Share

BWC 5

"Selamat pagi," Sapaku seraya tersenyum saat menghampiri meja makan. Mendapati sepasang suami istri itu sedang menikmati sarapan.

Tadi asisten rumah tangga yang memanggilku kekamar, memintaku segera turun untuk sarapan atas perintah sang Tuan rumah.

"Pagi, Hana. Sorry, semalam aku sudah tidur saat kamu datang," ujar Tiara menatapku yang kini ikut duduk dikursi kosong menghadap meja bundar.

"Saya yang minta maaf jika kehadiran saya jadi merepotkan."

"Kamu ngomong apa, Hana! Sekarang kamu juga istri, Narendra. Kamu juga bagian dari keluarga ini dan berhak untuk tinggal disini, tak perlu sungkan," Tiara melirik pria disebelahnya yang tampak santai mengoles roti dengan selai strobery.

"Thanks, Ren," ucap Tiara, Saat roti itu diletakkan diatas piringnya. Pria itu membalas dengan senyuman.

Aku lebih memilih meyendok nasi goreng yang tersaji, sebagai menu sarapanku. Harus terbiasa dengan hal seperti ini. Sikap manis dan mesra mereka berdua yang mungkin akan sering aku lihat.

"Nyonya, ini kunci motor. tadi kata satpam didepan adiknya Nyonya nganterin motor. Sekarang motornya sudah ada dihalaman."

"Apa adik saya sudah pergi?"

"Sudah nyonya, katanya buru-buru mau berangkat sekolah."

Asisten rumah tangga yang tadi sempat meperkenalkan diri bernama Hayati itu menyerahkan kunci padaku. Aku mengucapkan terima kasih sebelum dia undur diri.

"Untuk apa adikmu mengantarkan motor itu? Apa kamu akan kekantor dengan motor?" tanya Narendra dengan sorot tajam kearahku.

"Ya, saya sudah terbiasa memakai mo ...."

"Tidak. Mulai sekarang kamu berangkat denganku," potong pria itu tegas.

Aku menggeleng cepat sebagai bentuk penolakan.

"Tidak bisa."

"Benar, Hana. Kaliankan satu kantor. Lebih efesien kalau kamu berangkar bareng Rendra saja," timpal Tiara mendukung perkataan suaminya.

**

Berada dalam satu mobil dengan Narendra membuatku merasa tak nyaman. Aku memilih membuang wajah kearah jendela. Keringat bahkan merembes dari pori-pori kulitku, padahal pendingin udara dalam mobil sepertinya bekerja dengan baik.

Perutku juga terasa melilit seirama dengan kegugupan dan kecanggunngan yang kurasa pagi ini.

"Kenapa?"

Suara datar Narendra terdegar setelah hening menyelimuti perjalanan kami.

"A-apanya?"

"Kamu terlihat kurang nyaman denganku."

"Ya," jawabku jujur, "Bagaimana kalau nanti orang-orang melihat kita datang bersama?" akhirnya aku utarakan apa yang menjadi kekhawatiranku.

Jelas pernikahan kami masih rahasia. Selain keluarga inti tidak ada yang tau. Bagaimana aku menjelaskan keberadaanku yang kini satu mobil dengan direktur utama Bagaskara group.

"Jawab saja apa adanya. Kalau sekarang kita sudah pasangan suami-istri," jawabnya enteng seolah tanpa beban.

Hah. Aku menoleh cepat kearah pria yang duduk bersebelahan denganku dikursi penumpang.

"Aku belum siap publik tau statusku saat ini. Sebagai istri ..., kedua," ujarku cemas. Aku meremas pegangan tas sebagai pelampiasan ditengah kecamuk pikiranku saat ini.

Jika status pernikahanku terkuak, aku harus bisa menguatkan diri dengan gosip yang akan beredar.

"Kalau begitu kamu pikirkan alasan yang menurutmu tepat. Jika ada yang melihat kebersamaan kita."

Aku ingin berteriak frustrasi. Aku terjebak disituasi yang sulit. Otakku berputar mencari ide.

Hingga mobil yang kami kendarai memasuki kawasan kantor Bagaskara group. Sepert biasa, para staff mulai berdatangan dan ada pula yang berganti shift. Aku membuka pintu dan langsung menuruni kendaraan beroda empat itu.

Seketika banyak pasang mata menatapku heran karena turun dari mobil milik Diriktur utama. Aku lupa bahwa parkir VIP berada tepat didepan lobby.

Mati kau Hana! Aku berjalan cepat tanpa memperhatikan sekitar. Mengabaikan rasa gugup dan debar jantung yang bekerja ekstra dipagi ini.

Kakiku yang mendadak gemetar, kupaksakan untuk tak gentar melangkah agar cepat mencapai lantai dua.

Kubuka ruanganku. Team ku baru sebagian yang datang. Kamipun saling sapa seperti biasa. Perlahan aku menuju meja kerjaku sambil mengatur nafas.

Sungguh, memberitahu publik tentang pernikahanku dengan Narendra merupakan hal yang kuanggap buruk.

**

"Aku pikir tadi diriku salah lihat. Tapi sepertinya tidak." punggungku seketika menegak. 

Sejak kapan Choky masuk keruanganku?

Ini masih jam istirahat, team-ku sudah pada membubarkan diri hingga diruangan ini hanya tinggal tersisa aku.

"Apa?" aku pura-pura tak mengerti arah pembicaraan pria berdarah sunda itu.

"Tadi pagi kamu keluar dari mobil Pak Narendra?"

"Oh, motorku mogok dijalan. Dia memberiku tumpangan," aku beralasan. Mencoba bersikap setenang mungkin.

Kening Choky berkerut samar.

"Sedekat itu kamu dengan direktur baru kita?"

Tak terasa telapak tanganku berkeringat dingin.

"Aku bersahabat dengan Nola Bagaskara, jangan lupakan itu?"

Persahabatanku dan Nola, tentu semua staff disini tau. Semoga aktingku kali ini sebaik artis di televisi.

Tampak Choky mengangguk samar.

"Oya, aku kesini untuk mengajakmu makan siang. Kamu belum makankan?" aku lega karena choky tidak memperpanjang pembahasan soal tadi pagi.

"Memang mau makan dimana?"

"Terserah. Tapi kalau mau keluar kantor kayaknya nggak cukup waktu karena jam istirahat tinggal lima belas menit lagi." Choky melihat penunjuk waktu di pergelangan tangan kirinya.

"Ya udah. Kantin saja, aku pengen makan gado-gado," ujarku sambil menutup laptop perlahan.

Aku menyunggingkan senyum tipis segaris. Demi mengalihkan penasaran Choky yang bisa memicu masalah besar di kehidupanku nantinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status