Share

2. Berakhir

last update Last Updated: 2022-12-05 19:38:32

PLAAK!

Rasa panas perlahan menjalari pipi kirinya yang baru saja ditampar oleh Abian. Carissa tertegun, mengangkat tangan dan menyentuh pipinya pelan.

"A-Abi ... " bisiknya dengan suara tercekat. "Abi kamu nampar aku?"

"Kamu yang cari gara-gara duluan, Ris!"

"Kamu sampai hati main tangan sama aku hanya karena belain Aneska?" Suara Carissa nyaris histeris, tidak bisa ia tahan.

"Makanya kalau ngomong itu dipikir dulu. Kamu ngatain Anes begitu, memangnya diri kamu sendiri udah yang paling suci apa?"

"Abian!" jerit Carissa. "Kamu tahu selama tiga tahun ini aku setengah mati jaga diri buat kamu. Bisa-bisanya kamu bicara begitu!"

"Aku nggak tahu," sela Abian tajam. "Kamu punya banyak teman cowok di tempat kerjamu, kan? Aku mana tahu kalau kamu pernah main belakang."

"Abian, Ya Tuhan!" Carissa benar-benar histeris sekarang. Air matanya deras berjatuhan, membentuk jejak di kedua pipinya yang putih. Gelombang amarah terasa menyesaki dadanya.

Entah apa yang merasuki pikiran lelaki yang sebelumnya tidak pernah meninggikan suara kepadanya sekalipun itu, hingga menjadi seperti ini.

"Abi, kamu jahat!" Carissa tergugu seraya menekan dadanya yang kelewat sesak. "Aku salah apa sampai kamu bisa sejahat itu sama aku, Bi? Aku punya salah apa sama kalian semua?"

Lelaki tampan itu memalingkan wajah, membuang pandangan. Sekilas Carissa sempat menangkap getar pada raut wajahnya, tapi Abian buru-buru mengubah ekspresinya kembali dingin.

"Sudah, Ris ... " Arini kembali bersuara setelah sekian lama bungkam. Wanita itu melangkah mendekat dan menepuk bahu Carissa pelan, walau tak sedikitpun ada rasa tentram dari tepukan yang ia berikan. "Abian juga udah mutusin, kan? Kamu nggak bisa maksain lagi. Yah, mungkin ini jalan terbaik buat kalian berdua."

Jalan terbaik macam apa?

Ringan sekali wanita itu berkata-kata. Seakan ia sedang membicarakan sesuatu yang tidak memiliki dampak apapun kepada orang lain. Sementara Carissa setengah mati bertahan agar kedua kakinya tidak ambruk dan tetap tegak menapak.

"Nah, jadi Tante minta sekali lagi, sebaiknya kamu segera memutuskan di mana kamu akan tinggal setelah ini. Lebih cepat lebih baik, Ris."

"Tan-Tante ... Carissa harus pergi ke mana? Tante tahu Rissa nggak punya siapa-siapa lagi di sini."

Arini mendesah pelan. "Kamu masih punya akal pikiran yang bisa kamu gunakan dengan baik, kan?"

*

Gemuruh guntur menggelegar dengan kilat menyambar di penjuru langit, menandakan mungkin hujan akan turun sebentar lagi. Tapi, Carissa tidak peduli. Pun ketika berpasang-pasang mata mampir untuk menatapnya dengan heran, Carissa tetap tak peduli. Gadis itu masih dengan langkah gontainya, berjalan menyusuri trotoar jalan raya yang ramai oleh kendaraan. Jakarta seramai ini, tapi hati dan perasaan Carissa hampa.

Menemukan halte kosong yang terlantar, gadis itu mendudukkan dirinya di sana seraya melepaskan pegangannya kepada sebuah koper besar yang sedari tadi ia seret. Menghela napas lelah kemudian, bahkan air mata sudah tak lagi bisa keluar.

Ia tak menyangka, takdir bisa menjungkirbalikkan hidupnya hanya dalam waktu sesingkat itu.

Rintik-rintik gerimis kini mulai jatuh satu demi satu. Perlahan tapi pasti, berubah menjadi curahan air langit yang deras. Carissa membiarkan tubuhnya terhempas percikan hujan karena atap halte tempatnya duduk sudah separuh rusak. Mengabaikan hawa dingin menusuk kulit di balik cardigan tipisnya, ia memandang kosong ke depan.

"Ibu ... " rintihnya pelan, "Rissa harus ke mana? Rissa nggak punya siapa-siapa lagi."

Teringat ibu dan ayah yang sudah lama berpulang, butir-butir air mata kembali menyeruak dari dua manik cokelat itu.

"Harusnya dulu kalian ajak Rissa sekalian. Bukan malah tinggalin Rissa sendirian dan hidup seperti ini. Ibu, Ayah ... Rissa nggak sanggup lagi."

Pandangan gadis itu mengabur karena air mata. Tubuhnya menggigil basah kuyup. Namun lebih daripada itu, seluruh isi kepalanya seperti melayang keluar. Carissa tidak bisa berpikir lagi. Ia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Menggulir perlahan daftar kontak yang mungkin bisa ia hubungi untuk meminta bantuan. Namun, beberapa saat berusaha, tak ada satupun nomor yang sudi mengangkat panggilannya.

"Aku harus ke mana?" ratapnya sesak. "Aku harus minta tolong sama siapa? Kenapa kalian sejahat ini? Kenapa dulu Tante setuju ngerawat aku kalau akhirnya malah bikin aku hancur begini? Harusnya dulu kalian biarin aja aku hidup sendirian!" Carissa tidak peduli jikalau ada yang menganggapnya tidak waras karena terus berteriak-teriak seorang diri di bawah hujan deras seperti itu. Ia memukul-mukul dadanya, berharap bisa mengendurkan rasa sesak yang nyaris membuat napasnya lindap.

"Ya Tuhan, maafkan aku," bisiknya kemudian setelah tangisnya mereda. "Aku nggak punya lagi alasan untuk mempertahankan hidup. Nggak ada yang peduli kan, aku hidup apa nggak? Nggak akan ada yang merasa kehilangan kalau aku kembali kepadaMu sekarang, kan?"

Gadis itu berdiri di atas lututnya yang gemetar, melangkah menembus derasnya hujan yang segera saja membuat seluruh tubuhnya basah kuyup.

Kakinya menapak aspal jalan raya, menyambut kendaraan yang melintas sesekali, namun selalu dengan kecepatan tinggi. Mungkin mereka terburu-buru ingin sampai karena berada di jalanan dengan hujan sederas ini, bukanlah pilihan bagus.

Ia menggeleng pelan, mengusir bayangan Abian dalam benaknya.

"Aku harap kamu berbahagia, Bi," bisiknya lagi. "Kamu mungkin udah bikin aku sehancur ini, tapi aku nggak akan pernah bisa hilangin rasa cinta aku buat kamu."

Oke, sebutlah Carissa bodoh. Tapi memang begitulah kenyataannya. Carissa terlalu mencintai Abian.

"Mungkin aku harus simpen aja perasaanku buat di kehidupan yang lain, nanti. Semoga kamu dan Aneska selalu berbahagia."

Apakah akan menyakitkan?

Carissa takut mati, tapi hidup sama sekali tidak akan memberikan pilihan yang lebih baik. Ia melangkah menuju tengah jalan raya, menempatkan tubuhnya di sana, di mana sebuah sedan hitam sedang melaju dengan kencang.

Jantung Carissa terasa bergemuruh, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Sebab detik berikutnya, yang ia rasakan adalah hempasan kuat diikuti denyut menyakitkan.

"Semudah itu?" bisik Carissa tercekat. "Semudah itukah aku mati?"

Rasa sakit itu masih berdenyut, namun bibir Carissa menyungging senyum. Benarkah kematian datang menjemputnya semudah itu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mulia Ummu Faadhil
Carissa kamu itu atau apa, klo di usir tinggal pergi cari kontrakan hdp mandiri .kmu sudah dewasa dan punya penghasilan sendiri
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan Palsu   Extra Part 2

    **Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma

  • Bukan Pernikahan Palsu   Extra Part

    **Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia

  • Bukan Pernikahan Palsu   233. Everything's Gonna Be Okay

    **Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j

  • Bukan Pernikahan Palsu   232. Prasangka Yang Salah

    **Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian

  • Bukan Pernikahan Palsu   231. Freddy Fernandez

    **Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be

  • Bukan Pernikahan Palsu   230. Rumah Sakit Lagi

    **Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status