Setelah dua jam belajar mengemudi yang melelahkan, Rowena mengajak Elara ke sebuah mal. Belanja.Mal itu besar. Megah. Terlalu megah untuk standar Elara. Rowena berjalan di sampingnya, sesekali melirik tablet tipis di tangannya yang menampilkan daftar belanjaan. Bukan daftar barang-barang mewahโtidak ada perhiasan, tas kulit, atau sepatu hak tinggi. Yang dibutuhkan Elara hanyalah pakaian baru. Kostum untuk menjadi mahasiswa biasa bulan depan. Sederhana, biasa saja, tidak menarik perhatian.Mereka berhenti di depan sebuah departemen store yang diklaim sebagai lini "casual", meski harga-harganya tetap saja tidak masuk akal. Elara berhenti di depan rak kemeja wanita. Tangannya meraih satu potong, model longgar, lengan panjang, polos, warnanya kalem. Persis seperti yang dia pikir cocok untuk kuliah.Ia membalik label harganya. Tujuh ratus ribu.Elara mengernyit, memastikan lagi apakah yang dipegangnya benar-benar kain katun tipis yang dijahit sederhana.Ia meletakkannya kembali ke rak g
Pagi itu, di kantor pusat perusahaan Ryota. Bianca sudah berdiri di depan ruang kerja Ryota saat pria itu tiba. Wanita itu membungkuk sopan, memegang tablet yang penuh dengan jadwal dan memo. "Selamat pagi, Pak Ryota." Ryota hanya mengangguk kecil, memasuki ruangannya tanpa sepatah kata. Bianca mengikuti di belakang, melangkah cepat tanpa suara. Setelah pintu tertutup rapat, Bianca berdiri tegak, wajahnya tenangโterlatih untuk tidak menunjukkan emosi sekecil apa pun. "Ada rapat board jam sepuluh, kemudian makan siang dengan Direktur Utama Kyojin Corp. Dokumen kontraknya sudah saya siapkan di meja Anda." Bianca berhenti berbicara, menunggu perintah berikutnya. Ryota hanya duduk di sana, di balik meja besar kokoh berwarna hitam itu, tangannya membuka satu map. Hening beberapa saat. Lalu tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di tangannya, Ryota bersuara, "Bianca." Wanita itu menegakkan punggung lebih lurus, refleks. "Ya, Pak?" "Kau punya suami?" Pertanyaannya
Dengan gerakan canggung dan ragu, Elara melepaskan bathrobe yang masih membalut tubuhnya, menggantinya dengan piyama. Ia bisa merasakan tatapan Ryotaโdingin, mengintimidasi, membuat setiap gerakannya terasa dinilai. Bahkan pakaian dalamnya pun terasa terlalu tipis di bawah tatapan itu. Begitu selesai berpakaian, Elara hendak melangkah sendiri, tapi Ryota sudah bergerak untuk mengangkatnya kembali. "Saya bisa jalan sendiri," tolak Elara. Ryota mengabaikan keberatan istrinya itu. Tangannya tetap meraih tubuh Elara, mengangkatnya tanpa sepatah kata pun, ia membawa Elara keluar dari kamar, kembali ke lantai tiga dengan lift. Ruang kerja pribadi Ryota. Sebuah ruangan yang tak pernah berniat untuk ramah pada siapa pun. Begitu Ryota membuka pintu, lampu temaram menyala otomatis, memantulkan cahaya tipis ke dinding-dinding ruangan yang didominasi warna gelap. Dingin. Memaksa siapa pun yang masuk untuk diam. Sebuah sofa malas besar berdiri di sudut ruangan, lebih lebar
Setelah mengumpulkan cukup tenaga, Elara bergerak sedikit, tangannya mencari kain di sisi sofa. "Saya mau pakai pakaian saya kembali," ucapnya pelan, napasnya masih berat. Ryota hanya melonggarkan sedikit pelukannya, tapi tidak melepaskan istrinya itu. "Nanti saja," katanya rendah, suaranya berat dan malas. " We're not done yet." Elara menegang, matanya melebar sedikit. "Lagi?" tanyanya, berbisik. Ryota tersenyum tipis, miringkan kepala sedikit mendekat ke wajah Elara. "Jika masih sakit," bisiknya. "you can use your pretty little mouth instead." (Gunakan saja mulut kecil cantikmu) Elara menarik napas pendek, lalu menggeleng kecil. "Tidak, lebih baik saya sekarat," gumamnya lemah, tapi suaranya tidak goyah. Ryota tertawa rendah, terhibur diam-diam melihat istrinya yang tetap teguh dengan keyakinannya. "Sesuai pilihanmu, Baby girl," bisiknya di telinga Elara, sebelum menarik tubuh mungil itu lebih erat lagi ke dalam dekapannya. Setelah menarik tubuh Elara lebih
Ryota menunduk, menelusuri punggung Elara dengan bibirnya โ panas, lembab, penuh klaim.Tubuh Elara gemetar di bawahnya, napasnya terputus-putus, tangan kecilnya mencengkeram kuat sandaran sofa.Tangan kiri Ryota menahan pinggang Elara, kuat, memastikan wanitanya itu tidak bisa bergerak.Tangan satunya membelai rambut Elara, lalu turun perlahan ke tengkuknya.Dengan gerakan kasar, Ryota menggenggam leher Elara.Elara mendongak sedikit, dan Ryota tersenyum tipis โ dingin.Dalam satu hentakan brutal, tanpa peringatan, Ryota menekan pinggulnya ke Elara.Bahu mungilnya melengkung, punggungnya menegang refleks, seolah menahan sesuatu yang tak terlihat, dan dari bibirnya pecah suara, teriakan kecil. Tangan Ryota yang menggenggam leher Elara mengencang sedikit, menahan tubuh mungil itu tetap tunduk.Ryota menatap puas, menyaksikan setiap gerak kecil itu, ketakutan, kelelahan, tapi juga ketidakberdayaan.Elara menggigil hebat, air mata tipis menggenang di sudut matanya saat tubuhnya dipaksa
โKatakan, apa yang bisa dilakukan mulutmu selain mencium bibirku?โ tanya Ryota sembari dengan tenang membersihkan sisa cairan di tangan Elara.Mata Elara terangkat sedikit, menatap Ryota dengan campuran takut dan bingung. โโM-membaca, makan pedas, mengajiโฆโRyota diam, matanya mengunci wajah Elara.Elara menggeser pandangannya, dan menambahkan,โ... berdoa.โRyota duduk santai di sofa malas, lalu menarik pinggang istrinya itu, mendudukkannya di pangkuannya.Elara duduk menyamping, tubuhnya menghadap ke Ryota, kedua tangannya berpegangan pada bahu pria itu untuk menjaga keseimbangan.Mata Ryota menatap tajam ke arah Elara, membuat wanita itu menahan napas.โApa kau masih ingin melakukan pembayaran?โ bisiknya, suaranya dalam, rendah, nyaris seperti desisan.Ibu jarinya terangkat, menyusuri pelan garis rahang Elara, lalu berhenti di sudut bibirnya, mengusapnya dengan tekanan ringan โ lebih menuntut daripada lembut.Elara menggeleng kecil, matanya gemetar, menatap Ryota ragu. mengamati set