Share

BWC 4

Mutiara candra, istri Narendra Bagaskara mungkin salah minum obat. Bagaimana bisa dia terang-terangan memintaku menjadi istri kedua dalam rumah tangganya.

Aku sempat terkejut saat sekertaris Direktur utama menghubungiku. Memberi tahu kalau istri diriktur memintaku menemuinya.

Awalnya kami hanya mengobrol ringan. Meski merasa aneh, akupun menanggapi sesantai mungkin.

Dia menanyakan bagaima hubungan persahabatanku dengan Nola. Kehidupan keluargaku dan tentang adik-adikku.

Saat tiba giliran Tiara menceritakan tentang dirinya. Bagaimana kehidupan pernikahannya dengan Narendra. Jujur, saat dia bercerita bagaimana romantisnya dan lembutnya Narendra pada istrinya, hatiku seolah tak terima. Si brengsek yang sudah mengkoyak harga diriku.

Hingga saat Tiara mengatakan kalau dia tidak mungkin bisa memberikan keturunan pada Narendra. Sebenarnya aku iba dan simpati pada wanita cantik itu. Meski di satu sisi tersenyum miris pada diriku sendiri.

Tiara berkata, dia ingin memiliki keturunan dari Narendra. Tidak mengapa jika itu dari wanita lain.

Dadaku sempat berdenyut mendengar itu.

Namun aku merasa terkesima dengan keterbukaan hati dan pikirannya.

Sungguh, tak semua wanita mau berbagi ranjang dengan wanita lain.

Tapi rasa kagum dan terkesima itu mendadak luruh seketika. Saat Tiara justru melamarku menjadi madunya.

"Tiara!!" Aku tersentak saat mengetahui Narendra ternyata mendengar pembicaraan kami.

Sejak topik yang mana laki-laki berengsek itu mulai menguping?

Tiara juga sempat kaget, namun raut wajahnya dengan cepat kembali normal dan tersenyum pada suaminya. Sungguh pasangan yang aneh.

"Maksud kamu apa, honey?" Kalimat itu meluncur tegas dari wajah yang tampak dingin seakan ingin membunuh seseorang.

"Nothing. Aku hanya mencari wanita yang kurasa tepat untuk menjadi ibu dari anak-anak kamu kelak. Anak-anak kita, penerus keluarga kita." Tiara bahkan bisa mengatakan itu dengan santai. Seakan menikahkan suaminya adalah hal yang ringan.

"Saya ... Saya ...." Takut dan gugup menderaku kala netra hitam pekat Narendra menatapku tajam.

"Tak perlu dijawab sekarang, Hana. Namun, jangan terlalu lama berpikir. Saya takut tidak sempat bisa menggendong darah daging, Rendra."

"Honey, please ...," Sela Narendra dengan wajah menahan kesal dan amarah.

Aku memutuskan meninggalkan ruangan ini dengan alasan jam istirahatku telah berakhir dan harus segera melanjutkan pekerjaan.

Aku butuh sesuatu yang bisa membuat pikiranku tetap dijalan yang benar.

Aku tak boleh emosi dam marah dengan lamaran Tiara. Toh, aku bisa menolaknya kan?

**

Demi apa aku justru berada di KUA pagi ini. Duduk berhadapan dengan seorang penghulu yang akan menikahkan aku dengan Narendra Bagaskara.

Dua minggu setelah kejadian lamaran Tiara padaku.

Nasib buruk menimpa keluargaku, Rumah satu-satunya peninggalan Ayah akan di sita. Semua di sebabkan karena Ayah sempat menggadaikan rumah kami untuk membangun bisnis yang ternyata gagal.

Sejak Ayah tiada, aku berusaha mempertahankan rumah itu semampuku. Tapi sepertinya aku tidak sanggup lagi.

Hingga Narendra Bagaskara datang memberikan penawaran.

"Menikahlah dengan saya. Menjadi bagian dari keluarga Bagaskara. Maka aku akan menjamin kehidupan keluargamu dan bertanggung jawab atas dirimu."

Aku tersenyum sinis. Tanggung jawab itu seharusnya dia lakukan beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku tak bisa menuntutnya karena sadar siapa diriku?

Seperti berada diantara hidup dan mati. Bagaimana aku akan menjalini biduk rumah tangga di tengah rasa traumaku bersama si bejad ini. Saat ini aku bahkan membencinya.

Kecamuk batin yang meronta menyesali takdir, dan ditengah ketetapan hati untuk berjuang demi keluarga. Aku mengangguk menerima yang Narendra tawarkan.

Pernikahan tanpa resepsi apapun. Hanya akad nikah. Dihadiri keluarga inti saja.

"SAH."

"Alhamdulillah."

Tepat hari ini, kamis pukul sembilan pagi. Narendra Bagaskara resmi menjadi suamiku. Tak ada sanggul berhias melati dan kebaya. Aku hanya mengunakan pakaian formal seperti saat ke kantor. Celana panjang dipadu blazer. Rambutku kuikat rapi.

Tentu ini bukanlah pernikahan impian para wanita.

Narendra menyematkan cincin dijari manisku. Saat tangannya menyentuh pundak, tubuhku seketika menegang. Aku mencoba memberi sugesti diri sendiri, bahwa semua akan baik-baik saja.

Ciuman sekilas mendarat dikeningku. Aku menahan nafas. Sampai tubuh Narendra sedikit menjauh, aku bisa menghirup udara dengan lega.

Narendra berjalan kearah Tiara dan berlutut dihadapanya istri pertamanya itu. Mengambil tangan wanita yang kini duduk dengan tenang dikursinya. Mengecup tangan itu lama, "I love you, honey," ucap Narendra lirih, namun masih tertangkap runguku. Mungkin semua orang diruangan ini juga mendengarnya.

**

Malam harinya aku pindah kerumah yang ditempati Narendra dan istrinya. Sebenarnya aku merasa tak nyaman berada satu atap dengan mereka.

Tapi itu semua atas permintaan Tiara, Dia ingin mengenalku lebih dekat.

Mobil memasuki halaman rumah berlantai dua, setelah pagar besi tinggi itu bergeser. Seperti sebuah mimpi buruk, aku disini datang sebagai orang ketiga.

Aku turun dari mobil. Supir membantuku menurunkan koperku dari bagasi.

"Hanya ini barangmu?"

Aku terkejut kala mendapati sosok tinggi tegap yang sudah berada disampingku. Sedikit bergerak mundur, aku mencoba menjaga jarak darinya.

"Owh, iya. Nanti jika dibutuhkan aku bisa mengambilnya lagi sekalian mengunjungi ibu dan adik-adikku," jawabku pelan.

Narendra tampak mengangguk.

"Ayo, masuk. Tiara tadi sempat menunggumu, tapi sehabis minum obat dia tertidur."

Sopir yang ditugaskan menjemputku memang sudah tiba selepas magrib. Tapi tadi ibu banyak sekali memberiku wejangan yang kini berstatus jadi seorang istri ..., kedua.

Intinya ibuku memintaku untuk sabar dan mengerti jika nantinya Tiara mungkin saja menyita sebagian perhatian Narendra. Karena kondusiku dan Tiara berbeda.

Aku paham dan justru bersyukur, karena sampai saat ini aku belum mampu bersentuhan dengan pria berstatus suamiku itu. Penoreh masa lalu kelam yang menciptakan trauma padaku.

Menaiki anak-anak tangga, kami melangkah ke lantai atas. Dadaku berdebar serasa sedang masuk ke kandang singa.

Aku mengikuti pria didepanku dengan pikiran yang mulai berkelana.

 "Ini kamar kita."

Mendengar dia menyebut nama 'kita' membuat jantungku berdetak lebih cepat.

Aku berharap dia tidak tidur bersamaku disini malam ini.

"Kak Tiara?"

"Sejak kesehatannya menurun dia lebih memilih kamar dibawah, karena sudah tidak kuat lagi untuk naik turun tangga." Akupun mengangguk mengerti.

"Ada yang perlu kubantu?"

Aku menghentikan gerakanku yang mulai akan mengeluarkan dan menyusun barang.

Menggeleng cepat karena justru aku menginginkan dia segera meghilang dari pandanganku. Ini saja aku sudah berusaha menahan diri, mencoba menghilangkan rasa takutku.

"Baik. Jangan sungkan-sungkan jika butuh sesuatu," ujarnya seolah masih enggan untuk beranjak pergi.

"Ya," jawabku singkat. Mencoba tidak memperpanjang obrolan kami. Sibuk dengan baju-bajuku yang hanya beberapa potong saja yang kubawa.

Aku mendengar langkah kaki dan bunyi pintu yang tertutup. Aku mengambil nafas banyak-banyak, Ini terasa mengerikan. Kilas balik masa lalu kembali berputar dikepala.

Apa aku akan bisa melewati ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status