Hari ini hari pertama ia masuk kerja. Tapi setelah jam pulang kerja, Aneth tidak tahu mengapa dia harus ikut ke ruangan ini. Ruangan yang pernah didatanginya satu kali sebelum bekerja di perusahaan ini. Ruangan dengan pintu besar berwarna coklat gelap yang elegan.
Aneth hanya bisa menatap dua makhluk yang wajahnya hampir serupa itu. Seorang pria berparas lebih ceria dan jenaka. Dan seorang lagi pembawaannya lebih serius namun memesona.
Kedua orang itu sedang berdiskusi, membicarakan tempat yang akan mereka tuju. Tidak, bukan berdiskusi. Lebih tepatnya Valdi yang lebih sibuk dan antusias. Tidak berubah, dia selalu punya caranya sendiri untuk bersenang-senang. Setidaknya begitu pikir Aneth.
“Apa kita ke Cayden Bar buat welcome party Aneth?”
Jadi, saat Aneth keluar lift dan berjalan di lobby hendak pulang, ia bertemu dengan Valdi. Susah payah ia menghindar agar lelaki itu tidak melihat dan tidak menyapanya. Wajah Valdi keburu sumringah sambil memanggilnya.
“Neth,”
Aneth pura-pura tidak melihatnya dan terus berjalan. Tapi bukannya berhenti, laki-laki itu malah berbalik mengejarnya.
“Neth, hari ini baru mulai kerja?” tanyanya dengan seulas senyum di wajah.
Bukannya menjawab, Aneth menempelkan jari telunjuknya di bibir sambil mengernyit. Menggiring laki-laki itu ke pojok yang sepi. Aneth tahu Valdi tidak salah. Dia memang orang yang bersahabat dan sangat ramah pada siapa pun sejak dulu. Itulah sebabnya Aneth pernah menaruh perasaan kepadanya.
“Val, jangan ajak gue ngomong di kantor.”
“Kenapa?”
“Nggak enak tau sama pegawai lain. Lo kan sepupunya Bos gue, nanti malah mengundang gosip.”
“Ahh... sorry, sorry, gue nggak kepikiran. Tapi kalo nggak ada yang liat, gue boleh nyapa dong?”
Aneth menghela napas, lalu mengangguk.
“Ini kan hari pertama lo, kita juga udah lama nggak ketemu. Ngobrol-ngobrol dulu yuk!”
“Eh, tapi....”
“Lo lagi buru-buru?”
“Ng... nggak sih,”
“Ayo, ikut gue,” ajak Valdi.
Aneth pun malah dengan patuh mengikutinya ke ruangan Yuka. Duduk di salah satu sofa yang empuk, mendengarkan obrolan kedua pria itu. Katanya sih, Valdi mau mengajak Aneth dan Yuka makan malam bersama dalam rangka menyambut hari pertama Aneth bekerja di sana. Sebenarnya perasaan canggung masih tersisa di antaranya dan Bosnya.
“Sebentar gue tunggu Yuri dulu, dia mau mampir,” ujar Bosnya.
Mendengar nama wanita disebut, Aneth jadi bertanya-tanya, apa Yuri itu wanita yang bermesraan dengan Yuka waktu itu?
“Oh, tumben sore-sore begini?”
“IPad-nya Aylin ketinggalan.”
Tidak berapa lama kemudian, pintu ruangan terbuka tanpa diketuk. Dari balik pintu menghambur anak perempuan kecil dengan pipi chubby dan mata bulatnya, mungkin usianya sekitar empat tahun atau lima tahun. Disusul wanita cantik semampai berpakaian modis dengan rambut indah bergelombang hasil tatanan salon, menenteng tas branded berjalan dengan anggun. Seperti model, pikir Aneth. Lebih cantik dari wanita yang bersama Yuka di pesta pertunangan Valdi. Jelas wanita ini orang yang berbeda dari waktu itu.
“Daddy!” seru anak perempuan itu.
Aneth yang menyaksikan kontan menganga.
‘Daddy katanya?
Jadi Pak Yuka sudah punya anak?
Berarti dia selingkuh waktu itu dan Aneth melindungi pria yang berselingkuh?’
Aneth refleks meringis ke arah Yuka yang dihinggapi dan dipeluk erat oleh gadis kecil itu. Yuka yang menyadari tatapan Aneth balas menoleh.
“Bukan, bukan,” katanya buru-buru mengibaskan sebelah tangan. “Dia keponakan saya.” Seperti bisa membaca pikiran Aneth.
Sementara dua orang lainnya yang ada di sana hanya mendengarkan tidak mengerti, menatap heran mereka bergantian.
‘Mereka lagi telepati?’
Aneth tertegun sesaat lalu merespons, “Ahh...” Tanda paham.
“Oh, apa kalian lagi meeting? Gue ganggukah?” tanya wanita yang sepertinya bernama Yuri.
“Nggak, nggak. Kami cuma mau pergi makan, ini temen gue dan Ivy yang baru kerja di sini,” jelas Valdi. “Lo mau ikut?”
“Oh, temen kalian? Hai...” Yuri beralih ke Aneth, tersenyum manis menghampirinya dan mengulurkan tangan.
Aneth membalasnya sambil tersenyum dan mengangguk sopan.
“Aku Yurika, kakaknya dia.” Menunjuk Yuka dengan malas.
“Saya Ranetha.”
Sebelumnya Yurika adalah Direktur dari perusahaan yang dipegang Yuka sekarang. Namun karena suaminya Warga Negara Asing, ia harus ikut suaminya bulak-balik ke negaranya.
Dengan kehadiran Aylin, anak perempuannya yang manis, Yurika ingin tetap bisa menjalankan peranannya menjadi seorang istri dan Ibu. Tidak mungkin dia harus hidup terpisah dengan suaminya berlama-lama di saat Aylin masih sangat kecil. Belum lagi kalau mengurus perusahaan, ia tidak bisa mengurus Aylin juga.
Saat itu dia berpikir, malang sekali jika anak sekecil itu tidak bisa merasakan kasih sayang kedua orang tua. Oleh sebab itu Yurika harus mengambil pilihan demi keluarga kecilnya.
Lagi pula cepat atau lambat Ayah mereka juga pasti akan membuat Yuka terjun ke PT Akina Herbalindo. Jadi tidak ada salahnya Yuka lebih cepat menjabat. Meski seharusnya memang adik nakal itu yang awalnya ditetapkan sebagai Direktur, tapi malah menolak.
“Nggak seneng banget jadi kakak gue?” protes Yuka.
Yurika tertawa. “Kalian pergi bertiga aja? Ivy mana?”
“Lagi sesi foto buat katalog,” jawab Valdi.
Yuri manggut-manggut sambil berjalan ke meja Yuka, mengambil iPad milik anaknya yang tertinggal. Ia lalu merentangkan sebelah tangan mengisyaratkan pada gadis kecil itu untuk mengikutinya.
“Oke, gue sama Aylin balik aja. Have fun ya kalian. Aylin, say good bye.” Yurika kemudian menoleh pada Aneth. “Raneth, hati-hati pergi sama dua cowok itu. Yang satu kalo mabuk nyusahin, yang satu lagi tukang flirting,”
“Bawel.”
“Siapa yang nyusahin?!”
Yuka dan Valdi protes berbarengan.
***
Mungkin seharusnya Aneth mempertimbangkan apa kata kakak perempuan Bosnya tadi. Atau mungkin seharusnya, ia tidak menerima ajakan Valdi sama sekali. Ketika sampai di sana, sedikitnya sudah menduga kalau mereka tidak akan langsung pulang setelah makan. Aneth juga sudah menduga salah satu dari mereka tidak akan pulang dalam keadaan sadar.
Lihat saja meja mereka, sudah berapa tower bir yang dihabiskan? Gelas-gelas berserakkan dan bercampur entah millik siapa sudah tidak bisa dikenali. Valdi dan Yuka yang bertemu kenalan mereka di sana mengobrol sambil meneguk bir seperti meneguk air mineral.
Aneth saja sudah mulai pusing disodori beberapa gelas. Ditambah lagi semakin banyak wanita tidak dikenalnya berkerumun di meja mereka. Wangi parfum mahal bercampur di sana, membuatnya mual.
Memang sepertinya beberapa adalah teman wanita mereka. Tapi beberapa yang tidak dikenal Valdi dan sepupunya malah menunjukkan ketertarikannya pada dua lelaki ini. Apa mereka tidak tahu kalau Valdi sudah bertunangan dan Yuka sudah punya kekasih?
Seorang wanita duduk menempel dengan Valdi. Valdi juga tampaknya mulai mabuk. Aneth jadi gerah menyaksikannya. Kalau dia bilang ke Ivy, nanti mereka malah bertengkar dan kesannya Aneth seperti tukang mengadu. Tiba-tiba ia beranjak dari duduknya dan dengan sengaja menginjak kaki Valdi kuat-kuat.
“Aww!” pekik Valdi kesakitan.
“Sorry, gue agak pusing,” kata Aneth pura-pura sambil berjalan ke luar.
Ia menghela napas panjang saat sudah keluar ruangan. Rasanya sesak sekali di dalam. Alkohol saja sudah membuatnya gerah, ditambah keramaian di meja mereka. Dia duduk di salah satu tempat kosong di bagian outdoor restoran, lalu memejamkan mata sesaat.
“Capek ya?” Suara seseorang mengagetkannya.
Aneth membuka mata dan melihat sepupu Valdi duduk di hadapannya.
‘Tampan.’
Ah, dia jadi salah fokus kan. Untung saja dia tidak keceplosan. Ia menggeleng pelan, “Rasanya pengab aja di dalam, saya kebanyakan minum juga jadi agak mual,”
“Sorry ya, padahal katanya acara buat kamu tapi Valdi malah pesta sendiri. Kamu nggak nyaman ya di tempat begini?” Yuka bicara lebih kasual dari saat pertama mereka bertemu.
‘Bukan karena tempatnya, tapi karena harem kalian hei!’
(*Harem : tempat berkumpulnya wanita mengelilingi tokoh utama laki-laki)
Inginnya Aneth bilang begitu, tapi kan nggak mungkin ya.
“Nggak kok, sudah terbiasa dengan Ivy dulu. Mereka mirip,”
Yuka mengangguk-angguk, lalu teringat percakapannya dengan Valdi waktu itu. Masih bertanya-tanya apa yang istimewa darinya hingga Valdi sempat tertarik padanya.
“Tapi kok gue nggak tau ya, lo pernah jadian sama Ranetha?” selidiknya waktu itu.
“Siapa yang bilang jadian? Kan gue bilang dekat, gue tertarik sama dia,”
“Terus lo PHP doang?” (Pemberi Harapan Palsu)
“Nggak. Kayaknya gue ditolak, nggak lama dia jaga jarak dari gue,” Valdi menjawab sambil menghela napas.
‘Dia menolak Valdi? Seleranya setinggi apa memangnya?’
Diam-diam ia memerhatikan penampilan Aneth. Wajahnya tirus dengan bola mata hitam legam yang mengilat di bawah lampu. Alis dan bulu mata lentik tampak alami tanpa sulaman. Hidungnya mungil dan bibir ranumnya terlihat tanpa suntikan filler. Kemeja lengan panjang dan jins menjadi pilihan gayanya hari ini.
Tidak ada yang salah dari penampilannya. Tapi juga tidak ada yang spesial. Kecuali saat dia berdandan di pesta pertunangan Valdi dan Ivy, yah... harus Yuka akui memang lumayan.
“Apa Anda masih curiga sama saya?” tanya Aneth yang merasa dipandangi. “Apa Anda lagi meneliti saya?”
Yuka menyeringai, “Saya lagi mikir, mungkin kamu bisa dipercaya.”
“Kok mungkin? Buktinya sudah lewat dari seminggu, tapi nggak ada berita aneh tentang Anda kan?”
Ya, sesuai perkataannya.
Mungkin apa yang Valdi bilang juga benar. Gadis ini bisa dipercaya.
“Iya, percaya kok.” Yuka melunak. “Masuk yuk, kita ajak Valdi pulang aja. Besok kan masih kerja juga,”
Beranjak dari duduknya, Aneth mengikuti Yuka. Saat kembali masuk ke dalam restoran melihat pemandangan di meja mereka, Aneth hanya bisa geleng-geleng kepala. Dua wanita semakin menempel pada Valdi sambil tertawa-tawa. Fix mereka semua yang di sana sudah mabuk berat. Lalu setelah itu, kejadian tidak terduga terjadi. Firasat buruk yang dikhawatirkan Aneth sejak tadi.
“Val, ayo pulang.”
“Oh, Aneth. Lo cantik Neth,”
Aneth mengerutkan dahi mendengarnya, meskipun dalam hati ia juga merasa sedikit berdebar tiba-tiba dipuji seperti itu tapi di saat yang bersamaan juga terasa geli. Tapi dia juga tidak bisa terpana karena yang bilang ‘kan, orang yang sedang mabuk.
Dengan gerakan cepat tiba-tiba Valdi menarik Aneth. Ia kehilangan keseimbangannya. Sampai saat masuk tadi, Aneth tidak menduga apa-apa. Kejadiannya begitu cepat, hingga saat pikirannya tersadar lagi, tiba-tiba dia sudah hampir menimpa Valdi yang ada di hadapannya. Sebelah pergelangan tangannya masih dipegang Valdi erat-erat. Sebelahnya lagi bertumpu pada dada bidang laki-laki itu. Ia terbelalak saat menyadari posisi mereka. Sedikit lagi wajahnya hampir menyentuh wajah Valdi.
Kepala Aneth masih terasa sedikit pusing sewaktu tiba di kantor pagi ini. Ia benar-benar tidak percaya dengan kejadian semalam. Mengingatnya saja membuat detak jantungnya marathon nyaris melompat. Seharusnya ia ekstra hati-hati saat kakak perempuan Bosnya memperingatkannya. Bisa-bisanya Valdi menariknya dan hampir saja...Arghhh!Ia tidak ingin mengingatnya. Ingin marah, tapi anak itu sedang mabuk. Ia sedang memijat pelipisnya saat Yuka masuk ke lift yang sama dengannya.“Eh, Neth.”“Pagi Pak,” sapa Aneth sopan.Hari ini pun sepupu temannya sekaligus Bosnya itu tampak tampan dan cerah. Padahal semalam dia juga habis minum banyak. Tapi pagi ini tetap terlihat segar. Orang ganteng mah beda, ya. Gaya berpakaiannya selalu terlihat rapi dan modis, selera para wanita seperti di drama-drama yang sering ditontonnya atau komik-komik yang sering dibacanya.Ia jadi teringat, kalau saja kemarin bu
Laki-laki itu terus memerhatikan orang yang berlalu lalang keluar saat jam pulang kantor. Tapi perempuan yang dicarinya sama sekali tidak tampak. Ia menghela napas. Sepuluh menit, ia paling tidak suka menunggu dan membuang-buang waktu. Akhirnya ia putuskan untuk naik ke kantor Direksi.“Eh, Aneth lembur apa gimana sih?” tanya Valdi tanpa basa-basi ke kakak sepupunya.“Mana gue tahu, gue nggak urusin satu persatu karyawan lah.”“Ya kali aja lo tau. ““Telepon aja sih.”“Masalahnya gue nggak punya nomor Hp-nya.”Yuka yang sedang membaca berkasnya berhenti sejenak dan mengernyit. “Aneh, padahal kalian pergi bareng melulu. Lagian lo ngapain sih, udah mau nikah masih pergi berduaan sama cewek lain. Mantan pula,”“Bukan mantan, cuma pernah dekat,” koreksi Valdi. “Gue bosan aja, dia bisa gue ajak makan di tempat yang gue pingin. Lo aja nggak mau gue aja
Setelah bicara soal masa lalu mereka, Valdi menyuruh Aneth meminum obatnya. Karena Valdi tidak begitu tahu gejala yang dialami Aneth, ia membelikan beragam obat-obatan. Biar Aneth yang memilih, pikirnya.Mudah baginya untuk menginterogasi orang yang mabuk dan orang yang sedang sakit. Keduanya tidak begitu berbeda. Mereka akan mengalami masa-masa di mana emosi mereka sulit dikontrol dan akan bicara begitu saja tentang apa yang mereka pikirkan.Di saat Aneth merasa tambah lemas dan mengantuk, Valdi terus melayangkan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya ingin dia dengar langsung dari Aneth.“Apa waktu itu lo memang nggak ada rasa sama sekali ke gue?” tanyanya sambil membantu Aneth berbaring.“Bukan begitu. Mana mungkin gue bisa merespon sementara lo belum lama putus dari teman gue.” Aneth mengalihkan pandangannya dengan sebelah tangan menutupi wajahnya. Ia tidak ingin Valdi membaca ekspresinya saat ini.“Jadi lo juga suk
Yuka menatap wanita di hadapannya yang sedang memakaikan dasi untuknya. Sungguh, ia masih penasaran dan mencari tahu sampai saat ini. Bagian mana yang menarik darinya? Tidak terlalu cantik, bertubuh seksi pun sepertinya tidak. Lihat pakaian yang sehari-hari dikenakannya, blus lengan panjang, kemeja lengan panjang, sweater, kaus dan outwear, blazer, semuanya cenderung tertutup dan tidak begitu feminim.Mungkin karena ruang kerjanya dingin.Tunggu, tapi gaunnya saat acara waktu itu juga berlengan panjang meskipun potongan kerahnya sedikit rendah. Entahlah, mungkin itu seleranya. Sepertinya saat ke kantor juga wanita itu lebih sering memakai boots dan kets. Ya pokoknya bukan bergaya feminim. Tapi kenapa sepupunya bisa sempat tertarik padanya?“Eh? Ada apa Pak?” tanya wanita itu menatapnya bingung.Ah, kalau diperhatikan seperti itu jelas saja dia sadar. Siapa suruh terang-terangan menatap orang yang ada dihadapannya. De
“Wahh, Aneth udah sembuh.”“Iya nih, mukanya kelihatan lebih cerah. Kayaknya lagi bahagia juga ya.”“Apa sih kalian.” Aneth tertawa membalas kata-kata teman seruangannya.“Istirahat seharian bikin cepat sembuh kan? Apa gue bilang,” sergah Alex sambil menjentikkan jarinya.“Eh, eh, besok mau ikut nggak Neth?” Tanya Ivanka mendekat ke meja Aneth.“Ngapain tuh?”“Biasanya kantor kita adain makan-makan sebelum libur Natal dan Tahun Baru. Rencananya sih besok.”“Oh? Mendadak ya?”“Nggak sih, cuma gue lupa bilang ke lo,” sahut Alex.“Kapan itu? Pulang kantor?”Ivanka yang ada di sebelahnya mengangguk. “Biasanya para cewek pasti dandan sebelum pergi, karena itu tuh kesempatan buat kenalan sama cowok dari divisi lain. Lo jomblo kan Neth?”“Eh ingat, lo udah punya pacar!” Al
Dari mejanya, ia dapat melihat seseorang yang sepertinya bukan dari divisi yang sama menghampiri Aneth. Tadinya dia berniat pulang lebih awal, tapi beberapa orang mengajaknya berdiskusi tentang penjualan akhir tahun. Karena ia memiliki tangung jawab dan peranan besar pada perusahaan ini, tentu saja ia tidak mungkin mengabaikannya. Tapi kemudian matanya tertuju pada tim kreatif dan secara tidak sengaja melihat pemandangan itu. Di meja sana, jajaran botol dan kaleng-kaleng bir juga tidak kalah dengan meja lain. Penampilan mereka sudah cukup kusut. Karena hal itu sudah biasa terjadi, ia tidak ambil pusing selama tidak ada yang menimbulkan kekacauan. Ia lalu mengalihkan pandangan kembali mengobrol. Tapi tak lama kemudian dari sudut matanya ia melihat Aneth beranjak dari kursinya dan sepetinya berjalan ke arah toilet. Ia lalu berpamitan sebentar dan mengikuti wanita itu. “Astaga!” pekik Aneth terkejut ketika keluar dari toilet wanita dan mendongakan wajahnya. “Kam
Ia hendak berteriak melihat seluruh kancing seragamnya yang telah terbuka dan menampakan pakaian dalamnya. Roknya tengah tersingkap dengan tangan yang terselip dibaliknya. Tetapi sebuah tangan yang membungkamnya membuat suaranya tak keluar. Dia berusaha berontak sekuat tenaga yang tubuh kecil itu bisa. Percuma. Tenaganya kalah besar dengan pria yang membungkamnya. Tak kuasa air mata membanjiri pipinya ketika Pria itu menimpanya. Di saat yang bersamaan sepasang matanya membuka kaget. Keringat membanjiri kening dan pelipisnya. Napasnya memburu seperti habis berlari jarak jauh. Mimpi. Mimpi buruk itu lagi. Tangannya bergetar hebat, sekujur tubuhnya ngilu. Jijik, takut, marah, putus asa. Semua emosi itu bercampur dengan sangat mengerikan. Ia meraba meja nakas dan berusaha membuka lacinya. Jarinya mencari dan meraba tanpa menoleh. Matanya penuh kilat keyakinan saat benda yang ia cari berhasil digenggamnya. Ia menarik benda
Setelah diperiksa, ada luka yang harus dijahit. Yuka terkejut karena ternyata luka Aneth sebegitu parahnya. Pantas saja darahnya tidak berhenti mengalir tadi. Dokter menanyakan penyebab luka Aneth, ia hanya menjawab kalau kakinya robek sewaktu terpeleset. Tapi tentu saja dokter curiga karena luka itu tidak seperti luka gores, melainkan sayatan. Dokter itu terus saja menanyainya.Aneth menghela napas akhirnya berkata, “Saya sudah berkonsultasi kemarin dan diberi obat.”Ia menyebutkan salah satu resep obat antidepresan yang pernah diterimanya dulu. Lalu akhirnya dokter itu percaya dan tidak berkata apa-apa lagi.Yuka masuk ke ruangannya menggendong Aylin setelah menyelesaikan administrasi. Untung saja ia tidak mengijinkan wanita itu pulang tadi. Kalau tidak Aneth bisa kehabisan darah di jalan.Dalam perjalanan menuju ke rumah sakit saja ia sendiri ngeri melihat pendarahan Aneth. Kata dokter lukanya juga cukup dalam. Ia menatap Aneth sekilas. Waj