Share

Rencana Perjodohan

Malam menjelang, riuh suara penonton telah memenuhi area pertandingan. Begitupun dengan Sena yang telah berada di area balap, sedangkan Adinda masih mondar mandir di parkiran dengan gelisah. 

Karin berlari dengan tergesa-gesa "Dinda... Gawat Din, gawat," ucapnya sembari mengatur napasnya yang tersengal-sengal. 

"Apaan sih Rin? Gue lagi pusing nih ban motor gue kempes." Dinda memijat pelipisnya sembari menendang ban motornya yang kempes, menunjukkannya pada Karin. 

"Nah ini yang mau gue omongin. Motor lo disabotase sama Arfan. Tadi gue rekam, nih liat videonya!" Karin menyerahkan bukti rekaman sabotase itu pada Dinda. 

"Kenapa malah lo rekam sih? Harusnya tuh lo cegah! Peak lo," ucap Adinda setengah emosi. 

"Udah sekarang lo bawa bukti ini kesana. Kasih tunjuk tuh kalau motor lo disabotase sama Arfan biar geng Andromeda malu. Udah buruan!"

"Pinter juga ya lo." Adinda nyengir, menepuk bahu Karin, lalu pergi meninggalkannya. 

"Dih... Tadi aja bilang gue peak."

Adinda berjalan memasuki area balap seraya menenteng helm fullface-nya. Geng Andromeda mengulum senyum remeh. Mereka mengira Adinda akan menyerah sebelum perang dimulai.

Adinda berdiri di tengah-tengah area. "Semuanya dengerin gue..." ucapnya lantang, menarik atensi orang-orang yang ada di sana. 

"Motor gue disabotase sama Arfan. Ya... kalian tau lah siapa Arfan." Melirik ke arah Arfan dan tersenyum sinis. 

Seketika semua orang yang ada di area balap menatap Arfan dengan penuh tanda tanya. 

"Jangan asal lo kalau ngomong," jawab Arfan tidak terima namanya dibawa-bawa. 

"Gue punya buktinya. Lihat aja di grub wa kampus," ucap Adinda. 

Seketika semua orang mengeluarkan ponselnya. Melihat video yang dikirim Adinda di grub kampus.

"Huuu..." sorak sorai memenuhi area balap. 

Ada beberapa diantara pendukung Adinda yang anarkis. Melempari geng Andromeda dengan botol plastik bekas. 

Sena menundukkan kepalanya merasa malu. Sena tidak habis pikir dengan sikap Arfan yang bertindak semaunya sendiri. Begini kan akibatnya. Semua anggota geng Andromeda pastilah merasa malu, tidak ada harga dirinya sama sekali dihadapan pendukungnya sekalipun. 

"Arfan sengaja sabotase motor Dinda biar Sena bisa menang gaes," teriak Clara mengompori. 

Suasana semakin panas. Geng Andoromeda yang terkenal pembuat onar itu kini menjadi bahan bullyan. 

"Huuu... Dasar curang!"

"Ngakunya raja balap, tapi lawan cewek aja curang!"

"Sial!" umpat geng Andromeda bersamaan. 

"Semuanya tenang!" ucap Adinda tegas, membuat suara-suara ricuh itu berangsur sunyi. 

"Gue bakal lanjutin pertandingan ini lawan Sena pake motor matic."

"Gue pinjem motor lo dulu buat balapan." Adinda membawa salah satu motor matic milik teman sekelasnya-Bagus. 

Sena yang terlanjur malu berjalan ke arah Rando, mengambil motor matic miliknya. "Gue pinjem dulu ya bro!" ijin Sena. Rando hanya mengangguk.

"Gue juga bakalan pake motor matic biar kita imbang," jawab Sena kemudian.

Suasana di area balap berangsur membaik. Tidak ricuh seperti tadi. Pendukung geng Andromeda juga kembali ke tempat mereka. Bersiap mendukung sang raja balap. Sementara itu, wajah-wajah penuh kecemasan tampak pada raut wajah Arfan, Aldo, Bima, dan Rizal. Mereka berempat tidak sepenuhnya yakin kalau Sena akan keluar menjadi pemenang malam ini, mengingat Adinda begitu tangguh pada balapan sebelumnya.

Sena dan Adinda memblayer-blayer motornya, saling menatap tajam satu sama lain, dan bersiap menarik gas motor mereka. 

Gadis pembawa bendera memberikan aba-aba. "One... Two..." 

Belum selesai aba-aba diucapkan, sialnya suara sirine polisi mendekat ke area balap.

"Kabur..." ucap mereka semua. 

Mereka semua berlari secepat mungkin untuk menghindari polisi. Mengurusi dirinya sendiri di tengah kepanikan yang melanda. 

Adinda pun bersiap menarik gas motor matic milik Bagus. 

Brem... Drttt... 

Motor milik Bagus tiba-tiba saja mati. Adinda mencoba menstarternya kembali. Sungguh sangat sial baginya, motor Bagus tetap tidak bisa distarter. Adinda akhirnya mengenjotnya. Sama saja. Hasilnya sia-sia. 

Speedometer bensin menunjukkan garis merah. Tanda bahwa bensin habis. Bila tidak mengingat motor ini milik temannya sudah Adinda rongsokkan. 

"Goblok emang si Bagus. Bisa-bisanya punya motor gak ada bensinnya," ucap Adinda kesal. 

Netranya menelisik ke segala penjuru area balap. Barangkali masih ada temannya yang tertinggal. Adinda akan menebeng. 

Sayang sekali, tidak tersisa satu orang pun di sana. Semua sudah berbondong bondong meninggalkan area balap. Menyisakan Adinda seorang diri. 

Adinda hendak berlari, sembunyi di toilet. Namun siapa sangka, polisi datang lebih cepat dari dugaannya. 

Polisi yang mengetahui Adinda di area balap membawanya ke polsek dan menahannya. Adinda menelepon papanya dan meminta bantuan agar dibebaskan dari sini.

Adinda mencoba membuka suaranya. Sedari tadi sang papa hanya diam saja. Memarahinya pun tidak. Sikap acuh Salman justru membuat Adinda takut. Lebih baik dimarahi daripada diacuhkan.

"Pa... Dinda minta maaf. Dinda tau Dinda salah." 

Salman masih mengunci bibirnya. Enggan mengeluarkan satu kata pun. Rasanya terlalu kecewa. Kesabarannya menghadapi anak bungsu mulai terkikis. 

Paham akan kemarahan sang papa, Adinda beralih mendekati sang mama. 

"Ma... Dinda minta maaf. Dinda janji, ini jadi balapan yang terakhir buat Dinda."

"Mama memafkanmu, Dinda. Mama mohon, jangan diulangi lagi. Jadikan ini pembelajaran. Kami menyayangimu, Din. Kamu tahu, bagaimana khawatirnya Mama dan Papa saat tengah malam mengetahui anak bungsunya tidak ada di rumah? Terlebih lagi kamu seorang gadis. Tentulah kami mengkhawatirkan keadaan anak gadis kami yang sering keluar malam dan membuat ulah."

Ya begitulah Risma. Mau senakal apapun Adinda, dia pasti akan luluh dan memaafkan anak bungsunya. 

Adinda semakin merasa bersalah saja. Adinda tidak bisa menyenangkan hati kedua orangtuanya seperti kakak-kakaknya. Adinda selalu membuat ulah dan darah tinggi kedua orangtuanya naik. 

Adinda memeluk sang mama. "Makasih, Ma. Dinda sayang sama Mama."

"Tolong bujuk Papa biar maafin Dinda ya, Ma," rengeknya. 

"Iya, Mama pasti berusaha bujuk Papa kamu. Kamu tenang aja. Besok Papa juga udah maafin kamu. Sekarang kamu isirahat ya." Risma mencium kening anak bungsunya. 

"Makasih, Ma. Good night." Adinda mencium pipi sang mama sebelum berlalu. 

Risma melangkahkan kakinya memasuki kamar. Tampak sang suami tengah bersandar pada headboard sembari membaca buku bisnis. 

"Pa..." panggil Risma sembari menyandarkan kepalanya pada dada bidang Salman. 

"Hmm," gumam Salman tanpa mengalihkan pandangannya. 

Salman paham, sangat paham dengan sikap sang istri. Sebentar lagi pasti Risma akan membujuknya untuk memaafkan anak bungsu mereka. 

"Maafin Dinda ya, Pa. Maafin mama juga yang belum bisa mendidik Dinda dengan baik. Mama janji akan mendidik anak bungsu kita lebih baik lagi."

Nah kan, benar saja dugaan Salman. Saat ini Risma tengah membujuknya agar memaafkan anak bungsu mereka. 

"Udahlah, Ma. Papa juga udah capek sama anak pembangkang itu. Dari dulu emang susah banget diatur. Kita nikahin aja dia biar diurus sama suaminya."

Mendengar ucapan Salman, Risma memicingkan matanya. Dahinya mengerut. Risma tidak habis pikir dengan sikap sang suami. Ucapannya barusan sama saja dengan melimpahkan Adinda pada orang lain. Salman juga tidak mau mengurus anak bungsu mereka lagi. 

"Maksud Papa?" tanya Risma. 

"Papa mau nikahin Dinda sama anak sahabat Papa," jawab Salman. Mengalihkan pandangannya dari buku bisnis ke arah sang istri. 

"Jangan ngaco ah, Pa." Risma memukul lengan suaminya. Risma mengira Salman hanya bercanda.

"Papa serius, Ma," jawabnya begitu serius. Tidak ada canda di raut wajahnya. Itu berarti Salman memang tidak bercanda dengan ucapannya.

"Tapi Dinda masih kuliah, Pa. Umurnya aja masih 20 tahun. Mana mau dia nikah muda."

"Harus dipaksa biar mau," jawab Salman enteng. 

"Jangan gitu lah, Pa."

Risma tidak setuju dengan pemikiran suaminya. Mengalihkan tanggung jawab Adinda pada orang asing. Ya, meskipun tanggung jawab itu suatu saat memang akan diambil alih oleh suami Adinda kelak. Tapi, bukan dengan cara seperti ini. Risma mau anak-anaknya menikah dengan cara baik-baik dan dengan orang yang mereka cintai. Bukan karena sebuah paksaan. Apalagi karena Salman sudah lelah mengurus anak bungsu mereka. 

Salman membuka brankasnya. Di dalam sana terdapat sebuah kotak yang isinya aset-aset peninggalan Kakek Wijaya. Ada sebuah surat wasiat juga di sana. Salman memberikan surat wasiat tersebut dan meminta Risma untuk membacanya. 

[Teruntuk Anak dan Cucuku;

Wijaya Garment akan kuwariskan untuk putraku Salman. Butik dan beberapa salon kecantikan mendiang istriku akan dikelola menantuku-Risma. Tolong kelola dengan baik. Sebagimana amanat yang telah kuberitahu sebelum aku menutup usia.

Seluruh aset tanah dan villa tolong bagikan dengan rata untuk ketiga cucuku. 

Ini bagian yang paling penting. Perusahaan tambang yang selama ini dikelola oleh orang kepercayaanku akan kuwariskan pada cucuku yang menikah dengan cucu Gunandar. Aku mengajukan persyaratan ini bermaksud untuk menjaga tali persaudaraan yang telah terbangun sejak lama dengan keluarga Gunandar.]

"Opa Gunandar itu bukannya Papanya Pak Abimanyu ya, Pa?" tanya Risma. 

"Ya, kamu benar ma. Jadi dulu Papa Wijaya dan Opa Gunandar itu sahabat sejak kecil. Mereka memutuskan untuk menikahkan anak mereka kelak agar persaudaraan mereka tetap terjalin sampai kapanpun. Namun, anak dari Papa Wijaya dan Opa Gunandar sama-sama laki-laki-aku dan Abimanyu, jadi perjodohan itu diteruskan sampai anak keturunan kami." Salman menjelaskan isi dari surat wasiat tersebut pada Risma dengan detail. 

"Lalu anak Pak Abimanyu laki-laki atau perempuan, Pa?" tanya Risma. 

"Laki-laki, Ma. Makannya mau Papa jodohin sama Dinda atau Dina. Tapi mama tau sendiri kan kalau Dinda itu pembangkang, beda sama Dina yang selalu nurut sama kita. Papa maunya Dinda yang nikah duluan. Papa capek ngurusin anak pembangkang itu, Ma."

"Jangan banding-bangdingkan anak, Pa, nggak baik. Soal perjodohan ini Papa harus kasih tau Dinda juga Dina. Biarkan mereka yang memilih siapa salah satu dari mereka yang ingin dinikahkan dengan keluarga Gunandar."

"Mama nggak mau sampai dengar lagi kalau Papa ngomong 'capek ngurusin anak bungsu kita.' Biar bagaimanapun Dinda anak kita, Pa. Mama nggak suka Papa ngomong begitu."

Salman mendekap mesra sang istri. "Iya... iya, Ma. Maafin Papa ya. Abisnya Papa kesel sama anak nakal itu. Nanti soal perjodohan ini Papa bilang sama Dinda-Dina dulu deh. Biar mereka yang putuskan."

***

"Pagi, Pa... Pagi, Ma." Andina mengecupi pipi mama dan papanya bergantian. 

Mendudukkan diri, ikut bergabung bersama kedua orangtuanya di meja makan. 

"Pagi juga, Sayang," jawab Salman dan Risma serempak. 

"Hari ini Kak Arga pulang ya, Pa, Ma?" tanya Andina antusias. 

"Ya, Papa suruh dia pulang," jawab Salman.

"Tumben Papa suruh Kak Arga balik?" tanya Andina lagi. 

"Ada yang mau Papa sampaikan ke kalian."

Adinda yang masih mengantuk menyeret langkahnya dengan malas menuju meja makan. Biasanya Adinda akan sarapan sendiri bila masih ingin tidur, tapi kali ini sang papa menyuruhnya bergabung ke meja makan. 

"Hoam..." Adinda menguap dengan lebar tanpa menutup mulutnya. 

Salman yang melihat kelakuan anak bungsungnya sontak membelalakkan mata. "Mulutnya ditutup kalau nguap, nggak sopan!" ucapnya ketus. 

"Maaf, Pa. Dinda masih ngantuk." Adinda mengucek matanya yang berair akibat mengantuk. 

"Cuci muka dulu baru ke sini!" perintah Salman tegas. 

"Ya, Pa." 

Adinda menurut saja daripada kena ocehan papanya pagi-pagi begini. Ya, kan? Gadis itu segera berlalu meninggalkan meja makan untuk cuci muka terlebih dahulu. 

Setelah mencuci muka dan gosok gigi Adinda kembali ke meja makan. Tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Adinda membuka pintu rumahnya. Adinda melihat Arga di ambang pintu. Adinda langsung berlari dan memeluk kakaknya dengan erat. 

"Kak Arga, Dinda kangen banget sama Kakak."

"Hai, Sayang. Kakak juga kangen sama adik bungsu kakak yang satu ini." Arga juga membalas pelukan Adinda. Keduanya pun menumpahkan kerinduan.

"Yaudah, masuk yuk!" suruh Adinda masih bergelayut manja dengan kakaknya. 

Arga memanggil Bi Inah. "Bi... Tolong bawa koper Arga ke kamar ya!"

"Baik, Den Arga."

Arga melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Menghampiri sang papa, mama, dan juga adik tengahnya. 

"Pagi, Ma... Pagi, Pa..." Arga mencium punggung tangan kedua orangtuanya takzim. 

"Pagi juga, Sayang," jawab Salman dan Risma. 

"Kak Arga..." Andina merentangkan tangannya meminta dipeluk sang kakak.

"Hai, Sayang..." 

Ketika Arga hendak memeluk Andina, Adinda terus bergelayut manja pada Arga, membuat Andina sebal.

"Lepasin dulu Kak Arga-nya dong Din. Gue kan juga kangen sama Kak Arga," ucap Andina ketus. 

"Dih... Elo aja yang lepasin Kak Arga. Gue juga masih kangen sama Kak Arga tau," jawab Adinda tidak kalah ketus. 

Selalu saja begitu. Setiap kali ada Arga, baik Adinda maupun Andina berusaha untuk menguasasi sang kakak. 

"Udah... Udah jangan berantem. Ayo duduk dulu terus sarapan!" Risma melerai anak-anaknya. 

Mereka akhirnya sarapan dengan tenang. Setelahnya, Salman mengungkapkan tujuannya mengumpulkan anak-anaknya di sini. 

"Gimana bisnis kamu, Ga?" tanya Salman pada anak sulungnya. 

"Alhamdulillah lancar, Pa. Arga baru aja menang tender gede," jawab Arga dengan senyumnya yang lebar. 

Salman menepuk bahu Arga. Menandakan banga pada anak sulungnya. "Hebat anak Papa yang satu ini."

"Berkat doa Mama dan Papa. Oh ya, tumben Papa suruh Arga balik. Ada apa?" tanya Arga penasaran.

Tidak biasanya Salman memburunya agar cepat-cepat pulang. Bahkan saat Arga mengatakan dirinya sibuk dengan berbagai pekerjaan dan tidak bisa pulang pun, Salman memakluminya. Salman juga sudah memberikan kepercayaan penuh pada Arga untuk mengatur hidupnya sendiri. 

"Papa mau sampaikan surat wasiat dari Kakek Wijaya. Sekarang kalian bertiga baca surat ini baik-baik!" perintah Salman pada ketiga anaknya. 

Arga, Andina, dan Adinda membaca surat wasiat yang ditulis tangan oleh Kakek Wijaya. 

"Kakek Wijaya akan memberikan perusahaan tambang untuk salah satu diantara kita yang menikah dengan cucu Opa Gunandar. Begitu, Pa?" Arga berusaha menjelaskan maksud dari surat wasiat tersebut. 

"Ya, kamu benar, Ga."

"Terus siapa yang mau dijodohin sama cucu Opa Gunandar?" tanya Arga. 

"Arga nggak mau dijodohin ya, Pa, meski dikasih perusahaan tambang sekalipun," imbuhnya. 

"Cucu Opa Gunandar itu cuma satu, laki-laki. Jadi nggak mungkin nikah sama kamu, Ga" kekeh Salman. 

"Syukurlah..." Arga mengurut dadanya penuh kelegaan karena bukan dia yang dijodohkan.

"Terus sama siapa, Pa?" tanya Andina

"Ya, antara kalian berdua. Siapa lagi," jawab Salman cuek. 

"Dina nggak mau, Pa. Dina udah punya pacar. Papa kan tau." Andina melayangkan protesnya.

"Yaudah, Dinda aja lah yang jomblo. Beres kan?" celetuk Arga menjengkelkan.

Adinda memukul lengan Arga. "Enak aja. Dinda juga nggak mau, Pa. Dinda masih pengen kuliah."

"Nanti malam Opa Gunandar, Pak Abimanyu, Bu Indah, dan anak tunggal mereka akan ke sini. Biarkan mereka yang memilih antara kalian berdua. Keputusan ada di tangan mereka," jelas Salman tegas. 

"Ya nggak bisa gitu dong, Pa. Kita berdua kan bukan barang yang bisa asal comot gitu aja," protes Andina lagi. 

"Bener kata Kak Dina. Papa nggak bisa seenaknya gitu lah sama kita."

"Udah... Udah... Pokoknya nanti malam kita ketemu dulu sama keluarga Opa Gunandar. Nurut sama Papa!" perintah Salman kemudian untuk menghentikan perdebatan ini. 

"Ishhh... Ma, tolonglah, Ma..." Adinda dan Andina merengek meminta pertolongan sang mama.

Sementara Risma tidak bisa berbuat banyak. Sebenarnya Risma juga ingin anak-anaknya menikah dengan pilihan mereka sendiri, bukan karena dijodohkan, apalagi dipaksa seperti ini. Namun mau bagaimana lagi, semua ini juga karena wasiat Kakek Wijaya.

Siapapun yang akhirnya betjodoh dengan cucu keluarga Gunandar nanti, Risma berharap anaknya itu mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Sampai akhir hayat nanti. 

"Kalian nurut aja sama Papa ya, Sayang."

Jawaban Risma membuat kedua saudari kembar itu menunduk lesu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status