Share

Pertemuan Dua Keluarga Besar

Keluarga Gunandar telah bersiap-siap sejak sore. Mereka menyiapkan berbagai macam bingkisan untuk dibawa ke rumah keluarga Wijaya. Semua orang yang ada di rumah itu menyibukkan dirinya masing-masing untuk acara pertemuan dua keluarga ini.

Memangku kedua tangan di bawah dagu. Melamun memikirkan nasibnya di masa depan. Sena sungguh tidak menginginkan perjodohan ini. 

Jujur saja, Sena sedang malas berurusan dengan wanita, membuatnya pusing saja. Apalagi kejadian menyakitkan di masa lalu, membuat hatinya mati rasa. 

Sena masih ingat bagaimana dirinya dihianati pacar dan sahabatnya. Mereka berdua menjalin kasih di belakang Sena. Menancapkan luka secara bersamaan. 

Indah menghampiri anak semata wayangnya. "Sen... Ayo buruan mandi! Kalau Opa tau kamu belum siap-siap bisa marah."

Sena memegang perutnya, pura-pura sakit agar terhindar dari rencana perjodohan ini. "Ma, Sena nggak usah ikut ya. Perut Sena sakit banget ini, Ma."

"Opa tau kamu pura-pura, Sena. Ayo buruan mandi atau Opa akan mencoretmu dari daftar ahli waris dan menjadikanmu gelandangan di luaran sana!"

"Udah, buruan mandi!" perintah sang mama. 

Menyeret langkahnya yang begitu berat, Sena pun hanya bisa pasrah. Membayangkan dirinya diusir dari rumah dan menjadi gelandang membuat Sena bergidik ngeri. 

***

Bi Inah memasak lebih banyak dari biasanya untuk menyambut kedatangan keluarga Gunandar. Berbagai macam hidangan tersedia dengan lengkap di atas meja makan. Ada sayur, lauk pauk dengan aneka macam jenis ikan laut dan juga daging, berbagai macam buah-buahan, serta beberapa kue dan camilan untuk hidangan penutup.

Salman tersenyum hangat menyambut kedatangan keluarga Gunandar. Mereka duduk santai, berbincang, sambil sesekali tertawa. Sementara Sena hanya diam dan menyimak. Lebih tepatnya pemuda tampan itu tidak tahu harus bersikap bagaimana. Lebih baik dirinya diam, ketimbang ikut berbicara dan akan membuat keluarganya kesal. 

Arga melangkahkan kakinya mendekati Opa Gunandar, Abimanyu, dan Indah. Menyalami mereka satu persatu dengan sopan.

Arga mencoba mengakrabkan dirinya dengan calon adik ipar. Mengajak Sena melakukan tos. "Bro..." 

Sena pun membalas tos dari Arga. "Yoi..."

"Ini anakmu yang pertama, Man?" tanya Opa Gunandar. Sudah lama sekali tidak bersua dengan keluarga Wijaya, membuat Opa lupa-lupa ingat. 

"Iya, Opa. Arga anak sulung saya."

"Lalu anak perempuanmu mana?" tanya Opa Gunandar lagi. 

"Sebentar lagi mereka turun, Opa," jawab Arga.

Andina turun dari lantai dua terlebih dahulu. Andina tampak begitu anggun dengan dress motif bunga selutut berlengan balon. Riasan yang melekat pada wajahnya juga memancarkan kesan yang natural. Membuat gadis itu tampil memukau. Rambut panjangnya yang sepunggung dibiarkan terurai begitu saja. 

"Nah, itu anak saya yang nomor dua. Andina namanya," ucap Salman saat semua orang menatap Andina yang baru saja ikut bergabung.

"Ayo, Dina perkenalkan dirimu!" ucap Salman. 

"Dina, Opa, Tante, Om," ucap Andina sopan menyalami mereka semua. 

"Oh ya, kenalkan ini anak Om." Abimanyu memperkenalkan Sena. 

"Dina." Andina memperkenalkan dirinya dengan ramah, menjabat tangan Sena. 

"Sena," jawab Sena acuh. Membalas jabatan tangan Andina kemudian menarik tangannya kembali secara cepat. 

"Kamu anak Fakultas Ekonomi kan?" tanya Andina berbasa-basi. 

"Hmm..." gumam Sena. 

"Kamu tau siapa aku?" tanya Andina. 

"Ya, anak Fakultas Kedokteran," jawab Sena datarnya tanpa memandang Andina. 

'Eh bentar... Kalau dia yang mau dijodohin sama gue, berarti yang satunya lagi si kutu kupret itu dong. Secara mereka kembar. Astaga...' batin Sena berkecamuk.

Adinda turun bersama Risma. "Ma, Dinda ganti baju aja ya? Dinda nggak pede pakai baju ini."

"Kamu sangat cantik, Sayang. Harus percaya diri ya." Risma meyakinkan Adinda. 

Adinda hendak menuruni anak tangga. Tampak kegelisahan menyelimuti hatinya. Kali ini Adinda sangat gugup, meskipun penampilannya sangat memukau dan berbeda dari biasanya. Biasanya Adinda terlihat tomboy dan sangat cuek dengan apa yang dikenakannya. Namun, kali ini Adinda mengenakan dress model sabrina berwarna merah maroon selutut. Nampak terbalut indah di kulitnya yang putih. 

Make up tipis terkesan natural melekat pada wajah imutnya. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai. Hanya diberi tambahan bando bermotif bunga. Menambah kesan manis pada penampilannya kali ini.

"Nah, itu anak saya yang ketiga. Namanya Adinda." Salman memperkenalkan Adinda. 

"Adinda, Opa, Om, Tante." Adinda memperkenalkan dirinya dengan sopan. Mencium punggung tangan ketiganya dengan takzim. 

Beralih pandang ke arah pria yang mungkin akan menjadi jodohnya, Adinda membelalakkan mata. Adinda benar-benar tidak menyangka akan dipertemukan kembali dengan loser menyebalkan itu pada situasi seperti ini. 

Adinda ingin menertawakan keadaan. Dunia benar-benar sedang mengajaknya bercanda. 

Netra keduanya saling bersirobok. "Elo?" ucap keduanya secara spontan. Saling menujuk satu sama lain. 

'Astaga... Dugaan gue jadi kenyataan kan. Bocah kutu kupret satu ini pasti juga jadi kandidat calon bini gue,' batin Sena seraya mengalihkan pandangan ke segala arah. 

'Tuh, lihat aja gayanya, songong begitu. Pengen gue timpuk palanya pake sandal,' gerutu Adinda. Sayangnya hanya mampu diucapkan dalam hati.

Melihat Adinda hanya berdiam diri saja, Salman membuka suara. "Dinda, duduk!" perintah Salman tegas. 

Adinda menggigit bibir bawahnya. Adinda tidak tahu lagi harus duduk di mana. Kursi yang kosong ada di sebelah Sena saja. Adinda bergeming seraya celingukan ke kanan dan ke kiri. Benar-benar seperti manusia linglung. 

"Ayo, duduk!" perintah Salman sekali lagi.

Tidak mau mendapati sang papa murka, Adinda terpaksa menjatuhkan tubuhnya di kursi samping Sena. 

Melirik sinis ke arah pria di sebelahnya, menyikut perutnya seraya mengucap lirih. "Heh, balikin ponsel gue."

Bukannya kesakitan perutnya kena sikut, Sena malah hampir saja tergelak. Untungnya Sena masih bisa bersikap normal dan berwajah datar. 

Oh iya, Sena bahkan lupa kalau dirinya masih menyimpan ponsel gadis itu. 

"Gak ada," balas Sena datar. 

"Lo jual ya?" tuduh Adinda. 

"Jangan bercanda dong. Ponsel itu penting buat gue. Balikin gak?" ucap Adinda sembari menahan emosinya agar tidak meledak. 

Sena melirik ke arah Adinda. Melihat napas gadis itu naik turun, menandakan sedang menahan kekesalannya, Sena memutar otaknya. Menarik sudut bibirnya ke atas. 

'Gue kerjain ah...' batin Sena. 

Menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Adinda, Sena berbisik. "Akuin kalau gue ganteng di depan semua orang. Hadiahnya ponsel itu balik ke pemiliknya."

Hembusan napas Sena terasa menyentuh telinganya. Sedetik kemudian Adinda bergidik. Menggeser tubuhnya agar sedikit menjauh dari si loser. 

Sena menanti jawaban Adinda, tapi gadis itu tetap bergeming. 

"Yaudah, nggak gue balikin. Lumayan juga kalau dijual ke tukang rongsok."

Adinda mendelik. "Awas aja kalau berani. Gue sembelih juga lo curut," ancam Adinda. 

Netranya tidak lepas dari tingkah kedua insan yang tengah beradu mulut itu. Indah berdehem. Memecah perdebatan lucu diantara keduanya.

"Ehm... Ada yang udah tukeran ponsel nih. Bukannya kalau baru kenal itu tukeran nomor dulu ya?" goda Indah pada keduanya.

Wajah Sena maupun Adinda mendadak merah padam menahan malu. Baik Sena mupun Adinda tidak menyangka kalau perdebatan mereka sedari tadi diperhatikan oleh Indah. 

"Tukeran ponsel? Jadi kalian berdua memang sudah ada hubungan? Iya, begitu?" tanya Opa Gunandar. 

"Enggak Opa," balas Sena cepat. Tidak ingin terjadi salah paham yang bisa mengantarkan dirinya berjodoh dengan Adinda. 

Opa Gunandar terkekeh. "Kalau iya juga gapapa. Malah bagus. Mukamu nggak usah kaku begitu. Santai aja."

Sena mencebikkan bibir. "Dibilangin enggak ya enggak, Opa."

Opa Gunandar sibuk membatin, menertawakan Sena dalam hatinya. 'Malu-malu kucing garong ini mah si Sena.'

"Oh ya Man, jadi bagaimana keputusanmu tentang perjodohan ini?" tanya Opa Gunandar. 

"Saya menyerahkan semuanya pada Sena, Opa," balas Salman. 

"Nak Sena, kamu maunya menikah dengan Dinda atau Dina?" tanya Salman. 

"Saya nggak mau dua-duanya, Om," balas Sena acuh tak acuh. 

Opa Gunandar menatap tajam cucu satu-satunya. "Heh, yang benar saja kamu!"

"Opa, Om, dan Tante. Di sini Dina mau jujur. Sebenarnya Dina udah punya pacar. Dia kakak tingkat Dina di kampus. Um... jadi, Dina nggak mau dijodohin sama Sena," aku Andina. 

"Yasudah, kalau begitu Sena dengan Dinda saja. Beres kan?" ucap Opa Gunandar enteng. 

Baik Adinda maupun Sena tersentak. Keduanya tidak salah dengar kan? Apa tadi kata Opa Gunandar, mereka akan dinikahkan? Iya, begitu? Ah, yang benar saja. Dunia Sena bisa runtuh kalau menikah dengan si kutu kupret satu ini. Begitu pula dengan Adinda, malang sekali nasibnya bersanding dengan seorang loser. 

"Hah?" ucap keduanya bersamaan. 

"Nggak bisa gitu dong, Opa. Ini namanya nggak adil!" protes Adinda. 

"Nggak adil gimana? Dina kan udah punya pacar. Nggak mungkin mutusin pacarnya kan?" ucap Opa Gunandar. 

Sebelum adik bungsunya protes lagi, Arga membuka suaranya. "Saya setuju, Opa. Lagipula Dinda itu kan jomblo, jadi ya nggak ada yang dirugikan."

Adinda menatap Arga sengit. Bisa-bisanya Arga mendukung rencana perjodohan ini. Rasanya Adinda ingin menyumpal mulut Arga dengan sandal.

"Opa, Sena nggak mau dijodohin sama siapapun titik!" 

"Heh, lo pikir gue juga mau dijodohin? Apalagi dijodohinnya sama elo? Idih, najis," ceplos Adinda. 

"Dinda... Jaga ucapan kamu ya!" peringat Salman. 

Bahkan dalam situasi seperti ini pun Adinda tidak bisa menempatkan dirinya. Bersikap urakan dan ceplas ceplos, membuat Salman geram saja pada anak bungsunya satu ini. 

"Sudah... sudah..." Opa Gunandar menengahi.

"Opa sudah memutuskan akan menikahkan Dinda dan Sena tiga hari lagi. Perkara acara pernikahan, kalian berdua tinggal terima beres saja."

Lemas sudah seluruh persendian Adinda. Tulang-tulangnya seakan lepas dari tubuh. Tidak mampu lagi menyangga bobot tubuhnya.

Dengan setengah sadar, Adinda terhuyung ke samping. Setengah tubuh Adinda jatuh di atas pangkuan Sena. 

"Heh, jangan pingsan lo," gerutu Sena. Menepuk kedua pipi Adinda. 

"Dinda..."

Semua orang tampak panik. Memanggil nama 'Adinda' berulang kali. Kini, Adinda benar-benar tidak sadarkan diri. 

'Astaga... Nyusahin aja ini si kutu kupret.' Sena tidak henti-hentinya ngedumel. 

"Ga, bawa adikmu itu ke kamar. Kalau perlu disiram air. Papa curiga Dinda cuma pura-pura pingsan," bisik Salman pada Arga. 

"Sen, bantuin gotong Dinda," ucap Arga. 

"Hah?" balas Sena setengah terkejut. 

"Elo aja deh, Kak," imbuhnya. 

"Udah sana bantuin Arga. Nggak kasihan kamu lihat calon istrimu pingsan begitu?" sahut Opa Gunandar. 

Menggaruk tengkuk yang tidak gatal, Sena gamang. Malas sekali rasanya menolong si kutu kupret, tapi ya mau bagaimana lagi. Titah Baginda Gunandar tidak bisa diacuhkan begitu saja. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status