<span;>Mereka tiba di rumah orangtua Ivan ketika langit hampir gelap. Memang hanya butuh waktu satu jam perjalanan saja untuk bisa sampai ke sana. Tapi itu pun kalau tak terjebak dalam kemacetan lalu lintas yang parah. Karena sore itu arus kendaraan tidak terlalu padat, maka mereka pun bisa sampai sebelum malam. Sedikit lebih cepat dari yang Ivan perkirakan.
<span;>Ketika mereka sampai, rupanya kedua orangtua Ivan sudah menunggu kedatangan mereka. Pak Arifin dan Bu Elsa langsung menyambut mereka dengan hangat. Sepertinya mereka memang sangat senang karena anak dan menantu mereka mau tinggal bersama dengan mereka di sana.<span;>"Hanya ini barang yang kamu bawa, Fara?" tanya Bu Elsa ketika dilihatnya tas yang dibawa Fara.<span;>"Iya, ma. Kata Mas Ivan tidak usah membawa banyak-banyak," sahut Fara.<span;>"Ah, Ivan tidak mengerti kalau perempuan itu pasti memiliki banyak barang," kata Bu Elsa sambil melirik pada putranya itu.<span;>"Kalau tidak saya larang, Fara pasti akan membawa semua barangnya, ma," kata Ivan menyahuti.<span;>Bu Elsa pun tersenyum. "Ya sudah, nanti kalau Fara butuh sesuatu, minta dibelikan saja sama Ivan. Bukankah kewajiban dia untuk memenuhi semua kebutuhanmu?" ucapnya pada Fara.<span;>Fara pun tersenyum dan mengangguk. "Ya, ma."<span;>Setelah itu Ivan membawa Fara ke kamarnya. Kamar yang luas dengan tempat tidur yang cukup besar. Fara pun mengedarkan pandangannya dan hatinya jadi merasa sedikit jengkel.<span;>"Kamar Mas Ivan seluas ini, bagaimana mungkin Mas Ivan bisa merasa takut jika barang-barangku membuat kamar mas ini menjadi sempit?" tanya Fara pada Ivan.<span;>"Kenapa masalah itu juga yang kamu ributkan? Jangan suka memperpanjang masalah yang tidak penting seperti itu, Fara," sahut Ivan cemberut.<span;>Fara diam. Tak dilanjutkannya protesnya itu walaupun sesungguhnya dia masih ingin mengatakan kekesalannya. Dia pun duduk di tepi tempat tidur. Sementara Ivan tampak bersiap hendak mandi. Laki-laki gagah itu membuka pakaiannya dan mengambil sebuah handuk dari dalam lemari.<span;>Fara memperhatikan. Jika saja kenyataannya berbeda, tidak seperti sekarang ini, pasti Fara akan menghampiri dan memeluk tubuh indah Ivan, suaminya. Ah, aku ingin bisa bermanja di dada bidangnya. Merasakan hangat pelukkannya dengan penuh kasih sayang. Tapi sejauh ini sikapnya begitu dingin....<span;>Tak lama Ivan keluar dari kamar mandi. Dia pun segera menuju ke lemari pakaiannya dan tampak sibuk memilih pakaian. Sebuah kemeja dan celana jeans panjang? Fara memperhatikan dengan perasaan bingung. Ivan berdandan rapi seperti orang yang hendak keluar rumah. Dia pun memakai parfumnya banyak-banyak hingga wanginya memenuhi seluruh ruangan kamar.<span;>"Kenapa rapi sekali? Apa mas akan pergi?" tanya Fara pada Ivan yang sedang asyik bercermin.<span;>"Ya, cuma keluar sebentar," sahut Ivan tanpa menoleh.<span;>"Kemana?"<span;>"Ke tempat teman."<span;>"Tapi kita baru saja sampai. Kenapa tidak di rumah saja dulu? Apa urusan dengan teman Mas Ivan itu begitu penting?"
<span;>"Aku pergi tidak lama, Fara. Apa kamu pikir kita harus bersama-sama terus sepanjang waktu?"<span;>"Tidak seperti itu. Tapi...."<span;>"Jangan bawel. Sebelum tengah malam aku pulang. Kalau kamu ngantuk, tidur saja duluan. Tidak usah menungguku."<span;>Fara mendesah pelan. Ini baru awal, keluh hatinya sedih. Mungkin hari-hari berikutnya dia akan asyik dengan dunianya dan melupakan aku sebagai istrinya.<span;>Setelah beberapa saat asyik memandangi dirinya yang tampak sempurna di cermin, Ivan pun melangkah keluar dari kamar. Tak ada lagi basa-basi untuk Fara. Dia cuma melenggang santai keluar pintu dan menutup kembali pintu itu rapat-rapat seakan-akan Fara tak ada di sana.<span;>Fara menatap kepergian Ivan dengan mata berkaca-kaca. Hatinya kembali perih, entah untuk yang kesekian kali. Menjadi istri yang tak dianggap memang menyakitkan. Tapi harus bisa dia terima jika memang itu jalan hidup yang telah digariskan. Mungkin ini tak selamanya. Mungkin esok akan ada cerita indah. Ah benarkah?<span;>Ketika makan malam kedua mertuanya bertanya kemanakah suaminya. Fara pun menjawab sesuai seperti yang Ivan katakan tadi padanya. Ada perlu dengan teman.<span;>"Memangnya ada urusan apa? Apakah penting sekali? Kenapa dia langsung pergi begitu saja meninggalkan kamu di sini sedangkan kalian baru saja sampai?"<span;>Fara cuma bisa menggeleng. Sebab dia tak tahu harus menjawab apa. Sesungguhnya dia pun memiliki pertanyaan yang sama dengan mertuanya itu. Pertanyaan yang terpaksa dia simpan karena Ivan tak mau menjawabnya. <span;>Selesai makan malam, Fara duduk mengobrol dengan kedua mertuanya di ruang tv. Mereka membicarakan berbagai macam hal. Dari mulai obrolan serius, sampai ke obrolan ringan yang tidak penting. Tapi Fara menikmatinya. Setidaknya dia tidak harus melamun sendirian menunggu Ivan pulang.<span;>Ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh, ternyata Ivan belum juga pulang. Fara telah mengantuk. Akhirnya dia pun pamit untuk ke kamar dan menunggu Ivan di sana.<span;>Fara menguap. Dia memang tak terbiasa untuk terjaga sampai malam. Biasanya pukul sepuluh malam Fara sudah bersiap tidur. Fara pun berbaring. Tapi dia mencoba untuk tidak terlelap. Dipusatkannya matanya pada televisi yang menyala. Namun kelopak matanya terasa berat. Beberapakali dia hampir lelap, terbang ke alam mimpi. Tapi segera Fara kembali tersadar dan berusaha untuk tetap terjaga.<span;>Tak sampai setengah jam Fara pun harus menyerah kalah pada rasa kantuknya. Dia terlelap, tanpa mimpi yang menemani. Sementara jarum jam terus bergerak pelan, merambat melewati angka tertinggi. Tengah malam telah lewat.<span;>Fara terus terlelap. Napasnya terdengar teratur dan lembut. Suara televisi yang masih menyala tak mengganggu tidurnya sama sekali. Dia terlelap seperti bayi. Namun tiba-tiba saja dia terjaga. Fara tersentak dan segera menoleh pada jam mungil yang ada di atas nakas. Oh, Fara mendesah pelan. Sudah lewat tengah malam? Fara pun cepat mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Sepi. Tak ada Ivan di sana. Apakah suaminya itu belum pulang?<span;>Pukul satu, Fara mendesah dalam hati. Kemana dia? Tadi dia berjanji akan pulang sebelum tengah malam. Tapi sekarang sudah pukul satu. Seharusnya dia sudah ada di sini.<span;>Bagaimana cara mencarinya? Aku tak menyimpan nomor ponselnya. Aku tak pernah meminta nomornya dan dia pun tak pernah memberikannya. Bodoh. Mana ada istri yang tak tahu nomor ponsel suaminya? Sekarang aku tak bisa menghubunginya. Aku tak tahu dia dimana dan bersama siapa dia di sana.<span;>Bersama siapa...? Oh! Mungkinkah Mas Ivan sedang bersama perempuan itu? Perempuan pilihan hatinya yang sangat dia cintai. Mungkinkah mereka sedang melepas rindu karena seminggu kemarin tidak bisa bertemu?<span;>Rasa cemburu dan sakit hati pun memenuhi rongga dada Fara hingga dia merasa sesak. Bayang-bayang kemesraan Ivan bersama dengan kekasih hatinya begitu menyiksa. <span;>Benarkah kamu sedang bersamanya, mas? Sungguhkah kamu khianati aku? Aku tahu, kamu memang tak mencintai aku. Bahkan kamu membenci pernikahan kita. Tapi bagaimana pun aku adalah perempuan yang punya perasaan. Hatiku sakit membayangkanmu bersama dengan orang lain.<span;>Fara cepat mencoba menghapus bayang-bayang itu. Dia memaksa otaknya untuk berpikir positif. Mungkin Ivan tak sedang bersama perempuan itu. Mungkin Ivan sedang bersama dengan teman-temannya. Mereka pasti asyik berbincang hingga lupa waktu. Tapi..., ah, hatinya tak bisa diajak kompromi. Meski kepalanya mencoba berpikir positif, tapi hatinya tetap saja merasa cemburu. Hati memang tak bisa dibohongi dan ditipu. Hati akan tetap jujur, merasa apa yang memang dia rasa.<span;>Fara terus menunggu dengan gelisah. Namun hingga satu jam berlalu, suaminya itu belum juga pulang. Sampai akhirnya Fara pun kembali terlelap, dibuai oleh mimpi yang teramat sepi. Dimana dia hanya sendirian, tanpa cinta, tanpa hangat dekapan kasih sayang dari suaminya. Sepi, sungguh teramat sepi.<span;>Kita kembali ke malam hari di saat Ivan baru saja keluar dari rumahnya. <span;>Laki-laki tampan itu bergegas mengendarai mobilnya memecah kepadatan lalu lintas malam itu demi untuk menemui seseorang yang sangat dirindukannya. Mereka memang telah merencanakan pertemuan ini. Dan Ivan berharap masih ada setitik harapan baginya untuk bisa meraih kembali cintanya. Lantas bagaimana dengan Fara? Ivan berpikir tak apa jika dia bisa merahasiakannya dari istrinya itu. Jika dia tak tahu, berarti dia tak kan terluka, kan? Ivan merasa mampu untuk memenuhi kebutuhan dua istri. Jadi dia bisa tetap menjalani rumah tangganya bersama Fara sesuai dengan keinginan orangtuanya tanpa harus kehilangan cintanya. <span;>Adelia, adalah perempuan cantik yang telah dipacarinya selama lima tahun ini. Mereka bertemu di acara ulang tahun seorang teman. Dan dari pertemuan itulah tumbuh benih-benih cinta yang semakin hari semakin bermekaran. <span;>
<span;>Ivan duduk bersama tiga orang teman dekatnya. Hentakkan musik mengalahkan suara mereka yang sedang asyik bercanda dan berbincang tentang masalah perempuan. Tapi Ivan tak banyak bicara. Dia hanya menimpali sesekali saja obrolan teman-temannya itu. Pikirannya sebagian masih terpusat pada Adelia. Belum bisa mengalihkan pikirannya dari gadis terkasih itu meski dia terus mencoba. Jika candaan temannya terdengar lucu, Ivan pun ikut tertawa lepas. Tapi setelah itu pikirannya kembali bercabang. Mengarah sebagian pada Adelia yang kini pergi menghilang. <span;>"Kamu lagi ada masalah, ya?" tanya Dito pada Ivan. <span;>"Kok, tahu?" sahut Ivan pendek. <span;>"Kelihatan dari wajahmu yang murung itu. Lagi pula, kalau ada pengantin baru yang lebih memilih nongkrong di sini dari pada menikmati waktu berdua dengan istrinya, bisa dipastikan dia sedang ada masalah," kata Dito menebak. <span;>Ivan pun mengangguk membena
<span;>Fara terjaga dari tidurnya karena dirasakannya ada seseorang yang naik ke tempat tidur. Dengan cepat dia menoleh. Didapatinya Ivan yang sedang berbaring hendak tidur. Suaminya itu pun tampak acuh, seperti tak peduli pada Fara yang terkejut. <span;>"Mas Ivan?!" Fara pun cepat melihat pada jam mungil yang ada di atas nakas. Pukul setengah lima pagi. "Mas Ivan baru pulang?" <span;>"Bangunkan aku jam enam," pinta Ivan tanpa menjawab pertanyaan Fara barusan. <span;>"Kenapa Mas Ivan baru pulang?" Fara melanjutkan pertanyaannya. <span;>"Bertanyanya nanti saja, Fara. Sekarang aku ngantuk, ingin tidur," sahut Ivan sambil terus terpejam. <span;>"Aku tunggu Mas Ivan semalaman. Janjinya mau pulang sebelum tengah malam. Tapi ternyata malah pulang pagi. Keterlaluan!" kata Fara kesal. <span;>Ivan pun membuka matanya dan menoleh pada Fara. Ekspresi wajahnya datar seolah dia tak m
<span;>Fara duduk termenung sendirian di kamar. Ini baru lewat jam makan siang. Belum satu harian dia menjalani waktunya di rumah mertuanya ini. Tapi rasa jenuh sudah mengurungnya sejak tadi. Fara tak tahu harus melakukan apa. Bu Elsa, ibu mertuanya sudah keluar rumah sejak tadi. Ada arisan katanya. Sedangkan Fiona, adik Ivan, sampai hari ini masih berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Fara pun kesepian. Kalau saja sebelum pernikahan Ivan tidak memintanya berhenti bekerja, tentulah saat ini Fara tak kan mengalami kejenuhan seperti ini. Tapi Ivan bilang, dia ingin punya istri perempuan yang diam di rumah, bukan wanita karier yang sibuk bekerja. Karena itulah kedua orangtua Fara langsung meminta Fara berhenti bekerja agar bisa menjadi ibu rumah tangga seperti yang Ivan inginkan. Fara pun menurut. Toh, menjadi ibu rumah tangga juga satu hal yang menyenangkan. Mengurus suami dan anak-anak adalah kebahagiaan yang tak ternilai bagi seorang perempuan. Tapi sekarang, kenyataanny
<span;>Malam itu Fara mendapat telepon dari seorang teman. <span;>"Pesta ulang tahun?" tanya Fara ceria. <span;>"Nggak, kok. Cuma sekadar kumpul teman-teman lama saja. Temu kangen sekalian makan-makan di rumahku. Kamu mau datang kan, Far?" tanya temannya di seberang sana. <span;>"Aku pasti mau, dong. Nanti aku datang bersama Riska dan Lusy, ya!" janji Fara. <span;>"Oke, kalau begitu aku tunggu, ya!" sahut temannya senang. <span;>Setelah itu pembicaraan pun selesai. Fara yang saat itu sedang duduk di atas tempat tidur menghadap ke jendela kamarnya, tak tahu jika Ivan sudah masuk dan berdiri di pintu kamar mendengarkan obrolannya barusan. Dan ketika Fara menoleh, dia pun terpekik kaget. <span;>"Mas Ivan?!" serunya terkejut. <span;>"Kenapa terkejut seperti itu?" tanya Ivan dengan ekspresi wajah yang dingin seperti biasanya. <span;>"Mas Iv
<span;>“Sedang teleponan sama siapa?” Suara Ivan yang bertanya mengejutkan Fara. Ketika itu Ivan yang baru saja masuk ke kamarnya, mendapati Fara sedang duduk santai di atas tempat tidur sambil berbicara dengan seseorang di telepon. <span;>Fara pun menoleh cepat. “Kenapa Mas Ivan selalu membuatku terkejut?” <span;>“Terkejut? Apa sedang membicarakan tentang sesuatu yang rahasia?” Ivan bertanya sambil mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Kemudian dia duduk di sofa yang ada di depan jendela dan mulai asyik memainkan ponselnya di sana. <span;>“Rahasia? Rahasia apa? Aku cuma bicara dengan Riska,” kata Fara segera. <span;>“Riska sahabatmu itu?” tanya Ivan tanpa menoleh. <span;>“Ya. Jadi mas masih ingat pada sahabatku itu?” <span;>“Tentu saja ingat. Apa kamu pikir aku sudah pikun?” ketus
<span;>Ivan tak ikut dalam obrolan ketiga perempuan itu. Dia hanya duduk diam di antara mereka sambil sesekali tersenyum sebagai tanda kalau dia ikut mendengarkan canda mereka. Ivan pun berusaha untuk tidak merasa jenuh. Dia memusatkan perhatiannya pada Lusy yang duduk di hadapannya. Lusy pun tersenyum. Dia tahu jika mata suami sahabatnya itu terpusat padanya. Lalu dengan bahasa tubuhnya dia segera berusaha menggoda Ivan yang memang sudah tertarik pada kemolekan tubuhnya. <span;>Ivan yang mengerti bahasa tubuh Lusy itu pun tersenyum penuh arti. Dia menikmati setiap gerakan yang Lusy buat lewat pandangan matanya. Namun begitu, Ivan tetap pandai menjaga sikap. Dia harus tetap terlihat sebagai seorang yang baik, terutama di depan Riska. Sebab dia harus selalu tampil sebagai laki-laki yang sempurna. Tak boleh ada seorang pun yang tahu keburukannya. Termasuk Riska, sahabat istrinya. <span;>"Wah, minumannya sudah habis. Biar aku buatkan lagi," kat
<span;>"Kok, main hp terus? Sudah malam, Mas Ivan tidak tidur?" tanya Fara yang malam itu melihat Ivan asyik dengan ponselnya sambil duduk santai di dekat jendela kamar. <span;>"Aku bukan anak kecil yang diwajibkan tidur sore, kan?" Ivan balik bertanya tanpa menoleh. <span;>"Ini sudah jam sepuluh. Sudah malam, mas," kata Fara lagi sambil masuk ke dalam selimut hangatnya. <span;>"Jam sepuluh itu masih sore. Sudahlah jangan cerewet, Fara. Jangan bilang kalau kamu minta dikeloni. Seperti anak kecil saja," gerutu Ivan tanpa mengalihkan mata dari ponselnya. <span;>"Siapa yang minta dikeloni?" Fara menyahut cepat. <span;>"Malam ini aku sedang tidak ingin. Jadi sebaiknya kamu tidur saja," kata Ivan lagi hingga Fara pun menoleh cepat padanya. <span;>"Aku tidak minta itu, mas!" <span;>"Oh ya? Baguslah kalau begitu. Karena malam ini aku tidak bisa. Aku mau ketemu