แชร์

34. Amanda vs Elara

ผู้เขียน: SayaNi
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-16 07:40:08
Amanda belum juga pulang, bahkan setelah Anya tertidur lelap di kamarnya. Rumah mulai lengang, hanya suara jam dinding dan langkah kaki pelan dari para pelayan yang masih berjaga.

Di dapur, Elara berdiri dengan celemek, menyiapkan bahan untuk sarapan esok pagi. Sepotong daging tanpa lemak telah ia dicuci bersih dan ditiriskan oleh asisten rumah tangga.

Tugas Elara hanya memastikan Anya makan makanan yang sehat dan sesuai alerginya. Ia tidak diizinkan menyentuh pekerjaan rumah tangga lainnya. Bahkan saat ia pernah mencoba mencuci pakaian miliknya sendiri, salah satu ART menangis, memohon agar Elara berhenti.

Amanda bersandar di ambang pintu dapur, matanya memperhatikan tiap gerakan Elara seolah sedang menilai kinerja seorang pelayan rendahan.

Lalu tanpa aba-aba, suara sinis itu meluncur seperti pisau.

“Apa kau sudah tidur dengan Kak Ryo?”

Tangan Elara terkejut, botol kecap asin yang tadi digenggamnya terlepas dan jatuh ke lantai.

Elara tidak menoleh. Ia menerima botol ke
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   86. Vanessa Ngajak Kepo

    Sebuah pesan masuk di ponsel Ryota. Ia tersenyum tipis. "Putramu baik baik saja," katanya pada Elara yang tengah mengaduk sup ikannya. "Benarkah?" dengan mata berbinar, lekas lekas Elara menoleh ke arah Ryota. Ryota memberikan ponselnya dengan layar yang menyala. "Apakah kau sudah bisa tidur nyenyak sekarang?" Elara menerimanya dengan semangat. Layar ponsel Ryota menampilkan dokumen resmi dari Dinas Perlindungan Anak. Ia mulai membaca. Rumah tempat Arka tinggal disebutkan dalam kondisi layak. Nyaman. Bersih. Ruangan cukup. Ventilasi dan pencahayaan dinilai baik. Ada kamar untuk Arka, dengan tempat tidur sendiri, dan mainan seperlunya. Neneknya disebut sebagai pengasuh utama. Wawancara menunjukkan ia cukup perhatian—menyiapkan makanan, menemani tidur, mengantar sekolah. Tidak ditemukan keluhan serius. Tidak juga ada kekurangan yang bisa dijadikan alasan intervensi. Elara menggulir ke bawah. Bagian berikutnya membuat napasnya pelan-pelan menurun. Kondisi fisik: normal.

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   85. Waktu Berharga Ryota

    TING! Lift terbuka. Di hadapan mereka berdiri seorang gadis berambut lurus dengan setelan kasual. Elara langsung mengenalinya. Gadis yang semalam di lift... Yang membicarakan suaminya sambil tertawa kecil di telepon. “Selamat siang, Pak,” sapa Tania. Sopan. Tapi sorot matanya menyiratkan keterkejutan kecil yang tak sempat ia sembunyikan. Wajah Ryota mengeras. Datar. Ia mengangguk singkat, lalu tersenyum tipis—dingin. Tangannya terulur, menekan tombol tutup di panel lift. “Kau seharusnya tidak ada di lift ini,” tegasnya. Tania langsung mundur setengah langkah. “Baik, Pak.” Tapi sebelum pintu lift benar-benar tertutup, ia sempatkan matanya melirik ke dalam. Di belakang Ryota, berdiri seorang gadis muda. Diam. Hampir tersembunyi. Hanya setengah terlihat dari balik bahu presdirnya. Lalu... Matanya jatuh ke kantong belanja yang dibawa sang Presdir, tepat sebelum pintu lift tertutup. Warna pink. Bergambar Maruko Chan. Tania hampir tertawa kecil dalam hati. P

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   84. Kasmaran

    “Kau menjalankan tugasmu dengan baik,” suara Ryota terdengar datar, samar-samar terasa bahaya di setiap katanya. Di seberang, Leona membeku sejenak. Ia tidak menduga sosok yang berada di atas Erol akan bicara langsung padanya. Apalagi dengan nada yang terdengar seperti pujian... tapi juga bisa berubah jadi hukuman.“Suatu kehormatan mendapat pengakuan langsung dari Anda, Tuan,” ucapnya hati-hati.“Sepertinya wanitaku terlalu rendah hati di kampusnya,” ujar Ryota—sarkastik, tanpa intonasi.Ia menduga ada yang terjadi.Segala yang melekat pada Elara—seharusnya cukup untuk menunjukkan status sosialnya. Bukan orang yang mudah disentuh. Apalagi diintimidasi.Jika masih ada yang berani menyentuhnya, maka hanya ada dua kemungkinan, terlalu bodoh... atau memang sedang cari mati.Di ujung sambungan, Leona kembali terdiam.Jika ia menyebutkan rumor buruk yang beredar tentang Elara sekarang, pria di balik sambungan telepon ini mungkin akan murka—karena informasi itu tak pernah ia laporkan seja

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   83. Patah Remuk

    Pintu ruangan tiba-tiba terbuka cepat oleh Leona. Tanpa berkata sepatah kata, ia menghantam Pak Dekan yang tengah membekap Elara.“Krak!”Pak Dekan terpelanting, menghantam tepi meja, lalu jatuh ke lantai dengan suara berat. Wajahnya berdarah. Rahangnya tampak tidak simetris.Ia menggeliat, membuka mulutnya seakan ingin bicara—namun yang keluar hanya rintihan serak dan liur bercampur darah.Tubuhnya gemetar pelan, antara kesakitan dan syok.Leona tidak langsung menghampiri Elara. Ia menutup pintu, dan memeriksa ruangan dengan cepat—mata elangnya menyapu setiap sudut.Kamera kecil di rak buku. Masih menyala. Leona mendekat, mencabut memorinya dan memasukkan ke saku celananya. Baru setelah semua aman, ia berjongkok di sisi Elara.“Anda terluka?”Elara menggeleng lemah, masih limbung.Leona mengangguk. Satu tangan mengambil ponselnya, dan menghubungi Erol. “E secured. Hostile injured—level three trauma. Site clear," lapornya. Leona menatap Elara sekali lagi setelah memutuskan sambunga

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   82. Rumor Kampus Berbahaya

    "Baik, saya akan merayu kamu," ucap Elara pelan. Ia tidak yakin. Tangannya menyentuh dada Ryota, dan memberi dorongan kecil yang canggung. "Maaf, bisakah kamu mundur sedikit?" pintanya kemudian. Hah? Ryota mengernyit. "Oke," Suara yang keluar dari mulut Ryota. Ia pun mundur satu-dua langkah, diam, matanya tak lepas dari wajah Elara.Elara menarik napas dalam-dalam. Ia menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya kembali. Tatapannya tidak terlalu memohon. Biasa saja. "Kalau kamu tidak bisa bantu saya… saya cari bantuan di tempat lain dulu. Nanti kalau tidak ada yang bisa… saya balik lagi ke kamu," katanya, dan berjalan melewati Ryota tanpa ragu. Ryota mengernyit, dan berbalik menatap punggung Elara dengan heran. "Kau menolak untuk merayuku?" tanyanya hampir tak percaya. Sekarang dia main tarik ulur? pikir Ryota. Elara berhenti. Tubuhnya memutar seperempat lingkaran, menoleh ke arah Ryota. Ekspresinya polos, tak ada senyum, tapi ada sedikit kerut di keningnya, ciri khasnya saat se

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   81. Seduce me

    Elara berdiri di depan cermin besar di walk-in closet milik Ryota. Aroma samar dari shampo masih tertinggal di rambut basahnya. Beberapa helai melekat di leher dan pipinya. Ia mengenakan kemeja putih milik Ryota, tanpa apa pun di dalamnya. Kemeja itu longgar di tubuhnya, jatuh menutup setengah pahanya.Ryota berdiri di belakangnya. Ia mengangkat satu tangan, menyibak rambut Elara ke satu sisi, lalu mulai mengeringkannya dengan hairdryer. Gerakannya lambat, terlalu lembut untuk pria sepertinya. Angin hangat menyapu tengkuk Elara. Matanya terpaku pada pantulan mereka di cermin. Pria yang dua jam lalu membuatnya menggigil dalam cengkeraman brutal, kini berdiri di belakangnya—lembut, tenang. Pola itu tak pernah berubah. Begitu juga dirinya, tetap menyerah, tetap menikmatinya.“Apa saya boleh bercerita?” tanya Elara pelan.Ryota tidak langsung menjawab. Ia memiringkan kepalanya sedikit, menatap tengkuk dan garis bahu Elara yang tersingkap karena kancing kemeja atas yang terbuka.“Tentang

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status