Share

Chapter 2 : Beberapa Jam Sebelumnya

    Sebuah club malam yang berlokasi di pusat kota...

    Diana samar-samar melihat sosok lelaki tinggi ramping berjalan menuju ke arahnya. Kepala Diana terasa pusing, pandangannya berputar. Dia menggelengkan kepala berusaha menjaga dirinya supaya tetap sadar tapi percuma. Kedua kakinya mulai goyah dan pandangannya diliputi kegelapan.

    Alexander--lelaki yang dilihat Diana--menangkap tubuh yang terjatuh lunglai. Baginya tubuh mungil wanita ini seperti tidak berbobot. Dia menyapu keadaan di sekeliling. Mata Alexander yang tajam melihat dua orang lelaki muda sedang memandang ke arahnya. Ekspresi wajah kedua lelaki itu terkejut karena melihat dirinya menolong Diana. Alexander tahu kedua lelaki muda itu mengenali dirinya sebagai pemilik club ini. Mereka pun bergegas pergi.

    Setelah yakin situasi aman Alexander membopong Diana masuk ke dalam ruangan private di lantai atas. Dua orang bodyguard berbadan besar yang menjaga pintu mengangguk pada Alexander. Tentu saja! Dia kan pemilik club ini.

    Alexander merebahkan Diana dengan lembut. Sekarang apa yang akan dilakukan terhadap wanita yang tidak sadarkan diri ini? Wanita ceroboh yang tidak menjaga gelas minumannya dengan waspada.

    Berjongkok di sisi tempat tidur, Alexander mengamati Diana. Wajahnya yang polos tanpa makeup terlihat cantik, bentuk wajah yang lonjong dengan dagu lancip, alis yang sempurna, bulumata lentik, hidung mungil, dan bibir yang berwarna merah muda. Rambut hitamnya yang panjang dibiarkan tergerai dengan indah.

    Alexander membuka tas mungil yang dibawa Diana untuk memeriksa apakah ada kartu identitas. Dia menemukan sebuah kartu identitas atas nama Diana Putri. Ada alamatnya juga, tapi alamat di kota tetangga. Tidak mungkin wanita ini keluar kota khusus untuk main ke club malam.

    Celaka. Bagaimana caranya memulangkan Diana tanpa tahu tempat tinggalnya? Alexander berpikir keras dan memutuskan untuk membawa Diana pulang ke penthouse-nya. Dirinya juga butuh istirahat setelah terjaga semalaman.

    ****

    Diana mengejapkan mata, tidurnya nyenyak sekali semalam. Dia menggeliat dan segera menyadari kehadiran seseorang di sampingnya. Diana menoleh dan melihat wajah seorang lelaki yang sedang tidur nyenyak. Dia mendekap mulut supaya tidak menjerit, tapi gerakannya membuat Alexander terbangun. Diana menarik selimut untuk menutupi dirinya. 

    "Hei, tenang saja... aku tidak berbuat apa-apa...," kata Alexander dengan suara serak yang terdengar seksi.

    "Aku di mana?" Diana menggenggam selimut erat-erat.

    "Di kamarku..." Alexander menguap lebar, "Aku belum cukup tidur, jadi kamu harus menunggu sampai siang supaya bisa kuantar pulang, oke?"

    "Aku bisa pergi sendiri." Diana menoleh mengamati situasi di sekelilingnya.

    "Tidak bisa. Aku hanya punya satu kartu akses, Princess..."

    "Apa? Kenapa memanggilku begitu?"

    "Nama belakangmu Putri kan?"

    "Kok tahu?"

    "Aku harus mengecek identitas wanita yang pingsan di club-ku, jadi sorry aku membongkar tasmu. Tapi tenang saja, tidak ada yang hilang."

    "Aku pingsan?" Diana berusaha mengingat kejadian semalam. Semuanya terlihat samar dan tidak ada yang mencurigakan. Apakah dia pingsan karena lapar?

    "Kamu tidak sadar ada yang memasukkan obat dalam minumanmu."

    Mata Diana terbelalak, "Apa??"

    "Kamu beruntung aku melihat semuanya dari CCTV, kalau tidak kamu mungkin terbangun di tempat dan kondisi yang lebih buruk."

    "Siapa...." Diana tercekat, wajahnya memucat.

    "Betul, siapa yang mengajakmu bertemu di club-ku?"

    Pikiran Diana melayang pada ajakan teman-teman sekantornya untuk hangout di club malam. Dia menyetujui dan datang lebih awal hanya untuk mengetahui bahwa rencana itu mendadak telah dibatalkan.

    "Hmmm.... Baiklah, sementara kamu berpikir  biarkan aku tidur. Kalau lapar carilah sesuatu di dapur." Alexander membalikkan badan.

    Diana menurunkan selimut dan menyadari kalau dirinya memakai baju kaos yang kebesaran. Ketika tangannya menyadari ketiadaan pakaian dalam, Diana panik.

    "Kamu yang mengganti pakaianku?" tanya Diana.

    Alexander mengerang, "Ya betul, terima kasih kembali."

    "Di mana pakaianku?"

    "Kamu tidak ingat juga? Baju dan jeansmu ketumpahan minuman entah apa. Aku tidak tahan baunya, dan kurasa kamu juga tidak akan mau memakai pakaian itu sampai pagi jadi kukirim ke laundry." Alexander berbalik lagi.

    "Oh..."

    "Aku tidak melihat apa pun, Princess, meskipun aku tergoda untuk membuka mata saat melepas pakaianmu." Senyum nakal terkembang di wajah Alexander.

    Wajah Diana merah padam. Dia kembali memeluk selimut.

    "Kamu manis sekali."

    Diana tidak menjawab pujian Alexander, wajahnya semakin merah. Lelaki kurang ajar, batin Diana, sudah melepas pakaian masih menggoda pula!

    Alexander menguap, "Kamu mau pulang sekarang?"

    "Iya, mau...." Diana menjawab dengan lirih.

    "Tunggu pakaianmu selesai di-laundry? Atau kamu mau pakai pakaianku?"

    "Ah, aku tunggu saja deh."

    "Baiklah." Alexander mengamati Diana. Segala tingkah laku wanita ini menarik baginya. Dari sikap Diana, Alexander bisa menebak kalau wanita ini belum pernah berada di tempat tidur bersama seorang lelaki. Betapa beruntung dirinya.

    "Ada apa di wajahku?" tanya Diana.

    "Wajahmu cantik. Aku tidak bosan memandangimu," kata Alexander terus-terang. Dia senang melihat wajah Diana yang memerah.

    Diana menunduk malu. Dia juga kagum melihat kegantengan Alexander, bedanya dia tidak akan seterus-terang itu.

    Tidak melakukan apa-apa membuat Diana gelisah. Dia berjalan mengitari penthouse sambil menghitung langkah. Pada putaran kelima Alexander keluar dari kamar, masih dengan wajah mengantuk dan dada telanjang.

    "Kupikir hanya mimpi, ternyata benaran ada wanita disini." Alexander tertawa. "Aku mandi sebentar setelah itu kuantar kamu pulang."

    Diana ternganga melihat tubuh bagian atas Alexander yang polos tanpa baju. Betapa indahnya, dengan otot-otot yang terbentuk sempurna. Tato berbentuk naga menghiasi tubuh sempurna itu melingkari sepanjang lengan kanan hingga dada.

    "Hello?" Alexander menjentikkan jari.

    Diana masih terpesona pada six packs Alexander sehingga dia tidak menjawab. Untung lelaki itu tidak menertawakannya.

    Sehabis mandi Alexander menelepon laundry supaya pakaian Diana dikirim ke penthouse. Sekejap mata Diana sudah berganti pakaiannya sendiri. Alexander memandangi Diana yang terlihat menggairahkan dengan kaos ketat dan skinny jeans. 

    "Kamu punya pacar?"

    "Tidak," sahut Diana singkat.

    "Sayang sekali, lelaki di luar sana tidak melihat apa yang kulihat sekarang." Alexander tidak dapat menahan diri untuk mendekati Diana.

    "Apa?" Diana bergerak mundur sampai punggungnya bersandar di dinding.

    "Wanita muda yang cantik dan pemberani." Alexander meletakkan kedua tangan di dinding, mengurung Diana dengan keberadaannya. Wajahnya sedikit menunduk karena perbedaan tinggi badan mereka.

    Rona merah kembali merayap di wajah Diana. Lidahnya kelu berada dalam jarak sedekat ini dengan Alexander. 

    "Kamu mau jadi pacarku?" tanya Alexander.

    "Tidak." Diana menjawab tanpa jeda.

    "Kenapa tidak?"

    "Aku tidak mengenalmu."

    "Oh... jadi kalau sudah kenal kamu mau?"

    "Belum tentu."

    "Kenapa?"

    Diana kehilangan kata-kata karena wajah Alexander begitu dekat dengannya. Dia hanya perlu berjinjit sedikit dan mereka akan bersentuhan. Pemikiran ini membuat kaki Diana goyah, dia menggigit bibir.

    "Hmmm... Apa yang kamu pikirkan?" Alexander menatap bibir Diana.

    "Tidak ada..."

    "Bolehkah aku menciummu?"

    Diana mengepalkan tangan. Pikirannya kacau. Apa yang harus dia lakukan?

    Alexander memperkecil jarak hingga mereka merasakan nafas masing-masing. Dia ingin melihat Diana menyerah pada godaannya. Selama ini tidak ada wanita yang dapat menolak didekati.

    "Jangan..." Diana menahan Alexander dengan kedua tangan di dada lelaki itu.

    Alexander mengangkat alis. Daya tahan Diana mengesankan. Alexander meraih kedua tangan Diana dan mengangkatnya ke atas kepala. Sepasang tangan mungil itu ditahan di dinding. Perlahan Alexander bergerak maju. Dia senang mendengar suara desahan lembut Diana saat bibir mereka bersentuhan. Mata Diana yang semula terbelalak karena kaget perlahan terpejam. Alexander dapat merasakan bahwa ini adalah ciuman pertama Diana. Pikiran itu membuat hasratnya meningkat. 

    Alexander hendak memperdalam ciuman, lidahnya menggoda Diana untuk membuka diri. Lagi-lagi Alexander dibuat terkejut saat Diana memalingkan wajah. 

    Wanita ini mampu melepaskan diri darinya?

    "Hentikan..." Mata Diana berkaca-kaca.

    Hati Alexander tersentuh dengan cara yang belum pernah dia rasakan. Tangannya melepas tangan Diana. Apakah dia terlalu agresif? 

    "Aku mau pulang... please...," pinta Diana. Meskipun ciuman barusan membuatnya tidak ingin berhenti tapi Diana sadar bahwa apa yang mereka lakukan tidak tepat. Mereka bahkan tidak saling mengenal!

    "Baiklah." Alexander menyerah. Dia tahu tidak boleh memaksa karena Diana tidak seperti wanita-wanita lain. Anehnya Alexander merasa terdorong untuk melindungi Diana--bahkan dari dirinya sendiri!

    Diana mendekap dada seolah meletakkan sebuah perisai tak terlihat antara dirinya dan Alexander. Pemandangan ini membuat Alexander menghela nafas.

    "Come on." Alexander mendahului berjalan ke lift.

    Diana mengambil tas dan mengikuti Alexander. Dia memilih untuk memandangi ujung kaki sendiri daripada harus bertatapan dengan lelaki yang telah mencium tanpa seijinnya itu. Diana tidak yakin dapat menolak jika Alexander melakukannya lagi.

    Mereka turun menuju basement tempat parkir mobil penghuni gedung. Alexander menyetel lagu karena dia tidak tahan dengan keheningan yang mencekam. Diana memandang keluar jendela mobil. Dia sudah memberitahu apartemen tempat tinggalnya pada Alexander.

    "Ehm... Diana?"

    "Ya?"

    "Boleh aku minta nomor handphonemu?"

    Diana tampak ragu sebelum mengeluarkan handphone, "Berapa nomormu? Nanti ku miscall." 

    Alexander terlihat gembira. Dia menyebutkan rangkaian nomor dan memperhatikan Diana mengetiknya di handphone.

    "Namamu siapa?" tanya Diana.

    "Alexander." Matanya tidak lepas dari handphone Diana.

    "Oke, ku miscall..."

    "Thanks. Kupikir kamu tidak mau memberi nomormu." Mata Alexander berbinar.

    Diana tersenyum. Dirinya lemah di hadapan Alexander. Lelaki ini membuatnya lemah! Huh, menyebalkan. Diana tidak dapat menyangkal ketertarikannya terhadap Alexander.

    "Call me anytime, Princess. Aku bisa menjadi teman ngobrol yang baik," kata Alexander.

    Mobil melaju dengan tenang menuju apartemen kediaman Diana. Beberapa jam lagi kehidupan malam akan mulai bergerak, saat itulah Alexander memulai kesibukannya. Kali ini dengan semangat yang baru.

    Alexander menepikan mobil di depan gerbang apartemen. Diana melompat turun setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih. Dia tidak menunggu Alexander melaju pergi tapi langsung saja masuk ke dalam gedung. 

    Diana masuk ke lift yang sepi dan menekan tombol lantai duapuluh. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai lift dengan gelisah sementara matanya menatap angka-angka digital yang terus bertambah. Pintu lift terbuka di lantai tujuan Diana.

    Setibanya di dalam apartemen, Diana cepat-cepat melepas pakaian dan mandi air hangat untuk mengusir segala kepenatan yang tersisa. Dia ingin melupakan kejadian di penthouse Alexander. Hatinya tercabik antara dua keinginan, bertemu kembali atau melupakan. Diana tahu Alexander bukan tipe lelaki yang baik baginya namun tubuhnya mengatakan lain. Tubuhnya menginginkan lebih.

    Diana keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk. Dia masuk ke kamar dan melihat bayangan dirinya di cermin. Diana memejamkan mata. Kelembutan sentuhan Alexander masih terasa nyata di bibirnya. Kehangatan dan aroma tubuhnya belum dapat dilupakan. Diana menghela nafas. Ada sebuah keinginan yang terpantik. Diana melepas handuk yang melilit tubuhnya. 

    Perlahan Diana menyentuh tubuhnya sambil membayangkan sosok Alexander seolah lelaki itu berada disini. Sebentar saja Diana sudah bertumpu pada satu tangan di dinding dengan tangan yang lain bergerak bebas di antara kakinya.

    Gerakan Diana terhenti saat handphone berbunyi nyaring. 

    Siapa sih? Mengganggu aktivitasnya saja. 

    Diana mengeluarkan handphone dari tas dan terkejut melihat nama Alexander di layar. Dia ragu tapi dering tidak berhenti.

    "Halo?" sapa Diana dengan hati-hati.

    "Hai Princess." Suara Alexander terdengar dari ujung sana.

    Hati Diana meleleh mendengar suara yang berat dan seksi itu. Dia rebah di tempat tidur.

    "Kamu sedang apa?" tanya Alexander.

    "Aku baru selesai mandi...." Diana memejamkan mata, tangannya mulai bergerak lagi. 

    "Oh, baguslah. Kamu belum sempat mandi di tempatku."

    "Iya betul..." Rasa itu mulai meningkat. Diana mempercepat gerakan tangan di antara kedua kakinya.

    "Entah kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkanmu."

    Diana sudah tidak mendengar perkataan Alexander, dia fokus pada sensasi di tubuhnya. 

    "Bagaimana kalau kita--" Kata-kata Alexander terhenti.

    Diana mengerang saat tubuhnya dilanda gelombang kepuasan. Selama sedetik panca inderanya tidak berfungsi. 

    Beberapa detik kemudian Diana teringat dirinya sedang berada di tengah percakapan dengan Alexander. Dia mendekap mulut melihat sambungan telepon tadi belum terputus. 

    Hening.

    "Diana??" Suara Alexander yang berteriak frustasi terdengar dari ujung sana.

    Diana cepat-cepat memutus sambungan. Wajahnya merah padam. Kedua telapak tangannya mendekap wajah. Ya Tuhan, kenapa dia ceroboh sekali?? Bagaimana Alexander melihat dirinya sekarang?? 

    Handphone berdering nyaring. Alexander menelepon. Diana mendiamkannya tapi lelaki itu tidak menyerah. Dia menelepon lagi, dan lagi, dan dua kali lagi sampai akhirnya berhenti. Diana menghembuskan nafas lega. Handphone berdenting menandakan ada pesan masuk. Diana melihat pesan singkat itu dan wajahnya semakin memerah.

    'Perlukah aku kesana sekarang?'

    Dengan panik Diana membalas, 'TIDAK PERLU'

    Balasan dari Alexander langsung masuk, 'Bolehkah aku menemuimu lagi? Kamu membuatku tidak bisa fokus bekerja'

    Diana mematikan handphone dan meratapi kecerobohannya. Hidupnya tidak akan kembali normal bukan? Tidak setelah dia membiarkan seorang lelaki yang ganteng tapi berbahaya mendengarnya mencapai kepuasan. 

    Rasanya ingin menghilang ditelan bumi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status