Share

54. Semakin Panas

Author: SayaNi
last update Last Updated: 2025-06-01 19:04:45

Ryota menunduk, menelusuri punggung Elara dengan bibirnya — panas, lembab, penuh klaim.

Tubuh Elara gemetar di bawahnya, napasnya terputus-putus, tangan kecilnya mencengkeram kuat sandaran sofa.

Tangan kiri Ryota menahan pinggang Elara, kuat, memastikan wanitanya itu tidak bisa bergerak.

Tangan satunya membelai rambut Elara, lalu turun perlahan ke tengkuknya.

Dengan gerakan kasar, Ryota menggenggam leher Elara.

Elara mendongak sedikit, dan Ryota tersenyum tipis — dingin.

Dalam satu hentakan brutal, tanpa peringatan, Ryota menekan pinggulnya ke Elara.

Bahu mungilnya melengkung, punggungnya menegang refleks, seolah menahan sesuatu yang tak terlihat, dan dari bibirnya pecah suara, teriakan kecil.

Tangan Ryota yang menggenggam leher Elara mengencang sedikit, menahan tubuh mungil itu tetap tunduk.

Ryota menatap puas, menyaksikan setiap gerak kecil itu, ketakutan, kelelahan, tapi juga ketidakberdayaan.

Elara menggigil hebat, air mata tipis menggenang di sudut matanya saat tubuhnya dipaksa
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   60. Mafia atau koruptor?

    Ryota kembali ke rumahnya lebih cepat dari biasanya. Rowena sudah berdiri di sisi pintu, menunduk hormat saat pria itu melintas."Di mana wanita itu?" tanya Ryota, suaranya datar, tanpa emosi — hanya perintah yang harus segera dijawab.Rowena membungkuk sedikit, menjaga agar suaranya tetap stabil."Di kolam, bersama Nona Anya, Tuan."Ryota melangkah melewatinya. Saat ia sejajar dengan Rowena, bahunya hanya berjarak satu langkah dari wanita paruh baya itu, dia berhenti sesaat. "Kau seharusnya belajar dari bagaimana wanita sebelumnya berakhir," katanya.Rowena menunduk lebih dalam. "Maafkan saya, Tuan," bisiknya.Namun dalam hatinya, ia berharap bukan dirinya yang harusnya belajar, tapi pria keras yang berdiri di depannya—yang harusnya mengambil pelajaran dari tragedi yang merenggut ibunya Anya.***Ryota mendekat ke kolam.Anya yang melihatnya langsung berseru kecil, berlari menghampiri. Tangannya yang basah terjulur, berharap dipeluk.Namun Ryota hanya menunduk sedikit, menatapnya s

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   59. Kompas Rusak

    Elara menoleh perlahan, matanya masih terlihat ketakutan."Wanita tadi, apa mereka baru saja membunuhnya?" suaranya bergetar, patah-patah. Kedua lututnya lemas, dan terduduk di lantai.Tangannya gemetar saat mencoba berdiri, tapi gagal—lututnya menyerah, tubuhnya terhempas lagi ke lantai.Rowena tetap menjaga ketenangannya, wajahnya tanpa ekspresi. Tapi dalam hati, ia tahu—ia telah melakukan kesalahan.Seharusnya ia membeli semua kebutuhan Nyonya Muda itu tanpa melibatkan orangnya.Hanya saja, Nyonya Muda itu tampak begitu senang ketika diajak pergi bersama.Siapa sangka, wanita semuda dan sesederhana itu pun punya musuh? pikir Rowena.Dan pengawal itu... mengapa harus secepat itu bertindak? Hanya untuk pertengkaran kecil antar wanita? keluhnya dalam hati."Jika Nyonya sudah selesai, kita bisa pulang sekarang," ucap Rowena datar.Ia membungkuk sedikit, mengulurkan tangan untuk membantu Elara berdiri.Namun Elara menepis tangan Rowena."Saya bisa sendiri," desisnya.Elara berdiri, tub

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   58. Close Protection

    Setelah dua jam belajar mengemudi yang melelahkan, Rowena mengajak Elara ke sebuah mal. Belanja.Mal itu besar. Megah. Terlalu megah untuk standar Elara. Rowena berjalan di sampingnya, sesekali melirik tablet tipis di tangannya yang menampilkan daftar belanjaan. Bukan daftar barang-barang mewah—tidak ada perhiasan, tas kulit, atau sepatu hak tinggi. Yang dibutuhkan Elara hanyalah pakaian baru. Kostum untuk menjadi mahasiswa biasa bulan depan. Sederhana, biasa saja, tidak menarik perhatian.Mereka berhenti di depan sebuah departemen store yang diklaim sebagai lini "casual", meski harga-harganya tetap saja tidak masuk akal. Elara berhenti di depan rak kemeja wanita. Tangannya meraih satu potong, model longgar, lengan panjang, polos, warnanya kalem. Persis seperti yang dia pikir cocok untuk kuliah.Ia membalik label harganya. Tujuh ratus ribu.Elara mengernyit, memastikan lagi apakah yang dipegangnya benar-benar kain katun tipis yang dijahit sederhana.Ia meletakkannya kembali ke rak g

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   57. Tradisi

    Pagi itu, di kantor pusat perusahaan Ryota. Bianca sudah berdiri di depan ruang kerja Ryota saat pria itu tiba. Wanita itu membungkuk sopan, memegang tablet yang penuh dengan jadwal dan memo. "Selamat pagi, Pak Ryota." Ryota hanya mengangguk kecil, memasuki ruangannya tanpa sepatah kata. Bianca mengikuti di belakang, melangkah cepat tanpa suara. Setelah pintu tertutup rapat, Bianca berdiri tegak, wajahnya tenang—terlatih untuk tidak menunjukkan emosi sekecil apa pun. "Ada rapat board jam sepuluh, kemudian makan siang dengan Direktur Utama Kyojin Corp. Dokumen kontraknya sudah saya siapkan di meja Anda." Bianca berhenti berbicara, menunggu perintah berikutnya. Ryota hanya duduk di sana, di balik meja besar kokoh berwarna hitam itu, tangannya membuka satu map. Hening beberapa saat. Lalu tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di tangannya, Ryota bersuara, "Bianca." Wanita itu menegakkan punggung lebih lurus, refleks. "Ya, Pak?" "Kau punya suami?" Pertanyaannya

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   56. Aneh

    Dengan gerakan canggung dan ragu, Elara melepaskan bathrobe yang masih membalut tubuhnya, menggantinya dengan piyama. Ia bisa merasakan tatapan Ryota—dingin, mengintimidasi, membuat setiap gerakannya terasa dinilai. Bahkan pakaian dalamnya pun terasa terlalu tipis di bawah tatapan itu. Begitu selesai berpakaian, Elara hendak melangkah sendiri, tapi Ryota sudah bergerak untuk mengangkatnya kembali. "Saya bisa jalan sendiri," tolak Elara. Ryota mengabaikan keberatan istrinya itu. Tangannya tetap meraih tubuh Elara, mengangkatnya tanpa sepatah kata pun, ia membawa Elara keluar dari kamar, kembali ke lantai tiga dengan lift. Ruang kerja pribadi Ryota. Sebuah ruangan yang tak pernah berniat untuk ramah pada siapa pun. Begitu Ryota membuka pintu, lampu temaram menyala otomatis, memantulkan cahaya tipis ke dinding-dinding ruangan yang didominasi warna gelap. Dingin. Memaksa siapa pun yang masuk untuk diam. Sebuah sofa malas besar berdiri di sudut ruangan, lebih lebar

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   55. Downtime

    Setelah mengumpulkan cukup tenaga, Elara bergerak sedikit, tangannya mencari kain di sisi sofa. "Saya mau pakai pakaian saya kembali," ucapnya pelan, napasnya masih berat. Ryota hanya melonggarkan sedikit pelukannya, tapi tidak melepaskan istrinya itu. "Nanti saja," katanya rendah, suaranya berat dan malas. " We're not done yet." Elara menegang, matanya melebar sedikit. "Lagi?" tanyanya, berbisik. Ryota tersenyum tipis, miringkan kepala sedikit mendekat ke wajah Elara. "Jika masih sakit," bisiknya. "you can use your pretty little mouth instead." (Gunakan saja mulut kecil cantikmu) Elara menarik napas pendek, lalu menggeleng kecil. "Tidak, lebih baik saya sekarat," gumamnya lemah, tapi suaranya tidak goyah. Ryota tertawa rendah, terhibur diam-diam melihat istrinya yang tetap teguh dengan keyakinannya. "Sesuai pilihanmu, Baby girl," bisiknya di telinga Elara, sebelum menarik tubuh mungil itu lebih erat lagi ke dalam dekapannya. Setelah menarik tubuh Elara lebih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status