Share

Mencoba Berbaur

Setelah berganti pakaian, Levan keluar dari kamar. Wajahnya masih nampak kebingungan, karena benar-benar merasa asing dengan apa yang ada di sekitarnya. Anto mendekati levan, dan mengajaknya untuk duduk di lantai, karena memang kontrakan mereka tidak ada tempat duduknya. Hanya saja karena habis menyemayamkan Doni, rumah itu di beri alas tikar.

"Apa ada yang sakit? Lukamu bagaimana rasanya?" tanya Anto perhatian. Levan hanya menggeleng, karena jujur dia tidak merasakan sakit apapun.

"Aku lapar," ucap Levan alias Doni.

"Ya ampun, tentu saja kamu lapar. Pasti kamu dari perjalanan jauh, di alam sana. Ben, tolong belikan nasi bungkus buat Doni. Tidak, bukan cuma Doni tapi kita semua." Anto meminta temannya untuk membelikan makanan, Ben berdiri lalu mendekati Anto.

"Mana uangnya?" tanya Ben sambil menengadahkan tangannya.

"Apa kamu gak punya duit?" tanya Anto.

"Lah dari mana aku duit, lagian duit warga yang melayat bukannya di kamu semua. Memangnya mau kamu kembalikan?" tanya Ben balik.

"Hehehe, iya aku lupa. Ya janganlah, kita butuh makan, gak mungkin kita beroperasi dengan keadaan Doni begini. Kita libur dulu beberapa hari," sahut Anto sambil merogoh kantongnya.

"Apa gak bahaya kalau kita libur, bisa-bisa kawasan kita di rebut sama Baron. Dan tujuan Baron kan memang begitu," ucap Ben.

"Iya sih, ya sudah mulai besok kita beroperasi lagi. Nih duitnya, beli tujuh bungkus yang harga sepuluh ribuan aja. Sisanya belikan tuak," perintah Anto sambil menyodorkan uang dua lembar lima puluh ribuan.

Ben langsung menyambar uang yang Anto sodorkan, dia pun langsung mengajak salah satu temannya yang lain untuk ikut. Levan hanya melongo melihat interaksi mereka, dia bingung dengan apa yang mereka bahas. Anto kembali tertuju pada Levan yang dia pikir temannya Doni yang hilang ingatan.

"Apa kamu benar-benar tidak ingat sedikit saja?" tanya Anto masih penasaran.

Bukannya menjawab, Levan malah meremas kepalanya. Dia berharap ada sedikit saja kenangan si pemilik raga, agar dia tidak benar-benar menjadi orang asing. Ada kilasan kenangan yang lewat, saat dia memejamkan mata. Tapi bayangan itu benar-benar tidak jelas, malah membuat kepala Levan terasa sakit.

"Akhh!" pekik Levan menahan sakit.

"Eh, sudah jangan di paksakan. Pasti sakit sekali rasanya untuk mengingat hal yang di lupakan. Sudah jangan kamu ingat lagi, biar saja berjalan apa adanya. Nanti kami yang akan membantumu," ucap Anto berusaha menenangkan.

Levan hanya mengangguk, untung saja dia adalah pria cerdas. Hingga tidak akan sulit baginya, berbaur dengan orang-orang ini. Saat ini yang dia butuhkan adalah tempat di mana dia bisa di terima. Sambil dia akan berusaha kembali ke kepada keluarga dan perusahaan yang dipimpinnya. Meskipun Levan tau tidak mudah, untuk masuk kembali ke sana dalam sosok raga yang berbeda.

"Setelah makan, kamu istirahat saja. Pasti lelah berjalan di alam sana, setelah kamu lebih baik. Barulah kita mulai bekerja, kita juga harus balas dendam pada Baron dan anak buahnya. Kita juga harus mempertahankan tempat yang sudah kita kuasai," jelas Anto.

Levan kembali hanya mengangguk, Anto tersenyum setidaknya Doni sahabatnya sudah bisa berinteraksi. Meskipun dalam pikirannya, pria di depannya ini tidak mengingat apapun.

***

Dua hari berlalu, Anto bersiap mengajak Levan untuk kembali bekerja. Mereka harus bisa menghasilkan uang untuk melanjutkan hidup. Levan pun mau saat Anto mengajaknya, dia berpikir jika terus di dalam rumah dia akan jenuh. Setelah mandi Levan yang hendak menyisir rambutnya, dia pun berdiri di depan cermin. Tempat yang selama dua hari ini di hindarinya, karena setiap melihat sosoknya di kaca levan merasa kesal sendiri.

Levan melihat dirinya di kaca, rambut keriting yang di biarkan panjang. Serta kumis yang sangat berantakan menurutnya, membuat Levan merasa ngeri sendiri. Tapi dia sama sekali tidak ingin merubah penampilannya, ada rasa putus asa di hatinya karena harus berada di dalam sosok menyeramkan ini. Ya Levan menganggap sosok Doni menyeramkan, karena sama sekali tidak terawat.

"Hei, ngapain malah melamun di depan cermin begitu. Wajahmu tidak akan berubah tampan, meski kamu bercermin ratusan kali. Lagian tumben-tumbennya kamu mau nyisir, biasa juga kamu sisir pake tangan tuh rambut kritingmu." Anto memukul bahu Levan, lalu meledeknya.

"Kamu lupa ya, To. Dia itu lupa ingatan, mana mungkin dia ingat kalau dia bahkan tidak pernah sisiran. Hehehe," kekeh Ben rekan mereka.

"Iya ya, aku lupa kalau dia itu tidak ingat apa-apa. Tapi gak apa-apa aku ngomong begitu, siapa tau dia bisa ingat kalau dia tidak pernah bersisir selama ini." Anto menyahuti Ben, membuat beberapa orang yang ada di sana tertawa.

"Sudah, ayo kita berangkat sekarang. Jangan sampe wilayah tagihan kita sudah diambilin ssma anak buah Baron. Yang ada kita bakal makan angin hari ini," sahit Murad menimpali obrolan mereka.

"Kamu bener, ayo kita berangkat sekarang. Ayo Don berhenti melihat dirimu di kaca!" ajak Anto langsung merangkul Levan.

"Eh duitmu masih kan, To. Kita minum ciu dulu sebelum pergi, gak panas nih bodi kalau gak ada dopingnya." Ben ikut nimbrung merangkul Anto, membujuk Anto untuk membelikan minuman keras.

"Otakmu itu ya, isinya cuma minuman saja. Belum juga bekerja sudah mau mabuk saja, apa kamu tidak punya mental jika tidak mabuk?" tanya Anto kesal.

"Hehehe, gak gitu juga, Brother. Hanya saja seperti ada yang kurang kalau tidak minum dulu," sahut Ben terkekeh.

"Oke satu botol saja rame-rame," ucap Anto akhirnya.

Mereka pun sudah berada di sebuah warung pinggir jalan yang menjual ciu, sejenis minuman beralkohol yang akan memabukan jika meminumnya dalam jumlah banyak. Anto benar-benar membeli satu botol, lalu membaginya untuk mereka berenam. Levan merasa enggan meminum minuman murahan itu, biasanya dia minum yang harganya ratusan ribu atau bahkan jutaan perbotolnya. Tapi sekarang, dia harus meminum yang harganya puluhan ribu bahkan tidak sampai lima puluh ribu. Hanya saja demi solidaritas dan supaya tidak di curigai, Levan pun menenggaknya juga.

"Duh gak kerasa apa-apa, tambah satu lagi lah, To. Kalau gak kita hutang dulu," ujar Ben yang merasa kurang dengan minuman yang di berikan.

Tanpa menjawab ucapan Ben, Anto hanya menepis kepala Ben. Karena kesal temannya itu hanya memikirkan minuman, padahal mereka bahkan belum mulai bekerja.

"Woy, kamu pikir ini murah? Kalau mau banyak kenapa tidak minum tuak saja kita tadi. Sudah kerja dulu Sano, kalau dapet duitnya banyak baru kita mabok nanti malam. Lagian ini masih siang," gerutu Anto kesal lalu beranjak pergi

"Dih gitu aja marah, ayo Don kita kerja biar bisa mabok nanti malah." Ben menarik tangan Levan, karena dia hanya duduk diam saja sejak tadi.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status