Aku menatap pria di hadapanku ini kesal.
Mungkin, dokter ini tidak memiliki anak, sehingga tidak bisa merasakan keadaanku sekarang.
Daniel anak tunggalku mengalami kecelakaan dan diharuskan pasrah di meja operasi.
Memang proses pertolongannya dinyatakan berhasil, tetapi … apa aku tidak boleh merasa khawatir dan menungguinya?
“Putra Ibu, tindakannya sudah berhasil dan sekarang tinggal menunggu sadar saja. Lebih baik, bersabar sekaligus memulihkan diri,” ucap pria itu tegas.
“Tidak ada yang dilakukan sebelum pasien sadar. Jadi, tolong biarkan kami petugas medis yang merawatnya. Lebih baik Ibu kembali istirahat atau berdoa, daripada mengganggu.”
Meski ucapannya benar, entah mengapa tanganku sudah terkepal.
Tadi, aku dikatakan merepotkan, sekarang justru dikatakan sebagai pengganggu.
Sumpah serapah mulai memenuhi mulut untuk dokter yang namanya Burhan ini.
Seperti tidak merasa bersalah, dia yang sudah mematik amarahku justru pergi begitu saja.
“Aida. Benar yang diucapkan Pak Dokter itu.” Laila justru tampak tidak berpihak kepadaku.
“Tapi, La. Daniel butuh aku. Mamanya!” Aku bersikukuh.
Bagaimana kalau dia sadar dan tidak mendapati aku di sampingnya?
Nanti, dia bingung ada di mana karena tidak ada yang menjelaskan. Atau, anakku itu merasa kesakitan dan tidak ada tempat berkeluh kesah.
Entah apa yang dikatakan dokter yang sok itu, seorang perawat menghampiri kami dan mengatakan bahwa Daniel belum bisa dijenguk, apalagi ditunggui.
“Dokternya itu tidak punya anak, apa? Kok, sepertinya tidak tahu rasanya khawatir seorang ibu seperti aku ini? Pasti anak dan istrinya nanti sengsara mempunyai suami tidak peka seperti itu. Mana bisa aku mengkawatirkan Daniel tanpa ada di sampingnya, La.”
Aku mengomel sambil berjalan perlahan ke kamar tempatku di rawat tadi, mulai merembet melampiaskan rasa kesalku ke dokter itu.
Laila dengan sabar membantuku membawa botol infus yang terhubung dengan tanganku. Dia hanya menjawab, “iya” dan “hu-um.”
Kembali aku berbaring dan hanya melihat sekeliling tanpa kerjaan.
Membicarakan Daniel, hanya akan memunculkan rasa kekhawatiran.
Sedangkan kalau membicarakan Mas Ammar, hatiku dengan keras melarang
“Kenapa? Aku lucu?” tanyaku mengernyit melihat Laila yang mulai tertawa kecil.
Sahabatnya terkena musibah kok tidak ikut prihatin, malah ditertawakan?
Hufft … musibah ini sepertinya membuatku sedikit sensitif.
“Kamu kalau marah lucu. Dokter yang tidak kenapa-kenapa malah diomelin,” ucapnya kemudian mendekat sambil berkata, “kata perawat di depan, Dokter Burhan itu masih lajang.”
Aku menarik satu sudut bibirku ke atas. ‘Ck! Pantas saja sampai tua masih lajang. Orangnya sadis dan tidak peka gitu,’ gumam hatiku dengan sinis.
Teringat tampilan dokter itu.
Tidak jelek, tetapi tidak setampan artis.
Bersih seperti dokter pada umumnya.
Usianya yang perkiraanku berkepala empat, memperlihatkan dia begitu matang.
Namun, menilik di usia segitu belum menikah, ini berarti ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya.
‘Hi …,’ bisik hati ini begidik. Aku menggeleng-gelengkan kepala menepis alasan kenapa dokter itu masih jomblo.
Tapi, kenapa aku justru memikirkan orang itu? Bahkan, masalahku dengan Mas Ammar malah seketika tersingkir dari kepalaku begitu saja.
“Aida! Akhirnya aku menemukan kamu!” Suara pria yang aku kenal terdengar dari pintu.
Sosok yang memporak-porandakan hariku muncul dengan raut wajah khawatir.
“Ada Pak Ammar, Aida. Lebih baik aku pamit,” ucap Laila berbisik dan langsung mengambil tas kecil yang dia letakkan di atas nakas.
Sahabatku itu hanya tersenyum mengangguk tanpa menyapa suamiku.
Seakan ingin cepat pergi, langkah kakinya diayun panjang keluar dari ruang perawatan.
“Daniel mana? Kata Bik Yanti, Daniel yang sakit, kok malah kamu yang diinfus?” tanya Mas Ammar menunjukkan raut bingung.
Dia meraih tanganku, dan pandangannya menyusuri tubuh ini, seakan memastikan aku tidak terluka.
Aku semakin tidak mengerti, orang seperhatian Mas Ammar ini apakah benar menghianatiku?
“Aku baru tahu kalau kamu miscall aku. Maaf ya, aku sedang sibuk dengan client. Makanya, setelahnya aku telpon kamu terus, tetapi kamu malah tidak mengangkatnya. Karena khawatir, aku pulang, dan dikasih tahu Bik Yanti kalau kamu ke rumah sakit karena Daniel. Eh, ternyata kamu sendiri yang sakit. Daniel pasti masih main sama teman-temannya sampai lupa pulang. Dasar Bik Yanti suka salah memberi informasi,” ucapnya panjang lebar sambil tertawa.
Aku menatap bibirnya yang berucap terus menyatakan kekhawatirannya. Tapi, tidak tampak di matanya.
Seketika, hati ini kembali memanas teringat dengan adegan yang terlihat jelas di foto itu.
Bibir yang bicara di depanku ini jugalah yang digunakan untuk menyentuh bibir wanita.
“Memang Daniel yang sakit. Dia sudah selesai operasi dan sekarang menunggu dia untuk sadar,” ucapku tanpa melepas tatapan tajam darinya.
“Daniel? Anakku?! Kenapa dia?!” Kedua tangannya menangkup lenganku.
Ia menatapku dengan tuntutan jawaban, seolah menunjukkan dirinya khawatir.
“Daniel kecelakaan. Dia menggunakan motor dan menurut orang-orang, dia mengalami kecelakaan tunggal. Karena dia mengendarai dengan kecepatan tinggi, makanya lukanya parah dan diharuskan operasi. Sekarang tahap pemulihan, dan kita tidak bisa menemuinya dulu,” ucapku mengambil jeda untuk bernapas.
“Kok bisa?” lirihnya seolah tersakiti.
Aku rasanya ingin tertawa melihat tingkahnya. “Ini semua gara-gara kamu.”
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”