Fina sedang berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Purwokerto. Dia pergi dengan para wanita di keluarga Nara. Hampir satu jam dia muter-muter, kini dia memutuskan ikut duduk bersama Zaza yang sedang menikmati puding mangga. Sedangkan Fiqa, Nasha dan Ayana masih asik belanja.
"Gak muter-muter lagi, Fin?"
"Gak Mbak capek."
Fina mengambil es cokelatnya. Dia melirik ke arah Rael dan Royya yang masih asik bermain di arena Timezone. Suara ringisan Zaza terdengar di telinga Fina.
"Kenapa Mbak?"
"Biasa, pinggang pegel."
"Nikmat banget ya Mbak?"
"Iya nih."
"Apa mau lahiran Mbak?"
"Belum, Fin. Kan baru tiga puluh dua minggu."
"Oh."
Keduanya asik berbincang sambil mengawasi tingkah Royya dan Rael. Sebuah panggilan mengalihkan atensi keduanya.
"Assalamu'alaikum, Bu Zaza. Fina."
"Wa'alaikumsalam." Kompak Fina dan Zaza.
Kahfi tersenyum manis ke arah keduanya. Fina sedikit deg-degan. Lagi
Fina melempar ponselnya ke arah kasur. Dia bosan. Sudah lima hari Fina tidak masuk sekolah gara-gara terkena cacar air.Lima hari yang lalu setelah pulang dari mall, Fina merasakan ada yang aneh pada kulitnya. Kulitnya tiba-tiba terasa gatal. Malamnya dia demam dan pagi harinya, tubuhnya penuh dengan ruam, bentol-bentol dan ada yang berair. Fina tentu menangis dan merengek. Seluruh keluarga jadi kalang kabut. Bahkan Zaza dan dua keponakanya yang sedang menginap tidak diperbolehkan mendekati Fina karena takut tertular.Fina beruntung ruam di wajahnya hanya ada beberapa biji dan tidak terlalu besar. Fina sudah membayangkan bagaimana penampilannya jika sampai cacar air yang dia derita sampai menjalari wajah. Pasti Fina bakalan jadi jelek."Mbak Fina." Panggil Mbok Imas, ART yang bekerja menggantikan Mbok Ijah, dari luar kamar. Mbok Ijah sudah pensiun dan sudah tua. Meski sudah tidak bekerja di keluarga Nara, hubungan keluarga Nara dan Mbok Ijah sangat baik. M
Fina tersenyum ceria, akhirnya setelah dinyatakan sembuh dia bisa bersekolah lagi. Akhirnya ada pemandangan lain selain, kamar, ponsel dan bantal. Meski Papah Rayyan dan Mas Reihan ganteng, tetapi Fina lebih bahagia melihat muka teman-teman cowok di kelasnya meski tak seganteng pada pria di keluarga Nara. Khususon Zio, gantengnya selevel sama papah dan kedua kakak kembarnya, sih."Finaaaa!" Emi berteriak dan langsung memeluk sahabat sebangkunya."Hai, Em. Gimana kabarmu?""Baik. Wuih! Udah kinclong aja tuh muka, bentol-betol cacarnya ngilang kemana tuh?""Ke planet Mars. Hahaha. Yuk, ke kelas. Aku udah kangen tahu sama temen-temen.""Hahaha. Ada beberapa yang ijin, kena cacar juga kayak kamu.""Duh, jadi merasa bersalah, akunya.""Lah, gak ketularan kamu bisa ketularan dari kelas lain kok.""Banyak yang kena ya, Em?""Hooh, minimal satu kelas lima orang.""Wah."Keduanya lalu berjalan menuju ke ruang kelas.
Fina menghampiri sang sahabat yang sedang duduk terpekur seorang diri di dekat arena basket. Zio kaget lalu tersenyum kepada Fina."Galau, Mas?""Iya ini, Mbak. Lagi naksir cewek tapi ceweknya udah naksir yang lain. Ya udah aku gaet yang lain. Ternyata gak gampang, bapaknya galak Mbak.""Hahaha. Salah Masnya sendiri Mbaknya dicuekin ya udah deh, nyari yang lain. Yang lebih dewasa bukan sosok pria manja.""Gitu ya. Jadi aku manja nih ceritanya?""Menurutmu?""Ehm, gak ah. Aku cuma memanfaatkan ajah.""Ish, emang kamu nyebelin Zi.""Tapi ngangenin, 'kan?""Hooh. Kangen pengen njitak tuh kepala.""Hahaha. Ampun dah, Fin. Masih juga galak.""Emang aku galak dari lahir.""Hehehe. Untung cantik ya Fin. Gemesin lagi." Zio menoel dagu Fina membuat baik Zio dan Fina tiba-tiba terdiam. Keduanya saling memalingkan muka. Salah tingkah. Bukan hal yang baru mereka berdua saling menggoda maupun toal-toel meski masi
Fina berjalan menuju keluar masjid sekolah, dia tertegun mendapati Azizah yang terlihat sedang menunggunya."Azizah.""Bisa kita bicara, Fina."Fina mengangguk. Dia segera menggunakan sepatunya lalu setelahnya berjalan mengikuti Azizah. Azizah membawanya ke salah satu gazebo yang sepi."Kamu gak ada ektra hari ini kan, Zah? Tumben belum pulang?" Fina berusaha mengatasi kecanggungan di antara keduanya.Meski Fina dan Zio berteman akrab, tetapi Fina tidak terlalu akrab dengan Azizah. Apalagi, kalau Azizah dan Zio sedang ketemuan, Fina memilih menghindar. Alasannya, dia tidak mau mengganggu privasi dua sejoli. Alasan lainnya, Fina masih memiliki perasaan sedikit tak rela jika perhatian Zio padanya kini sudah teralihkan pada Azizah. Ingat ya 'sedikit' gak banyak-banyak."Belum." Azizah tampak resah. Beberapa kali dia meremas roknya. Fina yang mengamati gerak gerik Azizah hanya tersenyum."Katanya mau ngomong? Ada hal penting apa?"
Rayyan dan Reihan hanya menatap pasrah tiga wanita dalam keluarga Nara yang kini sedang menangis tersedu-sedan. Timbunan tissue sudah memenuhi keranjang sampah sejak dua jam yang lalu."Sedih banget, kenapa harus sad ending sih?!" omel Nasha begitu melihat adegan terakhir drama saeguk yang sedang dia tonton."Iya, Mah. Gak mau tak tonton tapi penasaran. Padahal Zaza udah tahu endingnya dari cerita Yaya. Tapi ... Zaza penasaran. Hiks ... hiks.""Nyesek ya Za. Hiks hiks hiks."I-iya, Mah.""Huwaaa." Ibu dan anak menantu saling berpelukan lalu kembali menangis.Baik Rayyan dan Reihan hanya bisa menghela napas pasrah. Mungkin bagi logika pria, kenapa juga harus nonton padahal hanya membuat nangis Bombay. Mending kan nonton yang bikin happy bukan makan hati apalagi nangis-nangis gak berhenti. Tapi dasarnya wanita kan begitu.Kedua bapak dan anak itu memilih diam. Karena berkomentar hanya akan membuat kedua wanitanya melirik sadis, me
Warjo dan Narti sedang menemani Zio menonton TV. Sesekali mereka bercerita."Mas Zio gak jalan sama temen-temen? Biasanya hari minggu kemana gitu. Ini tumben udah minggu kedua Mas Zio di rumah aja.""Lagi males aja, Pak. Pengen di rumah aja.""Tumben males, Mas.""Ya emang lagi males, Bu.""Oooo."Ketiganya fokus kembali ke layar televisi."Mbak Fina kok lama gak main ya, Mas?" tanya Narti.Zio tak langsung menjawab. Dia terdiam untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya bersuara."Lagi sibuk, Bu. Kan sebentar lagi kita ujian. Jadi Fina sibuk belajar.""Oooo."Tidak ada lagi yang bersuara. Baik Narti maupun Warjo terlalu fokus pada acara sinetron bertema komedi. Keduanya sesekali tertawa.Berbeda dengan Zio, fokusnya sama sekali tidak berada di TV melainkan pada dua wanita yang sudah memenuhi relung hatinya. Fina si sahabat dan Azizah si tambatan hati. Zio menggeleng-gelengkan kepalanya. Tern
Zio sedang menikmati pemandangan alun-alun Purwokerto dari teras Masjid Agung Baitussalam. Ada ketenangan tersendiri di hatinya, jika dia berada di masjid. Mendengarkan kalimat-kalimat yang mengandung pujian pada Allah maupun Rasul-Nya.Hampir dua jam, Zio berada di tempat ini dengan posisi yang sama. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam saatnya menunaikan sholat isya."Mari Nak, bapak sholat dulu." Seorang lelaki tua yang sering bertemu dengan Zio di teras Masjid Baitussalam menyapa Zio."Silakan, Pak."Si bapak masuk sambil mengulas senyum. Zio sendiri kembali menatap ke arah alun-alun sambil mendengarkan setiap kalimat yang terucap dari sang imam.Ucapan salam terdengar, kumandang zikir mulai digumamkan dilanjutkan dengan lantunan doa yang dipimpin oleh sang imam. Satu per satu jamaah mulai keluar. Beberapa dari mereka menyapa Zio, ada beberapa lagi yang menatapnya dengan tatapan heran dan selebihnya cuek.Tepukan lembut
Zio sampai di rumahnya pukul dua belas malam. Terlalu asyik mengobrol dengan Kahfi, Zio sampai lupa waktu. Padahal biasanya jam sembilan Zio sudah berada di rumahnya."Kamu sudah pulang, Nathan?"Suara Sri dari dalam kegelapan sedikit mengagetkan Zio. Sri menyalakan lampu ruang tengah, dia tersenyum kepada Zio sementara Zio hanya memasang wajah datar malah terkesan dingin."Kamu dari mana? Sudah makan? Eyang tadi bawa gudeg sama sate usus. Eyang minta Narti angetin ya? Kita makan.""Gak usah. Nathan udah makan."Sri mencoba tersenyum. "Ya sudah, sana ke kamar. Istirahat. Jangan lupa cuci tangan dan kaki dulu, Nat-"Brak!Suara pintu kamar yang ditutup menghentikan ucapan Sri. Sri memegang jantungnya. Belakangan ini, dia sering merasa jantungnya mudah sekali merasa sakit. Lebih tepatnya, setelah dia mengetahui fakta kalau kedua cucu kebanggaannya ternyata bukan darah daging Pandu. Belum lagi kenyataan lainnya kalau Pandu didiagnosa man