terima kasih sudah mengikuti ceritanya. waduhh Author jadi deg deg an dengan pengakuan si Ryota.
Ryota sedikit terhuyung saat melangkah keluar, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. Erol mengikuti di belakang, setengah langkah lebih jauh, menjaga jarak.Tiba-tiba, earphone di telinganya bergetar. Erol menempelkan jari ke alat kecil itu, mendengarkan laporan yang masuk.“Ponsel dan smartwatch Nyonya sudah ditemukan,” lapornya cepat kepada tuannya. Ryota menoleh singkat, dengan sorot matanya yang dingin. “Dia bisa saja ke arah lain… atau masih berada di sekitar lokasi.”“Saya mengerti, Tuan.”Ryota masuk ke mobil hitam yang sudah menanti. Erol segera mengambil alih kemudi. Mesin meraung, kendaraan melaju meninggalkan area apartemen. Di tengah perjalanan, suara dari earphone kembali terdengar. Erol menegang, lalu melirik kaca spion tengah mobil. “Tuan… mobil yang keluar dari apartemen sebelum lockdown sudah ditemukan. Kendaraan itu mengalami kecelakaan.”Ryota mengangkat kepalanya, tatapannya tajam menusuk ke depan.“Lokasi?” tanyanya singkat.Erol langsung memutar setir. “Tidak jau
Elara akhirnya memutuskan untuk berdamai dengan Ryota setelah beberapa hari terakhir ia berusaha mengikis kekecewaan dan ketakutannya pada pria itu. Ia marah karena Ryota mencampuri rumah tangganya hingga membuatnya tampak seperti orang bodoh. Ia takut pada kekuasaan Ryota yang bisa membuat Daris kehilangan segalanya. Hari ini ia berniat mengajak Ryota bertemu untuk membuat kesepakatan, suaminya itu tidak boleh lagi mencampuri masa lalunya. Sama seperti dirinya yang memilih melupakan semuanya. Elara sendiri tak menyimpan dendam, lalu mengapa Ryota berbuat jahat di belakangnya? Siang itu, dengan hati tenang, ia turun dari mobilnya yang terpakir di basement dan melangkah menuju akses masuk lift unit apartemennya. Kedua tangannya penuh kantong belanjaan, dan senyum tipis terukir di wajahnya. Kali ini ia bertekad untuk makan lebih banyak agar tidak terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan. Sambil menekan tombol lift, ia menghubungi nomor Ryota dan menempelkan ponsel ke telinganya.
Kalimat itu meluncur dari bibir Ryota dengan kecepatan sedang. Elara merekam setiap kata. Setelahnya, ia mengunyah sisa daging di mulutnya perlahan hingga habis, lalu meletakkan sumpitnya dengan hati-hati di atas meja. “Terima kasih atas makanannya,” ucapnya sambil membungkuk kecil, sopan. Tanpa menunggu tanggapan Ryota, ia berbalik dan melangkah pergi. Saat tiba di ambang pintu dapur, Elara menoleh sebentar. “Saya akan tidur di kamar saya,” katanya datar. Ryota tidak bergerak. Ia hanya menatap punggung Elara yang kian menjauh hingga menghilang di balik tembok. Dapur mendadak terasa hampa, menyisakan dirinya dan beberapa potong daging kecoklatan di atas grill. Ia menekan pelipisnya sambil mengembuskan napas kasar. Sial! Apa yang baru saja kulakukan? Tawa sinis keluar dari bibirnya. “Rubbish,” umpatnya pada psikiater yang memberi saran konyol. Beberapa menit ia mondar-mandir di dapur, sebelum berhenti dan mencengkeram tepi meja bar dengan kedua tangannya. 'Bagaimana jika d
"Apa itu artinya, kau ingin selalu tetap bersamaku?" tanya Ryota pada Elara yang masih duduk di pangkuannya. "Iya…" jawab Elara pelan. "Dan keinginan itu sekarang sedikit berkurang?" Ryota menambahkan, matanya mengamati ekspresi Elara. Kening Elara berkerut. "Tidak… bukan itu yang berkurang. Hanya cara saya melihatmu… setelah mengetahui masa lalu kamu yang bertentangan dengan prinsip saya." Begitu istrinya itu selesai bicara, Ryota langsung menarik tengkuk Elara mendekat. Ia mencium bibir istrinya. Kali ini memberi kesempatan pada Elara agar bisa menarik napas di sela ciuman yang panas dan menuntut itu. Satu tangan Ryota menekan tengkuk Elara, sementara tangan yang lain menstimulasi kontur toraksnya. Saraf-saraf sensitif itu mengirimkan sinyal ke seluruh tubuhnya, membuat Elara tak mampu menahan reaksi yang muncul. Tanpa melepaskan ciumannya, Ryota berdiri sambil mengangkat bokong Elara ke dalam gendongannya. Untuk menjaga keseimbangan, lengan Elara melingkari leher suaminya.
Anya sudah terlelap di kamarnya. Di ruang belajarnya, Elara duduk sendiri, menekuni buku di hadapannya. Ia mengira malam masih panjang, mungkin baru pukul setengah sembilan.Suara pintu ruang belajarnya yang tertutup tiba-tiba mengejutkannya. Ia terperanjat melihat sosok yang berdiri di depan pintu. Elara memiliki ruang pribadi, tapi tidak benar-benar pribadi karena tidak ada kunci. “Kamu tidak jadi lembur?” tanya Elara, dan buru-buru menutup serta merapikan bukunya.Ryota tersenyum miring, sembari berjalan mendekati istrinya. “Kau berharap aku lembur, agar tidak menidurimu?”Pipi Elara merona. “Bukan begitu…” Ia beranjak berdiri dengan kikuk. “Kamu ingin saya buatkan teh?”Pria itu tak menjawab. Ia meraih lengan Elara dan menariknya bersamaan dengan langkahnya ke kursi Elara. Begitu ia menjatuhkan diri duduk, tubuh istrinya itu pun ikut terbawa hingga jatuh di pangkuannya.Elara menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Melihat gelagatnya, Ia yakin suaminya ini sedang berniat men
Elara terdiam sejenak. Meski sekarang ia percaya pada suaminya. Tapi bagaimana dengan masa lalunya? Jika benar dia pria yang suka begituan, apakah dia bisa menerimanya? Amanda memperhatikan wajah Elara yang pucat, lalu tersenyum miring. “Kenapa? Kau sudah mulai percaya dengan yang kukatakan?” Elara tersenyum tipis, mencoba bertahan dengan logikanya sendiri. “Mereka bisa saja salah. Ada banyak nama yang sama… mungkin saja yang sering belanja itu Ryota yang punya Ryota Energy.” Amanda terkekeh pelan, mencondongkan tubuh. “Elara, seorang pria, lima tahun menduda, sehat, mapan… secara ilmiah, kecil sekali kemungkinan dia benar-benar tidak menyalurkan kebutuhan biologisnya.” Elara menoleh, keningnya berkerut. Amanda melanjutkan dengan nada tenang, seperti seorang dosen yang menjelaskan informasi yang penting. “Dorongan seksual pria tidak hilang begitu saja hanya karena tidak ada istri. Apalagi di usia produktif. Statistik menunjukkan, sebagian besar pria tidak mampu menahan dir