Aku tak tahu berapa lama kami duduk dalam perjalanan menuju Kantor Polisi, tapi jantungku terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Di sampingku, Mas Afnan menggenggam erat tanganku agar aku tetap bisa duduk tegak dan tidak roboh oleh rasa takut yang mulai menjalar lagi ke seluruh tubuhku.
Sesampainya di sana, Mas Afnan berbicara pada petugas jaga dengan tenang dan tegas, lalu meminta izin untuk mengunjungi seseorang yang kini kutahu bernama Arif. Nama lelaki yang menghancurkan hidupku dalam semalam, lalu pergi tanpa jejak dan menyisakan bayang-bayang gelap yang selama ini kupendam sendirian.
Kami diarahkan ke sebuah ruangan dengan meja panjang dan dua kursi berhadapan. Ruangan itu dingin dan terlalu hening. Hal itu membuatku menggenggam tangan Mas Afnan lebih kencang. Nafasku tak beraturan. Aku tahu aku harus melewati ini, tapi Tuhan ... rasanya nafas ini begitu sesak.
Pintu ruangan itu terbuka. Suara langkah sepatu dan rantai borgol bergemerincing, membuat ja
Langit sore mulai meredup. Warna jingga menyelusup perlahan ke sela-sela daun mangga di halaman Masjid Al-Ikhsan yang baru direnovasi. Aku berdiri di dekat meja distribusi dan merapikan tumpukan amplop kecil yang berisi uang santunan. Sementara Mas Afnan tengah sibuk membagikan kotak makanan kepada para anak yatim yang duduk tertib di sisi aula.Melihat wajah-wajah polos itu tersenyum, dada ini hangat luar biasa. Ada rasa syukur yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tapi lebih dari itu, ada satu sosok yang ingin sekali aku hampiri dan peluk erat-erat saat ini juga.Langkahku mendekat ke arah Mas Afnan yang sedang membungkuk menyalami seorang anak kecil. Aku menunggu sebentar sampai ia selesai, lalu tanpa sadar menepuk pelan lengannya.“Mas,” panggilku.Dia menoleh. Matanya teduh seperti biasa. “Hm?”Aku menatap matanya sebentar, lalu berkata, “Makasih ya.”Kening Mas Afnan sedikit menyerngit. “U
Angin sore meniup pelan kerudungku ketika kami berdua turun dari mobil. Matahari mulai condong ke barat dan menyisakan langit jingga yang menyapu atap-atap rumah dan bangunan sekitar. Tapi yang paling mencuri perhatianku adalah bangunan megah bercat putih susu dengan sentuhan hijau zamrud di kubahnya. Masjid Al-Ikhsan.Aku membeku sejenak di tempat dan menatap bangunan itu dengan mata berbinar. “Masya Allah!” Bibirku refleks berucap.Dulu, Masjid ini hanya bangunan sederhana. Tapi sekarang begitu bersih, rapi, megah. Bahkan, dari luar saja sudah tampak jauh lebih ramah untuk semua jamaah. Apalagi saat Mas Afnan menggandeng tanganku masuk, dan aku melihat detailnya satu per satu. Tempat wudhu wanita dan pria yang kini dipisah rapi, tempat penitipan sandal yang teratur, serta lorong kecil menuju tempat shalat wanita yang jauh lebih nyaman dan tertutup.“Ini indah banget, Mas.” Aku menoleh ke arahnya dengan mata yang tak bisa menyembunyikan
Aku tak tahu berapa lama kami duduk dalam perjalanan menuju Kantor Polisi, tapi jantungku terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Di sampingku, Mas Afnan menggenggam erat tanganku agar aku tetap bisa duduk tegak dan tidak roboh oleh rasa takut yang mulai menjalar lagi ke seluruh tubuhku.Sesampainya di sana, Mas Afnan berbicara pada petugas jaga dengan tenang dan tegas, lalu meminta izin untuk mengunjungi seseorang yang kini kutahu bernama Arif. Nama lelaki yang menghancurkan hidupku dalam semalam, lalu pergi tanpa jejak dan menyisakan bayang-bayang gelap yang selama ini kupendam sendirian.Kami diarahkan ke sebuah ruangan dengan meja panjang dan dua kursi berhadapan. Ruangan itu dingin dan terlalu hening. Hal itu membuatku menggenggam tangan Mas Afnan lebih kencang. Nafasku tak beraturan. Aku tahu aku harus melewati ini, tapi Tuhan ... rasanya nafas ini begitu sesak.Pintu ruangan itu terbuka. Suara langkah sepatu dan rantai borgol bergemerincing, membuat ja
Sore itu, langkahku terasa ringan sekali ketika menjejakkan kaki ke halaman rumah. Lelah mengajar seharian serasa lenyap begitu melihat mobil Mas Afnan sudah terparkir rapi di depan. Biasanya dia baru pulang malam. Aku tersenyum kecil karena membayangkan bisa menyiapkan teh hangat untuknya. Mungkin kami bisa bicara seperti tadi malam, dengan hati yang lebih lapang.“Assalamu'alaikum—Astagfirullah, Mas!” pekikku spontan.Darahku serasa berhenti mengalir saat melihat wajah Mas Afnan yang babak belur. Ada beberapa lebam di pipi dan dahinya seperti habis menerima pukulan keras.Aku langsung berlari mendekat, menjatuhkan tas ke lantai begitu saja dan meraih wajahnya dengan kedua tanganku. “Kok bisa gini sih, Mas? Kamu habis berantem?” suaraku gemetar, panik, khawatir, semuanya bercampur jadi satu.Mas Afnan hanya mengangguk.Tanpa pikir panjang, aku bergegas ke dapur dan membuka laci tempat kotak P3K kami biasa disimpan. Ta
Pagi itu, setelah menata hati semalaman, aku memberanikan diri masuk ke kamar saat kudengar Mas Afnan sedang bersiap ke Kantor. Aku mengepalkan tanganku erat-erat, berusaha menahan gugup yang melonjak di dada.“Bo-boleh aku bantu pasangin dasinya?” tanyaku pelan namun cukup terdengar.Mas Afnan yang tengah berdiri di depan cermin sontak menoleh. Wajahnya tampak sedikit terkejut, tapi tak ada penolakan. Dia hanya mengangguk.Aku menelan ludah, lalu melangkah mendekatinya. Kudekap jarak di antara kami. Kuraih dasi yang masih belum terpasang sempurna di kerah kemejanya, dan mulai memperbaikinya. Tanganku sempat gemetar, tapi aku paksa tetap tenang.Tatapan Mas Afnan begitu terasa dan membuat jantungku berdetak tak keruan. Tapi aku tetap fokus, menunduk agar tak perlu membalas pandangannya. Aku tahu dia memperhatikan. Aku tahu dia merindukan kedekatan ini. Aku juga.Aku sadar, selama tiga hari ini aku terlalu membiarkan diriku larut dalam k
Mas Afnan melangkah mendekat. Tak terburu-buru. Tapi sorot matanya tak lepas dariku. Tidak marah, tapi jelas terluka.“Ini yang kamu inginkan, ‘kan?” lanjutnya lebih pelan, tapi menghantam hatiku lebih keras dari teriakan. “Aku diem ... aku nggak ganggu kamu ... aku nggak nyentuh kamu, aku bahkan pulang larut supaya kamu bisa bernafas. Bukankah ini yang kamu inginkan?”“Bukan,” suaraku nyaris tak terdengar. Air mataku jatuh satu-satu.Mas Afnan menggeleng pelan. “Aku cuma pengen deket, Saf. Bukan karena aku nggak sabar. Tapi karena aku ingin kamu tahu, kamu tetap milikku. Istriku. Tapi kalau bahkan itu aja kamu tolak aku harus gimana lagi?”Aku merasa lumpuh. Tidak tahu harus menjawab apa. Yang aku tahu hanya dadaku sakit. Sangat sakit.Mas Afnan maju. Langkahnya pelan, tapi pasti. Aku tak mampu menatap langsung ke matanya. Sampai ia berhenti, hanya satu langkah dari tempatku berdiri. Jaraknya d