Dengan langkah-langkah yang lebar, aku keluar dari TPA tempat mengajar dan langsung mengambil sepeda yang terparkir di halaman. Jantungku bergejolak cepat, hampir mengimbangi kayuhan pada laju sepeda yang kunaiki kini menuju Puskesmas.
Sepanjang perjalanan itu fikiranku amat kacau, membayangkan akan kondisi Nenek setelah mendapat kabar bahwa beliau baru saja jatuh dari kamar mandi. Semoga ia baik-baik saja, tak terbayang sehancur apa aku nanti kalau Nenek sampai kenapa-napa.
Begitu sampai di Puskesmas, aku langsung melangkah masuk ke dalam dan mempertanyakan keberadaan Nenek pada Resepsionis yang berjaga.
“Terima kasih, Sus.” Aku langsung berlari menuju kamar yang Suster itu katakan dan terenyak diam saat melihat Nenek yang terbaring di brankar. Senyum di wajahnya yang sudah mengkeriput itu muncul melihatku datang.
“Nenek!” Aku langsung berlari menghampiri Nenek dan menangis di sana. “Nenek nggak kenapa-napa, kan?”
Nenek tersenyum, lalu menggeleng. Satu tangannya terjulur mengusap puncak kepalaku. “Kamu kenapa menangis, Sayang? Nenek baik-baik aja, kok.”
Bagaimana bisa baik-baik saja sedangkan ada luka perban di kepalanya? Ya Allah! Tangis tak dapat kubendung lagi. Dadaku terasa sesak sekali.
“Safa nggak mau ditinggal Nenek.” Setelah ditinggal pergi selama-lamanya oleh kedua orangtuaku, aku tak punya siapapun lagi di dunia ini kecuali Nenek Fatimah.
Seandainya boleh meminta, aku ingin sekali berdoa pada Sang Khaliq agar aku saja yang dipanggil duluan. Aku tak mau hidup sendirian.
“Iya, Nenek nggak akan ke mana-mana, kok,” Senyum di wajahnya tak jua luntur. Tetapi, entah kenapa melihatnya begitu hatiku justru semakin terasa sakit.
“Kamu udah selesai mengajar?”
Sesaat aku terdiam. Jeda seperkian detik, aku lantas menatapnya dan mengangguk. Terpaksa aku berbohong. Kalau berkata jujur langsung meninggalkan pekerjaan begitu tahu kabar Nenek yang paling kusayangi lebih dari apapun itu jatuh dari kamar mandi, aku yakin Nenek akan langsung menyuruh kembali.
“Safa sayang sama Nenek. Nenek harus sembuh lagi. Nenek mau lihat Safa nikah, kan?”
Nenek hanya tersenyum menatapku. Mulai saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri. Tidak ada penundaan lagi. Secepatnya, aku akan meminta kepastian hubungan pada dia. Aku tak mau menyesal nanti.
...
“Gimana kondisi Nenek kamu, Saf? Nggak ada luka serius, kan?” tanya Nilam. Perempuan itu juga ikut menyusulku ke Puskesmas begitu tugas di TPA-nya selesai.
Aku menghela nafas pelan. “Alhamdulillah sih nggak ada, tapi ....”
“Tapi apa?” sambung Nilam dengan raut wajah yang terlihat penasaran.
Menarik nafas dalam, kemudian menundukkan pandangan. “Aku takut. Gimana kalau suatu saat Nenek pergi? Aku harus gimana, Nilam?” Setetes air mataku kembali mengalir saat berucap demikian. Semakin tidak mau difikirkan, semakin ketakutan-ketakutan itu menumpuk dalam fikiranku. “Aku takut ...,” keluhku lagi padanya.
Nilam langsung merengkuh tubuhku. “Nenek Fatimah bakal baik-baik aja, kok. Dan kalau suatu saat waktunya dia pulang ke pangkuan Sang Pencipta udah tiba, ya kamu harus terima, Saf. Kita semua ‘kan memang lagi menunggu giliran. Iya, kan?”
Benar! Tetapi, aku sama sekali belum siap jika hari itu tiba.
“Kalau bisa, mending aku aja yang pulang duluan. Aku nggak akan sanggup kalau hidup sebatang kara. Aku nanti kesepian.”
“Hush! Nggak boleh gitu ah!” sanggah Nilam cepat. “Terus aku ini apa? Hanya butiran debu yang nggak dianggap gitu?” celetuknya.
Aku tertawa kecil mendengarnya. Sekalian menggoda, akupun langsung mengangguk mengiyakan. Kulihat, Nilam memanyunkan bibirnya. Lucu. Perlahan, rasa takutku mulai memudar.
“Udah ah, kita shalat zuhur dulu yuk!” ajak Nilam seraya bangkit dari duduknya dan menarikku untuk ikut berdiri juga. Kami melangkah bersama menuju Masjid yang terletak tak jauh dari lokasi Puskesmas berada. Kalau tidak salah nama Masjid itu adalah Masjid Al-Ikhsan.
“Nenek pasti baik-baik aja, kan?” tanyaku lagi di tengah perjalanan kami menuju Masjid.
Nilam menghela nafas. “Iya-iya, Nenek kamu pasti baik-baik aja, kok.”
Aku menundukkan pandangan, kemudian membuang nafas gusar. Ya, semoga Nenek akan selalu baik-baik saja. Aku harus yakin itu.
Kuangkat wajah dan memokuskan pandangan ke depan. Loh? Langkahku seketika terhenti. Mataku memicing sekedar memastikan penglihatan di depan sana. Semoga itu salah. Namun, semakin diperhatikan lebih jeli, semua makin tampak jelas kalau orang itu memang dia! Ya ampun, kenapa dia bisa ada di sini?
“Nggak! Ini nggak mungkin!”
“Loh, bukannya dia cowok yang nggak sengaja kamu tabrak itu ya, Saf?” Rupanya Nilam pun memandangi objek yang sama denganku. Aku menggigit bibi bawahku dengan cemas. Tanpa fikir panjang lagi, aku langsung berbalik badan dan melangkah cepat menjauh dari area masjid.
“Eh, Safa! Kamu mau ke mana? Saf ...!” Bahkan, teriakan Nilam tak kutanggapi. Sebelum menanggung malu yang kedua kali, sebaiknya langsung pergi saja.
...
“Kenapa harus ketemu lagi coba? Dari sekian banyak desa yang menyebar luas di Indonesia, kenapa harus di desa ini sih?” Aku meraup wajah frustasi. Helaan nafas kasar berulang kali kukeluarkan. Antara kesal sekaligus cemas saat mengetahui fakta kalau lelaki yang kutabrak dulu adalah warga baru di desa ini. Tak hanya itu, menurut Ustadzah Gina yang kebetulan sering mengadakan acara kajian di Masjid tersebut, juga mengatakan kalau dia kini menjadi Marbot Masjid.
Melalui beliau juga, aku akhirnya mengetahui nama dari lelaki itu adalah Afnan. Baru menetap ke desa ini sekitar tiga minggu yang lalu.
“Yaudah sih, Saf! Lagian kejadian itu udah sebulan lalu. Pasti Afnan juga udah lupa, kok,” sahut Nilam. “Tapi, kalau diperhatiin lagi, Afnan itu lumayan ganteng juga.”
Aku memutar bola matanya. Memang sih, tapi ... ck! Intinya dia itu menyebalkan. “Masih kalah jauh sama pacar aku.” Setidaknya, Azzam tidak sok dan berwajah dingin sepertinya.
“Iyakah? Ah enggak, gantengan Afnan,” timpal Nilam dengan kukuh. Mataku spontan memicing tajam. Aku yakin dia mengatakan itu karena sengaja ingin membuatku semakin merasa kebakaran.
“Terus sekarang gimana dong? Mana sering banget lagi TPA ngadain acara di sana? Kalau ternyata dia masih ngenalin aku gimana? Pasti bakal diungkit lagi deh!”
“Nggak akan!” respon Nilam yang membuatku sontak menoleh cepat padanya.
“Bener? Kamu yakin?” sahutku dengan mata yang tertuju fokus padanya. Kalau benar demikian, itu artinya aku tidak perlu susah payah menghindarinya, ‘kan?
Nilam mengangguk dengan ekspresi wajah yang meyakinkan. “Ya, paling cuma diketawain,” sambungnya dengan enteng.
Sekejap aku bingung, namun tak membutuhkan waktu lama untuk mengerti kalau aku sedang dikerjai, langsung saja kulepas sendal dan bersiap hendak melemparkannya pada Nilam. Tapi sayang gadis itu sudah lebih dulu kabur. Awas saja nanti.
Usai menunaikan shalat Zuhur, aku baru saja melipat sajadah ketika suara ketukan lembut terdengar dari arah pintu utama.Aku bangkit dan melangkah cepat ke depan seraya mencoba menenangkan hatiku yang entah kenapa malah jadi deg-degan. Saat membuka pintu, aku tertegun.“Mas.”Dia berdiri di sana. Wajahnya terlihat lelah tapi senyumnya tetap hangat. Tangan besarnya terulur mengusap puncak kepalaku dengan gerakan yang lembut. Aku berusaha tetap tenang dan menjaga rautku tetap netral. Jangan sampai air mata yang sempat hampir pecah tadi pagi bocor di hadapannya sekarang.Aku mencium punggung tangannya seperti biasa dan berucap, “Kamu mau makan? Nanti aku siap—”“Enggak perlu ya, Saf,” potongnya dengan suara rendah. “Aku mau tidur dulu sebentar aja. Ngantuk banget semalaman jaga Sarah.”“Oh, iya, Mas,” jawabku singkat dan seperlunya. Tapi di baliknya, ada gelombang kecewa yang men
Pagi itu begitu membuka mata, hal pertama yang kulakukan adalah meraih ponsel di nakas. Aku mengecek layar. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada panggilan tak terjawab.Dengan jari yang masih agak kaku karena dingin pagi, aku menekan ikon telepon dan menghubungi Mas Afnan. Sekali. Tidak diangkat.Kutahan nafasku sejenak dan mencoba menahan rasa khawatir yang tiba-tiba menyelusup. Mungkin dia sedang shalat. Atau baru tertidur setelah semalaman jaga Sarah.Kuputuskan untuk mencoba lagi. Dua kali. Masih sama, sunyi. Kucoba lagi untuk ketiga kalinya. Kali ini sambungan langsung terputus. Entah karena ditolak atau memang sinyal buruk.Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan hatiku yang mulai tidak karuan. “Safa, jangan mikir yang aneh-aneh,” gumamku lirih. “Mas Afnan bukan tipe orang yang ninggalin tanpa kabar.”Kutepis semua fikiran negatif yang mulai merayap, lalu bangkit dari tempat tidur. Setelah mencuci muka dan merapikan
Sentuhan lembut Mas Afnan di pipiku membuat nafasku tertahan. Bibirnya mendarat sempurna pada wajahku. Dalam, tenang, tapi menghanyutkan. Seolah waktu ikut diam hanya menyisakan detak jantung kami yang saling menjawab.Tanpa sadar, tanganku melingkar di lehernya dan menariknya lebih dekat. Ada rasa nyaman yang tak bisa didefinisikan dengan kata. Rasa dimiliki dan rasa dicintai.Ketika ciuman itu dilepaskan, Mas Afnan menatapku dalam. Seakan dari tatapan itu ia ingin menyampaikan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan. Mas Afnan lalu melepas mukena yang masih membungkus tubuhku dengan hati-hati. Tak ada tergesa-gesa. Tak ada nafsu yang memburu. Semua dilakukan dengan kelembutan yang membuat dadaku sesak karena haru.Tubuhku diangkat dan digendong perlahan menuju tempat tidur. Aku masih menatapnya dengan tak percaya bahwa semua ini nyata. Namun, saat Mas Afnan kembali menundukkan wajahnya untuk menciumku lagi, suara dering ponsel di atas nakas memecah kehe
Langit malam membentang tenang di luar jendela. Aku dan Mas Afnan baru saja selesai menunaikan shalat Maghrib berjamaah. Sejadah kami masih terbentang di atas permadani ruang tengah. Suasana rumah seketika hening dan penuh ketenangan.Mas Afnan masih duduk bersila dan menunduk membuka mushaf kecil yang selalu ia simpan di rak dekat sajadah. Aku tahu ini waktu rutinnya untuk murajaah hafalan Qur’an. Tatapannya khusyuk. Bibirnya bergerak lirih melafalkan ayat demi ayat.Aku menatapnya lama dengan kagum, lalu dengan spontan aku berucap, “Mas.”“Hm?” Mas Afnan menoleh dengan lembut.“Ajarin aku menghafal juga dong,” ucapku sambil tersenyum malu.Mata Mas Afnan langsung berbinar. Senyumnya merekah hangat dan penuh antusias. “Boleh banget. Yuk, kita mulai sekarang!”Aku mengangguk cepat dengan ekspresi wajah girang bukan main. “Boleh. Tapi dari awal ya?”Mas Afnan mengangguk,
“Mas, jawab ih! Kata Mas tadi aku korban novel?”Mas Afnan menahan tawa. Sudut bibirnya terangkat dalam senyum jahil yang sangat khas. “Iya,” katanya ringan.Aku menyipitkan mata. “Terus Mas tahu dari mana aku suka baca novel?”Mas Afnan melirikku sebentar, lalu kembali menatap ke jalan. “Kamu lupa ya pertemuan pertama kita?”Aku mengernyit. “Pertemuan pertama?”Mas Afnan terkekeh. “Di depan ruang sidang. Yang kamu nabrak aku sampai minuman kamu tumpah ke jas aku. Yang kamu buru-buru minta maaf dan langsung nyerocos nggak karuan?”Mataku terbelalak.Mas Afnan melanjutkan, “Padahal aku cuma mau bilang ‘makanya hati-hati’, tapi kamu salah paham duluan dan malah panik. Terus bilang, ‘maka apa? maka aku akan nikahi kamu’ persis kayak di adegan novel-n0vel yang kamu baca itu.”Mukaku langsung panas. “Astaghfirullah!&rdqu
Aku menggenggam tangan Mas Afnan erat, saat dia membawaku berjalan keluar dari ruangan besar yang tak lain ruangan miliknya itu. Tanganku masih sedikit berkeringat, bukan karena udara yang panas, tapi karena jantungku tak kunjung tenang sejak tahu siapa sebenarnya suamiku.Langkah Mas Afnan mantap menuju lift. Aku masih sedikit melambat. Rasanya benar-benar masih gugup tak karuan.“Mas, kita mau ke mana lagi?” tanyaku hati-hati.Mas Afnan menoleh sekilas sambil tersenyum. “Ke aula. Aku mau kenalin kamu sama semua karyawan.”Aku terbelalak. Langkahku sontak berhenti. “Apa? Mas, aku malu,” ujarku lirih dan refleks menarik lenganku yang berada dalam genggamannya.Mas Afnan mengernyit. “Kenapa harus malu?” tanyanya sambil menatapku lekat.Aku menunduk. Pipiku memanas. “Aku cuma nggak biasa aja dilihat banyak orang.”Mas Afnan mendekat satu langkah. Tangannya meraih daguku lembut,