Ceklek! Keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos oblong dan celanana kolor, Sena berjalan menuju tempat peraduan. Adinda terus mengekori pergerakan si loser melalui tangkapan netranya. Ranjang berderit, menandakan bahwa terdapat sebuah pergerakan. Si loser naik ke atas ranjang, membuat Adinda memicingkan matanya. "Heh, siapa yang ijinin lo naik ke atas ranjang?" tanya Adinda. "Gak ada," balas Sena cuek. Dibaringkannya tubuh yang terasa lelah di sebelah si kutu kupret. Adinda tidak terima si loser tidur di sampingnya. Enak saja, bisa-bisa si loser itu akan mengambil kesempatan dalam kesempitan saat Adinda terlelap nanti. Didorongnya tubuh Sena sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak bergeming. Adinda dibuat kesal sejadi jadinya. Sementara Sena cuek saja. "Minggir ih, gue nggak sudi tidur seranjang sama loser," ucap Adinda. "Hmm..." balas Sena menggumam. Matanya terpejam. "Awas ih..." Adinda masih bersikeras mendorong tubuh besar itu agar beranjak dari atas ranjang. Dengan
Sang surya enggan menampakkan wajahnya. Awan hitam tampak mendominasi sebagian. Rupanya semalam suhu udara teramat dingin karena hendak turun hujan. Dua anak manusia masih bergelung di bawah selimut, di atap yang sama, tapi bukan pada satu peraduan yang sama. Sena yang semalam kesakitan akhirnya bisa kembali terlelap di atas ranjang. Sementara Adinda dengan rasa was-wasnya akhirnya bisa memejamkan mata di atas sofa. Tok... Tok... Tok... "Permisi, Non Dinda, Den Sena... Tuan dan Nyonya sudah menunggu di bawah untuk sarapan," ucap Bi Inah dari balik pintu.Baik Sena maupun Adinda, keduanya sama sekali tidak terusik oleh suara Bi Inah. Mereka berdua tampak tertidur pulas. "Dinda sama Sena mana Bi, kok nggak ikut turun?" tanya Risma saat melihat Bi Inah turun dari lantai dua seorang diri. "Maaf, Tuan, Nyonya. Non Dinda sama Den Sena belum bangun. Saya panggil berkali-kali nggak ada yang menyahut. Kalau begitu saya perimisi ke belakang dulu.""Udahlah, Ma, biarin aja. Namanya juga peng
"Nah itu mereka," seru Arga."Kalian tersesat?" tanya Risma khawatir."Iya, Ma," jawab Adinda berkilah. "Yaudah, ayo masuk!" Risma mengajak Sena dan Adinda masuk ke dalam rumah."Sebelah sini ruang tamu. Nah, kalau yang ini ruang keluarga, kalau yang atas itu kamar kalian berdua," tunjuk Risma. "Gimana rumahnya, suka?" tanya Opa Gunandar.Adinda dan Sena hanya menganggukkan kepala lemah."Mulai sekarang kalian berdua akan tinggal di rumah ini. Opa berharap kalian bisa belajar hidup mandiri.""Dinda, mulai sekarang Papa nggak akan kasih kamu uang bulanan lagi. Kamu sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Sena," ucap Salman. "Ya nggak bisa gitu dong, Pa. Ini namanya nggak adil. Dinda kan udah nurutin kemauan Papa buat nikah sama Sena.""Sayang, Papa melakukan ini semua juga buat kebaikan kamu, Nak. Percayalah!" ucap Risma."Halah... bulshit!" jawab Adinda ngegas.Berlalu meninggalkan mereka semua, Adinda masuk ke dalam kamar, lalu mengunci pintu dari dalam. "Dinda..." ucap Risma semb
Kedua keluarga besar itu telah meninggalkan kediaman sepasang pengantin baru. Kini, tersisalah Sena dan Adinda. Raut wajah keduanya tampak kusut. Bagaimana tidak, kehidupan keduanya serasa jungkir balik. Mendadak menikah, mendadak hidup serba pas-pasan juga.Melangkahkan kaki mendekati Adinda, Sena perlahan mengikis jarak diantara keduanya. Menatap gadis itu dalam, lalu merengkuh pinggangnya. Sekian detik keduanya saling bersitatap, membuat Adinda kepayahan. Adinda memalingkan wajahnya. Adinda terlalu gugup. Dadanya bergemuruh, tubuhnya meremang. Tidak pernah sekalipun Adinda diperlakukan begini dengan seorang pria.Membingkai wajah Adinda, Sena mengulum senyum manisnya. Siapa saja pasti akan terpana melihat betapa tampannya makhluk satu ini. Termasuk Adinda. Adinda begitu larut dalam temu pandang itu. Hidung keduanya saling bertabrakan. Selangkah lagi Sena dapat menjemput rezeki. Merasakan betapa manisnya bibir merah muda yang halal disentuhnya. Adinda terpaku seketika. Gadis itu s
Sena pikir, perlu adanya sebuah perjanjian pernikahan. Mengingat pernikahan ini hanya didasari sebuah keterpaksaan.Kini, keduanya tengah berkutat membubuhkan pena di atas selembar kertas.Sena Adi Pratama sebagai pihak pertama dan Adinda Almira Wijaya sebagai pihak kedua. Isi surat perjanjian yang dibuat Sena:[1. Pihak pertama dan pihak kedua bebas melakukan aktivitas apapun, seperti saat sebelum menikah. 2. Pihak pertama dan pihak kedua bebas menjalin hubungan dengan siapapun, asalkan tidak sampai ketahuan oleh pihak keluarga dan dapat menjaga rahasianya dengan baik. 3. Pihak pertama tidak memiliki kewajiban memberikan nafkah apapun, mengingat pernikahan ini hanyalah pernikahan sandiwara.4. Dilarang mencampuri urusan masing-masing.]Diberikannya surat perjanjian itu pada Adinda. "Nah, baca!"Netra Adinda menelusuri deretan abjad. Mengerutkan keningnya. Adinda tampak berpikir dengan apa yang ditulis si loser. "Nggak bisa gitu dong, masa gue nggak dikasih uang bulanan," protes A
"Laper..." rengek Adinda manja. "Bentar. Ada yang harus gue pastiin," ucap Sena. "Apa?""Kenapa elo nggak marah?" tanya Sena. "Marah soal apa?" Adinda balik bertanya. "Si brengsek itu udah cium pipi elo, Dinda..." ucap Sena geram. "Tapi, gue nggak berasa apa-apa, Sena."Sena melirik sinis ke arah Adinda. "Iyalah, orang elo pingsan.""Jangan-jangan om itu pacar elo? Makannya waktu lo tahu dicium biasa aja," tuduh Sena. "Nggak usah asal nuduh. Gue nggak punya pacar. Lagian yang lo maksud siapa sih? Bahas om-om mulu dari tadi.""Kan gue udah bilang gatau namanya, Dinda..." "Yaudah, biasa aja gausah ngegas."Adinda membuka kotak pizza. Mengambil sepotong hendak memakannya, tapi Sena menghalau pergerakannya. "Nggak usah dimakan udah jatuh. Jorok," cibir Sena. "Jatuhnya kan masih pake bungkus. Nggak bakalan kotor juga ini pizzanya. Udah ah awas, gue laper pengen makan."Sena bergeming. Enggan melepaskan cekalannya. "Jawab dulu, itu pacar elo atau bukan?"Adinda menelisik netra Sena.
Hujan membasahi bumi. Tanah yang gersang kembali lembab. Bunga yang sempat layu kembali bersemi. Seorang wanita memandang nanar sekitarnya. Guratan penuh kesedihan nampak di wajahnya. Netranya tidak berhenti menitikkan air mata. Ya, dia tengah terisak di bawah guyuran air hujan.Memukuli dadanya sendiri yang terasa amat menyesakkan. Napas tersengal-sengal dan tercekat di tenggorokan. Tidak, dia tidak sanggup menerima kenyataan pahit ini. Dicampakkan saat tengah berbadan dua. Sebuah penyesalan menyelimuti perasaannya saat ini. Ah, andai saja malam itu tidak termakan bujuk rayu setan, pastilah tidak akan mengalami kesakitan yang sebegininya. Kotor. Itulah yang dirasakannya saat ini. Menggosok tubuh di bawah guyuran air hujan. Berharap air dari langit dapat meluruhkan seluruh dosa-dosanya. Hawa dingin kian terasa. Perpaduan hembusan angin dan guyuran air hujan membuat tubuhnya menggigil. Netranya mulai berkabut. Seluruh persendiannya terasa melemas. Hampir saja wanita itu limbung. Be
Adinda dan Sena berangkat ke kampus menggunakan motor masing-masing. Mereka berdua masih menyembunyikan status pernikahan ini. Mereka berdua sepakat akan mencari Wildan dan meminta pertanggungjawaban dari pria itu. Mau tidak mau Wildan harus bertanggung jawab dan menikahi Andina. Tidak mungkin kan Adinda dan Sena akan membiarkan Andina menanggung perkara ini semua seorang diri. "Gue duluan yang cari si Wildan. Kalau emang gak ketemu baru giliran lo yang cari," ucap Sena. "Oke. Gue duluan."Menekan tuas gas, Andina melajukan motornya memasuki kawasan kampus. Sementara Sena, masih berdiam diri di atas motor. Menunggu berjaga jarak dengan Adinda. Sena tidak mau ada anak kampus yang mengetahui hubungannya dengan Adinda.Memarkirkan motor di sisi selatan gedung Fakultas Ekonomi, Sena memicingkan mata. Nampak Wildan berjalan bergandengan tangan dengan seorang gadis berambut panjang. Mengepalkan tangan hingga buku-buku jari memutih, Sena tergopoh menghampiri Wildan. Dengan meredam segala