Share

3. Apa Dia Mati?

last update Last Updated: 2022-12-05 19:50:03

Sorot menyilaukan dari kejauhan menyapu penglihatan Carissa yang buram karena air mata bercampur air hujan. Netra gadis itu memicing, mencoba mendapatkan fokus yang lebih jelas. Tapi percuma sajalah, ia tidak akan bisa melihat di bawah guyuran hujan sederas ini. Lagipula, apa yang mau dilihatnya?

Dengan langkah terhuyung, gadis itu maju. Tepat menyambut kala hantaman keras membuat tubuhnya terpental dan jatuh berdebam beberapa meter dari tempat sebelumnya.

BRAKKK!

Decit rem terdengar menekan aspal basah saat lelaki di balik kemudi itu memaksa sedan hitamnya untuk berhenti mendadak. Kesadarannya terkumpul dengan tiba-tiba begitu ia menoleh ke arah spion dan melihat sesuatu tergeletak di atas jalanan sepi, di bawah guyuran hujan. Ketakutan pelan-pelan naik merayapi tubuhnya. Terlintas dalam benak untuk kembali tancap gas dan meninggalkan sosok itu saja, tapi sisi kemanusiaannya menolak ide itu. Maka lelaki itu menyerah. Ia mengambil payung dan keluar dari mobil bersama sumpah serapah, menyebut nama seluruh penghuni kebun binatang.

Ia mendekat dengan gemetar. Kedua netra gelapnya melebar penuh kala ia menemukan apa yang tergeletak di sana.

Seorang gadis.

"Astaga, apa dia mati?" serunya panik.

Sepertinya, gadis itu memang sudah mati, karena ia sama sekali tidak bergerak.

"Nona, hei, Nona ... apa kamu bisa bangun?"

Sagara Aditama, nama lelaki itu, terbelalak penuh dengan kepala berdenyut pusing. Ia baru saja menghabiskan beberapa gelas alkohol kurang dari setengah jam yang lalu, dan efeknya baru terasa pada detik-detik ini.

Mengusap wajah dengan gusar, ia berjongkok untuk memeriksa gadis yang tergeletak itu sekali lagi.

"Ya Tuhan, masa iya aku baru aja bunuh orang?"

Sagara melotot sembari mencengkeram gagang payung di tangannya. Ia berdiri, menoleh ke sana kemari dengan panik, takut seseorang melihat perbuatannya. Namun, saat itu jalanan sedang sepi karena derasnya hujan, jadi bisa dipastikan tak ada seorang pun yang menyaksikan apa yang terjadi. Maka tanpa berpikir panjang, Gara melempar payungnya dan meraih sosok basah kuyup itu untuk dibawa masuk ke dalam mobilnya.

"Sialan, mimpi apa sih aku semalam? Kenapa hari ini kacau banget rasanya? Ini lagi, bisa-bisanya aku sebodoh ini," racau lelaki itu, panik. Ia menoleh sekali lagi dan mendapati sebuah koper besar teronggok sendirian di bawah halte tepat di samping mobilnya berhenti. Berlari sekali lagi, Gara meraih koper besar itu dan memasukkan juga ke dalam mobilnya. Sepertinya milik gadis yang ditabraknya ini, kan?

"Ah, sial! Sial! Sial! Aku harus gimana ini? Gimana? Aku nggak mau masuk penjara!"

Gara mengumpat seribu kali. Tangan gemetarnya berusaha menghubungi Radit –asisten pribadinya– melalui ponsel, namun tidak bisa. Nomor ponsel Radit tidak aktif. Kepalanya yang sudah pusing karena pengaruh alkohol, semakin pusing kala melirik sosok basah yang kini terbaring di kursi belakang mobilnya. Lelaki itu menggeleng keras. Ia menginjak pedal gas mobilnya kembali, kemudian. Memutuskan membawa saja perempuan basah itu dulu. Mungkin–

"Aaakh ... "

Decit rem menjerit lagi. Gara sampai terdorong ke depan karena ia kembali menghentikan mobil tiba-tiba. Terburu-buru menoleh saat terdengar suara rintih pelan. Dan benar saja. Perempuan itu bergerak sedikit walau tak membuka mata sama sekali. Segera saja Gara seperti disiram hawa panas karena perasaan lega ; perempuan itu tidak mati! Ia tidak jadi menjadi tersangka pembunuhan.

"Oke, calm down Gara, calm down," bisiknya bermonolog. "Yang penting dia nggak mati aja. Aku bawa pulang dulu ke apartemen. Kalo aku bawa pulang ke rumah, yang ada justru aku yang mati dibunuh Mami."

"Ibu ... "

Gadis basah kuyup itu merintih lagi. Membuat Gara mengerutkan alis dan membatalkan niat menghidupkan kembali mesin mobilnya.

"Ibu, tolong Rissa ... Ibu ... Rissa sakit ... "

Gara memandang menelisik. Ada beberapa luka gores yang tampak di bagian tubuh gadis itu. Sepertinya perlu dibawa ke rumah sakit. Tapi sekali lagi, Gara juga sedang tidak berada dalam keadaan baik.

"Ibu ... Ibu, Rissa sakit, Bu ... " Gadis itu merintih lagi. Suaranya serak dan merana, mengundang iba.

"Nyariin ibunya?" Namun, Gara berdecih. "Jadi ngapain dia hujan-hujan diam di tengah jalan kalau masih nyariin ketek ibunya?"

Gadis itu terlihat seperti berusia lebih dari dua puluh tahun di mata Gara. Jadi rintihannya barusan terdengar menggelikan. Sudah setua itu masih memanggil ibu dalam tidur?

Ah, tapi dia pingsan, bukannya tidur. Atau malah lebih buruk dari itu.

"Ibu, Abian jahat ... Aneska jahat ... "

Gara menggeleng. Cukup sudah mendengar racauan orang lupa diri. Lelaki itu memutar anak kunci, lantas menstarter kembali mesin mobilnya. Detik berikutnya, sedan hitam itu sudah kembali menderu di atas aspal, meninggalkan halte yang terbengkalai.

Tak lama kemudian, mobil itu telah meluncur masuk ke dalam parkiran apartemen dan berhenti di sana. Nah, sekarang Gara justru bingung, bagaimana caranya membawa perempuan ini masuk ke dalam unit apartemen miliknya di lantai empat tanpa mengundang kecurigaan publik?

Gara bisa menggendong sendiri sebenarnya, karena tubuh gadis ini kecil mungil. Tapi ia sudah berada dalam tingkat kemabukan skala tinggi. Jangan-jangan nanti malah ambruk berdua di dalam lift.

Maka, pemuda itu berbalik dan memandang ragu-ragu kepada sosok yang tergeletak di kursi belakang mobilnya.

"Nona ... " panggilnya pelan. "Nona, apa kamu bisa bangun? Apa kamu baik-baik saja?"

Pertanyaan bodoh, Gara memaki dirinya sendiri. Keadaan seperti itu mana ada baik-baiknya, kan?

"Nona ... " Tapi Gara bersikeras. Pemuda itu ulurkan tangan untuk mengguncang pelan tubuh gadis yang basah kuyup itu. "Astaga, demi apapun, tolong bangunlah. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit nanti, tapi nanti saja, ya. Sekarang aku pusing ... "

"Sshh ... "

Kedua manik hitam Gara melebar kala gadis itu mendesis pelan. Ia meringis seperti menahan rasa sakit.

"Nona? Bangun dulu, please. Aku perlu pastikan–"

Tok ... tok ...

Gara terkesiap. Kaca jendela mobilnya diketuk seseorang dari luar.

"Pak? Bapak baik-baik saja?"

Astaga!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan Palsu   Extra Part 2

    **Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma

  • Bukan Pernikahan Palsu   Extra Part

    **Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia

  • Bukan Pernikahan Palsu   233. Everything's Gonna Be Okay

    **Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j

  • Bukan Pernikahan Palsu   232. Prasangka Yang Salah

    **Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian

  • Bukan Pernikahan Palsu   231. Freddy Fernandez

    **Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be

  • Bukan Pernikahan Palsu   230. Rumah Sakit Lagi

    **Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status