Share

Chapter 2 Secangkir Americano

“Masuk jam berapa hari ini, Linara?” tanya Aathif pada Linara yang anteng dengan beberapa gelas yang dia bersihkan dengan secempal kain bersih, Linara menyahut dengan nuansa malas ditambah nada yang tidak bersemangat, seakan dia tidak ingin ditanya soal perkuliahannya.

“Jam sepuluh pagi, Kek.” Ya begitulah sahutnya yang dipastikan terdengar sangat membosankan, sang Kakek Aathif hanya bisa merasakan tanpa melibatkan perbincangan kembali, dia tahu betul kondisi hati Linara yang kurang baik.

Linara memandangan pandangan kedai dipagi hari, terasa damai dan sangat rapih. Namun, sesaat batinnya bertanya kemanakah Rahyan? Bukannya dia adalah Waiters kedai yang harus selalu hadir tepat waktu, apakah dia kesiangan lagi? Pikir Linara akan memberi peringatan apabila dia yang menjadi pemilik Kedai ini.

Suara dentingan lonceng khas dari kedai terdengar jelas, seseorang masuk kedalam kedai. Linara pikir itu adalah Rayhan. Tapi, sayang sekali pikir dia tidak tepat ternyata yang memasuki kedai adalah pelanggan setia Kakek. Ya siapa lagi selain Avraam, yang selalu datang pagi hari dan tepat waktu sekali untuk memulai sarapan menu handalannya di Kedai.

“Manusia itu sangat tepat waktu sekali, seharusnya dia yang pantas menjadi karyawan. Bukan Rayhan yang selalu ngaret.” Cibir Linara dalam hatinya, pandangan mata masih menatap Avraam yang berjalan menuju meja nomor tiga, bisa dibilang meja favoritnya, apalagi nuansa pemandangan disana tepat berhadapan dengan jendela yang menyajikan hilir mudik para manusia yang diperbudak kebutuhan dunia fana.

“Seperti biasa ya,” Avraam yang memberi kode pesanan terhadap Linara yang sedang menghadap Bar, lantas Avraam duduk manis menunggu pesanannya datang. Sesaat Linara diam tertegun, dia berusaha mengingat pesanan apa yang biasa Avraam pesan itu. Sudah dibilang Linara memiliki ingatan yang lemah.

Batinnya sedikit kocar kacir seakan ada bianglala dalam otak Linara. Ayolah Linara kamu pasti bisa mengingatnya, seberapa pikun kah kamu? Padahal umurmu masih sangat muda. Itulah dengus kesal Linara sesaat dalam pikirnya yang sedang berperang melawan ingatannya. Aathif hanya tersenyum kecil dan mulai mendekati cucunya itu.

“Kamu sedang berusaha mengingatnya ya, Linara?” Aathif tersenyum sembari tangannya membuka pintu Cabinets dan mengeluarkan satu gelas, upaya untuk memulai dalam meracik kopi.

“Ah i-iya, Kek. Linara lupa pesanan apa yang sering dipesan itu,” balasnya dengan tersenyum malu, karena merasa sudah dipergok ingatan Linara yang lemah, Kakek Aathif hanya tertewa kecil melihat reaksi cucu nya itu.

“Corn rye bread dan Americano panas.” Tutur Aathif memberi bocoran jawabannya itu, Linara mengangguk paham dan segera mengeluarkan note kecil dalam sakunya, kemudian dia menulis bocoran jawaban dari Aathif. Upaya Linara agar selalu ingat.

“Ingatlah itu ya, jangan lupa lagi, ok!” secarik lentingan jempol yang diberi Aathif sebagai simbol memberi semangat, berhasil membuat Linara memancar aura semangat dalam dirinya. Sedikit tertawa kecil juga terurai dibibir Linara, sungguh terlihat harmonis.

Ternyata secara diam dalam kejauhan, Avraam menatap Linara dan Kakeknya yang sedikit bersenda gurau, dia menahan dagunya dengan tangan, menikmati sajian tontonan kemilau senyum Linara yang terasa alami dijauh sana.

Hanya butuh beberapa menit saja, pesanan telah selesai. Linara mulai membawa nampan yang berisi pesanan Avraam. Langkah kaki mulai membimbingnya pada pelanggan setia itu, suasana saat itu sangat mendukung sekali dalam keindahan membawa nampan. Bagaimana tidak indah saat sinar mentari masuk dalam celah jendela memancar keindahan yang tertutup. Rambut yang diikat dengan pita melihatkan sebagian tengkuk indah dengan tambahan senyum pesona alami Linara yang jarang diketahui banyak orang, sungguh begitu indah.

“Pesanan anda, Tuan. Corn rye bread dan Americano panas,” ucap singkat yang keluar dari bibir manis itu, membuat Avraam merasakan sensasi berbeda dalam kedai. Nuansa disana begitu hidup, ditambah kehadirannya seorang malaikat cantik pun semakin membuat kedai terasa kehidupannya, begitulah kiranya dalam pikir Avraam yang sedari tadi menyunggingkan senyum.

“Terima kasih!” ya hanya sepatah kata yang terlontar dari Avraam, sedikit tapi penuh makna dan ke wibawaan. Linara pun membalas dengan sekali lagi senyuman dia terukir pada Avraam, sepertinya akan membekas pada lekat pikirnya Avraam, mungkin.

Tidak perlu pikir panjang lagi Avraam menyesap Americano, matanya sesaat membulat sempurna, tertegun singkat, pikirnya langsung membawa menari dalam Nostalgia bersama Almahum Istrinya yang telah lama berpulang pada pangkuan Tuhan. Kopi itu awal penyebab pembawa Nostalgia, semua cita rasa percis seperti yang dibuat mendiang Istrinya. Sanagt berbeda dari racikan sebelumnya, siapa yang membuat? Apakah Linara? Bagaimana bisa.

“Apakah anda baik-baik saja, Tuan? Ada yang salah?” tanya Linara yang melihat Avraam hanya menatap kosong setelah menyesap kopi, pikir Linara takut akan kesalahan dalam perubahan cita rasa kopi itu. Akhirnya Avraam kembali dalam ingatannya, dia memijit pelipisnya dengan gemas membuat Linara semakin khawatir.

“Tuan?” linara bertanya lagi untuk memastikan, Avraam memberi isyarat dia dalam keadaan baik. Tak banyak bicara lagi, Linara berlalu meninggalkan dengan sedikit resah.

Suara denting lonceng terdengar kembali. Iya betul sekali, pelanggan baru mulai berdatangan kedalam kedai. Membuat Linara sigap untuk menyambut ramah para pelanggan pada pagi itu, tetap saja dalam batinnya masih mempertanyakan perihal kedatangan Rayhan yang hampir telat satu jam. Ya lagi dan lagi Linara dibuat geram dan bergerutu pada lelaki yang menyebalkan itu.

“Kemana perginya dia? Jam segini belum saja terlihat batang hidungnya, bagaimana Linara mau berangkat kalau meninggalkan Kakek dalam keadaan kedai sedang ramai begini!” seperti itulah gerutu kesal dalam benak Linara meskipun kaki tangannya sibuk menjajakan nampan pada meja-meja pelanggan.

“Kalau dalam sepuluh menit kedepan dia belum juga datang, akan ku sumpahkan dia...,” sumpah Linara terhenti sesaat ketika orang yang dia maksud sudah datang, siapa lagi kalau bukan Rayhan. Beruntung Linara belum mengikrarkan sumpahnya. Linara berhembus nafas lega dengan sedikit menatap kesal manusia itu.

Rayhan segera memakai celemek, terlihat dari sorot mata Linara sepertinya Rayhan sedang sedikit berbincang pada Kakek Aathif. Dan lagi-lagi Aathif mengukir tawa kecilnya, mungkin mereka sedang bersenda gurau pikir Linara seperti itu.

“Banyak meja kotor yang harus dibersihkan!” titah Linara kepada Rayhan sambil berlalu mendekati mesin kasir. Sedikit aura kekesalan terpancar dari sorot mata Linara, Rayhan mengerti akan sikap Linara yang awalnya sehangat mentari kini berubah menjadi sedingin kutub. Rayhan membalas dengan anggukan paham dan sedikit tersenyum gemas melihat perubahan Mood Linara, sungguh menyebalkan juga ya.

“Masih terlihat indah, meski terasa kecut.” Ungkap batin Rayhan dengan curi pandangnya itu. Sungguh sikap yang menggelikan.

Pukul sudah menunjukan setengah sepuluh, waktu Linara berangkat ke kampus. Dia berjalan mendekati Bar upaya untuk berpamitan pada sang Kakek, disana terlihat Kakek sedang berbincang dengan Avraam membuat Linara sedikit mencuatkan pertanyaan. Apakah yang dibicarakan Avraam dan Kakek Aathif? Biasanya Avraam langsung pulang meskipun suka berbincang dengan Kakeknya tapi tidak selama ini, tidak biasanya. Ada apa?

Baru saja Linara mau memulai bicaranya sayang sekali semua ditukas oleh Aathif, “Nah ... ini dia orang yang membuat Kopi mu tadi,” ucap Aathif sedikit lantang membuat Linara sedikit tersontak kaget dalam sebuah pengakuan.

“A-ada apa, Kek?” tanya Linara sedikit terbata, apalagi saat Avraam menatap Linara dengan senyum sarkastik membuat Linara merinding.

“Jadi gini, cucuku. Avraam menanyakan siapa pembuat Americanonya tadi, karena dia merasa berbeda dalam rasanya.” Jelas Aathif membuat Linara sedikit terkejut apakah ada yang salah sehingga langsung menegut tanya pada Kakeknya itu? 

“Apakah ada yang salah dalam rasanya, Tuan? Maaf apabila tidak enak, sungguh saya meminta maaf..,” Linara langsung membungkukan gesture tubuhnya itu, sebagai permintaan maaf. Namun, hal itu membuat Aathif tertawa melihat sikap cucunya yang selalu merasa tidak enakan.

“Haha ... cucuku itu begitu manis, maksud Avraam bukan soal rasa yang tidak enak, melainkan cita rasa sebaliknya. Enak sekali, membuat sensasi lebih berbeda dari sebelumnya.” Jelas Aathif membuat Linara tersipu malu karena rasa gegabahnya itu.

“Paman, anda memiliki cucu yang sangat baik dan berbakat!” Puji Avraam terhadap Linara, jelas membuat rona pipi terlihat merah muda.

“Terima kasih atas pujiannya, Tuan.” 

Linara senang sekali bisa mengukir kebahagiannya meski sederhana, kemudian Linara berpamitan untuk berangkat kuliah. Seperti biasa Kakek Aathif selalu medoakan cucunya yang terbaik.

“Saya akan antarkan cucu anda sebagai bentuk Terima kasih saya,” tukas Avraam membuat Linara beehenti melangkah.

“Tidak perlu, Tuan. Terima kasih sebelumnya, itu sangat berlebih...,” belum sempat Linara menyelesaikan katanya, Avraam mulai menukas.

“Dalam hidup saya tidak menerima penolakan.” Tegasnya membuat Linara tak mampu berucap, Kakek hanya tertawa gurau dan menyetujui cucu nya berangkat bersama.

Sudahlah ikuti saja alurnya...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status