Entah sudah keberapa kali aku menguap karena menahan kantuk, dalam menyimak persidangan atas kasus yang dialami oleh Paman dari sahabatku, Nilam. Kalau bukan karena kasihan, tentu sudah sejak tadi aku meninggalkan ruangan ini. Tak betah sekali rasanya. Belum lagi, telinga yang terasa panas mendengar adu debat yang dilakukan kuasa hukum tersangka dengan kuasa hukum penuntut.
“Masih lama nggak sih selesainya, Nil?” tanyaku dengan mata berair karena efek menahan kantuk ini. “Aku udah nggak kuat, aku keluar duluan aja ya.”
Aku sudah bangun dari kursi dan hendak pergi, tetapi urung saat Nilam memegang tanganku. “Yah, Saf. Bentar dulu,” cegahnya dengan tatapan memelas. Tatapan yang membuatku merasa tak tega meninggalkannya.
Aku menghela nafas pelan. Baiklah! Aku akan bersabar menunggu sebentar lagi. Selang beberapa menit kemudian, pandanganku spontan menoleh ke arah Nilam begitu hasil sidang diputuskan. Dia mendesah panjang dengan tatapan penuh kekecewaan karena kasus yang dialami pamannya kini mengalami kekalahan. Wajahnya berubah mendung.
“Padahal aku yakin banget Om aku cuma difitnah. Dia nggak mungkin melakukan penggelapan dana ke Bagaskara Group. Aku yakin itu cuma jebakan.”
Berhubung tak tahu asal masalahnya seperti apa, yang kulakukan saat itu hanya manggut-manggut saja sambil sesekali mengusap punggungnya yang sudah bergetar. Tak tahu siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi jika dilihat dari pembelaan serta bukti yang ditunjukkan kuasa hukum penuntut tadi, rasanya mustahil kalau itu cuma jebakan. “Sekarang gimana? Kamu mau langsung pulang?” tanyaku.
“Aku mau nemuin Om aku dulu ya, San. Kamu keluar dulu aja!” sahut Nilam.
Aku mengangguk dan bangkit dari duduk meninggalkan ia yang sudah melangkah duluan menemui pamannya. Sebenarnya, ada rasa prihatin yang hadir dalam benakku untuk Nilam. Satu-satunya anggota keluarga yang sudah mengurus sejak kecil dan setia menemaninya hingga sebesar sekarang, kini harus hidup dalam jeruji besi. Setelah ini, Nilam akan sendirian.
Sama sepertiku. Setelah Mama dan Papa pergi saat usiaku masih 7 tahun, aku memutuskan tinggal bersama Nenek di desa. Hanya Nenek satu-satunya yang selalu ada untukku baik suka ataupun duka. Kalau suatu saat Nenek pergi, hidupku juga akan hancur.
...
Pandanganku menatap sekitar. Tidak ada yang menarik perhatian di ruang persidangan ini, aku memutuskan melangkah menuju taman di depan sana. Sambil berjalan ke sana, aku mengambil ponsel dari dalam tas, berniat untuk menghubungi Nenek dan menanyakan keadaannya. Sudah lebih dari tiga jam aku meninggalkannya sendiri, semoga tidak terjadi apapun pada beliau.
Loh? Kenapa tidak ada sinyal? Oh, mungkin di depan sana ada. Dengan langkah lebar-lebar sambil terus menatap ke arah ponsel, aku mencoba mencari sinyal agar bisa menghubungi Nenek.
Namun, sesuatu yang tak terduga dan hampir membuat jantungku lepas dari tempatnya terjadi saat sampai di belokan koridor. Tubuhku menabrak seseorang dengan keras hingga jatuh menimpanya. Mataku membulat sempurna saat sadar minuman yang sejak tadi kupegang tumpah mengenai jas lelaki yang kutabrak barusan.
“Astaghfirullah ....” Dengan cepat, aku langsung bergerak bangun dan menatap nanar jas yang dikenakan lelaki itu. Sudah basah akibat ketumpahan minumanku tadi.
Lelaki pemilik netra tajam setajam elang itu ikut bangun dan menghadapku dengan tatapan sangar. Dengan gugup dan ketakutan yang mencuat, aku menelan ludah dengan berat, tak berani menatap matanya.
“kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan?” tanyanya yang terdengar begitu dingin di telingaku.
Aku mengangguk kaku. Menarik nafas dalam-dalam, aku memberanikan diri mengangkat wajah dan menatap pada sepasang mata hitam legamnya. “A-aku minta maaf.”
“Maaf?” terlihat senyum miring di wajah tampannya. Ya, tampan. Ku akui dia memang tampan.
“Kamu sudah menabrak saya dan membuat pakaian saya basah! Maka—”
“Apa? Maka apa? Mau bilang maka saya akan menikahi kamu?” serobotku dengan cepat tanpa permisi.
“Hah?”
Aku berdecak, lalu menyilangkan tangan di depan dada.”Nggak usah cosplay kaya di novel-novel gitu, Mas! Kita itu tabrakan nggak sengaja, Allah Maha tahu dan Allah Maha Pengampun.” Dia memang tampan. Tetapi, aku tak mau kalau harus menikah hanya karena insiden kecil ini. Memang sih, di satu novel yang aku baca, cerita mereka berakhir happy ending. Tapi belum tentu berakhir sama kalau terjadi di dunia nyata.
“Apa maksud kamu?” Lelaki itu malah geleng-geleng kepala. Loh? Kenapa dia?
“Saya mau katakan makanya kalau jalan hati-hati!”
Hah? Ya Allah!
Kedua mataku sontak terbelalak lebar. Gawat! Aku sudah salah persepsi. Oh Tuhan, tolong tenggelamkan aku ke dasar bumi sekarang juga!
“Apa kamu fikir saya sudah gila karena mau menikahi wanita yang saya tabrak begitu saja?” ucapnya terdengar sangat lantang.
Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat. Kepalaku tertunduk dalam. Melalui ekor mata, aku melirik lelaki itu yang kini berdecak pelan, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Mata tajam itu rupanya tengah mencari benda pipih yang berada tak jauh dari posisiku berdiri kini.
Menelan ludah sejenak. Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain saat lelaki itu mengambil ponselnya dan kembali melanjutkan telepon. Sepertinya tidak rusak. Baguslah! Aku tidak perlu repot-repot ganti rugi.
Melalui ekor mata juga, aku melihat dia sempat melirikku sekilas, kemudian melenggang pergi. Saat itulah, aku akhirnya dapat bernafas lega. Namun, jantungku lagi-lagi mencelos saat merasakan tepukan lembut di bahu. Apa jangan-jangan ada orang lain di sini?
Segera aku membalikkan tubuh dan mataku melotot sempurna melihat Nilam. Dia tidak melihat yang terjadi tadi, ‘kan?
“Ni-Nilam, kamu sejak kapan di sini?”
Bukannya menjawab, Nilam malah terkekeh geli sambil menggeleng berulang kali. “Saf, barusan kamu ... ngira dia bakal nikahin kamu? Ya Allah, Safa! Safa! Kamu ada-ada aja.”
Seketika seluruh persendianku terasa lemas. Lengkap sudah harga diriku jatuh hari ini. Ternyata Nilam juga melihat pertunjukan menyebalkan nan memalukan tadi.
“Nggak semua adegan di novel berakhir sama juga di kehidupan nyata,” celetuk Nilam masih dengan tawa yang mengudara.
Aku mendengus. Ingin rasanya mencubit dia yang masih asyik tertawa. Dasar teman durhaka. Awas saja.
“Kamu udah minta maaf sama dia belum?” tanyanya yang membuat aku langsung menatap ke arahnya dengan wajah sangar. Minta maaf? Seketika aku meringis kecil.
“Gimana mau minta maaf? Lihat mukanya aja aku nggak bisa karena malu, Nilam. Hih! Semoga aja aku nggak pernah nemuin dia lagi.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Menatap sinis pada Nilam yang masih saja tertawa.
“Kamu mau sampai kapan ngetawain aku? Yaudah, aku pulang duluan!” Dengan wajah kesaldan hati yang teramat dongkol, aku melangkah pergi meninggalkan Nilam.
“Safa, tungguin!”
Teriakannya sama sekali tak kugubris. Aku justru semakin mempercepat langkahku. Menyebalkan! Ini semua karena laki-laki tak jelas itu.
...
Sampai di penginapan, aku langsung membuka pintu kamar dengan masih mempertahankan wajah cemberut. Langsung duduk di sofa dan menyandarkan kepala di sana, mataku mendelik tajam pada Nilam yang lagi-lagi membahas soal kejadian tadi.
“Iya-iya, aku tahu aku memang konyol.” Setelah berkata demikian, aku langsung memindahkan posisi ke samping kiri untuk membelakanginya. Niat untuk tidur seketika urung saat ponsel yang di dalam tas bergetar. Segera, kuambil ponsel itu dan hatiku langsung membuncah bahagia melihat di room chat, ada satu chat masuk dari dia.
“So sweet!” Hampir saja aku melemparkan ponsel dalam genggaman karena terlonjak kaget dengan Nilam yang tiba-tiba menyahut.
“Jangan kepo ya!” Tatapan sengit kukeluarkan pada perempuan itu.
Nilam geleng-geleng kepala. “Udah punya pacar juga, tapi kenapa malah ngarep dinikahin sama cowok lain?” ledeknya.
Lagi dan lagi dia membahas kejadian tadi. Tak berminat meladeni, akupun langsung melenggang pergi menuju kamar mandi.
Siapapun laki-laki itu, aku berharap kita tidak akan pernah dipertemukan lagi. Tak terbayang mau di kemanakan wajahku nanti kalau kembali berpapasan. Ya, semoga saja pertemuan tadi adalah pertemuan pertama dan terakhir.
Suara mesin mobil Mas Afnan berhenti di depan rumah membuat detak jantungku bertambah cepat. Aku tahu, malam ini waktunya. Waktu untuk bicara. Waktu untuk memperbaiki batas yang mulai kabur. Tapi juga waktu untuk menyiapkan hati. Entah akan berujung pada pelukan, atau justru diam yang menggantung lagi.Aku bangkit dari duduk dan mengintip dari sela gorden, lalu buru-buru menuju pintu saat melihat mobilnya sudah benar-benar berhenti. Ketika pintu terbuka, kulihat wajah lelah Mas Afnan dan dahi yang mengernyit saat melihatku masih terjaga.“Kenapa belum tidur?” tanyanya lirih.Aku tersenyum tipis dan mencoba tetap tenang, meski gemuruh di dadaku seperti petir yang menunggu meledak. Aku melangkah mendekat, lalu meraih tangannya dan mencium punggungnya dengan penuh takjim. Sehangat itu kulitnya, bahkan saat lelah sekalipun.“Mas pasti capek banget, ya,” kataku pelan. “Aku buatin minum dulu, ya.”“Nggak usah, Sa
Aku baru saja selesai mengenakan jilbab dan memeriksa tas berisi buku-buku hafalan anak-anak TPA, ketika suara langkah kaki terdengar di lorong. Pagi masih segar, semoga hati juga bisa tetap segar hari ini.Namun, langkahku terhenti ketika pintu kamar terbuka dan aku berpapasan dengan Sarah. Ia tampak sibuk merapikan kunciran rambutnya dengan tas selempang tergantung di bahu.“Kak,” ucapnya ringan tanpa sadar menambah beban di pundakku. “Meja yang di deket dapur itu kayaknya menuhin tempat deh. Jadi, aku pindahin aja ke belakang.”Aku langsung menoleh. Keningku otomatis mengerut. “Meja yang mana, Sar?” tanyaku. Suaraku lebih tinggi dari biasanya. “Kenapa kamu nggak bilang-bilang dulu?”Sarah terdiam sejenak. Mungkin dia menyadari perubahan nada suaraku. Ia mengatupkan bibir, lalu menjawab pelan, “Maaf, Kak. Aku pikir kakak juga akan setuju. Lagipula, mejanya juga jarang dipakai, kan?”Aku
Aku terbangun oleh suara pintu yang ditutup pelan. Samar-samar, suara langkah kaki Mas Afnan yang baru saja selesai mengambil wudhu terdengar menembus keheningan malam. Sekilas kulirik jam dinding. Pukul dua lewat sedikit. Dini hari yang sunyi. Tapi tidak untuk hatiku.Aku bangkit setengah duduk. “Mas, mau shalat, ya?”Mas Afnan menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut. Entah karena aku bangun atau karena aku menyapanya. “Iya,” jawabnya pelan. “Kok kamu bangun?”Aku tersenyum tipis dan menjawab, “Aku juga mau shalat. Tungguin, ya.”Dia terdiam sejenak. Tatapan matanya memudar. Ada jarak yang tak kasat mata, tapi terasa sangat nyata. Tapi pada akhirnya dia mengangguk juga.Aku buru-buru menyibak selimut dan melangkah ke kamar mandi. Gemericik air wudhu menyadarkanku sepenuhnya. Rasanya seperti membasuh luka yang sejak beberapa hari ini kupendam. Luka karena rasa canggung yang tak semestinya ada antara s
Pagi ini udara desa terasa lebih sejuk dari biasanya, tapi tidak dengan suasana hati di dalam rumah. Aku yang sedang menyiapkan sarapan di dapur bisa mendengar suara Mas Afnan yang terdengar lebih berat dari ruang tamu. Nada tenangnya tetap terdengar, tapi ada ketegasan yang sulit diabaikan.“Jadi, kenapa kamu harus milih tinggal di sini, Sar?” tanya Mas Afnan.Aku menahan gerakan tanganku sejenak, mencuri dengar tanpa benar-benar berniat menguping. Namun, percakapan itu terlalu dekat untuk diabaikan.“Padahal, nggak jauh dari sini juga ada penginapan kecil yang aman dan cukup dikenal orang,” lanjutnya.Suara Sarah terdengar pelan dan ragu. “Aku nggak nyaman, Kak. Di tempat yang nggak aku kenal siapa-siapa.”Ada jeda. Tak lama kemudian, suara helaan nafas panjang Mas Afnan menyusul. “Papa sama Mama tahu kamu nginep di sini?” tanyanya kali ini lebih tegas.Aku bisa membayangkan Sarah menunduk. S
Mentari siang mulai condong ke barat saat aku menutup lembar hafalan anak-anak, menandai berakhirnya sesi mengajar hari ini. Suasana TPA mulai lengang. Beberapa anak sudah dijemput orang tuanya. Sebagian lagi duduk di pojokan sambil menunggu waktu pulang.Aku menghela nafas panjang dan mengusap keringat tipis di pelipis. Hari ini cukup melelahkan, tapi ada rasa lega yang mengalir saat melihat semangat anak-anak menghafal ayat demi ayat. Belum sempat kubereskan semuanya, ponselku bergetar. Kubuka layar dan sebaris pesan masuk membuat dahiku langsung berkerut. Dari Sarah.“Aku udah di rumah Kakak. Aku tunggu ya.”Aku mematung sejenak. Sarah di rumahku? Kenapa dia bisa ada di sana? Dan buat apa?Perasaan tidak nyaman langsung menyusup ke dada. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kutahan, tapi tak juga bisa kutemukan jawabannya.“Safa, mau langsung pulang?” suara Nilam membuyarkan lamunanku.Aku menoleh, buru
Udara pagi di desa memang selalu membawa damai yang aneh. Angin semilir menyapu hijabku saat motornya berhenti di depan gerbang TPA. Aku menoleh dan melihat wajahnya yang masih tampak segar meski pasti kurang tidur.“Kayaknya hari ini Mas bakal pulang telat deh,” ucapnya tiba-tiba.Aku mengerutkan dahi. “Jam berapa, Mas?”“Mungkin agak maleman,” jawabnya sambil menurunkan standar motor. “Soalnya harus ngatur acara juga. Banyak yang belum beres.”Aku mengangguk pelan. “Oh, iya. Paham.”Mas Afnan menoleh padaku lagi. “Nanti kalau lewat Isya Mas belum pulang, kamu langsung tidur aja ya.”“Emang selama itu?” ucapku cepat dan sedikit kaget.Dia tertawa kecil. Nada suaranya genit. “Kenapa? Takut kangen ya?”Aku mendengus dan berpaling ke arah gerbang. “Nggak juga.”Tapi pipiku malah panas. Aku tahu wajahku memerah, dan M