“Ini semua gara-gara kamu,” ucapku dengan nada yang datar. Aku tidak mampu berteriak atau melayangkan hujatan. Energiku sudah habis seakan terkuras tandas.
Dia mengusap kasar wajahnya, kemudian meraih tangan ini. Suamiku itu lalu menatapku seakan meminta maaf.
“Maafkan aku, Aida. Memang ini salahku,” ucapnya, seketika hatiku bersorak sekaligus berdarah.
Ck! Laki-laki ini ternyata dengan gentle mengakui kesalahannya.
Aku pikir dia akan berkelit dengan sejuta alasan.
“Aku membiarkan Daniel dengan hobinya. Bukannya melarang, aku justru membelikan sepeda motor untuknya. Maaf aku tidak mengindahkan laranganmu. Ini karena aku sayang kepada Daniel. Tidak suka melihatnya kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi,“ ucapnya menambah keterangan, dengan memberikan tatapan sendu.
Aku memejamkan mata.
Memang, Mas Ammar begitu memanjakan Daniel. Apa yang diminta dan disukai, pasti dibelikan. Dia memang ayah yang baik untuk Daniel. Tetapi, itu yang dulu kupermasalahkan sebelum foto-foto itu muncul.
Seakan meminta maaf atas kesalahannya, Ammar lalu mengangkat telapak tanganku untuk diciumnya.
Lama.
Perlakukannya membuatku tidak berdaya, seakan memaksaku untuk meluruhkan amarah yang tadinya berkobar.
Dia begitu pintar mematikan kemarahanku. Akan tetapi, mata ini menangkap ponselku yang tergeletak di sebelah tas.
Hatiku mulai memanas kembali karena sadar, di benda pipih itu, tersimpan kebejatan suamiku ini.
Aku berusaha duduk, dan dengan sigap dia membantuku.
Harum tubuhnya menguar bercampur dengan aroma keringat. Bukannya membuatku terpana seperti biasanya, kepalaku justru membayangkan dia memeluk wanita lain.
“Tolong ambilkan ponselku,” ucapku sambil menggerakkan dagu ke arah nakas.
“Untuk apa? Kamu sakit. Tidak usah bekerja dulu.”
“Bukan. Ada hal penting yang aku sampaikan kepadamu, Mas.”
“Aku?” ucapnya kemudian meluluskan permintaanku. Mengambil ponselku dan menyodorkan kepadaku.
Sambil menarik napas, aku membuka galeri foto yang dikirim dari ponsel Daniel. Aku mencari dan menunjukkan kepada Mas Ammar.
“Foto ini maksudnya apa? Tolong dijelaskan, dan ini aku dapatkan dari Daniel.”
Ucapanku menyisakan Mas Ammar yang terbelalak menunjukkan keterkejutan. Sekarang, aku menunggu penjelasannya.
“Itu hanya resiko pergaulan, Aida Sayang. Itu teman-teman yang menjahiliku. Tidak mungkin aku mengkhianati cinta kita. Kamu sudah mengenalku begitu lama. Dari kita kuliah, dan sampai sekarang usia pernikahan kita yang ke tujuh belas tahun. Pernahkah aku bermain perempuan di luar sana? Tidak, kan?”
Aku tersenyum sinis mendengar ucapan panjang lebarnya. “Terus apa artinya itu?”
Dia menghela napas. Tangannya terulur untuk meraih tanganku, dan aku segera menepisnya.
Mengingat tangan itu juga menjamah perempuan lain, aku merasa mual seketika.
“Kejadian ini saat perayaan tahun baru. Ingat saat aku mendapat undangan teman-teman dan kamu aku ajak tidak mau? Coba lihat ini.” Dia mendekatkan layar ponsel setelah menggerakkan kedua jarinya untuk memperbesar gambar.
“Ada kilatan lampu diskotik, kan?” Aku melirik layar ponsel sekilas, kemudian menatapnya dengan sekali lagi menunjukkan tatapan sinis.
“Terserah itu di diskotik, di kantor, atau di tempat lain. Yang aku tahu Mas Ammar sedang bermesraan dengan perempuan. Titik!” teriakku dengan mendesis. Gigi ini sudah merapat erat, menahan amarah yang mulai memuncak. Terlihat sekali dia berbelit-belit seakan mencari alasan yang tepat.
“Ini yang aku maksud, Aida. Saat itu, anak-anak memberiku minuman yang memabukkan. Aku tidak sadar saat disodorkan wanita kepadaku. Mereka iseng dengan mengambil foto-foto ini.”
Aku diam tidak menanggapi, hanya menatapnya yang terlihat bingung mengemukakan alasan.
“Malam itu hanya sampai itu saja, Aida. Tidak lebih. Ini hanya ulah iseng teman-teman. Kalau kamu tidak percaya, mereka akan aku datangkan untuk menjelaskan ini kepadaku. Aida … aku tahu ini salah, tetapi maafkan aku,” ucapnya dengan memberikan tatapan sendu. Matanya mengerjap seakan meminta pengampunan.
“Malam itu, aku mabok dan takut untuk pulang. Mulutku bau alkohol. Makanya aku tidur di kantor demi tidak membuatmu marah. Sekarang, justru kamu begitu marah kepadaku,” ucapnya lagi sambil meremas kepalanya yang dia tundukkan.
Nada suaranya terdengar putus asa, dan mulai menyentuh hati ini.
Ingatanku tergulir pada saat itu. Memang benar yang dia katakan.
Aku diajak Mas Ammar, tetapi enggan menghadiri acara tahun baru di diskotik undangan temannya.
Terus terang, kalau orang lain menyukai dan terhibur dengan keramaian, justru aku kebalikannya.
Di tempat seperti itu, aku merasa tersiksa. Aku lebih menyukai keheningan.
Tiba-tiba, ada rasa bersalah yang muncul.
‘Seandainya aku ikut di malam itu, apa kejadian ini tidak terjadi? Tidak mungkin mereka mengusili orang yang membawa istri,’ bisik hatiku mulai menyalahkan diri sendiri.
Seharusnya, kami saling menjaga, bukannya jalan-jalan sendiri dan beresiko ada godaan yang datang.
“Jadi, Mas Ammar tidak mengenal perempuan ini?” tanyaku pada akhirnya.
“Tidak. Dia perempuan yang dibawa mereka untuk memeriahkan acara. Aku saja tidak ingat benar apa yang dilakukan saat itu.”
“Kalian tidak–”
“Tidur bersama maksudmu?” sahut Mas Ammar memotong ucapanku. Dia tertawa kecil. “Tidaklah, Sayang. Itu di tempat keramaian. Hanya tempat laki-laki iseng saja.”
Aku menghela napas, mencoba mengurai satu per satu apa yang aku dengar.
Aku harus hati-hati melangkahkan kaki ini, jangan sampai salah, apalagi nanti menyesal.
Siapa tahu, ini ulah orang yang menginginkan keluarga bahagia kami pecah. Mereka mungkin mengharapkan aku bertengkar dengan Mas Ammar, kemudian mengajukan perceraian.
“Aida, Sayang. Mana bisa aku begituan dengan perempuan yang tidak jelas, sedangkan ada wanitaku yang luar biasa menungguku di rumah? Itu namanya merugi kalau sampai aku mengkhianati kepercayaanmu. Laki-laki di luar sana mungkin seperti itu, tetapi aku tidak seperti mereka,” ucapnya sambil mengulurkan tangan meraih telapak tanganku.
Kali ini, aku terdiam. Sebagian hatiku mulai tersentuh, tetapi sisanya masih saja meragukan pria ini. Entah mana yang harus kupercayai? Mataku menajam menatapnya–mencari jawaban yang kucari. “Tolong jujur, Mas.”
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”