Share

Bukan Siti Nurbaya
Bukan Siti Nurbaya
Penulis: Ranti Kurnia

Balap Liar dan Musuh Bebuyutan

Seorang gadis berpakaian minim membawa bendera kecil di tangannya. Berjalan memasuki area, berdiri diantara dua pengendara motor, kemudian memberikan aba-aba tanda pertandingan akan segera dimulai. Bukan pertandingan sepak bola, basket, apalagi adu jotos, tetapi balap liar. 

Gadis tersebut mulai mengayunkan bendera tanda dimulainya balap liar ini. Kedua pembalap saling melirik satu sama lain. Melemparkan tatapan sinis disertai seringaian. 

"One... Two... Three... Go!"

Keduanya menarik gas motor secara bersamaan. Menekan hingga menghasilkan kecepatan tinggi, beradu di jalanan yang sepi dan berebut untuk menyentuh garis finish terlebih dahulu dengan saling menyalip. 

Pembalap dengan motor ninja berwarna merah dapat menyentuh garis finis terlebih dahulu pada putaran pertama. Namun, pada putaran kedua pembalap dengan motor ninja berwarna putih dapat menyalipnya.

Pendukung keduanya saling bersorak sorai. Menggumamkan nama idola mereka. 

Tiga putaran ini akan menjadi balapan yang penuh dengan emosional. Harga diri seorang Sena Adi Pratama Gunandar dipertaruhkan di area balap ini. 

Tidak biasanya Sena mendapati lawan yang tangguh seperti sekarang ini. Berulang kali Sena menahan gemeletuk dan gemuruh di dalam dadanya. Pikirannya hanya satu, dia harus bisa menyentuh garis finis terlebih dahulu atau pulang membawa rasa malu. 

Menekan gas lebih dalam lagi. Kecepatan berkendaranya melebihi di atas rata-rata. Siapa sangka, Sena belum bisa menyalip juga. Rupanya pembalap ninja putih bukan joki abal-abal. Sena tidak bisa meremehkan kemampuannya. 

Putaran ketiga penentu kemenangan malam ini. Sebentar lagi keduanya akan tiba di garis finis. 

"Ayo, Sena... Salip, Sen... Jangan sampai kalah." Itu teriakan gadis-gadis penggemarnya. Mereka selalu berada di barisan terdepan untuk mendukungnya.

Pembalap dengan motor ninja berwarna putih lebih dulu menyentuh garis finish.

Sorak sarai pendukungnya memenuhi area balap. Memekakan gendang telinga Sena dan para pendukungnya. Berlarian menghampiri sang juara malam ini. Mengangkat tubuh sang juara dengan penuh kebahagiaan.

Meremat tangan hingga buku-buku jari memutih. Menekan gejolak amarah yang hampir meledak. Netranya menelisik ke segala penjuru area. Banyak hati yang dikecewakannya malam ini. 

Merutuki kesialan yang tengah menimpanya. Sena benar-benar tidak habis pikir. Malam ini dirinya dapat dikalahkan.

"Sang juara balap akhirnya kalah juga," ejek seorang gadis yang Sena ketahui bernama Clara. 

Hancur sudah harga diri yang selama ini dipertaruhkannya. Sena benar-benar merasa malu atas kekalahannya. 

"Arghhh... Bangsat, bajingan, bedebah!" Segala sumpah serapah keluar dari mulutnya.

Membuka helm dan melemparkannya di atas jalan berasapal hingga menimbulkan bunyi gemeletuk di sana. Biarlah helmnya retak, Sena tidak peduli. Harga dirinya pun sudah retak sedari dikalahkam pembalap sialan itu. 

Pembalap ninja putih melepaskan helm fullface-nya. Mengibaskan rambut sebahu yang tergerai. Sepoi angin membawa anak rambut beterbangan. 

Gadis itu melangkahkan kaki mendekati mantan juara bertahan yang dikalahkannya hari ini. 

Gemuruh di dalam dadanya kian bergemuruh. Membelalakkan mata saking tidak percayanya. Ternyata yang bisa mengalahkan sang juara bertahan sampai saat ini seorang gadis mungil. 

"Astaga..." Suara teman-teman Sena bersahutan. Menutup mulut dengan kedua tangan. Mengekspresikan rasa keterkejutannya. 

Mengulurkan tangan sembari mengulum senyum. Yang sialnya sangat Sena benci. Baginya senyum gadis itu sebuah penghinaan untuknya. 

"Maaf ya..." ucap gadis itu. 

Sena hanya melirik tangan gadis itu. Tidak berniat membalas jabatan tangannya. Mana sudi Sena beramah tamah dengan orang yang sudah mengalahkannya hari ini. 

Merasa diacuhkan, gadis itu mengusap tangan kosong ke celana. Rupanya niat baiknya tidak dihargai sama sekali. 

'Cih... Sombongnya,' ucapnya berdecak sebal. 

"Girls, ambil duit taruhannya. Gue cabut dulu! Selamat bersenang-senang. Jangan lupa dibagi rata," ucapnya lalu berlalu. Menaiki ninja putihnya dan menekan gas dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan area balap. 

Keempat sekawan sohibnya mendekati Sena. Menepuk bahu pria itu bergantian. 

"Gue tahu, pasti hati lo lagi mendidih kan?" ucap Aldo. Terdengar sebuah hinaan baginya. Sialnya, Sena tidak bisa marah pada temannya satu ini. 

Arfan menyikut perut Aldo. "Bangsat lo ya, Do. Udah tahu hati Sena lagi panas. Pakai acara ngeledek lagi."

Si pencari huru hara hanya nyengir menampakkan deretan giginya. 

Tiga gadis mendekati mereka berlima. Menatap kelima sekawan itu dengan tatapan sinis dan senyum remeh. 

"Eh, mana duit taruhannya?" kali ini Karin bersuara, meminta uang hasil taruhan. 

Aldo yang memegang uang tersebut memberikannya dengan rasa tidak ikhlas. Harusnya malam ini mereka akan menikmati pesta perayaan kemenangan Sena di basecamp Andromeda. Siapa sangka, malam ini justru malah jadi kekalahannya. 

"Ah elah, lama bener." Karin yang tidak sabaran gegas menarik uang dari tangan Aldo. 

Mengibaskan tangan ke udara. "Yok cabut!" perintah Karin pada Sasa dan Clara. 

"Byee loser." Clara dada-dada sembari tertawa. Mengejek geng Andromeda. 

"Sialan... Gue dikalahin sama cewek!" ucap Sena tidak terima. 

Aldo menepuk bahu Sena. "Tenang aja Sen, kita bakal buat perhitungan sama tuh cewek yang kalahin lo."

"Atur-atur lah!" balas Sena acuh tak acuh. 

Mengambil helm yang retak di beberapa bagian. Berlalu begitu saja seraya membawa kekesalannya.

***

Gadis pembalap yang diketahui bernama Adinda Almira Wijaya baru saja menginjakkan kakinya di halaman depan rumah pukul sebelas malam.

Menyogok satpam rumah dengan dua lembar ratusan ribu agar tidak melaporkan kelakuannya pada sang papa. 

"Diem ya, Pak. Awas aja kalau sampai buka mulut. Dinda bejek-bejek itu mulutnya Bapak!" ancamnya. 

Pak satpam hanya mengangguk lemah. Sudah biasa mendapati anak majikannya yang satu ini berbeda dari lainnya. Sangat pembangkang dan suka keluar malam. Entah apa yang dilakukannya di luar rumah. Pak satpam sendiri tidak mau tahu. 

Menapakkan kakinya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi gaduh. Memantau ke kanan dan ke kiri. Adinda rasa masuk melalui pintu samping dekat garasi seperti biasanya akan aman.

Terus melangkahkan kakinya dengan mengendap-endap, Adinda akhirnya memasuki ruang tengah.

Klik! 

Lampu tiba-tiba menyala, membuat jantung Adinda mencelos seketika. Adinda pikir ada setan atau demit di rumahnya yang suka mainan lampu malam-malam begini. 

"Astaga!" Mengurut dadanya naik turun. Napasnya yang tersengal-sengal masih terasa. 

Adinda tersentak, terkejut bukan kepalang. Papanya ternyata berdiri di ruang tengah seraya berkacak pinggang. Melemparkan tatapan tajam ke arah anak nakalnya. 

"Papa ih, kagetin Dinda aja."

Adinda mengatur deru napasnya senormal mungkin. Adinda bersiap menerima kemarahan Salman. Adinda sangat yakin, malam ini dirinya tidak akan lolos dari amukan sang papa tercinta. 

"Dari mana saja kamu?" tanya Salman. 

"Da-dari rumah temen, Pa," jawab Adinda terbata-bata. Membuat alasan selogis mungkin agar bisa diterima papanya. 

"Temen siapa?" katanya masih dengan intonasi tinggi. 

"Sasa, Pa. Iya, Sasa..." Adinda menunduk, takut papanya akan menghajarnya secara tiba-tiba. 

"Masuk!" perintah Salman tegas. 

Adinda melangkahkan kakinya menuju peraduan. Salman mengikutinya dari belakang. Setelah Adinda masuk ke dalam kamar, Salman mengunci pintunya dari luar dengan amat pelan sehingga anak nakalnya itu tidak akan menyadari jika tengah dikurung di dalam kamar. 

***

Adinda membasuh tubuhnya dengan kecepatan kilat. Mengambil kaos dan celana jeans secara acak. Mengikat rambut tanpa disisir terlebih dahulu. Penampilannya benar-benar amburadul. Sama sekali tidak mirip anak kuliahan. Beruntunglah Adinda karena tertolong dengan wajahnya yang imut. 

Ceklek... Ceklek... 

"Ih... Siapa sih yang kunci pintunya? Tolong bukain woi gue mau kuliah..." Adinda berteriak kesal. Tangannya menggedor-gedor pintu kamar, tapi tidak ada satu orangpun yang menyahut. 

Ini bukan pertama kalinya Adinda dikunci di dalam kamar. Salman akan mengurung Adinda bila tidak patuh, sebagai hukuman atas kesalahannya. Seperti sekarang ini, Adinda yang sudah terlambat hanya mendudukkan diri dengan lesu di tepi ranjang sembari menerima hukuman dari sang papa.

"Ah sial... jadi bolos kuliah lagi kan. Coba aja semalem nggak ketahuan. Anjir lah, mana kekurung di dalam kamar, bisa mati bosen gue. Besok pasti juga kena hukuman Prof gara-gara bolos kuliah."

Ceklek! 

Pintu terbuka, muncul sosok wanita paruh baya yang bersahaja. Tersenyum lembut pada Adinda. Risma membawa sarapan dan menaruhnya di atas nakas. 

"Sesekali nurut sama Papa biar kamu nggak dihukum terus, Dinda. Apa nggak capek dikurung begini?"

"Iya, Ma," jawab Adinda seadanya. Tidak berniat membantah ataupun membuat sang mama murka.

"Ya sudah, ayo makan! Mama akan bujuk Papa dulu biar kamu bisa keluar dari kamar buat kuliah."

"Makasih ya, Ma." Adinda memeluk Risma. Merasa sangat berterima kasih. Sang mama selalu menjadi penyelamat saat Adinda dihukum sang papa. 

Setelah mendapatkan bujuk rayu dari sang istri, Salman akhirnya luluh dan membebaskan Adinda. 

"Jangan sampai buat ulah lagi atau Papa akan menghukummu lebih berat daripada ini!" peringat dari Salman sebelum berangkat ke kantor. 

Adinda hormat seraya nyengir. Ah, anak nakal itu masih saja bertingkah di depan sang papa. 

"Siap, Jenderal!"

"Mama Sayang, Dinda ke kampus dulu." Mencium pipi kanan dan kiri secara bergantian. 

Tidak lupa Adinda mencium punggung tangan Salman dengan takzim. 

Melambaikan tangan pada kedua orangtuanya. Berlarian dengan riang seraya dada-dada. 

Salman menghela napasnya sembari menggelengkan kepala. "Dari ketiga anak kita, Dinda yang paling ajaib," ujarnya seraya merengkuh pinggang Risma. Berjalan bersisian sampai depan rumah."

"Papa kerja dulu ya, Ma. Hati-hati di rumah," imbuhnya. 

"Papa juga hati-hati di kantor. Awas banyak yang genit," canda Risma. Mencium punggung tangan Salman. Sang suami balas mencium kening istrinya.

***

Adinda tidak langsung masuk ke dalam kelas. Percuma saja, mata kuliah jam pertama telah berlangsung. Tiga puluh menit lagi juga akan selesai. 

Adinda memilih menunggu mata kuliah jam kedua di parkiran. Duduk di atas motor sambil memainkan ponselnya. Tiba-tiba seseorang merebutponsel Adinda secara paksa. 

"Woi... Balikin ponsel gue nggak!" teriak Adinda. Raut wajahnya penuh dengan kekesalan. 

Arfan mengangkat ponsel Adinda setinggi mungkin, berusaha menjauhkannya dari si pemilik. Mengulum senyum remeh karena gadis mungil itu tidak bisa mengambilnya.

Adinda tidak menyerah. Adinda terus berusaha menggapai ponselnya, meskipun sangat sulit karena tinggi Arfan jauh di atas Adinda dua puluh centi.

Arfan melemparkan ponsel Adinda ke salah satu temannya. Aldo dengan sigap menangkap ponsel itu. Adinda yang masih berusaha mendapatkan ponselnya berlari ke arah Aldo. Namun, ketika Adinda hampir mendapatkan ponselnya, Aldo melemparnya. Sena yang menerima lemparan ponsel dari Aldo segera memasukkan benda tersebut ke saku celananya.

"Anjir ya lo pada. Maunya apa sih?" tanya Adinda sewot. 

Menyunggingkan senyum sinisnya, yang sialnya malah menambah tingkat ketampanan pria itu. "Lo yang semalam jadi lawan balap gue kan?" tanya Sena.

"Kalau iya kenapa?" Menatap lawan balapnya semalam dengan tajam. 

Adinda mengetukkan jari di dagu, sedang memikirkan sesuatu. "Oh, gue tau sekarang. Jadi lo nggak terima kalau kalah, hmm?"

Sekian detik berikutnya Adinda tertawa penuh ejekan. "Cuma seorang pecundang yang nggak terima kekalahannya."

"Wah songong nih bocah. Kasih pelajaran yok!" ucap Aldo. Melangkahkan kakinya mendekati Adinda, hendak menyerang gadis itu. 

Sena menepuk bahu Aldo. "Mundur, Do!" perintahnya tegas, membuat Aldo beringsut menjauhi Adinda. 

Melihat tingkah Aldo, Adinda tergelak. "Ha ha ha. Lucu banget sih lo. Disuruh ini itu sama loser aja nurut."

"Keterlaluan itu bocah. Hajar aja lah, Sen. Gedek juga gue lama-lama," ucap Arfan mengompori. 

"Tahan... Nggak usah pada emosi begitu." Sena membentengi geng Andromeda yang sudah tersulut emosi. 

"Bisa sopan gak? Mau ponselnya balik kan?" tanya Sena. 

"Minta yang baik-baik dong," imbuhnya.

Kali ini Sena mengulum senyumnya. Adinda rasa Sena sedang mempermainkan dirinya. 

Adinda tersenyum remeh. "Dih... Sopan sama loser? Nggak salah lo?"

"Heh, mulut lo bisa dijaga gak? Sekali lagi lo bilang Sena loser, gue sumpal mulut lo." Suara Bima yang baru saja datang bersama Rizal membuat Adinda memalingkan wajah ke arahnya. 

Adinda tertawa seraya bertepuk tangan. Sungguh lucu baginya. Ini pertama kalinya Adinda dikeroyok di kampus. Dengan geng Andromeda yang terkenal pembuat onarnya pula. 

"Gengs... Sini dong! Jangan lupa diviralin ya. Kelima cowok loser ini lagi ngeroyok cewek rapuh kayak gue loh," ucap Adinda mendramatisir. Sontak mengundang beberapa mahasiswa lainnya melihat drama mereka. 

Kini mereka menjadi pusat tontonan. Banyak diantara mereka berkasak-kusuk. 

"Gila ya tuh si Dinda. Berani-beraninya dia ngelawan Sena," ucap mahasiswi berambut pirang. 

"Biasa lah kaya kalian nggak tau Dinda aja. Dia kan urakan. Beda banget tuh sama kembarannya si Dina," sambung mahasiswi bergincu tebal. Mulai membandingkan antara Adinda dengan kembarannya yang juga mahasiswi di kampus ini. 

Sena melangkahkan kakinya mendekati Adinda. Adinda yang tidak gentar juga ikut melangkahkan kakinya mendekati Sena. Mereka nyaris bertabrakan. Jarak diantara keduanya hanya beberapa centi saja. Saling menatap tajam satu sama lain. Sorot mata keduanya menyimpan kebencian yang mendalam. Sena yang membenci Adinda karena merasa harga dirinya diinjak-injak oleh gadis itu, sementara Adinda membenci Sena karena sikap angkuh pria itu. 

Deru napas keduanya saling bertabrakan. Baik Sena maupun Adinda bahkan siap adu jotos. Namun, Sena tidak sebrengsek itu. Melawan wanita dengan kekerasan bukanlah dirinya. 

Sena mendekatkan wajahnya ke telinga Adinda, membuat gadis itu tersentak mundur seketika. Sebelum Adinda melangkah terlalu jauh, Sena sudah mencengkeram pergelangan tangannya. 

"Kalau mau ponsel lo balik, temuin gue entar malam di area balap."

Adinda mendekatkan wajahnya di telinga Sena, ikut berbisik. "Kalau gue bisa kalahin lo hadiahnya udah bukan ponsel lagi, tapi lo harus jadi suami gue. Gimana?" tantang Adinda. 

Adinda sebenarnya sedang menahan tawa saat membisikkan serentetan kalimat menjijikkan di telinga Sena. Sungguh, Adinda hanya ingin mengejeknya. Sialnya, wajah pria itu berubah merona. Seperti gadis yang kedapatan sedang jatuh cinta. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status