Share

Chapter 3 : Temani Aku

    Pagi ini terlihat kelabu bagi Diana. Episode french kiss-nya dengan Alex membuat Diana tidak dapat tidur semalaman. Alex dengan enak mengirimkan pesan singkat pada jam tiga subuh yang berisi ucapan selamat tidur. Seandainya lelaki itu tahu apa akibat dari perbuatannya, yaitu membuat seorang wanita muda yang malang tidak bisa terlelap. 

    Diana tidak ingin memberitahu Alex. Dia tidak ingin lelaki itu mendatangi apartemennya dengan impulsif untuk sekedar meninabobokan, atau bahkan menculiknya pulang ke penthouse.

    Diana melangkah gontai menuju ruangan General Affair. Dia menghempaskan tubuh di kursi dan melempar tas ke tengah meja. Untung mejanya terletak di ruangan terpisah sehingga apa yang dia lakukan tidak akan diperhatikan orang, kecuali ada yang dengan sengaja melongokkan kepala ke dalam. Diana telungkup di atas meja. Kepalanya mulai terasa sakit.

    "Knock, knock. Good morning, Diana."

    Diana mengangkat kepala untuk melihat siapa yang mampir pagi-pagi begini. Oh rupanya Rudy dari bagian marketing.

    "Good morning, Rud." Diana tersenyum.

     Rudy adalah lelaki yang pernah menyatakan perasaan kepada Diana tapi berbuah penolakan.

    "Kenapa? Sakit kepala? Kamu punya obat?" Rudy menghampiri Diana dan menempelkan punggung tangan di dahinya.

    "Mmmh, cuma kurang tidur." Diana menepis tangan Rudy.

    "Ugh, dingin sekali." Rudy berlagak menggigil.

    "Aku sedang tidak bisa bercanda, Rud. Sorry ya... Benar-benar sakit kepalaku."

    "Oke. Aku mengerti. Aku mengenalmu sejak lama." Rudy selalu menyiratkan peristiwa penolakan Diana terhadap perasaannya.

    Diana mengerang kesal, "Bisakah kamu berhenti menyindirku? Itu sudah berlalu cukup lama loh. Kupikir kamu sudah move on."

    "Setiap kali melihatmu...."

    "Oke, oke, cukup. Tolong biarkan aku sendiri, Rud. Aku sudah cukup kewalahan dengan sakit kepalaku tanpa harus mendengarkan curhatmu," potong Diana dengan tegas.

    Rudy tampak terluka. Dia segera keluar dari ruangan General Affair.

    "Sial, sayang rencanaku kemarin gagal... Kalau tidak ditolong oleh pemilik club itu aku pasti sudah menikmati tubuhmu...," desis Rudy ketika sudah berada diluar jangkauan pendengaran Diana. Dialah yang merencanakan untuk membius Diana di club tempo hari. Kemunculan Alexander membuat rencananya gagal. Rudy tidak berani melawan Alexander, dia tahu reputasi lelaki itu di dunia malam.

    Karena tidak tahan didera sakit kepala akhirnya Diana minum sebutir obat pereda sakit. Semoga efeknya cepat terasa karena hari ini dia harus menerima permintaan barang keperluan kantor dari semua departemen. Jangan sampai General Affair diserbu seisi kantor karena salah memasukkan permintaan. Sambil menunggu obat bekerja Diana duduk termenung. Pikirannya melayang pada kejadian semalam. Seketika itu wajahnya memerah.

    "Kenapa mendadak teringat dia sih?" keluh Diana.

    Tepat jam duabelas siang handphone Diana berbunyi. Matanya melebar saat mengetahui Alex yang menelepon. Dia ragu sejenak apakah harus menjawab atau membiarkan. Rasa ingin tahu Diana membuatnya menekan tombol hijau.

    "Halo?"

    "Hai, Princess. Waktunya makan siang bukan?"

    "Iya betul." Suara Alexander membuat perut Diana mulas. 

    "Bagaimana keadaanmu hari ini? Semalam bisa tidur nyenyak?"

    "Ehm... lumayan." 

    "Aku tidak bisa tidur. Aku tidak bisa melupakan lembutnya bibirmu," desah Alexander.

    Diana melongok keluar ruangan memastikan tidak ada orang yang menguping. Aman. 

    "Alex, aku tidak bisa ngobrol banyak karena sedang di kantor...," kata Diana dengan suara pelan. 

    "Aku mengerti. Sore ini kujemput oke?" Pertanyaan Alexander lebih terdengar seperti pernyataan.

    "Apa?" 

    "Berikan alamat kantormu."

    "Tidak usah, aku bisa pulang sendiri." 

    "Hmmm... aku bisa melacak posisimu dari sinyal seluler."

    Diana terdiam. Sial! makinya dalam hati.

    "Come on, Princess. Aku mau melihat wajahmu."

    Diana tahu bagaimanapun dia akan kalah. Dia memberitahukan alamat kantornya dengan lengkap. 

    "Tunggu sampai aku tiba, oke?"

    "Oke." Diana menekan pelipisnya. 

    "See you, Princess ."

    Diana masih duduk termenung di mejanya lama setelah Alexander mengakhiri percakapan. Apakah ada jalan keluar untuk mengakhiri relasi yang aneh ini? Diana merasa Alexander sepertinya sudah menganggapnya pacar, padahal dia belum menyetujui apa-apa. 

    Ah, menyebalkan sekali!

    Biasanya Diana menantikan jam lima sore dengan hati gembira. Namun hari ini dia tidak ingin cepat-cepat pulang. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul empat lewat lima puluh lima menit. Diana enggan sekali untuk merapikan meja. Jam setengah lima Alexander sudah mengirimkan pesan singkat bahwa dia on the way. Ya Tuhan, dia tidak akan dapat menghindari Alex lagi setelah hari ini.

    Tepat jam lima Diana berjalan keluar dari ruangan. Handphone di dalam tasnya berbunyi. Alex pasti sudah sampai. Diana absen pulang dan bergegas keluar dari kantor. Dia melihat sekeliling mencari sosok Alex. Itu dia! Lelaki tinggi ramping berpakaian serba hitam yang sedang bersandar di mobil yang juga berwarna hitam. Diana berjalan cepat-cepat ke arah Alex.

    "I miss you, Princess." Tanpa merasa risih Alexander memeluk Diana.

    "Alex, aku masih di depan kantor...." Diana kewalahan berusaha melepaskan diri dari pelukan Alex.

    "Lalu kenapa?" Alex melihat beberapa orang mematap ke arah mereka. "Mereka rekan kerjamu?"

    "Iya. Ayo pergi."

    "Baiklah."

    Diana dan Alex masuk ke dalam mobil, Alex segera melajukan mobilnya pergi diikuti tatapan bertanya dari beberapa rekan sekantor Diana. Setahu mereka Diana tidak pernah membiarkan lawan jenis mendekat, tapi tadi seorang lelaki ganteng malah memeluknya begitu saja?

    "Kamu merasa tidak nyaman bersamaku?" tanya Alex.

    "Aku tidak nyaman dilihat orang sekantor."

    "Biar mereka tahu bahwa kamu milikku." Alex tersenyum.

    "Sejak kapan aku jadi milikmu?"

    "Sejak kamu tidur di kamarku."

    Wajah Diana memerah. Wajahnya lebih sering memerah saat berada di dekat Alex.

    Alex tertawa, "Just kidding, Princess. Aku cuma tidak mau ada lelaki yang mendekatimu. Kamu wanita yang istimewa dan aku ingin melindungimu."

    "Tapi aku tidak bisa menjanjikan apapun ya."

    "Aku melihat gestur terlebih dahulu sebelum kata-kata. Kamu sudah menerimaku." Alex mengerling.

    "Bagaimana kalau aku menolak?"

    "Aku mau lihat bagaimana kamu melakukannya." Alex terdengar sangat percaya diri.

    Dalam hatinya Diana tahu Alex benar, dirinya sudah menerima apa yang ditawarkan lelaki itu dengan tangan--dan bibir--terbuka.

    Setibanya di apartemen Alex ikut naik ke unit Diana dan menerobos masuk seperti kemarin. Lelaki ini benar-benar makhluk yang dipenuhi hormon testosteron! Diana bahkan belum sempat menaruh tas saat Alex memeluk dan menciumnya. Kali ini Diana sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk mengimbangi Alex. Kedua tangan Diana melingkar di leher Alex untuk menopang dirinya yang harus berjinjit karena perbedaan tinggi badan mereka.

    "Kamu semakin pandai," puji Alex yang membuat Diana tertunduk malu.

    "Kamu yang mengajariku...."

    Alex memeluk wanita mungilnya dengan erat. Apakah dia harus skip bekerja malam ini supaya dapat menghabiskan waktu bersama Diana?

    "Aku mandi dulu ya," kata Diana.

    Spontan pikiran Alex membayangkan banyak hal yang hanya dapat ditemukan dalam film ber-rating dewasa. Dia bertanya tanpa berpikir, "Kamu mau ditemani?"

    "Apa?"

    "Tidak, lupakan saja." Alex melepas pelukannya.

    Diana menatap Alex dengan curiga. Apa maksud pertanyaannya barusan? Dia masuk ke kamar dan mengunci pintu. Untung kamar mandinya ada di dalam kamar, jadi Diana tidak perlu mondar-mandir di depan Alex. Hatinya bertanya-tanya jam berapa Alex akan pergi ke club.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status