Share

Bab 5. Kenapa?

Aku menatap pria di hadapanku ini kesal.

Mungkin, dokter ini tidak memiliki anak, sehingga tidak bisa merasakan keadaanku sekarang. 

Daniel anak tunggalku mengalami kecelakaan dan diharuskan pasrah di meja operasi. 

Memang proses pertolongannya dinyatakan berhasil, tetapi … apa aku tidak boleh merasa khawatir dan menungguinya?

“Putra Ibu, tindakannya sudah berhasil dan sekarang tinggal menunggu sadar saja. Lebih baik, bersabar sekaligus memulihkan diri,” ucap pria itu tegas.

“Tidak ada yang dilakukan sebelum pasien sadar. Jadi, tolong biarkan kami petugas medis yang  merawatnya. Lebih baik Ibu kembali istirahat atau berdoa, daripada mengganggu.”

Meski ucapannya benar, entah mengapa tanganku sudah terkepal. 

Tadi, aku dikatakan merepotkan, sekarang justru dikatakan sebagai pengganggu. 

Sumpah serapah mulai memenuhi mulut untuk dokter yang namanya Burhan ini. 

Seperti tidak merasa bersalah, dia yang sudah mematik amarahku justru pergi begitu saja.

“Aida. Benar yang diucapkan Pak Dokter itu.” Laila justru tampak tidak berpihak kepadaku.

“Tapi, La. Daniel butuh aku. Mamanya!” Aku bersikukuh.

Bagaimana kalau dia sadar dan tidak mendapati aku di sampingnya? 

Nanti, dia bingung ada di mana karena tidak ada yang menjelaskan. Atau, anakku itu merasa kesakitan dan tidak ada tempat berkeluh kesah.  

Entah apa yang dikatakan dokter yang sok itu, seorang perawat menghampiri kami dan mengatakan bahwa Daniel belum bisa dijenguk, apalagi ditunggui.

“Dokternya itu tidak punya anak, apa? Kok, sepertinya tidak tahu rasanya khawatir seorang ibu seperti aku ini? Pasti anak dan istrinya nanti sengsara mempunyai suami tidak peka seperti itu. Mana bisa aku mengkawatirkan Daniel tanpa ada di sampingnya, La.”

Aku mengomel sambil berjalan perlahan ke kamar tempatku di rawat tadi, mulai merembet melampiaskan rasa kesalku ke dokter itu.

Laila dengan sabar membantuku membawa botol infus yang terhubung dengan tanganku. Dia hanya menjawab, “iya” dan “hu-um.”

Kembali aku berbaring dan hanya melihat sekeliling tanpa kerjaan. 

Membicarakan Daniel, hanya akan memunculkan rasa kekhawatiran. 

Sedangkan kalau membicarakan Mas Ammar, hatiku dengan keras melarang

“Kenapa? Aku lucu?” tanyaku mengernyit melihat Laila yang mulai tertawa kecil. 

Sahabatnya terkena musibah kok tidak ikut prihatin, malah ditertawakan? 

Hufft … musibah ini sepertinya membuatku sedikit sensitif. 

“Kamu kalau marah lucu. Dokter yang tidak kenapa-kenapa malah diomelin,” ucapnya kemudian mendekat sambil berkata, “kata perawat di depan, Dokter Burhan itu masih lajang.”

Aku menarik satu sudut bibirku ke atas. ‘Ck! Pantas saja sampai tua masih lajang. Orangnya sadis dan tidak peka gitu,’ gumam hatiku dengan sinis.

Teringat tampilan dokter itu.

Tidak jelek, tetapi tidak setampan artis. 

Bersih seperti dokter pada umumnya. 

Usianya yang perkiraanku berkepala empat, memperlihatkan dia begitu matang. 

Namun, menilik di usia segitu belum menikah, ini berarti ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya.

‘Hi …,’ bisik hati ini begidik. Aku menggeleng-gelengkan kepala menepis alasan kenapa dokter itu masih jomblo. 

Tapi, kenapa aku justru memikirkan orang itu? Bahkan,  masalahku dengan  Mas Ammar malah seketika tersingkir dari kepalaku begitu saja.

“Aida! Akhirnya aku menemukan kamu!” Suara pria yang aku kenal terdengar dari pintu.

Sosok yang memporak-porandakan hariku muncul dengan raut wajah khawatir. 

“Ada Pak Ammar, Aida. Lebih baik aku pamit,” ucap Laila berbisik dan langsung mengambil tas kecil yang dia letakkan di atas nakas.

Sahabatku itu hanya tersenyum mengangguk tanpa menyapa suamiku. 

Seakan ingin cepat pergi, langkah kakinya diayun panjang keluar dari ruang perawatan.

“Daniel mana? Kata Bik Yanti, Daniel yang sakit, kok malah kamu yang diinfus?” tanya Mas Ammar menunjukkan raut bingung.

Dia meraih tanganku, dan pandangannya menyusuri tubuh ini, seakan memastikan aku tidak terluka. 

Aku semakin tidak mengerti, orang seperhatian Mas Ammar ini apakah benar menghianatiku?

“Aku baru tahu kalau kamu miscall aku. Maaf ya, aku sedang sibuk dengan client. Makanya, setelahnya aku telpon kamu terus, tetapi kamu malah tidak mengangkatnya. Karena khawatir, aku pulang, dan dikasih tahu Bik Yanti kalau kamu ke rumah sakit karena Daniel. Eh, ternyata kamu sendiri yang sakit. Daniel pasti masih main sama teman-temannya sampai lupa pulang. Dasar Bik Yanti suka salah memberi informasi,”  ucapnya panjang lebar sambil tertawa.

Aku menatap bibirnya yang berucap terus menyatakan kekhawatirannya.  Tapi, tidak tampak di matanya.

Seketika, hati ini kembali memanas teringat dengan adegan yang terlihat jelas di foto itu. 

Bibir yang bicara di depanku ini jugalah yang digunakan untuk menyentuh bibir wanita. 

“Memang Daniel yang sakit. Dia sudah selesai operasi dan sekarang menunggu dia untuk sadar,” ucapku tanpa melepas tatapan tajam darinya.

“Daniel? Anakku?! Kenapa dia?!” Kedua tangannya menangkup lenganku. 

Ia menatapku dengan tuntutan jawaban, seolah menunjukkan dirinya khawatir.

“Daniel kecelakaan. Dia menggunakan motor dan menurut orang-orang, dia mengalami kecelakaan tunggal. Karena dia mengendarai dengan kecepatan tinggi, makanya lukanya parah dan diharuskan operasi. Sekarang tahap pemulihan, dan kita tidak bisa menemuinya dulu,” ucapku mengambil jeda untuk bernapas.

“Kok bisa?” lirihnya seolah tersakiti.

Aku rasanya ingin tertawa melihat tingkahnya. “Ini semua gara-gara kamu.” 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tasya Usman
Rasain kamu Aida,di nasehatin ama temannya gk di dengerin. Terlalu percaya ama suaminya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status