Home / Romansa / Bukan Surga Terindah / Bab 3. Aku Ikhlas

Share

Bab 3. Aku Ikhlas

Author: Rusmiko157
last update Last Updated: 2023-06-30 11:14:21

Pikiran Rumi kembali berkelana pada hal-hal yang bersifat "dewasa". Seketika itu, detak jantung di dalam dadanya berubah cepat. Gadis itu merasa gugup, dengan wajah yang terasa memanas.

Ketukan pintu itu terdengar lagi dan sukses membuat Rumi yang sedang bergelut dengan pikirannya itu berjingkat kaget.

"I-iya, sebentar," sahut Rumi.

Gadis itu berjalan ke arah pintu sambil melilitkan handuk ke kepala. Ketika pintu terbuka, Rumi spontan bernapas lega. Bukan Hanan yang muncul di balik pintu kamarnya, melainkan wanita paruh baya yang terlihat seperti asisten rumah tangga.

"Ada apa, Bu?" tanya Rumi sopan.

Wanita paruh baya itu tersenyum simpul lalu berkata, "Panggil saya Mbok Min saja, Non. Saya cuma pembantu di rumah ini.”

Rumi tersenyum ragu-ragu. Memang apa salahnya dia memanggil wanita paruh baya itu dengan sebutan “Bu”? Biarpun hanya asisten rumah tangga, tetapi wanita itu terlihat lebih tua dibandingkan ibu pantinya. Dan Rumi sudah biasa dengan panggilan “Bu” untuk wanita seusia mereka, tak peduli apa pun statusnya.

“Oya, Bu Aida nyuruh saya manggil Non Rumi untuk ikut makan malam,” ujar Mbok Min sambil menunjuk arah belakang dengan ibu jarinya.

"Makan malam?" cicit Rumi.

"Iya, Non. Anggota keluarga yang lain sudah menunggu di meja makan," jelas Mbok Min.

"Oh, i-iya, Mbok. Saya akan segera ke sana," kata Rumi selanjutnya.

Gadis itu merasa canggung untuk berkumpul dengan keluarga suaminya. Rumi merasa tidak layak berada di antara orang-orang kaya itu. Namun, mau tidak mau dia harus menyesuaikan diri dengan keadaan di rumah ini. Karena dia sudah setuju untuk menerima pinangan Aida.

Setelah merapikan penampilan, Rumi segera pergi ke ruang makan. Gadis itu berjalan ragu-ragu mendekat ke arah keluarga yang tengah berkumpul di sana. Masih ada orang tua Aida dan Hanan di rumah itu yang juga ikut makan malam. Sehingga membuat Rumi merasa semakin canggung dan tidak nyaman.

"Nah, itu Rumi," seloroh Aida saat melihat madunya datang.

Rumi tersenyum kaku. Gadis itu tampak kikuk dan bingung harus melakukan apa. Melihat seluruh anggota keluarga berkumpul seperti itu, membuat si gadis gemetar. Diam-diam, kedua tangan Rumi meremas bagian samping tunik yang dikenakannya. Di dalam hati, Rumi tak henti merapalkan afirmasi positif agar kakinya tidak goyah. Sungguh! Tidak lucu jika dia terjatuh karena sendi-sendi di kakinya lemas gara-gara rasa gugup. Pasti akan sangat merepotkan jika harus mengarang alasan agar kekonyolan itu terdengar masuk akal.

"Maaf, membuat kalian menunggu," ucap Rumi dengan suara pelan dan sedikit bergetar. Setelah mengumpulkan segenap keberanian, akhirnya Rumi berhasil membuka suara.

Aida tersenyum kecil lalu berujar, "Enggak, kok. Hanan juga belum turun. Ayo, duduk, Rum!"

Gadis itu mengangguk. Saat dia hendak melangkah, tiba-tiba saja Hanan berjalan mendahuluinya, hingga membuat gadis itu terkejut. Untung saja tidak ada yang memperhatikan. Rumi pun bergegas melanjutkan langkah dan duduk di kursi yang ditunjuk Aida.

Hanan duduk di kursi yang biasa dia tempati tanpa banyak bicara. Dia bahkan tidak sedikit pun menoleh pada Rumi yang duduk di kursi sebelahnya, seolah gadis itu tidak benar-benar ada di sana.

"Ambilin nasi untuk Hanan, Rum," titah Aida dengan senyum di bibirnya.

Seketika itu, Hanan melirik protes pada Aida. Tergambar raut tidak senang saat sang istri pertama meminta Rumi melayani dirinya. Namun, tatapan balasan dari Aida mampu menjinakkannya.

Rumi pun tidak menyangka bahwa Aida akan memintanya melakukan hal itu. Dia melirik pada Hanan dan melihat lelaki itu tampak tidak senang.

"Mbak Aida saja yang mengambilkannya," kata Rumi sambil tersenyum kaku. Jujur dia takut melihat raut tak bersahabat Hanan.

Aida melemaskan bahu dengan ekspresi kecewa.

"Aku kan sudah sering. Sekarang kamu yang ambilin, ya," pinta Aida dengan raut memohon.

Ingin menolak, tetapi sungkan. Ekspresi Aida membuat Rumi tidak sanggup untuk berkata “tidak”. Akhirnya, Rumi melakukan apa yang Aida perintahkan. Dia mengambil nasi untuk Hanan.

“Cukup!” kata Hanan sedikit ketus.

“Lauknya mau yang mana?” tanya Rumi takut-takut.

Hanan melepas napas keras lalu menjawab sambil menunjuk udang saus, “Itu saja.”

Rumi mengangguk lalu mengambilkan lauk untuk sang suami. Saat dia bertanya apa lagi yang Hanan inginkan sebagai lauk, gadis itu malah mendapat ucapan ketus. Sontak saja, anggota keluarga yang lain langsung menegur Hanan dan meminta Rumi mengambil makanan untuk diri sendiri.

“Jangan kasar sama istri!” tegur Rifkah—ibunya.

Hanan tidak membalas dan lebih memilih menyantap makan malam dalam diam. Percuma juga dia membela diri, karena semua jari pasti akan menunjuk kepadanya.

Selama makan malam itu, para orang tua terlihat saling pandang. Hanya Aida yang terlihat paling riang. Para orang tua tahu betul bahwa senyum yang terlukis di bibir Aida hanyalah sebuah kepalsuan. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain memberi dukungan.

Usai makan malam, Hanan dan Aida sempat berdebat tentang di mana Hanan akan tidur malam ini. Lelaki itu ingin tetap tidur bersama Aida. Namun, Aida memintanya untuk tidur bersama Rumi.

"Han, ini malam pertama kalian. Pergi ke kamar Rumi dan berikan haknya sebagai istrimu," kata Aida.

"Aku nggak bisa. Aku belum siap, Da. Bukankah kita sudah membicarakan masalah ini? Aku bersedia menikah lagi, tetapi untuk urusan itu, tunggu sampai aku siap." Hanan bersikeras menolak.

"Jangan begitu dong, Han. Itu namanya kamu nggak adil," protes Aida.

"Bukankah aku juga sudah pernah bilang kalau aku nggak yakin bisa bersikap adil?" Hanan mengungkit perdebatan mereka yang telah lalu. "Aku tahu kamu terluka, Da. Please, jangan membuatku semakin merasa bersalah," mohon lelaki itu dengan raut sedih sambil memegang kedua bahu Aida.

"I'm okay. Aku sudah memikirkan masalah ini berulang kali." Aida menurunkan tangan sang suami lalu menggenggamnya. Dia tatap kedua netra lelaki itu lekat-lekat, lalu berkata dengan senyum hangta, "Lakukan kewajiban kamu, Han. Aku ikhlas.”

Hanan balas menatap lekat-lekat kedua mata Aida. Lelaki itu meneguk ludah. Entah mengapa, senyum yang terukir di bibir istrinya terasa begitu menyayat hati. Hanan seolah tak rela untuk membiarkan istrinya tidur seorang diri. Namun, Aida terus mendesak bahkan setengah mengusirnya dari kamar. Hingga mau tak mau, lelaki itu pun pergi ke peraduan istri keduanya.

"Jangan lupa berdoa," pesan Aida pada suaminya.

Setelah itu, Aida menutup pintu. Wanita itu bersandar pada papan kayu tersebut sambil menyentuh dada. Bibirnya tampak bergetar, kala mengembuskan napas panas yang mengundang air mata untuk meleleh di pipi.

Deru napas Aida berubah semakin berat, hingga rasanya begitu tercekat. Perlahan, tubuh wanita itu merosot, bersimpuh di lantai sambil menyandarkan kepala pada pintu. Tubuhnya terasa begitu lemas dan Aida tergugu seorang diri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Surga Terindah   Bab 83. Bahagia dalam Cara yang Berbeda

    Gema tawa kecil itu menyambut Hanan begitu dia melangkah melewati gerbang. Di teras rumah, seorang gadis kecil berlari, dengan pipi merah yang tampak bersinar di bawah sinar hangat sore.“Maira!” seru Hanan, wajahnya penuh senyum.Maira menoleh, matanya membulat saat melihat sosok pria yang sudah tidak asing baginya. “Papa!” serunya dengan suara kecil yang riang. Dia berlari ke arah Hanan dengan langkah-langkah mungilnya yang tergesa-gesa.Hanan berjongkok, membuka tangannya lebar-lebar. Ketika tubuh mungil itu sampai di pelukannya, Hanan mengangkat Maira tinggi-tinggi, memutarnya perlahan di udara. “Anak Papa sudah gede sekarang.”Maira tertawa riang, lalu Hanan menurunkannya.“Selamat ulang tahun, sayang,” katanya sambil mencium pipi Maira yang tembam.Gadis kecil itu tertawa lagi, menggeliat senang dalam pelukan Hanan. “Papa mau kado?” tanyanya polos tapi penuh antusias.Hanan tertawa kecil. “Tentu saja! Papa nggak akan lupa bawa kado untuk Maira.”Maira menggerak-gerakkan kepalany

  • Bukan Surga Terindah   Bab 82. Ikhlas yang Sesungguhnya

    “Ma, aku masuk dulu,” bisik Hanan pada Rifkah.Sang ibu mengangguk, dan membiarkan putranya pergi. Prosesi pemakaman hari itu berjalan dengan khidmat. Para pelayat silih berganti mengucapkan bela sungkawa. Hanan sudah lelah. Dia ingin sejenak menyendiri, jauh dari suasana duka para pelayat yang datang.Langkah lelah Hanan membawa lelaki itu ke halaman samping. Bunga-bunga bermekaran di taman kecil, seolah tidak menyadari duka yang menyelimuti tempat itu. Warnanya cerah, menciptakan kontras yang tajam dengan suasana hati semua orang yang hadir. Di tempat tersebut, Hanan duduk diam di bangku kayu kecil, memandang bunga-bunga itu dengan tatapan kosong.Bunga-bunga itu adalah karya terakhir Rumi sebelum penyakitnya menggerogoti. Dia menanamnya dengan penuh cinta, seakan tahu bahwa keindahan itu akan menjadi kenangan bagi orang-orang yang ditinggalkannya.Aida berdiri di dekat pintu, memperhatikan Hanan dari kejauhan. Hati kecilnya memanggil untuk mendekat, tetapi dia ragu. Tangannya gemet

  • Bukan Surga Terindah   Bab 81. Dari Hanan untuk Rumi

    Langkah Aida berat. Bukan karena tubuhnya yang lelah, tetapi hatinya yang terasa seperti diselimuti oleh beban tak terlihat. Dia berjalan di belakang Kenan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa begitu kencang hingga seolah akan melompat keluar.Di ujung lorong rumah sakit, sosok Rifkah terlihat berdiri di samping Hanan yang terpuruk. Hanan membungkuk, wajahnya tenggelam dalam kedua tangan. Bahunya terguncang oleh isak tangis yang tak dapat dia tahan. Rifkah memeluk putranya erat-erat, seperti mencoba memberikan kekuatan yang dia sendiri tidak yakin masih dimilikinya.Langkah Aida melambat. Air matanya mengalir tanpa henti. Dia ingin mendekat, tetapi tubuhnya seperti tak punya tenaga. Semua perasaan bercampur menjadi satu: takut, marah, kecewa, dan rasa bersalah yang entah datang dari mana.Dokter keluar dari ruang ICU, wajahnya penuh kelelahan dan kesedihan. Semua orang di lorong itu menahan napas, berharap ada kabar baik. Tetapi, dalam hati, mereka tahu harapan itu terlal

  • Bukan Surga Terindah   Bab 80. Pecah

    Kenan terbangun dengan ponsel yang bergetar di meja samping tempat tidurnya. Dia meraihnya dengan mata masih setengah terbuka, memeriksa siapa yang menelepon. Nama Hanan tertera di layar. Ketika dia menilik waktu, ternyata masih sangat pagi.“Ngapain dia telepon pagi buta begini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau.“Ken,” suara Hanan terdengar berat, nyaris tenggelam oleh emosi.“Kenapa lo?” tanya Kenan. Dari suara yang terdengar, dia yakin ada sesuatu yang terjadi.“Rumi … dia kritis,” jawab Hanan.Kenan langsung terduduk. “Apa?”Rasanya masih terlalu pagi untuk mendengar berita buruk ini. Mata Kenan langsung terbuka lebar, dan seketika rasa kantuk hilang.“Semalam dia muntah darah. Sekarang dia ada di ICU, dan dokter bilang kondisinya sangat buruk,” papar Hanan sambil menahan sesak di dalam dada. “Gue nggak tahu harus gimana. Gue ….” Dia begitu berat untuk melanjutkan kata-katanya.Jantung Kenan berdegup lebih cepat. “Lo tenang dulu. Gue akan segera ke sana,” katanya tegas.Hanan

  • Bukan Surga Terindah   Bab 79. Cahaya dalam Gelap

    Sepulangnya dari rumah Laila, Hanan tidak langsung kembali ke rumah sakit. Dia bahkan meminta Salma untuk menjaga Rumi selama dia pergi. Hanan butuh waktu untuk menenangkan diri. Lelaki itu pulang ke rumah, mengurung diri di dalam kamar sambil mengenang semua kenangan indah bersama Aida.“Aku nggak nyangka, Da. Kita akan berakhir secepat ini,” gumam Hanan sambil membelai foto pernikahannya dengan Aida di sebuah pigura kecil.Lelaki itu menarik napas dalam. Rasanya sangat sakit, tetapi dia harus terbiasa dengan ini. Aida bukan istrinya lagi.Ketika perasaannya sudah lebih baik, Hanan baru kembali ke rumah sakit. Kala itu masih pagi. Udara terasa dingin, sedingin hatinya yang dipenuhi rasa kehilangan. Begitu tiba di kamar Rumi, dia melihat Salma sedang menyuapi sang istri.“Assalamualaikum,” sapa Hanan, berusaha menampilkan senyum terbaiknya, meski hati merana.“Waalaikumussalam,” balas Salma dan Rumi bersamaan.Salma beranjak dari kursi lalu berkata, “Rumi baru saja selesai sarapan.”“

  • Bukan Surga Terindah   Bab 78. Keputusan Berat

    Tatapan Aida menajam, rahangnya mengeras.“Kenapa Mama biarin dia masuk?” Aida menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—marah, kecewa, dan terluka bercampur menjadi satu. Suaranya bergetar, tidak hanya karena lelah fisik, tetapi juga tekanan batin yang dia rasakan.Laila menghela napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Dia suamimu, Aida. Kalian perlu duduk berdua, bicara dengan kepala dingin. Biar kesempatan Hanan untuk memberi penjelasan.”Aida tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kegetiran. “Suami? Mama pikir seorang suami akan melakukan apa yang dia lakukan? Yang meninggalkan istrinya sendirian di saat hampir mati? Yang memilih untuk membohongiku daripada jujur sejak awal?”“Aida ….”“Ma,” potong wanita itu. “Aku sudah lelah dengan semua kebohongannya. Aku nggak mau lagi mendengar penjelasan apa pun darinya.”Hanan, yang sejak tadi diam, mencoba melangkah mendekat. Tetapi gerakannya terhenti ketika Aida mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti.“Ja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status