<span;>Seminggu sudah mereka tinggal di rumah orangtua Fara. Hari ini mereka berencana untuk pindah ke rumah orangtua Ivan dan menetap di sana seperti rencana mereka semula. Karena itulah sejak pagi Fara sibuk berkemas, memilih pakaian dan barang-barang lainnya yang akan dia bawa.
<span;>Sebuah tas besar telah penuh oleh pakaiannya. Lalu satu tas lainnya akan dia isi dengan berbagai macam barang keperluannya. Fara berpikir sekiranya barang apa saja yang akan dibawanya. Fara pun mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Dia melihat deretan buku bacaan koleksinya yang tersusun rapi di lemari kecil. Juga koleksi parfum dan sepatunya. Hm, Fara bingung karena seakan tak rela berpisah dengan semua barang koleksinya itu. Tapi tadi Ivan telah berpesan dengan tegas supaya Fara tidak membawa banyak barang yang akan memenuhi kamarnya nanti. Padahal rasanya Fara ingin membawa semuanya. Terutama koleksi buku- bukunya yang selama ini selalu setia menemaninya disaat sepi.<span;>"Tidak! Jangan kamu bawa buku-bukumu itu. Aku tidak punya lemari buku. Mau kamu taruh dimana nanti? Bikin berantakan. Aku tidak suka!" larang Ivan barusan.<span;>"Kita beli saja lemari buku kecil. Nanti kita letakan di luar kamar. Jadi kamar Mas Ivan tidak akan sempit," kata Fara membujuk.<span;>Ivan menggeleng dengan tegas. "Tidak!"<span;>Akhirnya Fara pun menurut dan hanya membawa tiga buah buku kesayangannya.<span;>Fara menoleh pada suaminya yang sejak tadi sedang asyik duduk di atas tempat tidur sambil bermain game di hpnya. "Mas," panggilnya.<span;>"Hm," sahut Ivan tanpa mengalihkan matanya dari permainan game di ponselnya itu.<span;>"Apa mas tidak mau membantuku?"<span;>"Bantu? Memangnya kamu tidak bisa berkemas sendiri?"<span;>"Bisa. Tapi aku bingung karena Mas Ivan melarang aku membawa hampir semua dari barang-barangku. Sampai-sampai sepatu pun aku tidak boleh membawa banyak-banyak."<span;>"Untuk apa membawa sepatu banyak-banyak? Memangnya kamu mau keluyuran setiap hari nanti? Kerja pun kamu sudah berhenti, Fara. Jadi kamu cukup diam di rumah saja. Kamu tidak perlu sepatu!"<span;>"Jadi aku harus membawa apa?"<span;>"Bawa saja pakaianmu. Tidak perlu kamu bawa yang lain."<span;>"Hanya pakaian?"<span;>"Ya, hanya pakaian."<span;>"Lalu sepatuku? Bagaimana jika aku ingin pergi keluar rumah?"<span;>"Bawa saja dua atau tiga pasang. Kamu tidak sedang mau pamer sepatu, kan?"<span;>"Tapi, mas...."<span;>"Jangan ganggu aku, Fara. Kerjakan saja sendiri. Pilih mana yang penting untuk kamu gunakan nanti. Masa begitu saja kamu tidak bisa?" Nada suara Ivan mulai terdengar kesal.<span;>"Apa Mas Ivan sedang sibuk? Bukannya sejak tadi mas cuma main game saja?"<span;>Ivan pun mengangkat wajahnya dan menatap Fara. "Apa kamu lebih suka jika aku ngobrol dengan Adelia?"<span;>Seketika Fara langsung cemberut. Dibalasnya tatapan kesal Ivan hingga mereka pun kini saling bertatapan.<span;>"Jadi namanya Adelia?" tanya Fara sambil menekan rasa cemburunya.<span;>"Ya, namanya Adelia," sahut Ivan. Lalu seakan tak terjadi apa-apa, dia pun kembali asyik menatap ponselnya.<span;>"Mas Ivan masih mencintai dia?" tanya Fara lagi.<span;>"Untuk apa kamu bertanya seperti itu? Nyatanya yang sekarang jadi istriku itu kamu, kan?" Ivan menyahuti dengan sikap santai, seolah tak ingin menanggapi rasa cemburu Fara.<span;>"Tapi dia-lah yang Mas Ivan cinta, kan?" tanya Fara lagi. Kali ini suaranya mulai terdengar bergetar.<span;>Ivan pun kembali mengangkat wajahnya dan menatap Fara. "Kamulah yang akan menjadi teman hidupku sampai aku tua nanti, Fara. Apa itu belum cukup bagimu?"<span;>Fara terdiam. Dia merasakan dadanya sesak oleh kekecewaan. Jika harus terikat seumur hidup, cukupkah hanya dengan memiliki raganya saja? Tanpa sedikit pun memiliki hati dan perhatiannya?<span;>Perlahan air mata pun mengalir di pipinya. Dia membayangkan betapa pahitnya hari-hari yang akan dilaluinya besok. Betapa hampanya. Dan tak lama, Fara pun mulai terisak pelan.<span;>"Hei, Fara!" protes Ivan segera. "Jangan menangis lagi, Fara. Nanti matamu bengkak. Kenapa kamu cengeng sekali? Aku sudah bilang jangan suka berpikir yang macam-macam. Nyatanya sekarang aku ada di sini bersamamu, kan? Aku tidak bersama Adelia."<span;>Fara terus terisak. Dia seolah tak mendengar protes Ivan barusan. Mungkin perlu waktu untuk membiasakan diri dengan pernikahan yang tak biasa ini. Atau dia memang tak kan pernah bisa terbiasa. Karena tiapkali dia teringat kalau Ivan tak kan mau memberikan hatinya, Fara pasti merasa sedih.<span;>Melihat Fara terus menangis, Ivan pun segera turun dari tempat tidur. Kemudian dia mengambil kotak tisu dan memberikannya pada Fara. Tapi Fara diam. Tak diambilnya kotak tisu yang Ivan sodorkan di depan wajahnya. Dia terus terisak dan menunduk.<span;>Ivan berdecak tak sabar. Dia segera berjongkok di depan Fara. Kemudian diambilnya beberapa lembar tisu dan dihapusnya air mata yang mengalir di kedua pipi istrinya itu.<span;>"Sudah dibilang jangan suka cengeng, masih saja cengeng. Aku kan ada di sini bersamamu, Fara. Apa lagi yang membuatmu sedih? Kalau kamu ingin aku mencintaimu, buatlah supaya aku jatuh cinta padamu. Dan caranya bukan dengan menangis seperti ini."<span;>Fara menatap Ivan dengan matanya yang basah. Lalu perlahan ditepiskannya tangan Ivan yang masih terus menghapus air matanya hingga suaminya itu tampak terkejut. Kemudian dia kembali melanjutkan pekerjaannya tadi. Dibiarkannya Ivan yang masih tetap berjongkok di tempatnya.<span;>"Kamu marah?" tanya Ivan pelan.<span;>Fara tak menjawab.<span;>Ivan pun menghela napas panjang untuk kemudian kembali duduk di atas tempat tidur. Dari sana diperhatikannya Fara yang cemberut.<span;>"Bisa marah juga rupanya."<span;>Fara tetap tak menyahuti. Dia terus sibuk berkemas sambil menahan perasaan kesal pada suaminya itu. Sementara Ivan malah kembali asyik melanjutkan memainkan game di ponselnya. Suasana kamar pun terasa hening. Di antara mereka tak ada lagi yang bersuara.<span;>***<span;>Sore itu mereka pamit. Dengan menahan kesedihan Fara memeluk erat kedua orangtuanya. Hatinya perih. Kedua orangtuanya tak tahu jika mereka telah memilihkan jodoh yang salah untuknya. Dan besok, dia akan memulai kehidupan berumah tangga yang sesungguhnya bersama laki-laki yang tak menginginkannya.<span;>"Jadilah istri yang baik, Fara. Layanilah segala keperluan suamimu dengan sebaik-baiknya. Jangan suka membantah dan membuat suamimu marah. Ingat, Ivan adalah pemimpin buatmu sekarang. Patuhi dia," nasihat ayahnya.<span;>Fara mengangguk. "Ya, pak."<span;>"Sudah jangan bersedih seperti ini. Dari tadi kau menangis terus, ya? Matamu sampai bengkak begini. Jadi berkurang cantiknya nanti," canda ayahnya agar Fara tak terus bersedih.<span;>"Iya, pak. Saya sudah bilang supaya Fara jangan menangis terus. Toh, dia bisa datang kemari kapan saja jika kangen sama bapak dan ibu," sambar Ivan dengan suara manisnya.<span;>Pak Surya pun tersenyum mendengar kata-kata menantunya itu. "Fara memang manja sekali sama bapak dan ibu, Van. Meski sudah dewasa tapi dia tidak bisa jauh dari kami. Tapi bapak yakin kamu pasti bisa menghapus kesedihan Fara nanti. Bapak percaya kamu bisa membuat Fara bahagia."<span;>Ivan ikut tersenyum. "Mungkin nanti Fara manjanya sama saya, pak," sahutnya masih tetap dengan sikap dan suara yang manis.<span;>Pak Surya pun tertawa. "Ya, itu sudah pasti. Nanti Fara pasti akan manja sama kamu. Tapi kamu jangan kaget karena Fara sedikit cengeng. Mungkin karena biasa dimanja sama bapak."<span;>"Ya, pak, saya sudah tahu kalau Fara itu sedikit cengeng. Buktinya sejak pagi tadi dia nangis karena akan berpisah sama bapak dan ibu. Tapi tidak apa, saya bisa memaklumi. Namanya juga perempuan. Kalau sedikit manja dan cengeng itu kan sudah biasa." Ivan kembali menunjukkan kesempurnaannya sebagai laki-laki hingga Pak Surya menatapnya dengan penuh kekaguman.<span;>"Bapak senang kamu bisa menerima Fara apa adanya. Kamu memang seorang suami yang baik. Fara beruntung memiliki suami seperti kamu," puji Pak Surya.<span;>Fara pun mendesah sedih mendengar kata-kata ayahnya itu. Andai saja dia bisa bercerita pada kedua orangtuanya tentang bagaimana Ivan yang sesungguhnya, mungkin dadanya tak kan sesesak ini. Tapi Fara hanya bisa diam mendengarkan ayahnya memuji dan mengagumi Ivan seperti itu. Sementara Ivan tampak sangat menikmati segala pujian yang tertuju padanya. Dia yang terbiasa dianggap sempurna, bisa dengan sempurna menutupi segala sifat aslinya. Dan semua itu hanya Fara-lah yang tahu. Sedang dia tak bisa bercerita pada siapa pun tentang kebenaran itu."Sungguhkah kamu dan Mas Ivan telah bersatu lagi, Fara?" tanya Gilang dengan raut wajah kecewa yang tidak bisa dia sembunyikan. "Ya, aku dan Mas Ivan telah bersatu lagi. Lusy telah mengakui kebohongannya. Dan itu berarti tidak ada lagi yang menghalangi kami untuk kembali bersatu," jawab Fara jujur. "Maafkan aku," sambungnya. "Kamu tidak bersalah. Mungkin itulah jalan terbaik yang telah tuhan gariskan untuk kalian berdua," sahut Gilang tulus. "Kamu tidak marah?" tanya Fara. "Marah? Kenapa aku harus marah?" sahut Gilang lembut. "Karena aku telah mengecewakan dan membuatmu terluka." "Tidak, bukan kamu yang membuatku terluka. Tapi cintakulah yang telah membuatku terluka. Aku tidak ingin menyalahkanmu, Fara. Dan aku tidak akan pernah menyalahkanmu." "Jadi sekarang kamu telah bisa mengerti?" Gilang mengangguk. "Aku harus bisa mengerti. Aku tidak ingin rasa kecewaku membuatku terluka semakin dalam. Selama ini aku telah menunggumu dengan sabar. Tapi ternyata keputusan terakhirmu tetap
Lusy berdiri kaku di hadapan semua orang. Wajahnya tampak pucat. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Rudy ada di sana. Dia langsung bisa menerka apa yang telah terjadi. Rudy pasti telah membongkar kebohongannya. Sebab tidak mungkin Rudy ada di sana dengan alasan berkunjung. Rudy bukan teman Ivan. Bukan pula orang yang kenal dengan keluarganya. Jadi kunjungan Rudy ke rumah ini pasti ada maksud tertentu yang ingin dia sampaikan. Dan tentu saja itu masalah tentang bayinya. Rudy pasti telah menceritakan cerita yang sebenarnya. Dan sekarang tentulah mereka semua ingin agar dia mengakui semuanya. "Duduk!" perintah Bu Elsa dingin. Tak ada setitik pun raut yang ramah terpancar di wajahnya. Perempuan paruh baya itu sepertinya enggan untuk berbasa-basi dengan Lusy. Dia bicara dengan nada yang tegas dan ekspresi wajah yang kaku. Tanpa bisa menolak, Lusy pun segera duduk. Tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Suasana terasa hening tak mengenakkan. Tapi Lusy masih bisa berusaha untuk bersik
"Ku dengar Lusy akan segera menikah dengan Ivan," kata Rudy pada Riska yang duduk di hadapannya. Siang itu Rudy memang sengaja meminta Riska untuk menemuinya di sebuah cafe. Rudy ingin menceritakan tentang rahasia yang sebenarnya pada Riska. Sebab Rudy tak tahan terus didera oleh perasaan bersalah karena telah membiarkan Lusy melakukan rencana busuknya. Karena itulah akhirnya Rudy memutuskan untuk bercerita pada Riska dan meminta pendapat Riska mengenai rencana Lusy itu. Riska yang mendengar kata-kata Rudy itu pun mengangguk dengan ekspresi wajah yang sedih. "Ya. Kasihan Fara. Di saat dia dan Mas Ivan ingin memperbaiki kembali rumah tangga mereka, Lusy kembali datang dan mengacaukan semuanya." Rudy menghela napas panjang seolah hatinya gundah mendengar kata-kata Riska itu. Kemudian dia pun menatap Riska dengan wajah yang serius. "Jadi kamu juga percaya kalau bayi yang dikandung Lusy itu anak Ivan, suami Fara?" tanyanya. "Maksudmu?" Riska mengerutkan keningnya karena merasa bingung
Ivan kembali ke rumah orangtuanya. Pupus sudah harapan untuk memperbaiki rumah tangganya bersama Fara. Kini Fara tak mungkin lagi mau menerima dia sebagai teman hidupnya. Kehamilan Lusy benar-benar mengacaukan semua yang telah Ivan perjuangkan untuk kembali pada Fara. Tak ada yang bisa Ivan lakukan kini. Mau tidak mau dia harus rela berpisah dengan Fara dan menikahi Lusy. Ketika keluarganya mengetahui tentang kehamilan Lusy, mereka pun sangat terkejut. Bahkan Bu Elsa seperti tidak bisa menerimanya. Dia tidak rela jika putranya menikahi Lusy dan membawa perempuan itu masuk ke dalam keluarga mereka. "Ini semua salahmu, Ivan!" seru Bu Elsa marah. "Mama dan papa sudah memilihkan seorang perempuan yang baik dan pantas untuk menjadi istrimu! Tapi malah kamu sia-siakan dia dan kamu jatuh cinta pada perempuan brengsek itu! Sekarang kita terpaksa harus menerima dia menjadi anggota keluarga kita! Oh, mama tidak rela, Van! Sungguh mama tidak rela!" "Saya pun menyesal, ma," ucap Ivan lirih. "
Lusy duduk diam di atas tempat tidurnya dengan wajah yang cemberut. Pikirannya sedang kacau saat ini. Dia merasa kesal dengan keadaan dirinya. Dan kekesalannya itu sejak tadi dia tumpahkan pada Rudy yang duduk tak jauh darinya. "Mestinya ini tidak perlu terjadi padaku! Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan!" geramnya kesal. Rudy pun menoleh padanya. "Yang harus kamu lakukan adalah menerima kehamilanmu ini lalu kita menikah! Sudah berulangkali aku katakan padamu kalau aku akan bertanggungjawab pada kehamilanmu ini, Lusy! Sebab bayi yang kamu kandung itu adalah anakku! Darah dagingku! Dan aku tidak seburuk yang kamu kira! Aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri! Aku pasti bertanggungjawab!" "Kamu? Bertanggungjawab? Hah!" dengus Lusy diiringi dengan tertawa mengejek. "Apa yang bisa aku harapkan dari laki-laki sepertimu, Rudy? Kamu laki-laki bebas yang tidak mungkin bisa terikat pada pernikahan! Jadi jangan bujuk aku lagi untuk menikah denganmu! Karena aku
Fara jatuh sakit. Beban persoalan yang membelitnya saat ini membuatnya terkapar tak berdaya di atas tempat tidur. Badannya demam dan kepalanya sakit bukan kepalang. Obat pereda sakit kepala yang diminumnya seakan tak meredakan sakitnya sama sekali. Demamnya tetap tinggi dan kepalanya tetap berdenyut seakan hampir meledak. Sebetulnya kedua orangtuanya sudah berulangkali mengajaknya untuk pergi berobat. Tapi Fara tidak mau. Sebab dia merasa dokter manapun tidak akan ada yang bisa mengobati sakitnya ini. Sakit yang disebabkan oleh masalah yang tengah dihadapinya ini tak kan sembuh dengan obat manapun. Cara satu-satunya untuk sembuh adalah dengan menenangkan hati dan pikirannya. Biarkan semua mengalir seperti yang seharusnya. Dan jika ada yang terluka, mungkin itu bukanlah kesalahannya. Sebab dia tak kan mungkin bisa membahagiakan keduanya. Tak kan mungkin memilih dua cinta yang ada di hadapannya. Hanya satu. Dan harus melepas yang satu meski sakit rasanya. Fara pun terus berusaha untuk