Tiga hari sudah kedua insan yang hendak melakukan prosesi sakral dipingit. Selama tiga hari itu keduanya hanya berada di rumah. Sebenarnya hal ini dilakukan kedua keluarga untuk menjaga anak cucu mereka agar tidak melarikan diri sebelum hari pernikahan.
Kini, keduanya dipertemukan kembali dalam acara sakral. Sebuah pernikahan yang sama sekali tidak mereka sangka. Pernikahan konyol hanya untuk menjalankan wasiat Kakek Wijaya. Gadis mungil itu kini menjelma layaknya boneka hidup. Wajah imutnya dipulas begitu apik oleh MUA paling terkenal di kota ini, membuat siapa saja akan mengangumi maha karya sang perias. Tidak sia-sia Opa Gunandar mengirimkan perias handal untuk memulas wajah calon menantu tomboynya ini. Penampilan Adinda kali ini terlihat anggun dengan kebaya modern berwarna putih yang melekat sempurna di tubuhnya."Wah... cantiknya pengantinku satu ini," puji si perias tidak henti-hentinya memandangi hasil karyanya."Pantesan aja dipilih sama Mas Tampan (Sena), orang kamunya aja cantik begini, Mba," celetuk perias lainnya.Adinda mengulum senyum masam. 'Dipilih dari hongkong... Lihat muka gue aja si loser langsung enek,' batin Adinda. "Mba, kalau udah selesai beresin make up-nya keluar bentar ya! Saya mau sendirian dulu di kamar buat berdoa," kilah Adinda. "Yaudah, kami keluar dulu ya, Mba."Dengan tergesa-gesa, Adinda menutup pintu kamarnya. Menggulung selimut memanjang menjadi sebuah tali.Adinda membuka pintu kaca penghubung antara balkon dengan kamarnya. Hendak melilitkan tali yang dibuatnya pada pagar pembatas balkon. Menggigit bibir bawahnya seraya berkacak pinggang frustasi. "Sialan..." gerutu Adinda. Dua orang bodyguard tampak sedang berjaga di depan pagar rumah. Dua orang lainnya berjaga di sisi kanan dan kiri rumahnya. Mencoba berpikir keras disaat semuanya terasa buntu. Adinda akhirnya memiliki jalan keluar dari masalahnya. "Apa boleh buat, lewat pintu belakang aja deh."Berjalan mengendap-endap. Adinda sangka semua orang akan sibuk dengan acara ini dan tidak memperhatikannya.Ceklek! "Cantik banget sih adik Kak Arga," puji Arga. "Yuk turun!" ajaknya. "Uhm... Kak... Dinda ke kamar mandi dulu ya, pengen pipis ini.""Yaudah, buruan sana masuk.""Di kamar mandi bawah aja, Kak," cicit Adinda. "Emang kamar mandi kamarmu itu kenapa?" tanya Arga. "Airnya mati, Kak.""Ah, masa?" balas Arga tidak percaya."Beneran ih.""Yaudah, ayo."Arga dengan setia mengawal Adinda. Bahkan menunggu adiknya di depan kamar mandi. Semua ini Arga lakukan agar tidak kecolongan. Bisa saja kan Adinda mencari seribu satu cara untuk kabur di hari pernikahannya?"Buruan, Dinda... Semua orang udah nunggu kamu buat ijab.""Iya, bentar lagi. Perut Dinda mules ini," kilahnya. Sementara itu Adinda mencari cara untuk kabur. Mengetukkan jari ke kening seraya berpikir.Netranya berbinar tatkala mendapati jendela kecil di atas dinding kamar mandi. Adinda akan naik ke atas sana dan loncat ke bawah. Bukankah sangat cemerlang idenya itu? Di luar sana Arga merasa curiga karena Adinda tidak lekas membuka pintu. "Dinda... keluar, Din." Arga menggedor gedor pintu kamar mandi. Tidak ada sahutan apapun dari Adinda. Manusia pembangkang itu tengah berusaha kabur. Naik ke atas bak kamar mandi, hendak memanjat. "Dinda... jangan coba-coba kabur kamu ya. Kak Arga dobrak nih.""Sialan, bacot amat sih punya Kakak," sunggut Adinda. "Dinda... buruan keluar!" ucap Arga tegas. Sama saja. Tidak ada sahutan apapun dari Adinda. Gadis itu rupanya sedang fokus memanjat. Akhirnya... Adinda dapat meraih bingkai jendela. Tinggal selangkah lagi, kakinya naik ke atas bingkai dan loncat ke bawah. Beres deh, Adinda bisa kabur dan terbebas dari pernikahan konyol ini. Brak! Belum sempat kaki Adinda naik ke atas, Arga sudah mendobrak pintu kamar mandi. Menariknya turun dari atas bak mandi. "Oh... bagus ya kamu mau kabur.""Aduh, Kak... Ampun... Jangan diseret juga kali. Sakit tau.""Nggak ada ampun buat anak pembangkang kayak kamu."Arga terus menyeret Adinda. Di pertengahan jalan, Risma sudah menunggu Adinda. "Cuma jemput adikmu ke kamar aja lama banget sih, Ga. Udah ditungguin semua orang tau," omel Risma. "Biasalah, Ma. Anak pembangkang ini cari masalah, pake acara mau kabur manjat jendela kamar mandi," gerutu Arga. "Astaga, Dinda...""Yaudah, ayo buruan!"Adinda tidak bisa berbuat apapun selain meratapi nasib sialnya. Kacau sudah... Setelah ini dunianya akan benar-benar hancur. Adinda yakin seribu persen, setelah manusia loser itu menikahinya pastilah akan menyiksanya. Dengan wajah masam, Adinda duduk bersanding bersama Sena di depan penghulu. Detik demi detik berlalu. Sebentar lagi Adinda akan menjadi istri seorang Sena Adi Pratama. "Sudah siap semuanya? Apa bisa kita mulai sekarang?" tanya penghulu. Menghela napas berat, Sena menganggukkan kepala lemah. "Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan kawinkan engkau ananda Sena Adi Pratama Gunandar bin Abimanyu Pratama Gunandar dengan anak saya Adinda Almira Wijaya dengan mas kawin berupa satu unit perumahan dan seperangkat alat salat dibayar tunai," ucap Salman menghentakkan tangan Sena. "Saya terima nikah dan kawinnya Adinda Almira Wijaya binti Salman Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," jawab Sena."Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu. "Sah..." jawab para saksi. "Alhamdulillahirabbilalamin. Baarokallahu laka wa baaroka 'alaika wa jama'a bainakuma fi khoir." Penghulu membacakan doa untuk pengantin. "Mempelai wanita silahkan cium tangan mempelai pria sebagai wujud hormat pada suamimu!" ucap penghulu. Adinda dengan ragu mengamit tangan besar pria yang sekarang sudah sah menjadi suaminya. Menempelkan bibirnya pada punggung tangan Sena sekilas. Andai bukan karena menghormati keluarga dan para tamu undangan, sudah Adinda usap bibirnya. Sangat geli rasanya, meskipun hanya mencium punggung tangan pria itu. "Mempelai pria silahkan cium kening mempelai wanita sebagai wujud kasih sayang pada istrimu!" ucap penghulu. Mengikis jarak diantara keduanya, Sena membisikkan sesuatu sebelum mengecup kening harum Adinda. "Gausah geer, gue lakuin ini juga terpaksa," ucap Sena lirih. Namun, terdengar amat menyebalkan. Cup! Hanya sekilas dan begitu cepat Sena mengecup kening harum itu. Tidak ingin berlama-lama juga karena Sena merasa terpaksa melakukannya. Acara selanjutnya sungkeman. Sepasang pengantin yang tidak tampak bahagia itu meminta doa restu pada sesepuh dan orangtua. Yang sialnya hanyalah bualan semata. Jelas... Mana mau Adinda dan Sena melakukan pernikahan konyol ini dengan kesungguhan layaknya dua insan saling mencintai yang siap membina bahtera rumah tangga.Terlepas dari itu, kedua keluarga menitikkan air mata haru melepaskan Adinda dan Sena untuk membuka lembaran baru sebagai suami dan istri. Acara resepsi digelar dengan begitu mewah. Baik Salman, Abimanyu, maupun Opa Gunandar mengundang rekan bisnis mereka. Kalangan atas itu turut berbahagia atas menyatunya dua keluarga.Adinda berdecak. Merasa kesal karena dipajang seharian. "Ckckck... Sumpah ya, hari ini jadi hari tersial buat gue.""Emangnya gue enggak?" sahut Sena ketus. "Pokonya gue ogah jadi istri beneran buat elo.""Heh, emangnya lo pikir gue mau jadi suami beneran?""Bagus deh kalau gitu. Anggap aja kita nikah boongan.""Oke. Gue pegang omongan lo. Awas aja kalau sampai jatuh cinta sama gue."Adinda tertawa sumbang. "Idih, najis..."Tubuh sepasang pengantin itu terasa remuk redam. Bagaimana tidak, seharian dipajang dan menyalami para tamu yang terus-terusan berdatangan tanpa henti."Uh... hampir copot rasanya ini kaki," ucap Adinda seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Adinda tidak habis pikir. Kedua keluarga itu mengundang begitu banyak tamu. Bahkan ada beberapa diantaranya yang berasal dari luar negeri. Jauh-jauh datang kemari hanya untuk menghadiri pesta pernikahan Adinda dengan Sena. "Nikah konyol aja dibikin seheboh ini. Apa Papa-Mama, Mertua, sama Opa pada nggak sayang sama duitnya ya?"Jelas sekali acara pernikahan ini menggelontorkan banyak dana. Semua tamu dan rekan bisnis yang berasal dari luar negeri saja disediakan hotel fasilitas bintang lima untuk tempat peristirahatan. "Ah udahlah, terserah. Yang penting temen-teman kampus gak ada yang tahu kalau gue nikah sama itu manusia loser."Adinda melipat ujung gaunnya. Melangkahkan kaki menuju tempat peraduan. Sepasang pengantin itu awalnya di
Ceklek! Keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos oblong dan celanana kolor, Sena berjalan menuju tempat peraduan. Adinda terus mengekori pergerakan si loser melalui tangkapan netranya. Ranjang berderit, menandakan bahwa terdapat sebuah pergerakan. Si loser naik ke atas ranjang, membuat Adinda memicingkan matanya. "Heh, siapa yang ijinin lo naik ke atas ranjang?" tanya Adinda. "Gak ada," balas Sena cuek. Dibaringkannya tubuh yang terasa lelah di sebelah si kutu kupret. Adinda tidak terima si loser tidur di sampingnya. Enak saja, bisa-bisa si loser itu akan mengambil kesempatan dalam kesempitan saat Adinda terlelap nanti. Didorongnya tubuh Sena sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak bergeming. Adinda dibuat kesal sejadi jadinya. Sementara Sena cuek saja. "Minggir ih, gue nggak sudi tidur seranjang sama loser," ucap Adinda. "Hmm..." balas Sena menggumam. Matanya terpejam. "Awas ih..." Adinda masih bersikeras mendorong tubuh besar itu agar beranjak dari atas ranjang. Dengan
Sang surya enggan menampakkan wajahnya. Awan hitam tampak mendominasi sebagian. Rupanya semalam suhu udara teramat dingin karena hendak turun hujan. Dua anak manusia masih bergelung di bawah selimut, di atap yang sama, tapi bukan pada satu peraduan yang sama. Sena yang semalam kesakitan akhirnya bisa kembali terlelap di atas ranjang. Sementara Adinda dengan rasa was-wasnya akhirnya bisa memejamkan mata di atas sofa. Tok... Tok... Tok... "Permisi, Non Dinda, Den Sena... Tuan dan Nyonya sudah menunggu di bawah untuk sarapan," ucap Bi Inah dari balik pintu.Baik Sena maupun Adinda, keduanya sama sekali tidak terusik oleh suara Bi Inah. Mereka berdua tampak tertidur pulas. "Dinda sama Sena mana Bi, kok nggak ikut turun?" tanya Risma saat melihat Bi Inah turun dari lantai dua seorang diri. "Maaf, Tuan, Nyonya. Non Dinda sama Den Sena belum bangun. Saya panggil berkali-kali nggak ada yang menyahut. Kalau begitu saya perimisi ke belakang dulu.""Udahlah, Ma, biarin aja. Namanya juga peng
"Nah itu mereka," seru Arga."Kalian tersesat?" tanya Risma khawatir."Iya, Ma," jawab Adinda berkilah. "Yaudah, ayo masuk!" Risma mengajak Sena dan Adinda masuk ke dalam rumah."Sebelah sini ruang tamu. Nah, kalau yang ini ruang keluarga, kalau yang atas itu kamar kalian berdua," tunjuk Risma. "Gimana rumahnya, suka?" tanya Opa Gunandar.Adinda dan Sena hanya menganggukkan kepala lemah."Mulai sekarang kalian berdua akan tinggal di rumah ini. Opa berharap kalian bisa belajar hidup mandiri.""Dinda, mulai sekarang Papa nggak akan kasih kamu uang bulanan lagi. Kamu sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Sena," ucap Salman. "Ya nggak bisa gitu dong, Pa. Ini namanya nggak adil. Dinda kan udah nurutin kemauan Papa buat nikah sama Sena.""Sayang, Papa melakukan ini semua juga buat kebaikan kamu, Nak. Percayalah!" ucap Risma."Halah... bulshit!" jawab Adinda ngegas.Berlalu meninggalkan mereka semua, Adinda masuk ke dalam kamar, lalu mengunci pintu dari dalam. "Dinda..." ucap Risma semb
Kedua keluarga besar itu telah meninggalkan kediaman sepasang pengantin baru. Kini, tersisalah Sena dan Adinda. Raut wajah keduanya tampak kusut. Bagaimana tidak, kehidupan keduanya serasa jungkir balik. Mendadak menikah, mendadak hidup serba pas-pasan juga.Melangkahkan kaki mendekati Adinda, Sena perlahan mengikis jarak diantara keduanya. Menatap gadis itu dalam, lalu merengkuh pinggangnya. Sekian detik keduanya saling bersitatap, membuat Adinda kepayahan. Adinda memalingkan wajahnya. Adinda terlalu gugup. Dadanya bergemuruh, tubuhnya meremang. Tidak pernah sekalipun Adinda diperlakukan begini dengan seorang pria.Membingkai wajah Adinda, Sena mengulum senyum manisnya. Siapa saja pasti akan terpana melihat betapa tampannya makhluk satu ini. Termasuk Adinda. Adinda begitu larut dalam temu pandang itu. Hidung keduanya saling bertabrakan. Selangkah lagi Sena dapat menjemput rezeki. Merasakan betapa manisnya bibir merah muda yang halal disentuhnya. Adinda terpaku seketika. Gadis itu s
Sena pikir, perlu adanya sebuah perjanjian pernikahan. Mengingat pernikahan ini hanya didasari sebuah keterpaksaan.Kini, keduanya tengah berkutat membubuhkan pena di atas selembar kertas.Sena Adi Pratama sebagai pihak pertama dan Adinda Almira Wijaya sebagai pihak kedua. Isi surat perjanjian yang dibuat Sena:[1. Pihak pertama dan pihak kedua bebas melakukan aktivitas apapun, seperti saat sebelum menikah. 2. Pihak pertama dan pihak kedua bebas menjalin hubungan dengan siapapun, asalkan tidak sampai ketahuan oleh pihak keluarga dan dapat menjaga rahasianya dengan baik. 3. Pihak pertama tidak memiliki kewajiban memberikan nafkah apapun, mengingat pernikahan ini hanyalah pernikahan sandiwara.4. Dilarang mencampuri urusan masing-masing.]Diberikannya surat perjanjian itu pada Adinda. "Nah, baca!"Netra Adinda menelusuri deretan abjad. Mengerutkan keningnya. Adinda tampak berpikir dengan apa yang ditulis si loser. "Nggak bisa gitu dong, masa gue nggak dikasih uang bulanan," protes A
"Laper..." rengek Adinda manja. "Bentar. Ada yang harus gue pastiin," ucap Sena. "Apa?""Kenapa elo nggak marah?" tanya Sena. "Marah soal apa?" Adinda balik bertanya. "Si brengsek itu udah cium pipi elo, Dinda..." ucap Sena geram. "Tapi, gue nggak berasa apa-apa, Sena."Sena melirik sinis ke arah Adinda. "Iyalah, orang elo pingsan.""Jangan-jangan om itu pacar elo? Makannya waktu lo tahu dicium biasa aja," tuduh Sena. "Nggak usah asal nuduh. Gue nggak punya pacar. Lagian yang lo maksud siapa sih? Bahas om-om mulu dari tadi.""Kan gue udah bilang gatau namanya, Dinda..." "Yaudah, biasa aja gausah ngegas."Adinda membuka kotak pizza. Mengambil sepotong hendak memakannya, tapi Sena menghalau pergerakannya. "Nggak usah dimakan udah jatuh. Jorok," cibir Sena. "Jatuhnya kan masih pake bungkus. Nggak bakalan kotor juga ini pizzanya. Udah ah awas, gue laper pengen makan."Sena bergeming. Enggan melepaskan cekalannya. "Jawab dulu, itu pacar elo atau bukan?"Adinda menelisik netra Sena.
Hujan membasahi bumi. Tanah yang gersang kembali lembab. Bunga yang sempat layu kembali bersemi. Seorang wanita memandang nanar sekitarnya. Guratan penuh kesedihan nampak di wajahnya. Netranya tidak berhenti menitikkan air mata. Ya, dia tengah terisak di bawah guyuran air hujan.Memukuli dadanya sendiri yang terasa amat menyesakkan. Napas tersengal-sengal dan tercekat di tenggorokan. Tidak, dia tidak sanggup menerima kenyataan pahit ini. Dicampakkan saat tengah berbadan dua. Sebuah penyesalan menyelimuti perasaannya saat ini. Ah, andai saja malam itu tidak termakan bujuk rayu setan, pastilah tidak akan mengalami kesakitan yang sebegininya. Kotor. Itulah yang dirasakannya saat ini. Menggosok tubuh di bawah guyuran air hujan. Berharap air dari langit dapat meluruhkan seluruh dosa-dosanya. Hawa dingin kian terasa. Perpaduan hembusan angin dan guyuran air hujan membuat tubuhnya menggigil. Netranya mulai berkabut. Seluruh persendiannya terasa melemas. Hampir saja wanita itu limbung. Be