Share

Suami Aneh

Author: Catatan_Sajak
last update Last Updated: 2025-04-23 10:00:39

“Kalau gitu, aku duluan ya, Saf.” Nilam beranjak bangun dari duduknya dan berpamitan pergi. Tepat tak lama dari itu, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Tanpa perlu menoleh, sudah pasti itu Mas Afnan. Lewat sudut mata, aku melihat Mas Afnan mengambil tempat duduk tepat di depanku kini.

“Jangan GR! Aku ke sini karena Mama kirim pesan, katanya mereka akan datang ke rumah.”

Aku menelan ludah berat. Haha, memang apa yang kamu fikirkan, Safa? Dia datang ke sini karena inisiatif sendiri begitu? Itu jelas mustahil!

...

Sebelum ke rumah, aku dan Mas Afnan memutuskan mampir dulu ke pasar untuk berbelanja bahan masakan di dapur. Ya setidaknya ada satu kebaikan yang dilakukan Mas Afnan, dibalik sikap dingin dan ucapan kasarnya padaku selama ini, yaitu; dia tidak lupa akan kewajibannya dalam memberikan aku nafkah secara zahir.

Aku sampai terkaget-kaget saat melihat nominal uang yang dikirim Mas Afnan tadi saat di mobil. Uang seba

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan impian   Waktunya Pulang

    Sudah beberapa hari sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di rumah ini, dan pagi ini suasana terasa jauh lebih ramai. Sarah akhirnya diperbolehkan pulang dari Rumah Sakit.Dengan langkah ringan dan suara yang penuh semangat, ia masuk ke rumah sambil menyerukan satu nama yang langsung membuat dadaku ikut menegang pelan.“Kak Afnan mana?”Tak lama, Mas Afnan muncul dari arah ruang tengah. Ia mengenakan kemeja santai dan celana kain. “Kamu udah pulang? Alhamdulillah,” ucapnya sembari tersenyum.Sarapan pun dimulai dengan formasi yang tak asing lagi. Aku di sebelah Mas Afnan, Mama dan Papa di sisi berseberangan, dan Sarah duduk agak merapat ke sisi lain Afnan. Entah kenapa aku mulai merasa seperti sedang menyaksikan sesuatu yang ganjil tapi belum bisa kupastikan.Di tengah menyuapkan sesendok nasi ke mulutku, Mas Afnan tiba-tiba membuka suara.“Hari ini, aku dan Safa akan kembali ke desa.”Sontak sendo

  • Bukan Pernikahan impian   Kecupan Penenang

    Aku tahu mungkin malam ini Mas Afnan akan pergi lagi ke Rumah Sakit menemani Sarah. Sementara Papa, baru akan pulang esok pagi. Dan di rumah besar ini, hanya ada kami berdua.Tetapi, bukan berarti aku ingin menghabiskan malam ini dengan diam dan rasa curiga.Aku memilih diam di dapur dan memotong buah-buahan untuk camilan, serta menyiapkan makan malam yang sederhana, tapi hangat.Tanganku sibuk mencuci buah anggur di bawah air mengalir, tapi fikiranku entah di mana. Mengembara ke wajah Mas Afnan yang beberapa jam ini jarang kutatap lama-lama. Karena aku takut dia akan membaca resah yang tengah kurasakan sekarang.Tak lama kemudian, aku mendengar langkah kaki dari belakang. Langkah itu berat, tapi tenang. Tanpa perlu menoleh, aku tahu betul itu pasti Mas Afnan.“Saf .…”Suaranya pelan. Tapi cukup untuk membuat jantungku terasa bergetar. Aku menoleh dan memaksakan senyum yang kuusahakan terlihat tulus. “Hmm? Ayo makan ma

  • Bukan Pernikahan impian   Memilih Tetap Bungkam

    Usai menunaikan shalat Zuhur, aku baru saja melipat sajadah ketika suara ketukan lembut terdengar dari arah pintu utama.Aku bangkit dan melangkah cepat ke depan seraya mencoba menenangkan hatiku yang entah kenapa malah jadi deg-degan. Saat membuka pintu, aku tertegun.“Mas.”Dia berdiri di sana. Wajahnya terlihat lelah tapi senyumnya tetap hangat. Tangan besarnya terulur mengusap puncak kepalaku dengan gerakan yang lembut. Aku berusaha tetap tenang dan menjaga rautku tetap netral. Jangan sampai air mata yang sempat hampir pecah tadi pagi bocor di hadapannya sekarang.Aku mencium punggung tangannya seperti biasa dan berucap, “Kamu mau makan? Nanti aku siap—”“Enggak perlu ya, Saf,” potongnya dengan suara rendah. “Aku mau tidur dulu sebentar aja. Ngantuk banget semalaman jaga Sarah.”“Oh, iya, Mas,” jawabku singkat dan seperlunya. Tapi di baliknya, ada gelombang kecewa yang men

  • Bukan Pernikahan impian   Butuh Diyakinkan

    Pagi itu begitu membuka mata, hal pertama yang kulakukan adalah meraih ponsel di nakas. Aku mengecek layar. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada panggilan tak terjawab.Dengan jari yang masih agak kaku karena dingin pagi, aku menekan ikon telepon dan menghubungi Mas Afnan. Sekali. Tidak diangkat.Kutahan nafasku sejenak dan mencoba menahan rasa khawatir yang tiba-tiba menyelusup. Mungkin dia sedang shalat. Atau baru tertidur setelah semalaman jaga Sarah.Kuputuskan untuk mencoba lagi. Dua kali. Masih sama, sunyi. Kucoba lagi untuk ketiga kalinya. Kali ini sambungan langsung terputus. Entah karena ditolak atau memang sinyal buruk.Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan hatiku yang mulai tidak karuan. “Safa, jangan mikir yang aneh-aneh,” gumamku lirih. “Mas Afnan bukan tipe orang yang ninggalin tanpa kabar.”Kutepis semua fikiran negatif yang mulai merayap, lalu bangkit dari tempat tidur. Setelah mencuci muka dan merapikan

  • Bukan Pernikahan impian   Antara Rasa Dan Kenyataan

    Sentuhan lembut Mas Afnan di pipiku membuat nafasku tertahan. Bibirnya mendarat sempurna pada wajahku. Dalam, tenang, tapi menghanyutkan. Seolah waktu ikut diam hanya menyisakan detak jantung kami yang saling menjawab.Tanpa sadar, tanganku melingkar di lehernya dan menariknya lebih dekat. Ada rasa nyaman yang tak bisa didefinisikan dengan kata. Rasa dimiliki dan rasa dicintai.Ketika ciuman itu dilepaskan, Mas Afnan menatapku dalam. Seakan dari tatapan itu ia ingin menyampaikan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan. Mas Afnan lalu melepas mukena yang masih membungkus tubuhku dengan hati-hati. Tak ada tergesa-gesa. Tak ada nafsu yang memburu. Semua dilakukan dengan kelembutan yang membuat dadaku sesak karena haru.Tubuhku diangkat dan digendong perlahan menuju tempat tidur. Aku masih menatapnya dengan tak percaya bahwa semua ini nyata. Namun, saat Mas Afnan kembali menundukkan wajahnya untuk menciumku lagi, suara dering ponsel di atas nakas memecah kehe

  • Bukan Pernikahan impian   Dalam Ayat-Ayat Cinta

    Langit malam membentang tenang di luar jendela. Aku dan Mas Afnan baru saja selesai menunaikan shalat Maghrib berjamaah. Sejadah kami masih terbentang di atas permadani ruang tengah. Suasana rumah seketika hening dan penuh ketenangan.Mas Afnan masih duduk bersila dan menunduk membuka mushaf kecil yang selalu ia simpan di rak dekat sajadah. Aku tahu ini waktu rutinnya untuk murajaah hafalan Qur’an. Tatapannya khusyuk. Bibirnya bergerak lirih melafalkan ayat demi ayat.Aku menatapnya lama dengan kagum, lalu dengan spontan aku berucap, “Mas.”“Hm?” Mas Afnan menoleh dengan lembut.“Ajarin aku menghafal juga dong,” ucapku sambil tersenyum malu.Mata Mas Afnan langsung berbinar. Senyumnya merekah hangat dan penuh antusias. “Boleh banget. Yuk, kita mulai sekarang!”Aku mengangguk cepat dengan ekspresi wajah girang bukan main. “Boleh. Tapi dari awal ya?”Mas Afnan mengangguk,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status