Share

2. Berakhir

PLAAK!

Rasa panas perlahan menjalari pipi kirinya yang baru saja ditampar oleh Abian. Carissa tertegun, mengangkat tangan dan menyentuh pipinya pelan.

"A-Abi ... " bisiknya dengan suara tercekat. "Abi kamu nampar aku?"

"Kamu yang cari gara-gara duluan, Ris!"

"Kamu sampai hati main tangan sama aku hanya karena belain Aneska?" Suara Carissa nyaris histeris, tidak bisa ia tahan.

"Makanya kalau ngomong itu dipikir dulu. Kamu ngatain Anes begitu, memangnya diri kamu sendiri udah yang paling suci apa?"

"Abian!" jerit Carissa. "Kamu tahu selama tiga tahun ini aku setengah mati jaga diri buat kamu. Bisa-bisanya kamu bicara begitu!"

"Aku nggak tahu," sela Abian tajam. "Kamu punya banyak teman cowok di tempat kerjamu, kan? Aku mana tahu kalau kamu pernah main belakang."

"Abian, Ya Tuhan!" Carissa benar-benar histeris sekarang. Air matanya deras berjatuhan, membentuk jejak di kedua pipinya yang putih. Gelombang amarah terasa menyesaki dadanya.

Entah apa yang merasuki pikiran lelaki yang sebelumnya tidak pernah meninggikan suara kepadanya sekalipun itu, hingga menjadi seperti ini.

"Abi, kamu jahat!" Carissa tergugu seraya menekan dadanya yang kelewat sesak. "Aku salah apa sampai kamu bisa sejahat itu sama aku, Bi? Aku punya salah apa sama kalian semua?"

Lelaki tampan itu memalingkan wajah, membuang pandangan. Sekilas Carissa sempat menangkap getar pada raut wajahnya, tapi Abian buru-buru mengubah ekspresinya kembali dingin.

"Sudah, Ris ... " Arini kembali bersuara setelah sekian lama bungkam. Wanita itu melangkah mendekat dan menepuk bahu Carissa pelan, walau tak sedikitpun ada rasa tentram dari tepukan yang ia berikan. "Abian juga udah mutusin, kan? Kamu nggak bisa maksain lagi. Yah, mungkin ini jalan terbaik buat kalian berdua."

Jalan terbaik macam apa?

Ringan sekali wanita itu berkata-kata. Seakan ia sedang membicarakan sesuatu yang tidak memiliki dampak apapun kepada orang lain. Sementara Carissa setengah mati bertahan agar kedua kakinya tidak ambruk dan tetap tegak menapak.

"Nah, jadi Tante minta sekali lagi, sebaiknya kamu segera memutuskan di mana kamu akan tinggal setelah ini. Lebih cepat lebih baik, Ris."

"Tan-Tante ... Carissa harus pergi ke mana? Tante tahu Rissa nggak punya siapa-siapa lagi di sini."

Arini mendesah pelan. "Kamu masih punya akal pikiran yang bisa kamu gunakan dengan baik, kan?"

*

Gemuruh guntur menggelegar dengan kilat menyambar di penjuru langit, menandakan mungkin hujan akan turun sebentar lagi. Tapi, Carissa tidak peduli. Pun ketika berpasang-pasang mata mampir untuk menatapnya dengan heran, Carissa tetap tak peduli. Gadis itu masih dengan langkah gontainya, berjalan menyusuri trotoar jalan raya yang ramai oleh kendaraan. Jakarta seramai ini, tapi hati dan perasaan Carissa hampa.

Menemukan halte kosong yang terlantar, gadis itu mendudukkan dirinya di sana seraya melepaskan pegangannya kepada sebuah koper besar yang sedari tadi ia seret. Menghela napas lelah kemudian, bahkan air mata sudah tak lagi bisa keluar.

Ia tak menyangka, takdir bisa menjungkirbalikkan hidupnya hanya dalam waktu sesingkat itu.

Rintik-rintik gerimis kini mulai jatuh satu demi satu. Perlahan tapi pasti, berubah menjadi curahan air langit yang deras. Carissa membiarkan tubuhnya terhempas percikan hujan karena atap halte tempatnya duduk sudah separuh rusak. Mengabaikan hawa dingin menusuk kulit di balik cardigan tipisnya, ia memandang kosong ke depan.

"Ibu ... " rintihnya pelan, "Rissa harus ke mana? Rissa nggak punya siapa-siapa lagi."

Teringat ibu dan ayah yang sudah lama berpulang, butir-butir air mata kembali menyeruak dari dua manik cokelat itu.

"Harusnya dulu kalian ajak Rissa sekalian. Bukan malah tinggalin Rissa sendirian dan hidup seperti ini. Ibu, Ayah ... Rissa nggak sanggup lagi."

Pandangan gadis itu mengabur karena air mata. Tubuhnya menggigil basah kuyup. Namun lebih daripada itu, seluruh isi kepalanya seperti melayang keluar. Carissa tidak bisa berpikir lagi. Ia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Menggulir perlahan daftar kontak yang mungkin bisa ia hubungi untuk meminta bantuan. Namun, beberapa saat berusaha, tak ada satupun nomor yang sudi mengangkat panggilannya.

"Aku harus ke mana?" ratapnya sesak. "Aku harus minta tolong sama siapa? Kenapa kalian sejahat ini? Kenapa dulu Tante setuju ngerawat aku kalau akhirnya malah bikin aku hancur begini? Harusnya dulu kalian biarin aja aku hidup sendirian!" Carissa tidak peduli jikalau ada yang menganggapnya tidak waras karena terus berteriak-teriak seorang diri di bawah hujan deras seperti itu. Ia memukul-mukul dadanya, berharap bisa mengendurkan rasa sesak yang nyaris membuat napasnya lindap.

"Ya Tuhan, maafkan aku," bisiknya kemudian setelah tangisnya mereda. "Aku nggak punya lagi alasan untuk mempertahankan hidup. Nggak ada yang peduli kan, aku hidup apa nggak? Nggak akan ada yang merasa kehilangan kalau aku kembali kepadaMu sekarang, kan?"

Gadis itu berdiri di atas lututnya yang gemetar, melangkah menembus derasnya hujan yang segera saja membuat seluruh tubuhnya basah kuyup.

Kakinya menapak aspal jalan raya, menyambut kendaraan yang melintas sesekali, namun selalu dengan kecepatan tinggi. Mungkin mereka terburu-buru ingin sampai karena berada di jalanan dengan hujan sederas ini, bukanlah pilihan bagus.

Ia menggeleng pelan, mengusir bayangan Abian dalam benaknya.

"Aku harap kamu berbahagia, Bi," bisiknya lagi. "Kamu mungkin udah bikin aku sehancur ini, tapi aku nggak akan pernah bisa hilangin rasa cinta aku buat kamu."

Oke, sebutlah Carissa bodoh. Tapi memang begitulah kenyataannya. Carissa terlalu mencintai Abian.

"Mungkin aku harus simpen aja perasaanku buat di kehidupan yang lain, nanti. Semoga kamu dan Aneska selalu berbahagia."

Apakah akan menyakitkan?

Carissa takut mati, tapi hidup sama sekali tidak akan memberikan pilihan yang lebih baik. Ia melangkah menuju tengah jalan raya, menempatkan tubuhnya di sana, di mana sebuah sedan hitam sedang melaju dengan kencang.

Jantung Carissa terasa bergemuruh, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Sebab detik berikutnya, yang ia rasakan adalah hempasan kuat diikuti denyut menyakitkan.

"Semudah itu?" bisik Carissa tercekat. "Semudah itukah aku mati?"

Rasa sakit itu masih berdenyut, namun bibir Carissa menyungging senyum. Benarkah kematian datang menjemputnya semudah itu?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mulia Ummu Faadhil
Carissa kamu itu atau apa, klo di usir tinggal pergi cari kontrakan hdp mandiri .kmu sudah dewasa dan punya penghasilan sendiri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status