Share

Tidak Asing

Author: Catatan_Sajak
last update Last Updated: 2025-04-10 21:31:21

Hal yang kutakutkan kini menjadi kenyataan. TPA tempatku biasa mengajar akan mengadakan pengajian rutin yang dilakukan di Masjid Al-Ikhsan.

“Tenang, Saf. Pasti Afnannya udah pulang, kok. Nggak mungkin seharian ada di Masjid, kan?” Nilam berusaha menenangkanku yang sedang kalut. “Percaya sama aku.”

Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. Semoga lelaki itu memang sudah pergi dan aku tidak akan menanggung malu untuk yang kedua kali.

Namun, sayang beribu sayang. Harapan tidak kunjung menjadi nyata. Afnan, lelaki itu justru yang bertugas mengatur keberlangsungan acara bersama pihak DKM yang lain.

Aku menghela nafas panjang. Ingin rasanya kabur detik ini juga. Namun, hal itu tak mungkin kulakukan karena akulah yang bertugas menjadi pembawa acara dalam pengajian kali ini.

Tenang, Safa. Dia pasti nggak ingat sama kamu. Berulang kali aku menarik dan menghembuskan nafas secara pelan. Aku tidak boleh terlihat panik. Ustadzah Gina sudah memberikan amanah tugas dalam acara kali ini. Aku tidak boleh mengecewakan seniorku itu.

“Safa, silahkan dimulai!”

Perintah dari Ustadzah Gina barusan langsung membuat degup jantungku bergejolak tak karuan. Oke, Safa. Tenang. Tarik nafas hembuskan. Bismillah! Semoga acara ini dimudahkan.

“Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Senyum tulus kuperlihatkan pada semua yang hadir dalam pengajian itu. Sebisa mungkin aku berusaha fokus dan selalu menghindar untuk tidak bersitatap dengan Afnan.

“Maka dari itu, izinkan saya, Safa selaku pembawa acara dari acara pengajian Majelis Taklim ini untuk membuka dengan bacaan Basmalah. Bismillahirrahmannir rahim. Acara akan diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur an yang akan dipimpin oleh Ustadz Hasan. Kepadanya, saya persilahkan.”

Aku turun dari podium dan kembali ke tempat semula. Seperti ada dorongan untukku menoleh ke samping dan betapa kagetnya aku saat melihat Afnan tengah menengok ke arahku juga. Debar jantungku kembali bergejolak hebat dan tanpa sadar sudah menggaruk belakang kepala karena salah tingkah. Sebisa mungkin aku tetap berusaha tenang meski rasanya ingin sekali pergi secepat mungkin.

...

Dalam kurun waktu kurang lebih 90 menit, acara pengajian di Masjid itu akhirnya selesai juga. Selesai berpamitan dengan semuanya, aku terburu-buru pergi. Aku harus meninggalkan Masjid itu secepat mungkin sebelum Afnan mengingatnya.

Bruk!

“Aw!” ringisku spontan karena kepala yang menubruk sesuatu. Ini akibatnya kalau berjalan tergesa-gesa dengan kepala yang tertunduk memperhatikan sendal.

“Kamu tidak papa?”

Seluruh persendianku seketika melemas mendengar suara itu. Ragu-ragu, aku memberanikan diri mengangkat wajah dan langsung terhenyak diam melihat wajah orang yang kutabrak barusan.

Dia lagi? Haish! Mati-matian menghindar, ternyata malah bertemu lagi dengan cara yang memalukan.

“Kamu tidak papa?” ulang Afnan karena yang pertama kali tak ada respon apapun.

Aku menggaruk belakang hijab. “I-iya, saya tidak papa.”

“Wajah kamu kaya nggak asing? Apa kita pernah ketemu sebelumnya?” tanya Afnan.

Aku menelan ludah dengan berat. Mataku bergerak gelisah ke kanan kiri. “Enggak. Kita nggak pernah ketemu.”

Dia diam.

“Saya duluan.” Tanpa menunggu jawaban Afnan, aku langsung berlalu pergi dari hadapannya dengan langkah terburu-buru.

“Hei, tunggu!”

Kedua tanganku saling mengepal. Kenapa dia memanggil? Gawat! Sepertinya lelaki itu sudah ingat siapa aku.

...

Dengan nafas yang tersenggal-senggal seperti habis lari maraton, akhirnya aku tiba di rumah. Tak ada lagi yang kulakukan selain langsung duduk di sofa dan merebahkan kepala di sana. Benar-benar hari yang menguras tenaga dan fikiran.

Ini semua karena Afnan. Dua kali bertemu, dua kali juga mempermalukan diri sendiri. Ya Allah, Safa. Benar-benar sudah tak terselamatkan! Sepertinya setelah ini, aku harus mendaftar jadi guru TPA private saja agar tidak bertemu lagi dengan Afnan.

Tok! Tok!

“Assalamu alaikum.”

Siapa yang datang bertamu? Keningku bertaut bingung. Apa jangan-jangan Afnan? Ah tidak mungkin!Yang benar saja Afnan sampai menyusul ke rumah. Jelas itu mustahil!

“Assalamu alaikum.”

Menghela nafas sejenak, kemudian bangkit dari sofa. Pelan tapi pasti, aku mulai membuka pintu.

“Wa alaikumussalam ....” Nafasku terasa tercekat melihat sosok lelaki di depannya kini. “Azzam?” “Hai, Saf.”

Aku mengerjap berulang kali. Berhalusinasikah? Bukankah harusnya lelaki itu masih berada di luar kota? Kenapa tiba-tiba ada di desa?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan impian   Akhir Yang Bahagia

    Udara pagi itu terasa lebih segar dari biasanya.Burung-burung berkicau dengan semangat seolah tahu bahwa rumah kecil di ujung desa ini baru saja menyambut anggota keluarga baru. Hari itu, aku dan Mas Afnan akhirnya membawa pulang Kanza—putri kecil kami—setelah lima hari menginap di klinik.Perjalanan pulang itu terasa seperti perjalanan paling sakral dalam hidup kami.Mas Afnan menyetir dengan sangat pelan, seperti sedang membawa barang pecah belah bernilai miliaran. Tangannya menggenggam kemudi erat-erat, matanya fokus ke jalan, tapi sesekali mencuri pandang ke jok belakang tempatku duduk dengan Kanza di pelukan.“Mas, nyetirnya bisa agak cepet dikit nggak? Ini bukan bawa telur mentah, lho,” godaku.Mas Afnan melirik cepat dengan wajah panik. “Eh—enggak! Ini lebih penting dari telur! Ini Kanza! Anak kita! Satu goyangan aja bisa—”“Bikin dia ngambek,” potongku sambil tertawa kecil. “Tenang aja, Mas. Dia udah kenyang, udah bobo. Nggak gampang bangun kecuali denger suara Papanya panik.”

  • Bukan Pernikahan impian   Cahaya bernama Syahira Kanza

    Aku nyaris kehilangan segalanya.Nafasku sempat tersengal, tubuhku lemas, dan dunia seolah menelan kesadaranku perlahan-lahan. Tapi di antara kabut yang pekat, ada suara yang menarik aku kembali ke permukaan.Suara itu … milik Mas Afnan.Genggaman tangannya tetap erat, tak pernah lepas walau tubuhku nyaris menyerah. Suaranya gemetar, tapi dia terus bicara, terus memanggil namaku seolah jiwaku bisa kembali hanya dengan itu.“Safa, kamu denger aku? Sayang, tolong buka mata … kamu kuat, kamu harus kuat demi anak kita .…”Dan aku berusaha. Demi dia. Demi anak kami.Aku menarik nafas pelan walau masih berat, tapi cukup untuk membuat oksigen itu kembali masuk ke dadaku.Dunia yang buram perlahan mulai berwarna lagi. Aku bisa mendengar suara Bidan Rini berteriak pelan penuh semangat, “Bagus, Safa! Kamu luar biasa! Sekarang tinggal satu dorongan lagi, ya. Ayo, Bismillah!”Aku mengangguk lemah. Air mata sudah mengalir sejak tadi—karena sakit, karena takut dan karena cinta yang tidak tertahanka

  • Bukan Pernikahan impian   Aku Di sini, Safa

    Aku terbaring di atas ranjang. Tubuhku seolah dihimpit oleh rasa sakit yang datang bergelombang. Setiap kontraksi semakin kuat, lebih mengguncang, dan lebih menguras tenaga. Teriakan demi teriakan yang keluar dari mulutku membuat udara di ruang klinik bidan terasa semakin sesak.Bidan Rini ada di sisi. Ia berusaha menenangkan aku, memberi arahan untuk bernafas dengan pelan. “Tarik nafas, Safa, tarik napas … jangan tegang. Pelan-pelan …,” suaranya lembut, penuh ketenangan.Tapi aku tak bisa mendengarnya. Semua rasa sakit dan ketakutan ini menguasai pikiranku.Tanganku menggenggam ponsel, berharap ada kabar. Sesuatu. Apa pun. Tapi layar itu hanya menunjukkan satu hal: kosong. Tak ada pesan, tak ada panggilan masuk. Hanya keheningan yang menyiksa.“Mas Afnan ...,” bisikku dalam hati dan menyebut namanya berulang-ulang dalam setiap nafasku yang tersengal. "Kenapa kamu belum datang, Mas? Kenapa HP-nya nggak aktif?"Aku menatap layar ponselku lagi dan berharap bisa melihat namanya muncul. M

  • Bukan Pernikahan impian   Kontraksi

    Sudah hampir dua jam sejak Mas Afnan pergi ke kantor. Aku menghabiskan waktu bersama Nilam. Ia sengaja mampir untuk menemani setelah selesai mengajar di TPA. Kami mengobrol ringan, tertawa kecil, dan membicarakan nama-nama bayi yang terdengar lucu, sambil menikmati kudapan sore di ruang tamu.“Kalau cowok gimana kalau namanya Ilhan?” usul Nilam sambil menyodorkan pisang goreng.Aku nyengir. “Itu nama mantan gebetan kamu waktu SMA, ‘kan?”Nilam mendengus, “Ih, ya ampun! Kok kamu masih ingat sih!”Aku tertawa kecil, lalu bangkit dari duduk. “Aku ke dapur dulu ya, haus banget tiba-tiba.”“Ambilin aku juga, teh manis ya!” seru Nilam santai.Aku mengangguk dan mulai melangkah menuju dapur, sambil mengusap perutku yang sudah makin berat. Bayi ini akhir-akhir ini makin aktif menendang. Tapi langkahku baru sampai di ambang dapur ketika perutku ini mendadak mengeras. Kontraksi.Tubuhku terhuyung sedikit. Aku bersandar pada dinding dan mencoba menarik nafas perlahan. “Bismillah … mungkin ini cu

  • Bukan Pernikahan impian   Beban Tanggung Jawab

    Hari-hariku kini diisi dengan perut yang semakin berat dan langkah yang semakin pelan. Usia kehamilanku sudah masuk minggu ke-39. Setiap pagi aku bangun dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia, gugup, dan harap-harap cemas. Tapi dari semua hal yang kurasakan, satu hal yang paling konstan adalah ... suamiku yang semakin heboh dari hari ke hari.“Sayang, udah kontraksi belum?”Aku menoleh malas dari sofa ruang tamu. “Belum, Mas. Baru lima menit yang lalu Mas nanya.”Mas Afnan yang kini bekerja dari rumah demi siaga penuh langsung menunduk malu sambil membawa semangkuk buah potong ke hadapanku. “Yaa ... siapa tahu mulai dalam lima menit terakhir ini.”Aku hanya bisa terkekeh dan menerima mangkuk itu. Langsung saja aku menyendok potongan pepaya, sambil memandangi wajah tegang suamiku yang sok tenang padahal jelas-jelas cemas setengah mati.Hari-hari ini, Mas Afnan benar-benar berusaha menyelesaikan semua tanggung

  • Bukan Pernikahan impian   Suami Super Siaga

    Beberapa hari terakhir, rumah kami berubah jadi markas evakuasi. Atau mungkin lebih cocok disebut zona karantina satu arah.Semenjak kedatangan Mama Diana dan Sarah—yang tak banyak bicara tapi cukup mengguncang suasana—Mas Afnan berubah jadi versi dirinya yang ... ekstra. Ekstra perhatian. Ekstra siaga. Ekstra overprotective.Contoh paling nyata: pagi ini.Aku baru saja bangun dari tempat tidur. Rambut masih berantakan, dan bibir terasa kering. Kupikir ingin ke dapur sebentar untuk mengambil segelas air putih. Tapi baru dua langkah keluar kamar, suara Mas Afnan langsung terdengar dari dapur.“Saf! Kamu mau ke mana?”Aku berhenti dan menoleh ke arah suaranya. “Ke dapur, Mas. Haus.”Langkah kakinya terdengar cepat menujuku. “Tunggu. Kamu duduk aja. Biar Mas ambil airnya.”“Mas, aku cuma mau—”“Duduk.” Suaranya tegas. Mata tajam tapi wajah penuh kekhawatiran. Dengan pelan, aku pun berbalik, berjalan kembali ke kamar dan duduk di tepi ranjang seperti anak sekolah yang ketahuan melanggar a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status