Share

BWC 6

"Hana." 

Sapa Tiara saat aku baru saja pulang kerja. Kali ini aku pulang dengan taksi online. Jangan tanyakan orang yang tadi pagi berangkat bersamaku. Bahkan sejak aku turun dari mobilnya. Aku sama sekali tak berjumpa dengan dirinya seharian tadi.

"Terima Kasih, Hana," ucap Tiara saat aku meraih belakang kursi rodanya dan membantu mendorongnya masuk kedalam rumah. Karena angin bertiup cukup kencang. Mungkin sebentar lagi akan segera turun hujan.

Tiara yang sedang berada sendirian diteras, entah sedang apa. Mungkin dia tengah menunggu suaminya. 

Aku melihat kondisi Tiara tak bisa dikatakan membaik saat ini. Yang aku dengar sekarang ada lagi tambahan penyaki ditubuhnya. Ginjalnya ikut bermasalah. Sungguh aku kasihan padanya.

"Rendra tadi bilang dia masih dicafe," ujarnya tanpa aku bertanya tentang keberadaan laki-laki itu.

Oh. Tentu saja Narendra  selalu memberi kabar kepada istri pertamanya dimanapun kini dia berada. Apalah aku yang bahkan nomer ponselnya saja tak berada di daftar kontak milikku. Meski dia bosku tapi masalah pekerjaan tentu aku tak berhubungan langsung dengannya.

Aku lantas membawa kursi roda yang diduduki Tiara bergerak menuju keruang TV. Aku lalu ikut duduk di single sofa dan meletakkan tasku di atas meja.

"Dia banyak berubah sekarang. Kamu tau Hana? Masa muda kami habiskan berfoya-foya mengandalkan harta dan kuasa orang tua," Tiara tersenyum miris mengingat masa lalunya dulu.

"Papa menginginkan aku menjadi pengacara hebat seperti dirinya. Tapi aku gagal mewujudkannya." Raut sedih dan kecewa tergambar jelas diwajah Tiara.

"Tapi kamu menjadi selebgram yang mempunyai banyak pengikut," balasku mengingatkan bagaimana dia begitu di kagumi karena parasnya dan latar belakang keluarganya.

"Apa itu prestasi yang patut di banggakan, Hana?"

Aku menggedikkan kedua bahu.

"Sepertinya kamu menikmati itu. Melakukan apapun bukan demi orang lain, tapi demi diri sendiri."

"Aku begitu egois, ya?"

Kugelengkan kepala dengan cepat.

Tiara meraih jariku dan menggegamnya. Bisa kurasakan kulit tangannya yang begitu dingin.

"Hana, Maaf, ya. Semalam Rendra tidak menemani kamu dikamar. Padahal itu malam pertama kalian."

Eh. Kenapa dia malah membahas soal malam pertama?

"Aku nggak papa Tiara, justru aku sangat lega karena dia tidak datang ..., opss!" aku menutup mulutku yang begitu saja meluncurkan kalimat yang tak seharusnya. Meski dalam hati aku memang bersyukur Narendra tak tidur dikamar yang kutempati.

"Kenapa? Apakah kamu belum siap? Jangan membuat kami terlalu menunggu lama, Hana"

Kalimat Tiara menyadarkanku bahwa tujuan dia membiarkan aku menikah dengan suaminya. Menjadikan aku madunya karena demi menginginkan seorang anak yang bisa lahir dari rahimku. Penerus Narendara Bagaskara.

"Aku pastikan malam ini Rendra akan bersamamu. Lakukan kewajibanmu, Hana. Tolong Rendra untuk mendapat keturunan "

Entah mengapa, aku merasa sudut hatiku berdenyut nyeri. Tugasku memang itukan?

Meminjamkan rahimku untuk memberikan anak untuk pasangan serasi ini.

Seolah aku masih tak terima dengan posisiku sekarang.

Apa aku bisa dibilang manusia tak tau diri?

**

Nafasku tiba-tiba terasa hilang dan degup jantungku bekerja tak karuan. Entah ini pukul berapa?

Tapi saat membuka mata, aku menemukan Narendra Bagaskara terbaring nyeyak diatas ranjang kamarku. Memejamkan mata dan bergelung selimut yang sama denganku.

Aku tak mampu bergerak walau se inchi pun, tanganku mendadak bergetar dan berkeringat dingin.

Nafasku sesak dan tenggorokanku terasa tercekat.

Ya Allah, tolong! Aku bingung harus bagaimana.

Kelereng hitam pekat itu terbuka dan menatapku. Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman.

"Kenapa? Aku tidak akan menggangumu, istirahatlah, Hana," Ucapnya lalu melanjutkan tidur.

Mendengar suaranya menyadarkan aku bahwa kehadirannya adalah nyata. Aku sedang tidak bermimpi. Reflek aku bergeser nyaris terjatuh, karena tubuhku sudah berada di ujung ranjang. Seolah alam bawah sadarku memberi tanda peringatan kalau aku harus menjaga jarak darinya. Tangankupun menyilang didada sebagai bentuk perlindungan.

Bulir bening menetes perlahan membasahi pipi. Aku terisak pelan dengan tubuh gemetar. Tuhan, aku masih sangat takut pada pria ini.

Melihat pria yang telah berstatus suamiku itu terlelap. Aku mencoba menenangkan diri sendiri. Perlahan aku bangun, menurunkan kakiku menginjak lantai yang terasa dingin. Lalu dengan langkah hati-hati, aku beranjak menjauh dari ranjang.

"Mau kemana?"

Ya Tuhan! Aku serasa mau pingsan saat suara berat itu terdengar memecah keheningan malam.

Kaget bercampur salah tingkah. Otakku mencari ide untuk beralasan.

"Ke-keluar sebentar. Aku haus, mau kedapur ingin minum," cicitku lirih. Rasanya tengorokanku tercekat.

"Itu ada air minum diatas nakas. Tadi aku sudah menyiapkannya."

Kepalaku bergerak untuk menoleh. Benar saja, sudah ada teko bening berisi air putih dan juga gelas kosong diatas nakas.

"Oh, aku tadi tidak melihatnya. Mungkin karena masih kebawa suasana mengantuk."

"Kamu menangis, Hana?  Apa kamu merasa tidak nyaman dengan keberadaanku dikamar ini? Aku akan pindah kekamar Tiara kalau kamu merasa tak nyaman."

"Ma-Maaf," lirihku sambil menunduk. Mungkin dia mendengar isakanku tadi. Dia belum tidur dan menyadari diriku  yang akan meninggalkan kamar.

Terdengar gerakan dari atas ranjang. Kemudian langkah kaki mendekat kearahku yang berdiri kaku seperti patung.

"Hana," suara lembut itu memanggilku, "Angkat kepalamu dan tatap aku!"

Aku mendongak dengan gerakan lambat dan bertemu tatap dengan netra didepanku. Refleks tanganku menepis tangan Narendra yang tiba-tiba ingin menyentuh wajahku.

"Jangan!" aku menggelengkan kepala. Perasaan kalut membuatku bergegas melangkah mundur.

"Aku hanya ingin menghapus air matamu."

Aku membuang muka dan dengan gerakan cepat mengusap air mataku sendiri.

"Aku hanya ingat ibu. Belum terbiasa jauh darinya."

"Hmm, baiklah. Tidurlah karena ini sudah larut. Aku akan keluar," titahnya.

Aku hanya bergeming. Teringat obrolanku dengan Tiara tadi sore. Aku belum bisa mewujudkan keinginannya. Dia harus sia-sia mengirimkan suaminya kesini.

"Mas mau buka pintu. Kamu bisa minggir sedikit kan?"

Aku memandangnya bingung. Tersadar karena posisiku yang saat ini berdiri tepat didepan pintu. Akupun bergerak menjahui pintu bercat coklat itu.

"Kayaknya kamu masih lebih nyaman tidur sendiri. Jadi, Mas mau balik kekamar Tiara dulu. Selamat malam."

Apa aku tak salah dengar? Dia menyebut dirinya dengan sebutan Mas.

Dulu aku memanggilnya dengan sebutan Abang. Sama kayak adiknya, Nola.

Setahuku keluarga Narendra memang ada keturunan jawa dari Pak Bagaskara.

Lalu kini kenapa Naren seolah ingin mengganti panggilanku padanya?

Apa itu tandanya kini aku harus memanggilnya begitu. 

Mas Naren. Tubuhku tiba-tiba merinding membayangkannya sebutan itu untuknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status