Share

Bukan Pernikahan impian
Bukan Pernikahan impian
Penulis: Catatan_Sajak

Insiden Memalukan

Penulis: Catatan_Sajak
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-10 21:28:40

Entah sudah keberapa kali aku menguap karena menahan kantuk, dalam menyimak persidangan atas kasus yang dialami oleh Paman dari sahabatku, Nilam. Kalau bukan karena kasihan, tentu sudah sejak tadi aku meninggalkan ruangan ini. Tak betah sekali rasanya. Belum lagi, telinga yang terasa panas mendengar adu debat yang dilakukan kuasa hukum tersangka dengan kuasa hukum penuntut.

“Masih lama nggak sih selesainya, Nil?” tanyaku dengan mata berair karena efek menahan kantuk ini. “Aku udah nggak kuat, aku keluar duluan aja ya.”

Aku sudah bangun dari kursi dan hendak pergi, tetapi urung saat Nilam memegang tanganku. “Yah, Saf. Bentar dulu,” cegahnya dengan tatapan memelas. Tatapan yang membuatku merasa tak tega meninggalkannya.

Aku menghela nafas pelan. Baiklah! Aku akan bersabar menunggu sebentar lagi. Selang beberapa menit kemudian, pandanganku spontan menoleh ke arah Nilam begitu hasil sidang diputuskan. Dia mendesah panjang dengan tatapan penuh kekecewaan karena kasus yang dialami pamannya kini mengalami kekalahan. Wajahnya berubah mendung.

“Padahal aku yakin banget Om aku cuma difitnah. Dia nggak mungkin melakukan penggelapan dana ke Bagaskara Group. Aku yakin itu cuma jebakan.”

Berhubung tak tahu asal masalahnya seperti apa, yang kulakukan saat itu hanya manggut-manggut saja sambil sesekali mengusap punggungnya yang sudah bergetar. Tak tahu siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi jika dilihat dari pembelaan serta bukti yang ditunjukkan kuasa hukum penuntut tadi, rasanya mustahil kalau itu cuma jebakan. “Sekarang gimana? Kamu mau langsung pulang?” tanyaku.

“Aku mau nemuin Om aku dulu ya, San. Kamu keluar dulu aja!” sahut Nilam.

Aku mengangguk dan bangkit dari duduk meninggalkan ia yang sudah melangkah duluan menemui pamannya. Sebenarnya, ada rasa prihatin yang hadir dalam benakku untuk Nilam. Satu-satunya anggota keluarga yang sudah mengurus sejak kecil dan setia menemaninya hingga sebesar sekarang, kini harus hidup dalam jeruji besi. Setelah ini, Nilam akan sendirian.

Sama sepertiku. Setelah Mama dan Papa pergi saat usiaku masih 7 tahun, aku memutuskan tinggal bersama Nenek di desa. Hanya Nenek satu-satunya yang selalu ada untukku baik suka ataupun duka. Kalau suatu saat Nenek pergi, hidupku juga akan hancur.

...

Pandanganku menatap sekitar. Tidak ada yang menarik perhatian di ruang persidangan ini, aku memutuskan melangkah menuju taman di depan sana. Sambil berjalan ke sana, aku mengambil ponsel dari dalam tas, berniat untuk menghubungi Nenek dan menanyakan keadaannya. Sudah lebih dari tiga jam aku meninggalkannya sendiri, semoga tidak terjadi apapun pada beliau.

Loh? Kenapa tidak ada sinyal? Oh, mungkin di depan sana ada. Dengan langkah lebar-lebar sambil terus menatap ke arah ponsel, aku mencoba mencari sinyal agar bisa menghubungi Nenek.

Namun, sesuatu yang tak terduga dan hampir membuat jantungku lepas dari tempatnya terjadi saat sampai di belokan koridor. Tubuhku menabrak seseorang dengan keras hingga jatuh menimpanya. Mataku membulat sempurna saat sadar minuman yang sejak tadi kupegang tumpah mengenai jas lelaki yang kutabrak barusan.

Astaghfirullah ....” Dengan cepat, aku langsung bergerak bangun dan menatap nanar jas yang dikenakan lelaki itu. Sudah basah akibat ketumpahan minumanku tadi.

Lelaki pemilik netra tajam setajam elang itu ikut bangun dan menghadapku dengan tatapan sangar. Dengan gugup dan ketakutan yang mencuat, aku menelan ludah dengan berat, tak berani menatap matanya.

“kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan?” tanyanya yang terdengar begitu dingin di telingaku.

Aku mengangguk kaku. Menarik nafas dalam-dalam, aku memberanikan diri mengangkat wajah dan menatap pada sepasang mata hitam legamnya. “A-aku minta maaf.”

“Maaf?” terlihat senyum miring di wajah tampannya. Ya, tampan. Ku akui dia memang tampan.

“Kamu sudah menabrak saya dan membuat pakaian saya basah! Maka—”

“Apa? Maka apa? Mau bilang maka saya akan menikahi kamu?” serobotku dengan cepat tanpa permisi.

“Hah?”

Aku berdecak, lalu menyilangkan tangan di depan dada.”Nggak usah cosplay kaya di novel-novel gitu, Mas! Kita itu tabrakan nggak sengaja, Allah Maha tahu dan Allah Maha Pengampun.” Dia memang tampan. Tetapi, aku tak mau kalau harus menikah hanya karena insiden kecil ini. Memang sih, di satu novel yang aku baca, cerita mereka berakhir happy ending. Tapi belum tentu berakhir sama kalau terjadi di dunia nyata.

“Apa maksud kamu?” Lelaki itu malah geleng-geleng kepala. Loh? Kenapa dia?

 “Saya mau katakan makanya kalau jalan hati-hati!”

Hah? Ya Allah!

Kedua mataku sontak terbelalak lebar. Gawat! Aku sudah salah persepsi. Oh Tuhan, tolong tenggelamkan aku ke dasar bumi sekarang juga!

“Apa kamu fikir saya sudah gila karena mau menikahi wanita yang saya tabrak begitu saja?” ucapnya terdengar sangat lantang.

Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat. Kepalaku tertunduk dalam. Melalui ekor mata, aku melirik lelaki itu yang kini berdecak pelan, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Mata tajam itu rupanya tengah mencari benda pipih yang berada tak jauh dari posisiku berdiri kini.

Menelan ludah sejenak. Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain saat lelaki itu mengambil ponselnya dan kembali melanjutkan telepon. Sepertinya tidak rusak. Baguslah! Aku tidak perlu repot-repot ganti rugi.

Melalui ekor mata juga, aku melihat dia sempat melirikku sekilas, kemudian melenggang pergi. Saat itulah, aku akhirnya dapat bernafas lega. Namun, jantungku lagi-lagi mencelos saat merasakan tepukan lembut di bahu. Apa jangan-jangan ada orang lain di sini?

Segera aku membalikkan tubuh dan mataku melotot sempurna melihat Nilam. Dia tidak melihat yang terjadi tadi, ‘kan?

“Ni-Nilam, kamu sejak kapan di sini?”

Bukannya menjawab, Nilam malah terkekeh geli sambil menggeleng berulang kali. “Saf, barusan kamu ... ngira dia bakal nikahin kamu? Ya Allah, Safa! Safa! Kamu ada-ada aja.”

 Seketika seluruh persendianku terasa lemas. Lengkap sudah harga diriku jatuh hari ini. Ternyata Nilam juga melihat pertunjukan menyebalkan nan memalukan tadi.

“Nggak semua adegan di novel berakhir sama juga di kehidupan nyata,” celetuk Nilam masih dengan tawa yang mengudara.

Aku mendengus. Ingin rasanya mencubit dia yang masih asyik tertawa. Dasar teman durhaka. Awas saja.

“Kamu udah minta maaf sama dia belum?” tanyanya yang membuat aku langsung menatap ke arahnya dengan wajah sangar. Minta maaf? Seketika aku meringis kecil.

“Gimana mau minta maaf? Lihat mukanya aja aku nggak bisa karena malu, Nilam. Hih! Semoga aja aku nggak pernah nemuin dia lagi.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Menatap sinis pada Nilam yang masih saja tertawa.

“Kamu mau sampai kapan ngetawain aku? Yaudah, aku pulang duluan!” Dengan wajah kesaldan hati yang teramat dongkol, aku melangkah pergi meninggalkan Nilam.

“Safa, tungguin!”

Teriakannya sama sekali tak kugubris. Aku justru semakin mempercepat langkahku. Menyebalkan! Ini semua karena laki-laki tak jelas itu.

...

Sampai di penginapan, aku langsung membuka pintu kamar dengan masih mempertahankan wajah cemberut. Langsung duduk di sofa dan menyandarkan kepala di sana, mataku mendelik tajam pada Nilam yang lagi-lagi membahas soal kejadian tadi.

“Iya-iya, aku tahu aku memang konyol.” Setelah berkata demikian, aku langsung memindahkan posisi ke samping kiri untuk membelakanginya. Niat untuk tidur seketika urung saat ponsel yang di dalam tas bergetar. Segera, kuambil ponsel itu dan hatiku langsung membuncah bahagia melihat di room chat, ada satu chat masuk dari dia.

“So sweet!” Hampir saja aku melemparkan ponsel dalam genggaman karena terlonjak kaget dengan Nilam yang tiba-tiba menyahut.

“Jangan kepo ya!” Tatapan sengit kukeluarkan pada perempuan itu.

Nilam geleng-geleng kepala. “Udah punya pacar juga, tapi kenapa malah ngarep dinikahin sama cowok lain?” ledeknya.

Lagi dan lagi dia membahas kejadian tadi. Tak berminat meladeni, akupun langsung melenggang pergi menuju kamar mandi.

Siapapun laki-laki itu, aku berharap kita tidak akan pernah dipertemukan lagi. Tak terbayang mau di kemanakan wajahku nanti kalau kembali berpapasan. Ya, semoga saja pertemuan tadi adalah pertemuan pertama dan terakhir.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Pernikahan impian   Akhir Yang Bahagia

    Udara pagi itu terasa lebih segar dari biasanya.Burung-burung berkicau dengan semangat seolah tahu bahwa rumah kecil di ujung desa ini baru saja menyambut anggota keluarga baru. Hari itu, aku dan Mas Afnan akhirnya membawa pulang Kanza—putri kecil kami—setelah lima hari menginap di klinik.Perjalanan pulang itu terasa seperti perjalanan paling sakral dalam hidup kami.Mas Afnan menyetir dengan sangat pelan, seperti sedang membawa barang pecah belah bernilai miliaran. Tangannya menggenggam kemudi erat-erat, matanya fokus ke jalan, tapi sesekali mencuri pandang ke jok belakang tempatku duduk dengan Kanza di pelukan.“Mas, nyetirnya bisa agak cepet dikit nggak? Ini bukan bawa telur mentah, lho,” godaku.Mas Afnan melirik cepat dengan wajah panik. “Eh—enggak! Ini lebih penting dari telur! Ini Kanza! Anak kita! Satu goyangan aja bisa—”“Bikin dia ngambek,” potongku sambil tertawa kecil. “Tenang aja, Mas. Dia udah kenyang, udah bobo. Nggak gampang bangun kecuali denger suara Papanya panik.”

  • Bukan Pernikahan impian   Cahaya bernama Syahira Kanza

    Aku nyaris kehilangan segalanya.Nafasku sempat tersengal, tubuhku lemas, dan dunia seolah menelan kesadaranku perlahan-lahan. Tapi di antara kabut yang pekat, ada suara yang menarik aku kembali ke permukaan.Suara itu … milik Mas Afnan.Genggaman tangannya tetap erat, tak pernah lepas walau tubuhku nyaris menyerah. Suaranya gemetar, tapi dia terus bicara, terus memanggil namaku seolah jiwaku bisa kembali hanya dengan itu.“Safa, kamu denger aku? Sayang, tolong buka mata … kamu kuat, kamu harus kuat demi anak kita .…”Dan aku berusaha. Demi dia. Demi anak kami.Aku menarik nafas pelan walau masih berat, tapi cukup untuk membuat oksigen itu kembali masuk ke dadaku.Dunia yang buram perlahan mulai berwarna lagi. Aku bisa mendengar suara Bidan Rini berteriak pelan penuh semangat, “Bagus, Safa! Kamu luar biasa! Sekarang tinggal satu dorongan lagi, ya. Ayo, Bismillah!”Aku mengangguk lemah. Air mata sudah mengalir sejak tadi—karena sakit, karena takut dan karena cinta yang tidak tertahanka

  • Bukan Pernikahan impian   Aku Di sini, Safa

    Aku terbaring di atas ranjang. Tubuhku seolah dihimpit oleh rasa sakit yang datang bergelombang. Setiap kontraksi semakin kuat, lebih mengguncang, dan lebih menguras tenaga. Teriakan demi teriakan yang keluar dari mulutku membuat udara di ruang klinik bidan terasa semakin sesak.Bidan Rini ada di sisi. Ia berusaha menenangkan aku, memberi arahan untuk bernafas dengan pelan. “Tarik nafas, Safa, tarik napas … jangan tegang. Pelan-pelan …,” suaranya lembut, penuh ketenangan.Tapi aku tak bisa mendengarnya. Semua rasa sakit dan ketakutan ini menguasai pikiranku.Tanganku menggenggam ponsel, berharap ada kabar. Sesuatu. Apa pun. Tapi layar itu hanya menunjukkan satu hal: kosong. Tak ada pesan, tak ada panggilan masuk. Hanya keheningan yang menyiksa.“Mas Afnan ...,” bisikku dalam hati dan menyebut namanya berulang-ulang dalam setiap nafasku yang tersengal. "Kenapa kamu belum datang, Mas? Kenapa HP-nya nggak aktif?"Aku menatap layar ponselku lagi dan berharap bisa melihat namanya muncul. M

  • Bukan Pernikahan impian   Kontraksi

    Sudah hampir dua jam sejak Mas Afnan pergi ke kantor. Aku menghabiskan waktu bersama Nilam. Ia sengaja mampir untuk menemani setelah selesai mengajar di TPA. Kami mengobrol ringan, tertawa kecil, dan membicarakan nama-nama bayi yang terdengar lucu, sambil menikmati kudapan sore di ruang tamu.“Kalau cowok gimana kalau namanya Ilhan?” usul Nilam sambil menyodorkan pisang goreng.Aku nyengir. “Itu nama mantan gebetan kamu waktu SMA, ‘kan?”Nilam mendengus, “Ih, ya ampun! Kok kamu masih ingat sih!”Aku tertawa kecil, lalu bangkit dari duduk. “Aku ke dapur dulu ya, haus banget tiba-tiba.”“Ambilin aku juga, teh manis ya!” seru Nilam santai.Aku mengangguk dan mulai melangkah menuju dapur, sambil mengusap perutku yang sudah makin berat. Bayi ini akhir-akhir ini makin aktif menendang. Tapi langkahku baru sampai di ambang dapur ketika perutku ini mendadak mengeras. Kontraksi.Tubuhku terhuyung sedikit. Aku bersandar pada dinding dan mencoba menarik nafas perlahan. “Bismillah … mungkin ini cu

  • Bukan Pernikahan impian   Beban Tanggung Jawab

    Hari-hariku kini diisi dengan perut yang semakin berat dan langkah yang semakin pelan. Usia kehamilanku sudah masuk minggu ke-39. Setiap pagi aku bangun dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia, gugup, dan harap-harap cemas. Tapi dari semua hal yang kurasakan, satu hal yang paling konstan adalah ... suamiku yang semakin heboh dari hari ke hari.“Sayang, udah kontraksi belum?”Aku menoleh malas dari sofa ruang tamu. “Belum, Mas. Baru lima menit yang lalu Mas nanya.”Mas Afnan yang kini bekerja dari rumah demi siaga penuh langsung menunduk malu sambil membawa semangkuk buah potong ke hadapanku. “Yaa ... siapa tahu mulai dalam lima menit terakhir ini.”Aku hanya bisa terkekeh dan menerima mangkuk itu. Langsung saja aku menyendok potongan pepaya, sambil memandangi wajah tegang suamiku yang sok tenang padahal jelas-jelas cemas setengah mati.Hari-hari ini, Mas Afnan benar-benar berusaha menyelesaikan semua tanggung

  • Bukan Pernikahan impian   Suami Super Siaga

    Beberapa hari terakhir, rumah kami berubah jadi markas evakuasi. Atau mungkin lebih cocok disebut zona karantina satu arah.Semenjak kedatangan Mama Diana dan Sarah—yang tak banyak bicara tapi cukup mengguncang suasana—Mas Afnan berubah jadi versi dirinya yang ... ekstra. Ekstra perhatian. Ekstra siaga. Ekstra overprotective.Contoh paling nyata: pagi ini.Aku baru saja bangun dari tempat tidur. Rambut masih berantakan, dan bibir terasa kering. Kupikir ingin ke dapur sebentar untuk mengambil segelas air putih. Tapi baru dua langkah keluar kamar, suara Mas Afnan langsung terdengar dari dapur.“Saf! Kamu mau ke mana?”Aku berhenti dan menoleh ke arah suaranya. “Ke dapur, Mas. Haus.”Langkah kakinya terdengar cepat menujuku. “Tunggu. Kamu duduk aja. Biar Mas ambil airnya.”“Mas, aku cuma mau—”“Duduk.” Suaranya tegas. Mata tajam tapi wajah penuh kekhawatiran. Dengan pelan, aku pun berbalik, berjalan kembali ke kamar dan duduk di tepi ranjang seperti anak sekolah yang ketahuan melanggar a

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status