Share

Bab 5

<span;>Seminggu sudah mereka tinggal di rumah orangtua Fara. Hari ini mereka berencana untuk pindah ke rumah orangtua Ivan dan menetap di sana seperti rencana mereka semula. Karena itulah sejak pagi Fara sibuk berkemas, memilih pakaian dan barang-barang lainnya yang akan dia bawa.

<span;>Sebuah tas besar telah penuh oleh pakaiannya. Lalu satu tas lainnya akan dia isi dengan berbagai macam barang keperluannya. Fara berpikir sekiranya barang apa saja yang akan dibawanya. Fara pun mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Dia melihat deretan buku bacaan koleksinya yang tersusun rapi di lemari kecil. Juga koleksi parfum dan sepatunya. Hm, Fara bingung karena seakan tak rela berpisah dengan semua barang koleksinya itu. Tapi tadi Ivan telah berpesan dengan tegas supaya Fara tidak membawa banyak barang yang akan memenuhi kamarnya nanti. Padahal rasanya Fara ingin membawa semuanya. Terutama koleksi buku- bukunya yang selama ini selalu setia menemaninya disaat sepi.

<span;>"Tidak! Jangan kamu bawa buku-bukumu itu. Aku tidak punya lemari buku. Mau kamu taruh dimana nanti? Bikin berantakan. Aku tidak suka!" larang Ivan barusan.

<span;>"Kita beli saja lemari buku kecil. Nanti kita letakan di luar kamar. Jadi kamar Mas Ivan tidak akan sempit," kata Fara membujuk.

<span;>Ivan menggeleng dengan tegas. "Tidak!"

<span;>Akhirnya Fara pun menurut dan hanya membawa tiga buah buku kesayangannya.

<span;>Fara menoleh pada suaminya yang sejak tadi sedang asyik duduk di atas tempat tidur sambil bermain game di hpnya. "Mas," panggilnya.

<span;>"Hm," sahut Ivan tanpa mengalihkan matanya dari permainan game di ponselnya itu.

<span;>"Apa mas tidak mau membantuku?"

<span;>"Bantu? Memangnya kamu tidak bisa berkemas sendiri?"

<span;>"Bisa. Tapi aku bingung karena Mas Ivan melarang aku membawa hampir semua dari barang-barangku. Sampai-sampai sepatu pun aku tidak boleh membawa banyak-banyak."

<span;>"Untuk apa membawa sepatu banyak-banyak? Memangnya kamu mau keluyuran setiap hari nanti? Kerja pun kamu sudah berhenti, Fara. Jadi kamu cukup diam di rumah saja. Kamu tidak perlu sepatu!"

<span;>"Jadi aku harus membawa apa?"

<span;>"Bawa saja pakaianmu. Tidak perlu kamu bawa yang lain."

<span;>"Hanya pakaian?"

<span;>"Ya, hanya pakaian."

<span;>"Lalu sepatuku? Bagaimana jika aku ingin pergi keluar rumah?"

<span;>"Bawa saja dua atau tiga pasang. Kamu tidak sedang mau pamer sepatu, kan?"

<span;>"Tapi, mas...."

<span;>"Jangan ganggu aku, Fara. Kerjakan saja sendiri. Pilih mana yang penting untuk kamu gunakan nanti. Masa begitu saja kamu tidak bisa?" Nada suara Ivan mulai terdengar kesal.

<span;>"Apa Mas Ivan sedang sibuk? Bukannya sejak tadi mas cuma main game saja?"

<span;>Ivan pun mengangkat wajahnya dan menatap Fara. "Apa kamu lebih suka jika aku ngobrol dengan Adelia?"

<span;>Seketika Fara langsung cemberut. Dibalasnya tatapan kesal Ivan hingga mereka pun kini saling bertatapan.

<span;>"Jadi namanya Adelia?" tanya Fara sambil menekan rasa cemburunya.

<span;>"Ya, namanya Adelia," sahut Ivan. Lalu seakan tak terjadi apa-apa, dia pun kembali asyik menatap ponselnya.

<span;>"Mas Ivan masih mencintai dia?" tanya Fara lagi.

<span;>"Untuk apa kamu bertanya seperti itu? Nyatanya yang sekarang jadi istriku itu kamu, kan?" Ivan menyahuti dengan sikap santai, seolah tak ingin menanggapi rasa cemburu Fara.

<span;>"Tapi dia-lah yang Mas Ivan cinta, kan?" tanya Fara lagi. Kali ini suaranya mulai terdengar bergetar.

<span;>Ivan pun kembali mengangkat wajahnya dan menatap Fara. "Kamulah yang akan menjadi teman hidupku sampai aku tua nanti, Fara. Apa itu belum cukup bagimu?"

<span;>Fara terdiam. Dia merasakan dadanya sesak oleh kekecewaan. Jika harus terikat seumur hidup, cukupkah hanya dengan memiliki raganya saja? Tanpa sedikit pun memiliki hati dan perhatiannya?

<span;>Perlahan air mata pun mengalir di pipinya. Dia membayangkan betapa pahitnya hari-hari yang akan dilaluinya besok. Betapa hampanya. Dan tak lama, Fara pun mulai terisak pelan.

<span;>"Hei, Fara!" protes Ivan segera. "Jangan menangis lagi, Fara. Nanti matamu bengkak. Kenapa kamu cengeng sekali? Aku sudah bilang jangan suka berpikir yang macam-macam. Nyatanya sekarang aku ada di sini bersamamu, kan? Aku tidak bersama Adelia."

<span;>Fara terus terisak. Dia seolah tak mendengar protes Ivan barusan. Mungkin perlu waktu untuk membiasakan diri dengan pernikahan yang tak biasa ini. Atau dia memang tak kan pernah bisa terbiasa. Karena tiapkali dia teringat kalau Ivan tak kan mau memberikan hatinya, Fara pasti merasa sedih.

<span;>Melihat Fara terus menangis, Ivan pun segera turun dari tempat tidur. Kemudian dia mengambil kotak tisu dan memberikannya pada Fara. Tapi Fara diam. Tak diambilnya kotak tisu yang Ivan sodorkan di depan wajahnya. Dia terus terisak dan menunduk.

<span;>Ivan berdecak tak sabar. Dia segera berjongkok di depan Fara. Kemudian diambilnya beberapa lembar tisu dan dihapusnya air mata yang mengalir di kedua pipi istrinya itu.

<span;>"Sudah dibilang jangan suka cengeng, masih saja cengeng. Aku kan ada di sini bersamamu, Fara. Apa lagi yang membuatmu sedih? Kalau kamu ingin aku mencintaimu, buatlah supaya aku jatuh cinta padamu. Dan caranya bukan dengan menangis seperti ini."

<span;>Fara menatap Ivan dengan matanya yang basah. Lalu perlahan ditepiskannya tangan Ivan yang masih terus menghapus air matanya hingga suaminya itu tampak terkejut. Kemudian dia kembali melanjutkan pekerjaannya tadi. Dibiarkannya Ivan yang masih tetap berjongkok di tempatnya.

<span;>"Kamu marah?" tanya Ivan pelan.

<span;>Fara tak menjawab.

<span;>Ivan pun menghela napas panjang untuk kemudian kembali duduk di atas tempat tidur. Dari sana diperhatikannya Fara yang cemberut.

<span;>"Bisa marah juga rupanya."

<span;>Fara tetap tak menyahuti. Dia terus sibuk berkemas sambil menahan perasaan kesal pada suaminya itu. Sementara Ivan malah kembali asyik melanjutkan memainkan game di ponselnya. Suasana kamar pun terasa hening. Di antara mereka tak ada lagi yang bersuara.

<span;>***

<span;>Sore itu mereka pamit. Dengan menahan kesedihan Fara memeluk erat kedua orangtuanya. Hatinya perih. Kedua orangtuanya tak tahu jika mereka telah memilihkan jodoh yang salah untuknya. Dan besok, dia akan memulai kehidupan berumah tangga yang sesungguhnya bersama laki-laki yang tak menginginkannya.

<span;>"Jadilah istri yang baik, Fara. Layanilah segala keperluan suamimu dengan sebaik-baiknya. Jangan suka membantah dan membuat suamimu marah. Ingat, Ivan adalah pemimpin buatmu sekarang. Patuhi dia," nasihat ayahnya.

<span;>Fara mengangguk. "Ya, pak."

<span;>"Sudah jangan bersedih seperti ini. Dari tadi kau menangis terus, ya? Matamu sampai bengkak begini. Jadi berkurang cantiknya nanti," canda ayahnya agar Fara tak terus bersedih.

<span;>"Iya, pak. Saya sudah bilang supaya Fara jangan menangis terus. Toh, dia bisa datang kemari kapan saja jika kangen sama bapak dan ibu," sambar Ivan dengan suara manisnya.

<span;>Pak Surya pun tersenyum mendengar kata-kata menantunya itu. "Fara memang manja sekali sama bapak dan ibu, Van. Meski sudah dewasa tapi dia tidak bisa jauh dari kami. Tapi bapak yakin kamu pasti bisa menghapus kesedihan Fara nanti. Bapak percaya kamu bisa membuat Fara bahagia."

<span;>Ivan ikut tersenyum. "Mungkin nanti Fara manjanya sama saya, pak," sahutnya masih tetap dengan sikap dan suara yang manis.

<span;>Pak Surya pun tertawa. "Ya, itu sudah pasti. Nanti Fara pasti akan manja sama kamu. Tapi kamu jangan kaget karena Fara sedikit cengeng. Mungkin karena biasa dimanja sama bapak."

<span;>"Ya, pak, saya sudah tahu kalau Fara itu sedikit cengeng. Buktinya sejak pagi tadi dia nangis karena akan berpisah sama bapak dan ibu. Tapi tidak apa, saya bisa memaklumi. Namanya juga perempuan. Kalau sedikit manja dan cengeng itu kan sudah biasa." Ivan kembali menunjukkan kesempurnaannya sebagai laki-laki hingga Pak Surya menatapnya dengan penuh kekaguman.

<span;>"Bapak senang kamu bisa menerima Fara apa adanya. Kamu memang seorang suami yang baik. Fara beruntung memiliki suami seperti kamu," puji Pak Surya.

<span;>Fara pun mendesah sedih mendengar kata-kata ayahnya itu. Andai saja dia bisa bercerita pada kedua orangtuanya tentang bagaimana Ivan yang sesungguhnya, mungkin dadanya tak kan sesesak ini. Tapi Fara hanya bisa diam mendengarkan ayahnya memuji dan mengagumi Ivan seperti itu. Sementara Ivan tampak sangat menikmati segala pujian yang tertuju padanya. Dia yang terbiasa dianggap sempurna, bisa dengan sempurna menutupi segala sifat aslinya. Dan semua itu hanya Fara-lah yang tahu. Sedang dia tak bisa bercerita pada siapa pun tentang kebenaran itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ria Fella
Ivan minta diketok palu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status