Share

Kembali Bertemu

Author: Catatan_Sajak
last update Last Updated: 2025-04-10 21:30:13

Dengan langkah-langkah yang lebar, aku keluar dari TPA tempat mengajar dan langsung mengambil sepeda yang terparkir di halaman. Jantungku bergejolak cepat, hampir mengimbangi kayuhan pada laju sepeda yang kunaiki kini menuju Puskesmas.

Sepanjang perjalanan itu fikiranku amat kacau, membayangkan akan kondisi Nenek setelah mendapat kabar bahwa beliau baru saja jatuh dari kamar mandi. Semoga ia baik-baik saja, tak terbayang sehancur apa aku nanti kalau Nenek sampai kenapa-napa.

Begitu sampai di Puskesmas, aku langsung melangkah masuk ke dalam dan mempertanyakan keberadaan Nenek pada Resepsionis yang berjaga.

“Terima kasih, Sus.” Aku langsung berlari menuju kamar yang Suster itu katakan dan terenyak diam saat melihat Nenek yang terbaring di brankar. Senyum di wajahnya yang sudah mengkeriput itu muncul melihatku datang.

“Nenek!” Aku langsung berlari menghampiri Nenek dan menangis di sana. “Nenek nggak kenapa-napa, kan?”

Nenek tersenyum, lalu menggeleng. Satu tangannya terjulur mengusap puncak kepalaku. “Kamu kenapa menangis, Sayang? Nenek baik-baik aja, kok.”

Bagaimana bisa baik-baik saja sedangkan ada luka perban di kepalanya? Ya Allah! Tangis tak dapat kubendung lagi. Dadaku terasa sesak sekali.

“Safa nggak mau ditinggal Nenek.” Setelah ditinggal pergi selama-lamanya oleh kedua orangtuaku, aku tak punya siapapun lagi di dunia ini kecuali Nenek Fatimah.

Seandainya boleh meminta, aku ingin sekali berdoa pada Sang Khaliq agar aku saja yang dipanggil duluan. Aku tak mau hidup sendirian.

“Iya, Nenek nggak akan ke mana-mana, kok,” Senyum di wajahnya tak jua luntur. Tetapi, entah kenapa melihatnya begitu hatiku justru semakin terasa sakit.

 “Kamu udah selesai mengajar?”

Sesaat aku terdiam. Jeda seperkian detik, aku lantas menatapnya dan mengangguk. Terpaksa aku berbohong. Kalau berkata jujur langsung meninggalkan pekerjaan begitu tahu kabar Nenek yang paling kusayangi lebih dari apapun itu jatuh dari kamar mandi, aku yakin Nenek akan langsung menyuruh kembali.

“Safa sayang sama Nenek. Nenek harus sembuh lagi. Nenek mau lihat Safa nikah, kan?”

Nenek hanya tersenyum menatapku. Mulai saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri. Tidak ada penundaan lagi. Secepatnya, aku akan meminta kepastian hubungan pada dia. Aku tak mau menyesal nanti.

...

“Gimana kondisi Nenek kamu, Saf? Nggak ada luka serius, kan?” tanya Nilam. Perempuan itu juga ikut menyusulku ke Puskesmas begitu tugas di TPA-nya selesai.

Aku menghela nafas pelan. “Alhamdulillah sih nggak ada, tapi ....”

“Tapi apa?” sambung Nilam dengan raut wajah yang terlihat penasaran.

Menarik nafas dalam, kemudian menundukkan pandangan. “Aku takut. Gimana kalau suatu saat Nenek pergi? Aku harus gimana, Nilam?” Setetes air mataku kembali mengalir saat berucap demikian. Semakin tidak mau difikirkan, semakin ketakutan-ketakutan itu menumpuk dalam fikiranku. “Aku takut ...,” keluhku lagi padanya.

Nilam langsung merengkuh tubuhku. “Nenek Fatimah bakal baik-baik aja, kok. Dan kalau suatu saat waktunya dia pulang ke pangkuan Sang Pencipta udah tiba, ya kamu harus terima, Saf. Kita semua ‘kan memang lagi menunggu giliran. Iya, kan?”

Benar! Tetapi, aku sama sekali belum siap jika hari itu tiba.

“Kalau bisa, mending aku aja yang pulang duluan. Aku nggak akan sanggup kalau hidup sebatang kara. Aku nanti kesepian.”

“Hush! Nggak boleh gitu ah!” sanggah Nilam cepat. “Terus aku ini apa? Hanya butiran debu yang nggak dianggap gitu?” celetuknya.

Aku tertawa kecil mendengarnya. Sekalian menggoda, akupun langsung mengangguk mengiyakan. Kulihat, Nilam memanyunkan bibirnya. Lucu. Perlahan, rasa takutku mulai memudar.

“Udah ah, kita shalat zuhur dulu yuk!” ajak Nilam seraya bangkit dari duduknya dan menarikku untuk ikut berdiri juga. Kami melangkah bersama menuju Masjid yang terletak tak jauh dari lokasi Puskesmas berada. Kalau tidak salah nama Masjid itu adalah Masjid Al-Ikhsan.

“Nenek pasti baik-baik aja, kan?” tanyaku lagi di tengah perjalanan kami menuju Masjid.

Nilam menghela nafas. “Iya-iya, Nenek kamu pasti baik-baik aja, kok.”

Aku menundukkan pandangan, kemudian membuang nafas gusar. Ya, semoga Nenek akan selalu baik-baik saja. Aku harus yakin itu.

 Kuangkat wajah dan memokuskan pandangan ke depan. Loh? Langkahku seketika terhenti. Mataku memicing sekedar memastikan penglihatan di depan sana. Semoga itu salah. Namun, semakin diperhatikan lebih jeli, semua makin tampak jelas kalau orang itu memang dia! Ya ampun, kenapa dia bisa ada di sini?

“Nggak! Ini nggak mungkin!”

“Loh, bukannya dia cowok yang nggak sengaja kamu tabrak itu ya, Saf?” Rupanya Nilam pun memandangi objek yang sama denganku. Aku menggigit bibi bawahku dengan cemas. Tanpa fikir panjang lagi, aku langsung berbalik badan dan melangkah cepat menjauh dari area masjid.

“Eh, Safa! Kamu mau ke mana? Saf ...!” Bahkan, teriakan Nilam tak kutanggapi. Sebelum menanggung malu yang kedua kali, sebaiknya langsung pergi saja.

...

“Kenapa harus ketemu lagi coba? Dari sekian banyak desa yang menyebar luas di Indonesia, kenapa harus di desa ini sih?” Aku meraup wajah frustasi. Helaan nafas kasar berulang kali kukeluarkan. Antara kesal sekaligus cemas saat mengetahui fakta kalau lelaki yang kutabrak dulu adalah warga baru di desa ini. Tak hanya itu, menurut Ustadzah Gina yang kebetulan sering mengadakan acara kajian di Masjid tersebut, juga mengatakan kalau dia kini menjadi Marbot Masjid.

Melalui beliau juga, aku akhirnya mengetahui nama dari lelaki itu adalah Afnan. Baru menetap ke desa ini sekitar tiga minggu yang lalu.

“Yaudah sih, Saf! Lagian kejadian itu udah sebulan lalu. Pasti Afnan juga udah lupa, kok,” sahut Nilam. “Tapi, kalau diperhatiin lagi, Afnan itu lumayan ganteng juga.”

Aku memutar bola matanya. Memang sih, tapi ... ck! Intinya dia itu menyebalkan. “Masih kalah jauh sama pacar aku.” Setidaknya, Azzam tidak sok dan berwajah dingin sepertinya.

“Iyakah? Ah enggak, gantengan Afnan,” timpal Nilam dengan kukuh. Mataku spontan memicing tajam. Aku yakin dia mengatakan itu karena sengaja ingin membuatku semakin merasa kebakaran.

“Terus sekarang gimana dong? Mana sering banget lagi TPA ngadain acara di sana? Kalau ternyata dia masih ngenalin aku gimana? Pasti bakal diungkit lagi deh!”

“Nggak akan!” respon Nilam yang membuatku sontak menoleh cepat padanya.

“Bener? Kamu yakin?” sahutku dengan mata yang tertuju fokus padanya. Kalau benar demikian, itu artinya aku tidak perlu susah payah menghindarinya, ‘kan?

Nilam mengangguk dengan ekspresi wajah yang meyakinkan. “Ya, paling cuma diketawain,” sambungnya dengan enteng.

Sekejap aku bingung, namun tak membutuhkan waktu lama untuk mengerti kalau aku sedang dikerjai, langsung saja kulepas sendal dan bersiap hendak melemparkannya pada Nilam. Tapi sayang gadis itu sudah lebih dulu kabur. Awas saja nanti.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan impian   Akhir Yang Bahagia

    Udara pagi itu terasa lebih segar dari biasanya.Burung-burung berkicau dengan semangat seolah tahu bahwa rumah kecil di ujung desa ini baru saja menyambut anggota keluarga baru. Hari itu, aku dan Mas Afnan akhirnya membawa pulang Kanza—putri kecil kami—setelah lima hari menginap di klinik.Perjalanan pulang itu terasa seperti perjalanan paling sakral dalam hidup kami.Mas Afnan menyetir dengan sangat pelan, seperti sedang membawa barang pecah belah bernilai miliaran. Tangannya menggenggam kemudi erat-erat, matanya fokus ke jalan, tapi sesekali mencuri pandang ke jok belakang tempatku duduk dengan Kanza di pelukan.“Mas, nyetirnya bisa agak cepet dikit nggak? Ini bukan bawa telur mentah, lho,” godaku.Mas Afnan melirik cepat dengan wajah panik. “Eh—enggak! Ini lebih penting dari telur! Ini Kanza! Anak kita! Satu goyangan aja bisa—”“Bikin dia ngambek,” potongku sambil tertawa kecil. “Tenang aja, Mas. Dia udah kenyang, udah bobo. Nggak gampang bangun kecuali denger suara Papanya panik.”

  • Bukan Pernikahan impian   Cahaya bernama Syahira Kanza

    Aku nyaris kehilangan segalanya.Nafasku sempat tersengal, tubuhku lemas, dan dunia seolah menelan kesadaranku perlahan-lahan. Tapi di antara kabut yang pekat, ada suara yang menarik aku kembali ke permukaan.Suara itu … milik Mas Afnan.Genggaman tangannya tetap erat, tak pernah lepas walau tubuhku nyaris menyerah. Suaranya gemetar, tapi dia terus bicara, terus memanggil namaku seolah jiwaku bisa kembali hanya dengan itu.“Safa, kamu denger aku? Sayang, tolong buka mata … kamu kuat, kamu harus kuat demi anak kita .…”Dan aku berusaha. Demi dia. Demi anak kami.Aku menarik nafas pelan walau masih berat, tapi cukup untuk membuat oksigen itu kembali masuk ke dadaku.Dunia yang buram perlahan mulai berwarna lagi. Aku bisa mendengar suara Bidan Rini berteriak pelan penuh semangat, “Bagus, Safa! Kamu luar biasa! Sekarang tinggal satu dorongan lagi, ya. Ayo, Bismillah!”Aku mengangguk lemah. Air mata sudah mengalir sejak tadi—karena sakit, karena takut dan karena cinta yang tidak tertahanka

  • Bukan Pernikahan impian   Aku Di sini, Safa

    Aku terbaring di atas ranjang. Tubuhku seolah dihimpit oleh rasa sakit yang datang bergelombang. Setiap kontraksi semakin kuat, lebih mengguncang, dan lebih menguras tenaga. Teriakan demi teriakan yang keluar dari mulutku membuat udara di ruang klinik bidan terasa semakin sesak.Bidan Rini ada di sisi. Ia berusaha menenangkan aku, memberi arahan untuk bernafas dengan pelan. “Tarik nafas, Safa, tarik napas … jangan tegang. Pelan-pelan …,” suaranya lembut, penuh ketenangan.Tapi aku tak bisa mendengarnya. Semua rasa sakit dan ketakutan ini menguasai pikiranku.Tanganku menggenggam ponsel, berharap ada kabar. Sesuatu. Apa pun. Tapi layar itu hanya menunjukkan satu hal: kosong. Tak ada pesan, tak ada panggilan masuk. Hanya keheningan yang menyiksa.“Mas Afnan ...,” bisikku dalam hati dan menyebut namanya berulang-ulang dalam setiap nafasku yang tersengal. "Kenapa kamu belum datang, Mas? Kenapa HP-nya nggak aktif?"Aku menatap layar ponselku lagi dan berharap bisa melihat namanya muncul. M

  • Bukan Pernikahan impian   Kontraksi

    Sudah hampir dua jam sejak Mas Afnan pergi ke kantor. Aku menghabiskan waktu bersama Nilam. Ia sengaja mampir untuk menemani setelah selesai mengajar di TPA. Kami mengobrol ringan, tertawa kecil, dan membicarakan nama-nama bayi yang terdengar lucu, sambil menikmati kudapan sore di ruang tamu.“Kalau cowok gimana kalau namanya Ilhan?” usul Nilam sambil menyodorkan pisang goreng.Aku nyengir. “Itu nama mantan gebetan kamu waktu SMA, ‘kan?”Nilam mendengus, “Ih, ya ampun! Kok kamu masih ingat sih!”Aku tertawa kecil, lalu bangkit dari duduk. “Aku ke dapur dulu ya, haus banget tiba-tiba.”“Ambilin aku juga, teh manis ya!” seru Nilam santai.Aku mengangguk dan mulai melangkah menuju dapur, sambil mengusap perutku yang sudah makin berat. Bayi ini akhir-akhir ini makin aktif menendang. Tapi langkahku baru sampai di ambang dapur ketika perutku ini mendadak mengeras. Kontraksi.Tubuhku terhuyung sedikit. Aku bersandar pada dinding dan mencoba menarik nafas perlahan. “Bismillah … mungkin ini cu

  • Bukan Pernikahan impian   Beban Tanggung Jawab

    Hari-hariku kini diisi dengan perut yang semakin berat dan langkah yang semakin pelan. Usia kehamilanku sudah masuk minggu ke-39. Setiap pagi aku bangun dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia, gugup, dan harap-harap cemas. Tapi dari semua hal yang kurasakan, satu hal yang paling konstan adalah ... suamiku yang semakin heboh dari hari ke hari.“Sayang, udah kontraksi belum?”Aku menoleh malas dari sofa ruang tamu. “Belum, Mas. Baru lima menit yang lalu Mas nanya.”Mas Afnan yang kini bekerja dari rumah demi siaga penuh langsung menunduk malu sambil membawa semangkuk buah potong ke hadapanku. “Yaa ... siapa tahu mulai dalam lima menit terakhir ini.”Aku hanya bisa terkekeh dan menerima mangkuk itu. Langsung saja aku menyendok potongan pepaya, sambil memandangi wajah tegang suamiku yang sok tenang padahal jelas-jelas cemas setengah mati.Hari-hari ini, Mas Afnan benar-benar berusaha menyelesaikan semua tanggung

  • Bukan Pernikahan impian   Suami Super Siaga

    Beberapa hari terakhir, rumah kami berubah jadi markas evakuasi. Atau mungkin lebih cocok disebut zona karantina satu arah.Semenjak kedatangan Mama Diana dan Sarah—yang tak banyak bicara tapi cukup mengguncang suasana—Mas Afnan berubah jadi versi dirinya yang ... ekstra. Ekstra perhatian. Ekstra siaga. Ekstra overprotective.Contoh paling nyata: pagi ini.Aku baru saja bangun dari tempat tidur. Rambut masih berantakan, dan bibir terasa kering. Kupikir ingin ke dapur sebentar untuk mengambil segelas air putih. Tapi baru dua langkah keluar kamar, suara Mas Afnan langsung terdengar dari dapur.“Saf! Kamu mau ke mana?”Aku berhenti dan menoleh ke arah suaranya. “Ke dapur, Mas. Haus.”Langkah kakinya terdengar cepat menujuku. “Tunggu. Kamu duduk aja. Biar Mas ambil airnya.”“Mas, aku cuma mau—”“Duduk.” Suaranya tegas. Mata tajam tapi wajah penuh kekhawatiran. Dengan pelan, aku pun berbalik, berjalan kembali ke kamar dan duduk di tepi ranjang seperti anak sekolah yang ketahuan melanggar a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status