Share

6. Siapa Mirza?

Author: Novita Sadewa
last update Last Updated: 2024-09-14 09:29:56

POV ANA

Pagi ini aku dan Mbak Najwa mulai melakukan aktivitas kami di dapur, namun mbak Najwa terlihat lebih banyak diam.

"Masak apa, Mbak?" tanyaku.

"Omlet, An, kesukaan Mas Adrian."

"Sini mbak aku bantuin."

"Nggak usah, An. Bukannya kamu harus kerja?" jawabnya, rasanya ada yang berbeda hari ini. Bukannya baru tadi malam Mbak Najwa mengatakan akan membuat Mas Adrian mencintaiku? Harusnya dia mengajariku memasak makanan kesukaannya, cinta kan bisa saja datang dari perut kata orang.

"Oh, ya udah, Mbak, kalau gitu aku buatin susu nya, ya?" tawarku lagi

"Udah dibuatin Bi Minah, An!" jawab Mbak Najwa.

"Ana, saya mau bicara," panggil Mas Adrian yang tiba-tiba sudah bersandar di daun pintu dapur. Aku tersentak, teringat kejadian semalam membuatku semakin malas melihatnya.

"Kenapa masih di situ? Sini!" panggilnya lagi, aku pun pamit pada Mbak Najwa dan mengikutinya, aku pikir pasti dia mau minta maaf karena kejadian semalam.

Kami duduk di meja makan, berhadapan, jantungku mulai tak karuan melihat tatapan Mas Adrian yang seolah mengisyaratkan, sesuatu yang begitu penting akan ia sampaikan padaku.

"Mulai sekarang saya akan mengantar kamu kerja."

"Hah?!" Aku membelalak tak percaya.

"Kenapa?"

"Nggak usah, Mas, motorku kan udah dateng," tolakku sopan.

"Saya nggak ngasih pilihan," jawabnya tegas, semakin membuat hatiku berdebar-debar, ditambah wajahnya yang semakin hari semakin tampan membuatku berbunga- bunga.

Aku tertunduk, terlihat Mbak Najwa menghampiri kami dan membawa masakan yang sudah dia siapkan tadi.

"Ini sarapannya," kata Mbak Najwa meletakkan nasi dan omlet, tak lupa susu juga untuk kami. Aku segera mengambil nasi dan omlet, lalu menyantapnya. Sedangkan Mbak Najwa mengambil nasi untuk Mas Adrian.

"Biar Ana yang melayaniku," kata Mas Adrian yang membuatku lagi-lagi harus tersedak di hadapan mereka.

"Uhuk ... Uhuk ...."

"Pelan- pelan, An," kata Mas Adrian sembari menuangkan segelas air dan memberikannya padaku. Sedangkan Mbak Najwa tiba-tiba berlari meninggalkan kami. Aku rasa saat ini mereka sedang bertengkar dan Mas Adrian sengaja membuat Mbak Najwa marah.

"Kalau lagi marahan, nggak usah bawa-bawa aku, Mas!" kataku pada Mas Adrian, entah darimana datangnya keberanianku, sampai aku mampu mengatakan kalimat itu pada Mas Adrian. Dia melirikku tajam. Aku segera mengambilkan nasi serta lauk untuknya. Lalu kuraih tangannya dan berpamitan.

"Assalamualaikum."

"Mau ke mana? Kan saya yang mau anter kamu?"

"Nggak usah, Mas. Mending selesaikan masalah sama Mbak Najwa dulu, stress nggak baik buat kesehatannya. Nganter aku kalau shift malam aja!" jawabku lalu pergi.

"Waalaikumsalam," ujarnya lirih.

Segera kuambil helm dan kustarter motor matic kesayanganku, kulajukan dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota Jakarta yang cukup padat pagi ini. Dengan sepeda motor, tak perlu waktu lama, aku pun sampai di parkiran rumah sakit lebih cepat, terlihat Mbak Lia baru turun dari mobil dan menghampiriku.

"An, serius kamu naik ini?" tanyanya sambil mengitari motorku.

"Iya, emang kenapa? Bukannya dulu pas kuliah aku ke sini juga pake ini?" jawabku seraya melepas helm pink kesayangan dari kepalaku dan merapikan rambut yang sedikit berantakan.

"Bukannya suami kamu orang kaya?"

"Kaya atau nggak, nggak ada hubungannya."

"O iya, aku lupa, kamu kan istri yang tak dianggap, kan? Makanya naik motor ini?" ujar Mbak Lia, mengejekku.

"Enak aja, tadi Mas Adrian mau nganter aku tau. Cuma aku tolak."

"Serius? Kenapa nggak mau?" tanyanya antusias.

"Marahan sama istri pertama, aku mau dijadikan alat buat bikin Mbak Najwa cemburu, ya aku tolak lah, biar gini aku juga pinter kali."

"Ye, dodol, itu sih lebih parah dari nggak dianggep!" kata Mbak Lia seraya mengacak rambutku, kami pun tertawa bersama.

***

Kami segera mengganti pakaian dengan seragam dinas, saat kami keluar, tanpa sengaja aku mendengar percakapan Dokter Dion dan Direktur Utama Rumah Sakit, secara pintu mereka tidak tertutup sempurna.

"Saya nggak mau tau, panggil Dokter Mirza secepatnya!" bentak Profesor Wijaya pada Dokter Dion yang merupakan orang kepercayaan Profesor Wijaya di rumah sakit tempatku bekerja, dia adalah dokter spesialis kandungan di rumah sakit ini.

Profesor Wijaya adalah Direktur Utama, ia pemilik Rumah sakit yang sudah tak lagi muda, usianya sudah hampir mencapai 80 tahun, namun beliau masih tetap aktif sebagai konsultan di Rumah sakit ini. Sedangkan Dokter Mirza? Baru kali ini aku mendengar namanya, mungkin karena aku baru di sini jadi belum tahu siapa dia.

"Tapi, Pak. Apa Dokter Mirza mau? Dokter Mirza sudah memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia sejak masalahnya dengan ...."

"Kamu lupa siapa saya dan siapa Mirza?" sela Profesor Wijaya.

"Tapi, Pak ...."

"Saya nggak mau tau, masalah ini harus segera diselesaikan. Kamu kan masih suka berhubungan dengan Dokter Mirza, terserah usahamu bagaimana, karena hanya Dokter Mirza harapan kita satu-satunya!"

"Eh, An. Ngapain masih bengong di situ? Ayo kerja!" ajak mbak Lia yang tadinya sudah berjalan di depanku namun, kembali menghampiriku setelah sadar aku masih mematung di depan pintu ruang direktur.

"Eh, iya, Mbak," jawabku lalu berlari kecil menyamakan langkahku dengan Mbak Lia.

"Mbak, rumah sakit kita emang ada masalah, ya?" tanyaku pada Mbak Lia yang sudah lebih lama kerja di sini.

"Maksudnya?" tanya mbak Lia menghentikan langkahnya.

"Tadi nggak sengaja aku dengar, Profesor Wijaya sama Dokter Dion bersitegang, terus sebut nama dokter, Dokter siapa ya?" tanyaku mencoba mengingat nama yang mereka sebut tadi.

"Iya ... Dokter Mirza. Siapa Dokter Mirza, Mbak?"

"Mirza? Mbak juga nggak tau, An. Udah nggak usah dipikirin, kita kan cuma bawahan, kalau masalah yang begituan sih biar diurus sama yang atas-atas aja, udah sana kerja!" seru Mbak Lia, memang benar juga sih apa katanya, mau masalah seperti apa juga kita cuma perawat yang posisinya di bawah, apa lagi aku, yang baru kerja dalam hitungan hari. Kamipun berpisah, aku segera ke ruang UGD dan Mbak Lia di bagian informasi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Rahim Pengganti   108. Resepsi

    "Maaf, Suster, saya nggak bermaksud ....""Nggak bermaksud apa?! Kalau pengaduan sudah sampai ke Bapak Direktur sendiri, berarti apa yang sudah kamu lakukan itu fatal! Apa yang sudah kamu lakukan, Ana?!" tanyanya dengan nada tinggi, rahangnya pun mengetat, sepertinya dia sudah sangat marah dan jengkel padaku."Saya ....""Sudah, sudah, Suster Leny. Masalah Ana biar menjadi tanggung jawab saya. Lagi pula kan saya yang mendapat pengaduan, sekarang, Suster Leny, bisa kembali," Mas Dirga menengahi perdebatan kami."Tapi apa tidak merepotkan, Bapak? Bapak terlalu berharga kalau hanya untuk mengurusi masalah Ana yang cuma seorang perawat. Kalau bapak mau, biar saya saja yang memberinya pelajaran," sindirnya, aku hanya bisa menundukkan kepalaku dan menghela napas pasrah."Oh, tidak perlu, Suster, biar saya saja. Sekarang Suter bisa kembali bekerja," perintahnya lagi."Baiklah, Pak kalau gitu saya permisi. Bapak, bisa panggil saya kalau sewaktu-waktu membutuhkan sesuatu, terutama masalah Ana,

  • Bukan Rahim Pengganti   107. Akting

    Kuketuk pintu yang sebelumnya di tempati oleh Profesor Wijaya. "Masuk," serunya. Aku pun membuka pintu perlahan. Satu kata, pasrah, yang bisa kukatakan dalam hatiku saat ini."Pagi, Bapak," sapaku di depan pintu. Sepasang mataku mulai menyisir ruangan yang cukup besar itu. Kucari sosok Dokter Dion, namun, sepertinya ruangan ini kosong, hanya ada direktur baru yang tak lain adalah suamiku sendiri dan kini sedang berdiri bersandar pada meja yang terbuat dari bahan marmer."Tutup pintunya!" serunya masih dengan wajah kaku. Kututup pintu, lalu ku lempar senyum sopan, selayaknya bawahan pada atasan. Entah kenapa suasana di dalam sini begitu mencekam, aku tak tahu penyebabnya. Apa karena aku takut dengan perasaanku sendiri atau karena wajahnya saat ini memang sangat menakutkan? Yang pasti aku merasa saat ini adalah dia seolah bukan teman tidurku, melainkan seekor singa yang siap menerkam karena perlakuan khusus kami untuk Mas Adrian semalam. "Gara- gara Aryo ini," batinku menyalahkan, jika

  • Bukan Rahim Pengganti   106. Direktur baru

    Akhirnya aku sampai di Rumah sakit. Aku berlari menuju UGD setelah mengganti bajuku dengan baju seragam. Teman satu shift-ku pun sudah lengkap dan terlihat sangat sibuk, sepertinya baru saja ada kecelakaan bus. Begitu banyak pasien dari luka ringan hingga berat, teriakan, dan tangisan dari keluarga pasien pun memenuhi ruangan. Benar-benar merasa tidak enak, saat kondisi seperti ini malah datang terlambat."Kenapa baru datang?" tanya Hanin yang terlihat begitu sibuk membersihkan luka pasien."Maaf, " kataku, tanpa banyak lagi beralasan aku segera kubantu mereka. Sepertinya kami harus bekerja keras malam ini.Kesibukan kami baru mereda saat adzan subuh berkumandang."Akhirnya ...," kata Hanin menghempaskan tubuhnya di kursi."Tidurlah dulu, Nin, nanti kita gantian," ujarku yang ikut duduk di kursi sebelah Hanin."Kamu yakin? Kamu tadi juga kerja keras banget lo, An. Mumpung kosong pasien kita tidur sama-sama aja, An, toh nanti mereka akan bangunin kalau ada pasien datang," usul Hanin.

  • Bukan Rahim Pengganti   105

    POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada

  • Bukan Rahim Pengganti   104

    POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala

  • Bukan Rahim Pengganti   103

    POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status