Pagi ini terlihat kelabu bagi Diana. Episode french kiss-nya dengan Alex membuat Diana tidak dapat tidur semalaman. Alex dengan enak mengirimkan pesan singkat pada jam tiga subuh yang berisi ucapan selamat tidur. Seandainya lelaki itu tahu apa akibat dari perbuatannya, yaitu membuat seorang wanita muda yang malang tidak bisa terlelap.
Diana tidak ingin memberitahu Alex. Dia tidak ingin lelaki itu mendatangi apartemennya dengan impulsif untuk sekedar meninabobokan, atau bahkan menculiknya pulang ke penthouse. Diana melangkah gontai menuju ruangan General Affair. Dia menghempaskan tubuh di kursi dan melempar tas ke tengah meja. Untung mejanya terletak di ruangan terpisah sehingga apa yang dia lakukan tidak akan diperhatikan orang, kecuali ada yang dengan sengaja melongokkan kepala ke dalam. Diana telungkup di atas meja. Kepalanya mulai terasa sakit. "Knock, knock. Good morning, Diana." Diana mengangkat kepala untuk melihat siapa yang mampir pagi-pagi begini. Oh rupanya Rudy dari bagian marketing. "Good morning, Rud." Diana tersenyum. Rudy adalah lelaki yang pernah menyatakan perasaan kepada Diana tapi berbuah penolakan. "Kenapa? Sakit kepala? Kamu punya obat?" Rudy menghampiri Diana dan menempelkan punggung tangan di dahinya. "Mmmh, cuma kurang tidur." Diana menepis tangan Rudy. "Ugh, dingin sekali." Rudy berlagak menggigil. "Aku sedang tidak bisa bercanda, Rud. Sorry ya... Benar-benar sakit kepalaku." "Oke. Aku mengerti. Aku mengenalmu sejak lama." Rudy selalu menyiratkan peristiwa penolakan Diana terhadap perasaannya. Diana mengerang kesal, "Bisakah kamu berhenti menyindirku? Itu sudah berlalu cukup lama loh. Kupikir kamu sudah move on." "Setiap kali melihatmu...." "Oke, oke, cukup. Tolong biarkan aku sendiri, Rud. Aku sudah cukup kewalahan dengan sakit kepalaku tanpa harus mendengarkan curhatmu," potong Diana dengan tegas. Rudy tampak terluka. Dia segera keluar dari ruangan General Affair. "Sial, sayang rencanaku kemarin gagal... Kalau tidak ditolong oleh pemilik club itu aku pasti sudah menikmati tubuhmu...," desis Rudy ketika sudah berada diluar jangkauan pendengaran Diana. Dialah yang merencanakan untuk membius Diana di club tempo hari. Kemunculan Alexander membuat rencananya gagal. Rudy tidak berani melawan Alexander, dia tahu reputasi lelaki itu di dunia malam. Karena tidak tahan didera sakit kepala akhirnya Diana minum sebutir obat pereda sakit. Semoga efeknya cepat terasa karena hari ini dia harus menerima permintaan barang keperluan kantor dari semua departemen. Jangan sampai General Affair diserbu seisi kantor karena salah memasukkan permintaan. Sambil menunggu obat bekerja Diana duduk termenung. Pikirannya melayang pada kejadian semalam. Seketika itu wajahnya memerah. "Kenapa mendadak teringat dia sih?" keluh Diana. Tepat jam duabelas siang handphone Diana berbunyi. Matanya melebar saat mengetahui Alex yang menelepon. Dia ragu sejenak apakah harus menjawab atau membiarkan. Rasa ingin tahu Diana membuatnya menekan tombol hijau. "Halo?" "Hai, Princess. Waktunya makan siang bukan?" "Iya betul." Suara Alexander membuat perut Diana mulas. "Bagaimana keadaanmu hari ini? Semalam bisa tidur nyenyak?" "Ehm... lumayan." "Aku tidak bisa tidur. Aku tidak bisa melupakan lembutnya bibirmu," desah Alexander. Diana melongok keluar ruangan memastikan tidak ada orang yang menguping. Aman. "Alex, aku tidak bisa ngobrol banyak karena sedang di kantor...," kata Diana dengan suara pelan. "Aku mengerti. Sore ini kujemput oke?" Pertanyaan Alexander lebih terdengar seperti pernyataan. "Apa?" "Berikan alamat kantormu." "Tidak usah, aku bisa pulang sendiri." "Hmmm... aku bisa melacak posisimu dari sinyal seluler." Diana terdiam. Sial! makinya dalam hati. "Come on, Princess. Aku mau melihat wajahmu." Diana tahu bagaimanapun dia akan kalah. Dia memberitahukan alamat kantornya dengan lengkap. "Tunggu sampai aku tiba, oke?" "Oke." Diana menekan pelipisnya. "See you, Princess ." Diana masih duduk termenung di mejanya lama setelah Alexander mengakhiri percakapan. Apakah ada jalan keluar untuk mengakhiri relasi yang aneh ini? Diana merasa Alexander sepertinya sudah menganggapnya pacar, padahal dia belum menyetujui apa-apa. Ah, menyebalkan sekali! Biasanya Diana menantikan jam lima sore dengan hati gembira. Namun hari ini dia tidak ingin cepat-cepat pulang. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul empat lewat lima puluh lima menit. Diana enggan sekali untuk merapikan meja. Jam setengah lima Alexander sudah mengirimkan pesan singkat bahwa dia on the way. Ya Tuhan, dia tidak akan dapat menghindari Alex lagi setelah hari ini. Tepat jam lima Diana berjalan keluar dari ruangan. Handphone di dalam tasnya berbunyi. Alex pasti sudah sampai. Diana absen pulang dan bergegas keluar dari kantor. Dia melihat sekeliling mencari sosok Alex. Itu dia! Lelaki tinggi ramping berpakaian serba hitam yang sedang bersandar di mobil yang juga berwarna hitam. Diana berjalan cepat-cepat ke arah Alex. "I miss you, Princess." Tanpa merasa risih Alexander memeluk Diana. "Alex, aku masih di depan kantor...." Diana kewalahan berusaha melepaskan diri dari pelukan Alex. "Lalu kenapa?" Alex melihat beberapa orang mematap ke arah mereka. "Mereka rekan kerjamu?" "Iya. Ayo pergi." "Baiklah." Diana dan Alex masuk ke dalam mobil, Alex segera melajukan mobilnya pergi diikuti tatapan bertanya dari beberapa rekan sekantor Diana. Setahu mereka Diana tidak pernah membiarkan lawan jenis mendekat, tapi tadi seorang lelaki ganteng malah memeluknya begitu saja? "Kamu merasa tidak nyaman bersamaku?" tanya Alex. "Aku tidak nyaman dilihat orang sekantor." "Biar mereka tahu bahwa kamu milikku." Alex tersenyum. "Sejak kapan aku jadi milikmu?" "Sejak kamu tidur di kamarku." Wajah Diana memerah. Wajahnya lebih sering memerah saat berada di dekat Alex. Alex tertawa, "Just kidding, Princess. Aku cuma tidak mau ada lelaki yang mendekatimu. Kamu wanita yang istimewa dan aku ingin melindungimu." "Tapi aku tidak bisa menjanjikan apapun ya." "Aku melihat gestur terlebih dahulu sebelum kata-kata. Kamu sudah menerimaku." Alex mengerling. "Bagaimana kalau aku menolak?" "Aku mau lihat bagaimana kamu melakukannya." Alex terdengar sangat percaya diri. Dalam hatinya Diana tahu Alex benar, dirinya sudah menerima apa yang ditawarkan lelaki itu dengan tangan--dan bibir--terbuka. Setibanya di apartemen Alex ikut naik ke unit Diana dan menerobos masuk seperti kemarin. Lelaki ini benar-benar makhluk yang dipenuhi hormon testosteron! Diana bahkan belum sempat menaruh tas saat Alex memeluk dan menciumnya. Kali ini Diana sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk mengimbangi Alex. Kedua tangan Diana melingkar di leher Alex untuk menopang dirinya yang harus berjinjit karena perbedaan tinggi badan mereka. "Kamu semakin pandai," puji Alex yang membuat Diana tertunduk malu. "Kamu yang mengajariku...." Alex memeluk wanita mungilnya dengan erat. Apakah dia harus skip bekerja malam ini supaya dapat menghabiskan waktu bersama Diana? "Aku mandi dulu ya," kata Diana. Spontan pikiran Alex membayangkan banyak hal yang hanya dapat ditemukan dalam film ber-rating dewasa. Dia bertanya tanpa berpikir, "Kamu mau ditemani?" "Apa?" "Tidak, lupakan saja." Alex melepas pelukannya. Diana menatap Alex dengan curiga. Apa maksud pertanyaannya barusan? Dia masuk ke kamar dan mengunci pintu. Untung kamar mandinya ada di dalam kamar, jadi Diana tidak perlu mondar-mandir di depan Alex. Hatinya bertanya-tanya jam berapa Alex akan pergi ke club.Mengetahui Diana sedang mandi membuat Alex gelisah. Dia berjalan mengelilingi ruangan depan beberapa ratus kali sampai mendengar bunyi 'klik' yang menandakan kunci pintu kamar dibuka. Matanya menatap kagum saat Diana muncul dengan rambut panjangnya yang masih basah. Pakaian santai Diana memperlihatkan sepasang kaki jenjang yang seputih pualam. Alex menelan ludah, Diana terlihat seksi. "Kamu tidak pergi ke club?" tanya Diana. Dia mengambil dua kaleng minuman dari kulkas dan memberikan satu untuk Alex. "Thanks." Alex langsung membuka dan meneguknya. "Mungkin nanti." "Mau istirahat sebentar? Katamu tidak bisa tidur?" "Aku mau kalau bersamamu." Alex mendekati Diana. Hatinya geli melihat Diana mundur selangkah. "Apa?" Spontan Diana menyilangkan tangan di dada. Lelaki ini benar-benar berbahaya. "Jangan takut Princess, aku janji tidak akan berbuat lebih jauh." Alex meletakkan
Keesokan pagi ketika Diana tiba di kantor dia menyadari beberapa orang menatapnya dengan aneh, termasuk Rudy. Diana berusaha mengabaikan hal itu supaya dapat menjalani hari dengan normal. Ada apa dengan orang-orang? Kalau ada masalah bukankah lebih baik dibicarakan langsung daripada bergunjing di belakang? Diana merapikan dokumen pengadaan barang sambil bernyanyi-nyanyi. Kalau saja Rudy tidak sok akrab melongok ke dalam, paginya pasti sempurna. "Wah, ada yang sedang gembira nih?" goda Rudy. "Biasa saja kok," sahut Diana cuek. "Apa karena pacarmu yang ganteng itu?" "Siapa?" "Yang kemarin sore menjemputmu itu loh, dengan mobil hitamnya yang keren?" Rudy senang karena berhasil mendapatkan perhatian Diana. "Maksudmu Alexander? Dia bukan pacarku." Diana mengangkat bahu. "Kok kalian terlihat mesra?" "Mesra sebagai tema
Tengah malam Diana terbangun oleh bunyi dering yang tidak putus. Tangannya menggapai-gapai ke atas meja kecil di samping tempat tidur. "Halo..." Suara Diana serak karena baru saja terbangun. "Hai Princess..., I miss you." "Alex, kamu masih di club?" "Sebentar lagi aku mau pulang. Kamu mau ke tempatku?" "Sekarang??" Rasa kantuk Diana langsung lenyap. "Aku sudah menunggu di bawah." "Apa?" "Kutunggu." Secepat yang memungkinkan Diana cuci muka dan sikat gigi. Hatinya berdebar menantikan pertemuan tengah malam ini. Alex tidak terdengar lelah. Apa rencananya? Diana memakai kaos dan legging selutut, menyambar tas selempangnya lalu berlari turun. Dimana Alex? Diana celingak-celinguk sesaat. Alex keluar dari mobilnya dan melambai. Diana bergegas menghampiri Alex yang langsung memeluknya erat. Kalau
Setiap malam Alex memiliki keinginan mampir di apartemen Diana untuk sekedar tidur. Sampai sekarang Alex tidak menemukan jawaban kenapa dia dapat tidur nyenyak ketika berdekatan dengan Diana. Apakah karena aroma tubuh Diana yang khas? Malam ini tidak ada kejadian yang berkesan di club. Seperti biasa wanita-wanita tidak berhenti menggoda dirinya. Alex menanggapi dengan cuek. Dia sudah tidak berminat terhadap mereka. Sekarang sudah jam satu pagi. Apakah Diana akan terbangun kalau ditelepon? Alex tahu Diana harus bangun pagi untuk bekerja, tapi dia tidak dapat menahan keinginannya. Dia harus mencari jalan keluar untuk mengatasi perbedaan waktu mereka. Nada sambung pertama berbunyi sampai habis. Alex langsung men-dial ulang. Nada sambung kedua pun berbunyi sampai habis. Baiklah. Mungkin Diana tidur nyenyak sampai tidak mendengar apapun. Jika keinginannya tidak tercapai, setidaknya Alex dapat me
Suara musik club menghentak liar sementara Alex dan Diana berada di lantai atas. Mereka sedang mengukur ruangan dengan langkah kaki. "Kamu lihat, ruangan ini sangat besar. Cukup untuk kita berdua. Aku bisa tambahkan meja untukmu disini." Alex menunjuk ke sudut di sebelah meja besar. "Hmmm.... Kamu benar. Di sini malah bisa tambah dua meja lagi." Diana melangkah dengan hati-hati. Dia membayangkan seperti apa rasanya duduk di dalam ruangan ini berdua saja dengan Alex. "Tidak. Aku mau tambah bufet di sisi sana." Alex menunjuk ke dinding di seberang mejanya. "Oh, kamu tidak ada ruangan pantry sih ya?" "Betul. Aku tidak mau membuat sekat tambahan atau menjebol dinding." Diana mengangguk perlahan. Dalam pikirannya dia dapat melihat seperti apa interior ruangan jika sudah terisi perabotan seperti dituturkan Alex. "Mulai berminat?" Alex mengerlin
Langkah Diana begitu berat saat berjalan ke ruangan Pak Albert yang berada tepat di sebelah ruangannya. Diana mengetuk pintu yang ditempeli plat bertuliskan 'HRD Manager'. "Masuk." Diana membuka pintu dan melangkah masuk. Pak Albert menatapnya dengan tajam. Kumis tebalnya miring sebelah mengikuti ekspresi wajah. "Duduk," perintah Pak Albert. "Ada apa Pak?" "Kamu yang jawab saya, ada apa denganmu?" "Maksudnya?" "Saya mendapat kabar bahwa kemarin kamu bolos kerja tanpa alasan, ternyata hanya untuk pacaran? Benar begitu?" tanya Pak Albert sambil sibuk menandatangani dokumen. "Kata siapa?" "Benar atau tidak?" Pak Albert kembali menatap Diana. "Saya bangun kesiangan, jam sepuluh. Jadi saya pikir percuma juga kalau datang ke kantor. Kemarin saya sedang tidak banyak pekerjaan juga." Diana memutuskan untuk ber
Setelah mendapat SP satu dan mengetahui fakta bahwa Rudy adalah orang yang membiusnya di club, Diana jadi enggan ke kantor. Pagi ini dia hanya berbaring di tempat tidur dengan mata menatap langit-langit. Alex yang mampir saat subuh masih terlelap. Hati Diana sangat sedih mendapatkan perlakuan tidak adil. Selama ini dirinya tidak pernah menyakiti orang lain dengan sengaja. Dia hanya menjalani hari dengan normal dan sebisa mungkin menghindari konflik. Sayangnya itu tidak cukup. Hembusan nafas Alex membuat leher Diana hangat. Dia berpikir seandainya dirinya memiliki sedikit kepribadian Alex yang bebas dan pemberani, mungkin orang tidak akan berani berbuat seenaknya, mungkin dia akan berani menampar Gladys yang bermulut lancang, mungkin dia akan berani membela diri di hadapan Pak Albert, mungkin dia akan berani melaporkan Rudy berdasarkan kesaksian Alex dan bukti rekaman CCTV dari club. Langit sudah semakin ter
Selesai dengan urusannya di kamar mandi Alex melangkah keluar dengan segar. Dia melihat Diana sedang sibuk di dapur. Jam berapa sekarang? Apakah Diana tidak berangkat kerja? Alex menuju dapur dengan penasaran. "Kamu tidak pergi kerja?" tanya Alex. "Malas," sahut Diana singkat. Tangannya bergerak lincah memotong bawang. Alex memperhatikan wanita mungil di hadapannya. Meskipun kepalanya tertunduk tapi dia masih bisa melihat pipi yang merona. Sepertinya Diana masih malu dengan sentuhan yang tidak disengaja tadi. "Baiklah. Aku akan menemanimu sepanjang hari ini," kata Alex senang. Diana melirik tangan Alex yang ada di atas meja. Tangannya besar dengan urat bertonjolan. Pantas saja sentuhannya membuat sakit. Diana kembali tertunduk malu. "Masih terasa sakit?" tanya Alex. Diana mengangguk. Alex membayangkan mengusap bagian dada Diana u