Share

Perkara Makan

“Ya tuhan, punggungku benar-benar terasa pegal!” Amanda mengeluh. Wanita itu baru saja mendudukkan diri pada sofa di teras vila. Tepat setelah menyapu pelataran rumah yang kotor karena daun-daun pohon yang gugur. Ia membiarkan sapu yang ia gunakan terjatuh mengenaskan di atas lantai. Biarlah, ia akan mengambilnya nanti. Yang perlu dilakukannya saat ini adalah mengatur deru napasnya sendiri.

Ia memejamkan mata, angin sepoi-sepoi yang sangat jarang ia temukan di pusat kota membuat Amanda larut dalam hening. Mencoba merespi apa yang tengah dirasanya saat ini. Di depan vila, hanya ada satu kamera pengawas, letaknya di atas pintu. Amanda tidak memperdulikan itu. Ia hanya ingin duduk sebentar karena tubuhnya terasa sangat pegal.

Perlu diingat kembali, ini adalah kali pertama Amanda menyapu atas kemauannya sendiri. Di rumah, ia selalu mengandalkan semua tugas harian pada pelayan yang ayahnya pekerjakan. Termasuk pakaaian dan kebersihan kamar. Sejak kecil, ayahnya selalu memanjakan putri sematawayangnya. Ia hanya perlu duduk manis di atas sofa sembari menonton serial televisi favoritnya. Oh, Amanda langsung merindukan rumah begituu pemikiran itu mampir dalam otaknya. Lantas ia mengembuskan napas panjang, ternyata kegiatan yang menurutnya sangat melelahkan ini berhasil membuat perutnya keroncongan.

Suara perut berbunyi. Amanda langsung melebarkan mata setelah terpejam lumayan lama. Reflek kedua tangan mungil milik gadis itu mengusap pelan perutnya yang datar. Demi apapun, sejak dulu perutnya sama sekali tidak pernah sampai berbunyi seperti ini. Bahkan sebelum ia merasa lapar, makanan yang Amanda inginkan telah di sediakan pelayan.

Sepertinya tidak untuk sekarang, ia meratapi nasib yang tengah ia jalani saat ini.

Senja yang berdiri di ambang pintu mengamati tiap pergerakan Amanda sejak wanita itu memegangi perutnya. Pintu utama vila memang ia buka, tentunya agar udara di dalamya terganti dengan udara segar dari luar. Ia baru selesai mengepel lantai, lalu menemukan Amanda terduduk dengan raut wajah lapar.

Senja berdeham, ingin membuat Amanda mengalihkan perhatian sebentar.

Dehaman itu langsung ditanggapi Amanda dengan pekikan tertahan, gadis itu memnoleh ke arah sumber suara dengan posisi tubuh yang masih terduduk di tempat semula. Mendapati keberadaan Senja, lantas ia mengembuskan napas panjangnya.

“Sudah selesai menyapu?” tanya pria itu. Amanda tak langsung menanggapi, ia kembali menaatap lurus ke depan sembari bersandar. Pertanyaan tak berbobot apa itu? Tidakkah Senja melihat jika pelataran hingga dalam rumah sudah sangat bersih? Dimana otak pintar yang biasa pria itu gunakan?

“Amanda, aku sedang berbicara denganmu,” ujar Senja kembali. Sepertinya kesal karena merasa terabaikan. Mendengarnya, Amanda mendengus tidak senang. Ia merotasikan bola mata, lalu mengadahkan wajah guna menatap manik jelaga yang berdiri di sisi tubuhnya.

“Apa lantai yang sangat bersih ini tidak cukup untuk memberitahumu?” Amanda bertanya dengan nada kesal. Namun, dalam pandangan Senja, gadis itu malah tampak menggemaskan.

“Sudahlah, kita lanjutkan sore nanti. Kau merasa lapar?” Senja bertanya.

Raut wajah Amanda langsung berubah dengan cepat. Wanita itu beralih menatap Senja dengan tatapan berbinar begitu laki-laki itu menayakan apakah sekarang ia merasa kelaparan.

“Tentu saja, aku merasa lapar. Kau sudah memasak untukku, Senja?” tanya Amanda balik tanpa mengubah raut wajah antusiasnya.

Senja menggaruk kepala belakangnya sebentar, lalu menggeleng pelan. Tanggapan itu perlahan memudarkan senyuman pada wajah Amanda. Firasatnya berubah tidak enak sekarang.

“Seperti biasa, kita hanya bisa mengandalkan hasil ladang. Dan persediaan kita hanya tersisa sedikit,” ungkap Senja apa adanya.

Bahu Amanda kembali merosot, pupus sudah keinginannya untuk makan lebih cepat. Mereka tidak memiliki bahan lebih untuk memasak. Sementara ladang mereka baru saja dipanen. Amanda tidak tahu siapa yang harus di salahkan di sini. Namun tersangka yang jelas dan pasti adalah dirinya sendiri. Ia tidak bisa tidur dengan perut lapar, alhasil beberapa mentimun dan wortel sebagai bahan persediaan selalu ia makan diam-diam.

“Ladang kita belum panen, apa yang harus kita lakukan? Senja, aku benar-benar sangat lapar sekarang,” rengek Amanda. Tangan gadis itu bahkan mengudara menuju kaus rumahan yang dipakai sang pria, lalu menggoyang-goyangkannya dengan gerakan memelas tiada tara. Senja hanya bisa mengigit bibir, apa Amanda sedang menguji keimanannya dengan cara bertinggah lucu seperti sekarang? Jika benar, gadis itu menang.

“Baiklah-baiklah, berhenti merengek seperti itu. Kita bisa meminta sedikit bahan makanan pada Marsha dan Michel,” ujar Senja memberikan usulan. Amanda mengangguk-anggukkan kepala. Itu lebih baik, setidaknya mereka harus berusaha terlebih dahulu.

“Baiklah, ayo pergi. Asal tidak meminta pada Bianca si bibir merah menyala itu, aku bersedia meminta pada siapa saja.”

Senja hanya menggeleng-gelengkan kepala begitu mendengar julukan nyleneh yang Amanda buat untuk Bianca. Hubungan dua gadis itu memang tidak terbilang baik. Sepertinya Senja tidak perlu menegurnya, ini bukan yang tepat.

“Jangan mengulur waktu, ayo pergi sekarang!” Senja berjalan lebih dulu, ia meninggalkan Amanda yang langsung meletakan sapu di samping rumah dan menutup pintu vila yang mereka tempati.

“Senja, jangan tinggalkan aku!” serunya.

Jarak antar vila peserta memang cukup jauh, sekitar dua kilo meter. Amanda menghabiskan sisa tenaga yang ia punya untuk berjalan kaki dengan langkah pelan. Sementara Senja yang jelas memiliki kaki lebar dan tenaga yang lebih besar dibanding pasangannya, berjalan lima langkah mendahului Amanda.

Terik matahari berada di atas kepala, ini masih setengah satu. Amanda benar-benar menggerutu sepanjang perjalanan menuju vila yang Marsha tempati. Dan sialnya, vila yangia huni bersama Senja berletak paling ujung dibandiung vila-vila di dekat pantai ini.

“Sampai juga,” ujar Senja. Kini laki-laki itu membalikkan tubuh, tersenyum lebar pada Amanda yang berjarak lima langkah dari posisi berdirinya. Penampilannya tidak bisa dikatakan baik, bahkan Manda tidak peduli rambut tergerainya lepek karena terpapar sinar matahari.

Ucapan pria itu mengundang embusan napas lega Amanda, Wanita itu langsung menumpukkan tubuh pada sebuah meja di depan vila sembari mengatur napasnya.

“Sangat terlihat jika kau jarang berolahraga,” sindir Senja. Amanda sering kelelahan karena hal sepele. Mendengarnya, Amanda langsung mendengus kesal. Ia memang jarang berolahraga, tetapi itu bukan berarti tidak pernah. 

“Aku memiliki riwayat asma, tidak bisa terlalu lelah. Jadi dibanding berlari-lari seperti ini, aku lebih sering senam ringan atau yoga.” Amanda berkata sembari memalingkan wajah.

Senja mengira, Amanda sedang tersinggung. Mau bagaimanapun, ia lupa jika gadis di sampingnya ini selalu berakhir tidak baik saat kelelahan. Ia merasa bersalah sekarang. Suasana di sekitar mereka pun berubah menjadi canggung.

Pintu vila baru saja terbuka, “Senja, Amanda? Apa yang kalian lakukan di sini?” Michel keluar sembari mengangkat alis. Laki-laki dengan wajah bule dan hidung mancung itu menggunakan pell of mask hasil meminta dengan memelas pada Marsha.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status