belum bisa mengalihkan pikirannya dari gadis terkasih itu meski dia terus mencoba. Jika candaan temannya terdengar lucu, Ivan pun ikut tertawa lepas. Tapi setelah itu pikirannya kembali bercabang. Mengarah sebagian pada Adelia yang kini pergi menghilang. <span;>"Kamu lagi ada masalah, ya?" tanya Dito pada Ivan. <span;>"Kok, tahu?" sahut Ivan pendek. <span;>"Kelihatan dari wajahmu yang murung itu. Lagi pula, kalau ada pengantin baru yang lebih memilih nongkrong di sini dari pada menikmati waktu berdua dengan istrinya, bisa dipastikan dia sedang ada masalah," kata Dito menebak. <span;>Ivan pun mengangguk membena
<span;>Fara terjaga dari tidurnya karena dirasakannya ada seseorang yang naik ke tempat tidur. Dengan cepat dia menoleh. Didapatinya Ivan yang sedang berbaring hendak tidur. Suaminya itu pun tampak acuh, seperti tak peduli pada Fara yang terkejut. <span;>"Mas Ivan?!" Fara pun cepat melihat pada jam mungil yang ada di atas nakas. Pukul setengah lima pagi. "Mas Ivan baru pulang?" <span;>"Bangunkan aku jam enam," pinta Ivan tanpa menjawab pertanyaan Fara barusan. <span;>"Kenapa Mas Ivan baru pulang?" Fara melanjutkan pertanyaannya. <span;>"Bertanyanya nanti saja, Fara. Sekarang aku ngantuk, ingin tidur," sahut Ivan sambil terus terpejam. <span;>"Aku tunggu Mas Ivan semalaman. Janjinya mau pulang sebelum tengah malam. Tapi ternyata malah pulang pagi. Keterlaluan!" kata Fara kesal. <span;>Ivan pun membuka matanya dan menoleh pada Fara. Ekspresi wajahnya datar seolah dia tak m