Share

BWC 3

POV Narendra

"Rendra." suara lembut Tiara memasuki runguku.

Aku membuka mata perlahan, melirik angka yang ditunjukan oleh jarum jam dinding. Pukul dua dini hari, dan Tiara membangunkanku dari tidurku.

"Aku mimpi buruk."

Lagi. Akhir-akhir ini Tiara sering mengalami mimpi buruk. Membuat tidurnya terganggu dan merasa tidak tenang.

Tiara merangsek kedalam pelukanku. Meletakkan wajahnya didadaku. Seperti biasa aku mengusap kepala hingga punggungnya. Memberikan rasa nyaman.

"Making love? Mungkin dengan sedikit bergerak, kamu akan bisa tidur lebih nyenyak," tawarku kepada Tiara dengan sedikit mengodanya.

Istriku menggeleng pelan.

"Nggak mau. Percuma, Aku nggak akan bisa hamil juga meski sesering apapun kita melakukanya." lirihnya sendu.

"Aku nggak memaksa kamu harus bisa hamil, honey. I just need you to happy."

"Rendara."

"Hmm."

"Apa kamu nggak mau menikah lagi?"

"Hah?!"

"Mungkin aku nggak bisa hamil, Ren. Aku bukan wanita sempurna dan penyakitan. Aku nggak akan bisa bahagiain rumah tangga kita."

"Aku nggak butuh kamu hamil. Kamu denger itukan?! Kamu mau punya anak? Ok, weekend ini kita cari anak seperti yang kamu mau. Kita keliling panti asuhan untuk mencarinya."

"Bukan anak dari panti, Ren. Anak yang berbentuk dari sperma kamu. Anak darah daging kamu, keturunan Bagaskara."

"Emang Mama dan Papa nuntut kamu? Selidikku dengan mata tajam yang menghunus netranya.

"Enggak. Mama nggak pernah ngomong apapun soal anak padaku. Aku ... Cuma nggak mau jadi wanita egois yang menghabiskan sisa usia kamu dengan tidak memiliki satu keturunan pun."

"Kalau hanya soal keturunan Bagaskara, Mama dan Papa bisa mendapatkan itu dari Nola. Kita nggak perlu khawatir."

Aku menghela nafas panjang.

"Kalau saja dulu aku tidak membiarkan kamu mengikutiku. Meminum alkohol, merokok dan dengan gaya hidup yang tidak sehat. Kamu tidak perlu hidup dengan hati yang tidak lagi berfungsi baik."

Aku kembali memeluk Tiara menghantarkan rasa sayang pada dirinya.

"Satu ronde saja, Honey. Aku sudah bangun malam-malam karena kamu." godaku.

Tiara tersenyum samar dan mengangguk lemah. Aku tau, meski mungkin kami mengawali rumah tangga kami tidak dengan cinta dihati. Namun rasa sayang yang kami pelihara sejak kecil, mampu membawa rumah tangga kami tetap harmonis. Meski tanpa anak yang hadir di delapan tahun pernikahan kami.

"Kamu pasti seneng banget deh, kalau punya istri yang bisa hamil dan melahirkan darah daging kamu. Cairan ini jadi tidak terbuang percuma," Ucapnya masih mengatur nafas setelah sesi pelepasan yang kami rasakan berdua.

Aku membungkam mulutnya dengan lumatan. Aku malas mendengar apapun yang ingin dia ucapkan tentang anak atau darah daging itu. Just live your live easily. Tak perlu pusing dengan sesuatu yang memang belum tuhan takdirkan untuk kita.

**

"Nola."

"Apa Bang?"

"Itu teman kamu, Raihana jadi staff bagian apa?" tanyaku yang kini membantu Tiara menyiapkan obat yang harus ia minum setelah makan.

"Team produser reality show."

"Owh, sejak kapan?"

"Empat tahun yang lalulah. Emang Abang nggak tau?"

"Enggak. Ngapain juga harus tau. Kok aneh ya, selama aku disini baru ketemu sekarang."

"Ya, nggak aneh. Kalau apa-apa Abang nyuruh sekertaris Abang. Mana tau Abang siapa-siapa staff yang kerja dikantor. Dasar sombong."

"Bukan Sombong Nola! Kerjaan Abang bukan cuma dikantor Bagaskara group. Aku masih punya bisnis cafe yang harus kupikirkan."

"Hebat Hana, tuh. Mengurus ibunya yang sakit serta menghidupi kedua adiknya. Waktu aku cerita ke Papa, Beliau langsung nyuruh Hana masuk team Bagaskara group tanpa interview," ujar Nola menceritakan soal temannya itu.

"Owh, Papa baik, ya. Teman kamu sampai diberi kemudahan masuk kantor," sahut Tiara.

"Gimana nggak baik. Orang Hana berjasa buat Nola. Nggak ada Hana, pendidikan Nola keteteran tuh. Otak diakan pas-pasan, mana bisa lulus tanpa bantuan Hana," celutukku santai.

"Kurang ajar lo, Bang."

**

"Rendra. Kamu nggak mau memikirkan permintaan aku?"

Aku mengalihkan pandangan dari jendela yang meninggalkan jejak basah karena hujan lalu menatap heran pada pertanyaan Tiara.

"Permintaan yang mana?"

Aku mengerutkan kening. Mencoba mengingat apa yang tidak aku berikan pada istriku itu.

"Menikah lagi, mencari wanita yang bisa melahirkan keturunan Bagaskara," ucapnya lirih.

"Tidak untuk itu, Tiara. Aku tidak membutuhkan itu saat ini, dan aku juga tidak ingin memiliki wanita lain."

"Tapi aku mau, Ren. Aku ingin ada wanita yang bisa melengkapi hidup kamu."

"Sudah. Kamu sudah melengkapi semua kekuranganku," hiburku santai.

"Kurang lengkap tanpa anak, Rendra."

"Istirahtalh Tiara. Aku mau ke ruanganku sebentar, ya."

"Bukan ke ruang bawah tanah untuk minum wine kan?"

"Hanya sedikit saja, Honey."

Permintaan Tiara sangat konyol dan berat buatku. Tak munafik, diusiaku yang sudah tiga puluh tahun dan hampir semua temanku sudah memiliki anak. Sedangkan aku yang sudah delapan tahun menjalani pernikahan, belum sama sekali mendapatkan sesuatu yang disebut buah cinta itu.

Dokter sudah memberikan vonis Tiara tidak bisa memiliki keturunan. Sudah aku ketahui sejak setahun kami menikah. Aku tidak mengetahui jika Tiara selalu bermasalah saat mendapatkan jadwal menstruasi. Ternyata memang ada sesuatu dirahimnya. Bukan kami tak berusaha. Segala jenis pengobatan sudah coba kami tempuh.

Sekarang aku tak habis pikir apa yang ada dikepala Tiara, hingga dia memintaku memadunya. Jika wanita lain akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan suami, Tiara justru memintaku untuk jatuh kepelukan wanita lain.

Apa Tiara sudah mulai gila?

Memandang merah pekat dalam gelas yang kugengam. Aku sadar, aku masih berengsek dengan diam-diam mengkonsumsi cairan yang menambah daftar penyakit Tiara.

Harusnya aku sadar, ini racun, tapi aku tetap menyukainya. Entahlah.

**

"Bang, kemarin lo mabok, ya?"

"Siapa yang mabok? Lagian cuma satu gelas untuk menghangatkan. Bukan memabukkan."

Nola memutar bola matanya.

"Tetep aja nggak bener. Sekarang bini lo kayak gitu semua gara-gara lo. Ngeracunin dia pake minuman itu."

"Udah, keluar gih kalau nggak ada urusan. Pusing gue." Nola datang keruangan kerjaku hanya untuk menambah buruk mood ku saja. Lebih baik ku usir saja gadis ceriwis itu.

"Bang, aku dengar semua dari Kak Tiara." Nola duduk dikursi kosong di depan mejaku. Menatapku lekat, "Dia minta lo poligami, ya? Lu nggak mau?"

"Nola, Neraca keuangan cafe gue banyak. Ada tiga cabang yang harus gue cek neraca cashflow-nya, dan lo cuma mau menganggu gue."

Aku menatap Nola tegas. Semoga ini bisa membuatnya mengerti, bahwa aku nggak mau membahas  ini.

"Gue cuma mau bilang aja. Kak Tiara udah berkorban banyak demi lo. Kalau lo beneran sayang sama bini lo. kitakan nggak tau nih, dia bisa bertahan sampai kapan. Mending lo bahagiain dia deh. Turutin dan lakuin apa saja yang bikin dia seneng."

Nola berdiri dan meninggalkanku.

Menghela nafas dan mengusap kasar wajahku yang pastinya tampak kacau. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan.

Apa aku mencari pelacur saja yang bisa aku sewa untuk mengandung anakku?

Mungkin jasa rahim sewaan atau surrogate mother, yang jelas tidak menikah lagi. Aku tidak sanggup jika nanti jatuh cinta dengan wanita lain, disaat kondisi Tiara yang seperti ini.

**

Selesai mengadakan meeting bersama karyawan cafe. Aku memeriksa ponselku dan membuka aplikasi berwarna hijau. Menemukan pesan dari Tiara yang pertama kali aku buka.

"Aku sedang berada di kantor Bagaskara group. Menunggu diruang kerjamu."

Menjalankan dua usaha sekaligus memang melelahkan. Namun aku menikmati dan tetap fokus dengan apa yang aku geluti saat ini.

Sampai kantor Bagaskara group yang didirikan Papa dengan perjuangan yang tak mudah. Sebenarnya ini bukan passion-ku, tapi demi menghargai keinginan Papa dan rasa bersalahku, akhirnya aku menurut untuk bergabung disini.

Menaiki lift menuju lantai tujuh, dimana ruanganku berada. Sambil aku terus memikirkan, bagaimana caranya aku mewujudkan permintaan Tiara. Bagaimana juga pandangan keluarga besarku dan keluarga Tiara nanti?

Aku menghela nafas, menetralkan raut wajahku agar tampak biasa saja. Aku memutar handle pintu dan mendorongnya perlahan.

Runguku tiba-tiba menangkap obrolan Tiara dengan seseorang didalam. Enggan melangkah masuk, karena aku mendengar Tiara membicarakan hal gila  yang pernah kudengar dari mulut manisnya.

"Hana, Mau ya menikah dengan Narendra. Saya melamarmu untuk menjadi maduku."

"Tiara!!"

Kedua wanita itu kini menatapku dengan raut kaget.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status