Share

BWC 2

Aku menelpon ambulance untuk membawa ibuku menuju rumah sakit. Sejak tiga bulan beliau diperbolehkan pulang ke rumah. Ibu kembali kelelahan dan penyakit jantungnya kambuh lagi.

Terkadang ibu mengindahkan permintaanku untuk istirahat total saja. Menutup usaha menjahitnya.

Masih dengan deraian air mata, aku terus memeluk ibu yang tengah berjuang dengan nafas yang sesak dan tubuh membiru dibeberapa bagian.

Aku berlari kemeja administrasi dan menyelesaikan beberapa dokumen terkait tindakan yang akan dilakukan dokter untuk menangani ibu.

Selalu seperti itu, sejak lima tahun. Aku sudah melatih diri untuk selalu bersiap dengan kondisi ibu yang jatuh bangun.

Membuka ruang rawat inap ibu, seakan tak memiliki  beban dipundak. Dihadapan ibu aku harus terlihat kuat. Lagipula ibu bukanlah beban dalam hidupku.

Meski terasa berat dan melelahkan. Suatu kenikmatan yang harus disyukuri masih memiliki orang tua.

"Bu ..., Istirahat ya, jangan pikirkan apapun. Hana harus kembali ke kantor sebentar. Nanti istirahat makan siang, Hana kesini buat suapin ibu sekalian makan siang."

Kubenahi letak selimut ibu. Lalu keluar ruang rawat inap setelah memastikan ibu sudah istirahat.

Ah, aku belum sempat sarapan karena tragedi ibu sesak nafas. Tadi pikiranku mendadak diserang  cemas. Meski bukan pertama kali ibu mengalami kejadian ini.

Tak masalah kini aku mampir sebentar untuk membeli kue, sebagai pengganti sarapanku yang terlambat.

"Pak Naren?"

Benar aku tak salah liat. Ya, Itu Narendra kakaknya Nola. Dia terlihat kacau. Ada apa?

Mataku mengikuti arah ranjang dorong menuju ruang internist. Tak melihat dengan jelas siapa yang berada diranjang, yang jelas Pak Naren terlihat khawatir dan ikut berlari bersama tim medis yang mendorong ranjang itu.

Melirik jam tangan. Aku harus bergegas kembali kekantor. Sebelum diomeli timku.

**

Siang hari aku mengambil box cetering jatahku dari kantor dan membawanya ke rumah sakit tempat ibu dirawat. Jarak kantorku dan tempat ibu dirawat kebetulan dekat, tak lebih dari lima belas menit mengendarai motor maticku.

"Hana, lo ngapain disini?"

Aku menoleh dan mendapati Nola dengan pakaian formalnya berjalan kearahku. Saat ini kami tengah berada dilorong koridor rumah sakit.

"Ibuku dirawat disini,"

"Ya ampun, kenapa? Kambuh lagi," tebaknya dengan mimik prihatin.

"Begitulah," aku mencoba menarik sudut bibir. Menguatkan diri sendiri, "Trus kalau lo sendiri ngapain disini?"

Oya, ingatanku kembali pada peristiwa tadi pagi. Saat aku melihat Narendra Bagaskara disini.

"Kak Tiara. Aku datang untuk menjenguknya."

"Sakit apa?" tanyaku kaget.

"Fungsi hatinya abnormal, gitu deh. Aku juga kurang paham soal penyakitnya."

Aku menarik nafas dalam. Ternyata selebgram cantik itu juga memiliki penyakit pada tubuhnya.

Setelah menyuapi ibu makan. Nola mengajakku keruang rawat inap iparnya.

Tadi dia memilih mengikutiku terlebih dulu untuk melihat kondisi ibuku.

"Kak Tiara," Sapa Nola sendu mendekat kearah brankar. Sedangkan aku hanya menganggukan kepala sebagai bentuk kesopanan.

Sebenarnya aku sungkan harus berada disini.

Aku melirik tubuh tertutup selimut sebatas dada. Kemana wajah cantiknya istri Narendra itu?

Tangan, kaki dan wajahnya tampak membengkak.

"Honey. Bagaimana kalau kita pindah rumah sakit saja. Singapure."

"Aku mau disini saja, Ren. Sama saja," lirih Tiara menjawab ajakan suaminya. Dari suaranya wanita itu terdengar seperti sudah lelah atau mungkin putus asa.

"Ibunya Hana juga dirawat disini. Aku baru saja menjenguknya," ujar Nola tanpa ada yang bertanya. Gadis  itu memang cerewet.

"Sakit apa, Hana?"

Si cantik dengan rambut yang mulai tampak menipis itu memandangku.

"Jantung. Sudah sering keluar masuk Rumah Sakit."

"Dirawat diruang mana?"

"Kelas satu. Ruang Anggrek."

"Sayang, bisa aku pindahkan kesana?" pintanya menatap pada sang suami dengan raut memohon.

Hah. Apa aku tak salah mendengar?

Tidak hanya aku. Nola juga tampak kaget mendengar permintaan aneh iparnya. Apalagi Narendra yang menatap sang istri dengan wajah terlihat shock.

Dia jelas sudah berada diruangan kelas VVIP. Lalu kenapa tiba-tiba ingin pindah keruangan kelas satu?

Konyol sekali. Orang kaya memang beda.

**

Jam tujuh malam setelah aku menyelesaikan proposal konsep untuk program baru. Kemarin sempat ditolak, tapi aku belum mau menyerah. Mencoba meperbaiki agar bisa lebih meyakinkan.

Aku membereskan meja kerjaku. Lantas menuju Rumah Sakit. Ibu sudah beberapa hari dirawat disana. Beliaupun kini tidak sendiri diruangan itu.

Aku tersenyum pada Tiara saat memasuki ruangan.

Akhirnya setelah drama yang terjadi kemarin, wanita itu dipindahkan diruangan yang sama dengan ibuku.

Alasanya biar dia punya teman dan tak mau sendiri. Padahal ada Narendra, sang suami. Selalu setia menemani. Entahlah.

"Malam Kak Tiara."

"Malam Hana. Kok baru datang, sibuk banget, ya.

Tadi ibu makan sendiri, lho," ucap Tiara melirik ranjang ibu. Disana ibu tampak tertidur pulas.

"Untung tadi ada Nola dan Rendra disini. Kami makan bersama barusan," lanjutnya.

Aku tersenyum malu karena kurang memperhatikan ibu. fokusku teralihkan oleh pekerjaan yang menumpuk.

"Jangan terlalu memforsir untuk bekerja. Kalau butuh tenaga untuk team. Buat saja laporan ke HRD supaya mereka bisa mencarikan kandidat untuk team bagianmu."

Oh. Suaminya adalah Direktur utama. Tentu dia tau banyak soal pekerjaanku.

"Sejauh ini masih bisa diatasi. Nanti jika diperlukan," kilahku sopan.

Dia tersenyum dan mengangguk 

"Eh, Itu apa?"

Tunjuknya saat aku mengeluarkan buku bersampul bunga-bunga dari tas. Buku yang selalu aku bawa kemana-mana.

"Oh, ini buku diary,"

Tiara tampak terperangah tak percaya.

"Wah, sejak kapan suka nulis diary? Zaman sekarang masih ada yang melalukan hal itu. Kamu unik, Hana."

Entah itu pujian atau sebenarnya dia menganggap aku kuno. Aku tak perduli.

"Sejak SMA. Lebih tepatnya sejak Ayah pergi. Kadang ada hal yang sulit kita bagi. Menulis diary bagiku adalah salah satu komonikasi  intrapersonal. Aku membagi kisah pada buku ini, untuk aku ingat lagi suatu hari nanti."

"How romantic you are," puji Tiara  padaku.

Apa yang romantis dari menulis diary? Biasa saja menurutku.

"Honey," Aku mendengar suara Narendra memasuki ruangan. 

Aku bergegas berlagak sok sibuk.

Melihat interaksi antara mereka membuat hatiku seperti tercubit.

Memakai headseat untuk menampakkan kesan serius. Sambil membuka berkas untuk menyelesaikan pekerjaan kantor, seolah tak bisa diganggu. Aku butuh konsentrasi tinggi. Namun sebenarnya aku tak memutar apapun diponselku.

"Rendra," kulirik Tiara yang menyambut manis suaminya. Entah mengapa aku mendadak tidak suka apa yang terjadi didepanku saat ini.

Sakit dan perih. Entah karena trauma masa lalu itu, atau karena aku sebenarnya cemburu?

"Honey, bagaimana kalau kita nonton malam ini. Lihat aku suka pasangan suami istri dalam filem ini. Mereka seperti kita, menghabiskan masa kecil hingga tua bersama. Seperti rasaku terhadap kamu, karena buatku kamu segalanya."

Uhuk.

Aku tersedak. Mendengar ucapan Narendra si brengsek tukang mabuk itu.

"Raihana, kamu okay?"

"Apa, kak?" Tanyaku pura-pura baru tersadar.

"Kamu tersedak, kamu tidak apa-apakan, Hana?"

Sesaat aku melihat sorot tajam netra Narendar padaku. Membuatku mendadak diterpa rasa gugup dan takut.

Aku menggeleng dan tersenyum.

"Tidak apa?" Aku meneguk air mineral botol yang ada dinakas ranjang ibu.

Melihat Narendra dengan jarak dekat seperti ini, ditambah sorot matanya padaku serta ucapannya terhadap istrinya tadi, entah mengapa membuatku gerah.

"Kak, Tiara," sapaku sungkan.

Wanita cantik itu tersenyum padaku.

"Aku mau kekantin bawah sebentar. Mau membeli kopi. Boleh titip ibu sebentar, maaf merepotkan."

"Santai saja, Hana. Ada Narendra juga kok disini," balas Tiara ringan.

Ibu, maafkan Hana. Tapi Hana harus menjaga jarak dengan Abangnya Nola ini. Jika tidak, Hana bisa mengingat kembali kejadian buruk itu. Hana harus menjauh pria ini sekarang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status