Share

Pernikahan

Author: Ranti Kurnia
last update Last Updated: 2022-03-24 13:58:29

Tiga hari sudah kedua insan yang hendak melakukan prosesi sakral dipingit. Selama tiga hari itu keduanya hanya berada di rumah. Sebenarnya hal ini dilakukan kedua keluarga untuk menjaga anak cucu mereka agar tidak melarikan diri sebelum hari pernikahan. 

Kini, keduanya dipertemukan kembali dalam acara sakral. Sebuah pernikahan yang sama sekali tidak mereka sangka. Pernikahan konyol hanya untuk menjalankan wasiat Kakek Wijaya. 

Gadis mungil itu kini menjelma layaknya boneka hidup. Wajah imutnya dipulas begitu apik oleh MUA paling terkenal di kota ini, membuat siapa saja akan mengangumi maha karya sang perias. Tidak sia-sia Opa Gunandar mengirimkan perias handal untuk memulas wajah calon menantu tomboynya ini. 

Penampilan Adinda kali ini terlihat anggun dengan kebaya modern berwarna putih yang melekat sempurna di tubuhnya.

"Wah... cantiknya pengantinku satu ini," puji si perias tidak henti-hentinya memandangi hasil karyanya.

"Pantesan aja dipilih sama Mas Tampan (Sena), orang kamunya aja cantik begini, Mba," celetuk perias lainnya.

Adinda mengulum senyum masam. 'Dipilih dari hongkong... Lihat muka gue aja si loser langsung enek,' batin Adinda. 

"Mba, kalau udah selesai beresin make up-nya keluar bentar ya! Saya mau sendirian dulu di kamar buat berdoa," kilah Adinda. 

"Yaudah, kami keluar dulu ya, Mba."

Dengan tergesa-gesa, Adinda menutup pintu kamarnya. Menggulung selimut memanjang menjadi sebuah tali.

Adinda membuka pintu kaca penghubung antara balkon dengan kamarnya. Hendak melilitkan tali yang dibuatnya pada pagar pembatas balkon. 

Menggigit bibir bawahnya seraya berkacak pinggang frustasi. 

"Sialan..." gerutu Adinda. 

Dua orang bodyguard tampak sedang berjaga di depan pagar rumah. Dua orang lainnya berjaga di sisi kanan dan kiri rumahnya. 

Mencoba berpikir keras disaat semuanya terasa buntu. Adinda akhirnya memiliki jalan keluar dari masalahnya. 

"Apa boleh buat, lewat pintu belakang aja deh."

Berjalan mengendap-endap. Adinda sangka semua orang akan sibuk dengan acara ini dan tidak memperhatikannya.

Ceklek! 

"Cantik banget sih adik Kak Arga," puji Arga. 

"Yuk turun!" ajaknya. 

"Uhm... Kak... Dinda ke kamar mandi dulu ya, pengen pipis ini."

"Yaudah, buruan sana masuk."

"Di kamar mandi bawah aja, Kak," cicit Adinda. 

"Emang kamar mandi kamarmu itu kenapa?" tanya Arga. 

"Airnya mati, Kak."

"Ah, masa?" balas Arga tidak percaya.

"Beneran ih."

"Yaudah, ayo."

Arga dengan setia mengawal Adinda. Bahkan menunggu adiknya di depan kamar mandi. Semua ini Arga lakukan agar tidak kecolongan. Bisa saja kan Adinda mencari seribu satu cara untuk kabur di hari pernikahannya?

"Buruan, Dinda... Semua orang udah nunggu kamu buat ijab."

"Iya, bentar lagi. Perut Dinda mules ini," kilahnya. 

Sementara itu Adinda mencari cara untuk kabur. Mengetukkan jari ke kening seraya berpikir.

Netranya berbinar tatkala mendapati jendela kecil di atas dinding kamar mandi. Adinda akan naik ke atas sana dan loncat ke bawah. Bukankah sangat cemerlang idenya itu? 

Di luar sana Arga merasa curiga karena Adinda tidak lekas membuka pintu. 

"Dinda... keluar, Din." Arga menggedor gedor pintu kamar mandi. 

Tidak ada sahutan apapun dari Adinda. Manusia pembangkang itu tengah berusaha kabur. Naik ke atas bak kamar mandi, hendak memanjat. 

"Dinda... jangan coba-coba kabur kamu ya. Kak Arga dobrak nih."

"Sialan, bacot amat sih punya Kakak," sunggut Adinda. 

"Dinda... buruan keluar!" ucap Arga tegas. 

Sama saja. Tidak ada sahutan apapun dari Adinda. Gadis itu rupanya sedang fokus memanjat. Akhirnya... Adinda dapat meraih bingkai jendela. Tinggal selangkah lagi, kakinya naik ke atas bingkai dan loncat ke bawah. Beres deh, Adinda bisa kabur dan terbebas dari pernikahan konyol ini. 

Brak! 

Belum sempat kaki Adinda naik ke atas, Arga sudah mendobrak pintu kamar mandi. Menariknya turun dari atas bak mandi. 

"Oh... bagus ya kamu mau kabur."

"Aduh, Kak... Ampun... Jangan diseret juga kali. Sakit tau."

"Nggak ada ampun buat anak pembangkang kayak kamu."

Arga terus menyeret Adinda. Di pertengahan jalan, Risma sudah menunggu Adinda. 

"Cuma jemput adikmu ke kamar aja lama banget sih, Ga. Udah ditungguin semua orang tau," omel Risma. 

"Biasalah, Ma. Anak pembangkang ini cari masalah, pake acara mau kabur manjat jendela kamar mandi," gerutu Arga. 

"Astaga, Dinda..."

"Yaudah, ayo buruan!"

Adinda tidak bisa berbuat apapun selain meratapi nasib sialnya. Kacau sudah... Setelah ini dunianya akan benar-benar hancur. Adinda yakin seribu persen, setelah manusia loser itu menikahinya pastilah akan menyiksanya. 

Dengan wajah masam, Adinda duduk bersanding bersama Sena di depan penghulu. Detik demi detik berlalu. Sebentar lagi Adinda akan menjadi istri seorang Sena Adi Pratama. 

"Sudah siap semuanya? Apa bisa kita mulai sekarang?" tanya penghulu. 

Menghela napas berat, Sena menganggukkan kepala lemah. 

"Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan kawinkan engkau ananda Sena Adi Pratama Gunandar bin Abimanyu Pratama Gunandar dengan anak saya Adinda Almira Wijaya dengan mas kawin berupa satu unit perumahan dan seperangkat alat salat dibayar tunai," ucap Salman menghentakkan tangan Sena. 

"Saya terima nikah dan kawinnya Adinda Almira Wijaya binti Salman Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," jawab Sena.

"Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu. 

"Sah..." jawab para saksi. 

"Alhamdulillahirabbilalamin. Baarokallahu laka wa baaroka 'alaika wa jama'a bainakuma fi khoir." Penghulu membacakan doa untuk pengantin. 

"Mempelai wanita silahkan cium tangan mempelai pria sebagai wujud hormat pada suamimu!" ucap penghulu. 

Adinda dengan ragu mengamit tangan besar pria yang sekarang sudah sah menjadi suaminya. Menempelkan bibirnya pada punggung tangan Sena sekilas. Andai bukan karena menghormati keluarga dan para tamu undangan, sudah Adinda usap bibirnya. Sangat geli rasanya, meskipun hanya mencium punggung tangan pria itu. 

"Mempelai pria silahkan cium kening mempelai wanita sebagai wujud kasih sayang pada istrimu!" ucap penghulu. 

Mengikis jarak diantara keduanya, Sena membisikkan sesuatu sebelum mengecup kening harum Adinda. 

"Gausah geer, gue lakuin ini juga terpaksa," ucap Sena lirih. Namun, terdengar amat menyebalkan. 

Cup! 

Hanya sekilas dan begitu cepat Sena mengecup kening harum itu. Tidak ingin berlama-lama juga karena Sena merasa terpaksa melakukannya. 

Acara selanjutnya sungkeman. Sepasang pengantin yang tidak tampak bahagia itu meminta doa restu pada sesepuh dan orangtua. Yang sialnya hanyalah bualan semata. Jelas... Mana mau Adinda dan Sena melakukan pernikahan konyol ini dengan kesungguhan layaknya dua insan saling mencintai yang siap membina bahtera rumah tangga.

Terlepas dari itu, kedua keluarga menitikkan air mata haru melepaskan Adinda dan Sena untuk membuka lembaran baru sebagai suami dan istri. 

Acara resepsi digelar dengan begitu mewah. Baik Salman, Abimanyu, maupun Opa Gunandar mengundang rekan bisnis mereka. Kalangan atas itu turut berbahagia atas menyatunya dua keluarga.

Adinda berdecak. Merasa kesal karena dipajang seharian. "Ckckck... Sumpah ya, hari ini jadi hari tersial buat gue."

"Emangnya gue enggak?" sahut Sena ketus. 

"Pokonya gue ogah jadi istri beneran buat elo."

"Heh, emangnya lo pikir gue mau jadi suami beneran?"

"Bagus deh kalau gitu. Anggap aja kita nikah boongan."

"Oke. Gue pegang omongan lo. Awas aja kalau sampai jatuh cinta sama gue."

Adinda tertawa sumbang. "Idih, najis..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Siti Nurbaya   Tamat

    Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi

  • Bukan Siti Nurbaya   Jadi, Ini Sebabnya?

    Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h

  • Bukan Siti Nurbaya   Adinda Kerasukan Jin Tomang?

    Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru

  • Bukan Siti Nurbaya   Adinda Yang Aneh Dan Strawberry Berbuntut Panjang

    "Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk

  • Bukan Siti Nurbaya   Sidang Skripsi

    Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe

  • Bukan Siti Nurbaya   Penuh Rasa Syukur

    Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status