“Kalau kalian berdua tidak bisa serius, aku dengan senang hati mencukur leher kalian!”
“Ampun, nyonyaaaaaah!” sahut dua pria tersebut, bukan takut tapi menjengkelkan.
Sepertinya dua pria yang saat ini berada bersama Ilana adalah tipe manusia yang senang mencampur adukan antara masalah serius dan selera humor. Mereka lebih cocok jadi komedian dibanding pengusaha dan dokter. Namun, hal itu hanya terjadi ketika mereka berada bersama orang-orang terdekat. Ketika kedua pria tersebut di hadapkan pada forum formal, mereka akan kembali menjadi sosok penuh kharisma dan wibawa.
“Ya, logika saja, Agni. Kalau kamu yang ada di posisi dia, lalu kamu ditanya tentang masa lalu yang bikin kamu trauma. Bagaimana tanggapan kamu?” tanya Lexy. “Atau begini. Angkasa, adikmu itu pernah trauma karena kecelakaan yang menewaskan mendiang orang tua kalian, dia melihat semua kejadian tersebut sampai dia nggak mau makan dan kerjanya hanya mengurung diri di kamar. Apa kamu tega nyuruh dia untuk cerita tentang kronologis kejadiannya?” tanya Dokter Lexy.
“Ya, nggak sih,” jawab Agni seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Tapi, kalau kita diam saja ya dia bisa makin parah, Lex. Seenggaknya kita harus tahu masalahnya apa.”
“Jalan keluarnya gimana, Mas? Saat ini saja kita nggak tahu siapa orang tuanya, di kartu identas yang tertera alamatnya di Yogja dan dia nggak bawa smartphone.”
“Halo calon Bu DirUt Dirgantara Group, calon suamimu itu punya koneksi dan anak buah. Perlu aku kasih tahu kamu harus apa?” sarkas sang Dokter.
“Oh ya, aku lupa.” jawaban Ilana sukses membuat Agni dan Lexy tepok jidat. Ternyata gadis berparas ayu tersebut sebelas dua belas dengan mereka. “Tapi, nggak mungkin kan kalau dia nggak punya handphone? Barang-barangnya bukan barang yang terlihat murahan, jadi mustahil kalau nggak punya.”
“Mungkin dia kecopetan, Lana. Atau mungkin smartphone-nya dibuang karena dia ingin menghilangkan jejak. Terkadang memulai hidup dari awal setelah kejadian yang menyakitkan itu terlalu sulit dan aku salut pada orang-orang yang mampu berjuang untuk bangkit.”
“Terus kami harus bagaimana, Lex? katamu tadi kita nggak bisa to the point.”
“Pelan-pelan, Ni. Be gantle, segala yang terburu-buru tidak akan berhasil baik.”
“Tumben nasihatmu lurus mirip jalan tol,” sindir Agni.
“Serba salah ngomong sama kamu, Ni. Serius kamu bilang tumben, bercanda kamu omeli. Bikin kesel tahu nggak!” oceh pria berdarah campuran yang mengenakan jas putih khas seorang dokter.
“Karena kamu bukan tipe orang yang cocok untuk dibawa serius, buktinya saja sudah berapa kali kamu ditinggal nikah sama pacarmu?” sindir Agni yang sepertinya menancap tepat di ulu hati sahabanya sejak remaja dahulu.
“Aduh, Agni! Hatiku sakit, Ni. Sungguh teganya dirimu mengungkit masalahku yang paling sensitif,” ujar sang dokter dramatis dengan tangan yang memegangi dada seolah dadanya berdarah karena ulah direktur utama Dirgantara Group.
Sebuah gebrakan keras di meja membuat Agni dan lexy terlonjak kaget, pasalnya Ilana bagai menggunakan tenaga dalam saat menggebrak meja kerja Lexy. “Kembali ke topik permasalahan atau katakan selamat tinggal pada pusaka kebanggaan kalian!” ancam Ilana dingin, matanya menatap tajam dua pria yang bersamanya bak elang siap menerkam mangsa.
Sedang dua orang pria yang ditatap saling pandang bagai keduanya saling berbicara lewat tatapan mata, merasa ngeri sendiri mendengar ancaman Ilana yang berniat untuk memangkas benda keramat mereka.
“Ehkem,” lagi-lagi Lexy berdehem mencoba mengembalikan wibawanya yang tercecer. “Kesulitannya memang ada disana, mengambil kepercayaan seseorang yang pernah terluka nggak akan mudah.” lanjutnya menjelaskan.
“Hm... kalau begitu caranya, artinya kita harus cari psikolog buat ngobrol bareng dia.”
“Aku psikolog, Mas. Sayangnya saja aku nggak dibolehkan kerja yang terikat, jadinya aku nggak punya pengalaman menghadapi hal semacam ini,” keluh Ilana.
“Calon suamimu ini punya gudang duit, Lana. Kalau kamu kerja lalu suamimu ini siapa yang ngurusin?” kelakar Agni sambil tersenyum hangat, tak lupa jemarinya mengelus pipi sang terkasih.
“Bubar! Bubar! Kalian nggak perlu pamer romansa disini!” protes Lexy yang iritasi melihat kemesraan Agni dan Ilana.
“Terus, bagaimana caranya anak itu bisa sampai di Jakarta? Perjalanan Jogja-Jakarta itu bukan perjalanan singkat, ‘kan?” tanya Ilana bingung.
“Ya, mana kutahu! Kalau tahu, aku nggak bakal ikutan pusing nyari jalan keluar!” jawab dua pria di hadapannya, kompak.
Keduanya lupa kalau wanita yang ada di hadapan mereka sudah mencoba bersabar sesabar-sabarnya ketika harus menghadapi mereka mereka yang selera humornya batas normal dan menguji batas kesabaran orang lain.
“Demi Dewa! Kubotaki kalian berdua!” lengking Ilana tak lagi mempedulikan dimana mereka berada sekarang.
***
Ilana kembali ke ruang rawat Jingga diikuti sang calon suami, keduanya sama-sama menghela napas panjang, berharap tidak histeria dari Jingga seperti yang terjadi beberapa saat lalu.
“Maaf karena membuat kalian terkejut tadi,” ujar tulus gadis delapan belas tahun bersurai ikal.
“Nope, nggak masalah. Aku yakin kamu pasti kaget karena tiba-tiba berada di tempat yang tidak dikenal dengan orang asing disekeliling kamu. Jangan terlalu sungkan, ya.”
“Makasih, Kak!” ucap Jingga, kemudian berpaling pada pria yang berdiri di belakang Ilana. “Maaf membuat Mas Agni panik juga.”
Agni hanya menjawab dengan anggukan mahfum, pria bersurai panjang berkuncir rendah tersebut masih belum mau ambil resiko berbicara banyak dengan orang yang mereka tolong. Takut ada salah bicara.
“Kamu mau makan? Kebetulan Mas Agni mau balik ke kantor dan aku mau keluar sebentar, mungkin ada makanan yang kamu mau?”
“Nggak perlu, Kak. Aku sudah terlalu banyak merepotkan,” sahut Jingga sungkan.
“Nggak perlu sungkan, kamu cuma perlu sembuh.”
“Tapi, aku kasih tahu ke kamu, jangan pernah coba masakannya Ilana, serius kamu bisa sakit perut. Jadi kalau calon istriku ini bawa makanan, kamu tanya dulu dari mana asalnya, ya!” ucap Agni bertujuan menggoda sang calon istri.
“Mas! Jangan ngajak ribut, deh!” omel Ilana, wajahnya ditekuk membuat Agni tersenyum memandangnya, pandangan penuh cinta.
“Habis kamu ngegemesin kalau lagi ngambek, bikin aku makin senang buat godain,” sahut sang pria tampan.
“Kerja sana, Mas. Kalau kamu nggak kerja, mau dikasi makan apa istri dan anakmu nanti?”
“Ya, makan nasi dong sayang, masa iya makan batu?!”
“Maaaaaas!”
‘Beginilah cinta yang seharusnya, saling melengkapi, saling menghibur, saling memahami. Bukannya memaksakan kehendak dan menyakiti dengan alasan cinta,’ batin Jingga miris.
Ilana Mutia, gadis cantik tunangan sang direktur muda Dirgantara Group, Agni Kumbara Dirgantara. Gadis periang yang selalu tersenyum, satu-satunya orang yang mampu membawa Agni bangkit dari keterpurukan karena kehilangan orang tua. Orang yang mendampingi sang kekasih untuk bersabar menghadapi kelakuan sang adik yang juga depresi berat.“Hm, aku mau bertanya sesuatu, tetapi kamu nggak perlu jawab kalau memang menurut kamu pertanyaan aku terlalu sensitif,” ujar Ilana membuka pembicaraan, memecah keheningan yang terjadi diantara dirinya dan gadis belia yang terbaring diatas ranjang rumah sakit. “Sure,” sahut Jingga mempersilahkan.“Kamu ke Jakarta karena kabur dari rumah?” Jingga menganggung menanggapi pertanyaan Ilana.“Kamu pasti punya alasan tentang hal itu. Kalau boleh tahu....” Ilana terhenti tatkala melihat wajah murung Jingga saat mendengar pertanyaannya. “Kamu nggak perlu jawab, kok!” sergah Ilana cepat, tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Terbersit rasa bersalah dalam hati tun
Langkah pelan Jingga memasuki sebuah pintu bangunan megah milik keluarga Dirgantara, iris gelapnya membelalak lebar tatkala melihat megahnya bangunan yang ia datangi. Gadis delapan belas tahun itu paham bila orang yang menolongnya berasal dari kalangan atas, tetapi ia tidak menyangka bila Agni dan Ilana lebih dari sekedar kalangan atas biasa.“Untuk sementara kamu bisa tinggal disini, selama yang kamu inginkan!” ujar Agni “Kak, Mas. Kita nggak salah rumah, kan?” tanya Jingga lugu. Pasalnya keluarga Jingga memang keluarga berada, tetapi rumah yang sekarang ia masuki jelas depuluh kali lebih mewah dari yang Ayahnya miliki.Ilana dan Agni tersenyum mendengar kepolosan Jingga. “Nggak salah, kok. Rumah ini memang milik Agni dan Angkasa,” masih dengan tersenyum Ilana menjawab pertanyaan sang tamu yang mereka undang.“Angkasa?” gadis berusia delapan belas tahun tersebut kembali bertanya lantaran dirinya masih asing dengan nama yang Ilana sebutkan. “Angkasa itu siapa, Kak?”“Oh iya, aku lupa
“Angkasa! Jaga mulutmu!” tegur Agni cepat mana kala melihat sang adik memasuki pintu rumah diikuti ketiga temannya yang lain. “Dia adalah tamu di rumah ini!” jelas sang Kakak.“Dia memang tamu, Mas. Sayangnya tamu nggak tahu diri! Sudah biaya rumah sakit dibayarin, makan enak, sampai diberikan tempat tinggal gratis, tapi mulutnya macam orang nggak berpendidikan, nggak tahu terima kasih!”“Kamu boleh saja nggak mempercayai Jingga, tapi aku dan Mbakmu percaya sama dia!” tegas sulung Dirgantara. Agni memang biasa memberikan panggilan yang menyatakan keluarga pada Ilana untuk Angkasa, karena Agni ingin bila calon istrinya dihormati seperti keluarga sendiri. Begitu berartinya Ilana bagi seorang Agni karena hanya wanita itu yang bisa ia sebut sebagai keluarga, orang yang menginginkan Agni sebagai Agni, bukan sebagai pewaris Dirgantara Group. “Jelas nggak percayalah, Mas. Dia sendiri saja nggak percaya kok sama kita, buat apa Mas Agni repot-repot ngebangun kepercayaan dia? Cuma buang-buang
Dari ruang kamar yang di datangi oleh Ilana dan Jingga, keduanya tak lagi mendengar perdebatan diantara kakak-beradik Dirgantara. Namun, Jingga masih bingung bagaimana harus mengambil sikap. “Maaf, ya. Bukan maksud aku melarang kamu untuk mengutarakan pendapat, hanya saja ketika Mas Agni dan Angkasa bertengkar, lebih baik jangan dipotong.”“Kenapa, Kak? Nggak baik yang namanya saudara bertengkar karena orang lain.”“Yang sedang Agni lakukan adalah mendidik adiknya, satu saat Angkasa akan paham alasan mengapa Agni melakukan semua itu.”“Mas Agni memiliki alasan untuk bertengkar dengan adiknya? Aku nggak paham maksudnya, Kak?!” tanya Jingga masih bingung.“Anak laki-laki berbeda dengan perempuan, Jingga. Mereka akan belajar dari sebuah pertengkaran, perselisihan dan perdebatan. Pengalaman memberikan makna tersendiri yang bisa membuat mereka memahami keadaan,” jelas Ilana lembut. “Pengalaman tidak serta merta membuat seseorang berubah menjadi dewasa, Kak. Kenyataannya hidup tidak semuda
Pandangan mata Jingga menatap sendu rintik hujan turun di luar sana. Jemari lentiknya dengan cekatan memotong beberapa sayuran untuk dijadikan menu makanan pagi ini. Bukan tak ada pelayan ataupun asisten rumah tangga yang bisa menyediakan makanan untuknya, Jingga hanya enggan merepotkan lebih dari yang telah ia dapatkan.‘Kenapa malah orang lain yang mempercayaiku tanpa syarat, bahkan sampai rela membawaku kerumah mereka dan memikirkan kesehatan psikologisku?! Harusnya, orang terdekatku yang memberikan kepercayaan, bukan malah orang tak dikenal,’ batin Jingga mengeluh dalam lamunan. “Oh ternyata cocok jadi asisten rumah tangga, toh! Aku kira seperti apa orang yang dipercaya Mas Agni?!” seru suara sinis mengejutkan Jingga yang tengah memotong sayuran.“Damn it!” hardik Jingga pada udara kosong seraya menghisap jarinya yang tergores. “Are you yelling at me?”“Kalau mau makan, kamu bisa duduk! Aku nggak punya waktu untuk melayanimu berdebat,” sahut gadis yang lebih muda dua tahun dari K
Sebulan berlalu sejak Jingga memasuki kediaman Dirgantara, sudah selama itu pula ia memiliki profesi sebagai juru masak di rumah tersebut. “Kamu yakin mau kerja, Jingga?” tanya Agni membuka pembicaraan saat makan malam berlangsung. “Memangnya jadi koki di rumah ini kurang buat kamu?” lanjutnya seraya menyuap makanan.“Jadi koki di rumah ini berbeda dengan bekerja di luar, Mas. Aku ingin pengalaman, bukan zona nyaman. Karena aku nggak mungkin untuk berpangku tangan terus,” sahut Jingga yakin. “Aku nggak terlalu masalah dengan kamu stay di rumah ini, kalau memang kamu perlu gaji aku juga bisa memberikan gaji yang sesuai pekerjaan kamu disini. Bu Fatma juga pasti senang.”“Biar sajalah, Mas. Hitung-hitung sekalian Jingga bergaul di luar, nggak ngeram di rumah. Kalau bisa malah aku maunya dia kuliah,” seloroh Ilana. Angkasa yang mendengar pembicaraan ketiganya hanya memutar mata, jengkel. Bisa-bisanya sang Kakak dan calon Kakak Iparnya lebih memperhatikan keadaan orang lain, tetapi tid
Di kediaman keluarga Baskoro, sosok wanita anggun berparas ayu yang berusia 47 tahun tengah mengeluarkan berkarung-karung mantra dan sumpah serapah yang ditujukan untuk sang suami. “Ayah! Ibu sudah nggak tahu lagi harus cari anak kita kemana, kalau Ayah nggak nemuin dia juga, lebih baik kamu nggak usah pulang kerumah!” ancam sosok keibuan dengan suara tinggi nyaring membentak sang suami yang berwajah kusut karena masih juga belum menemukan sang putri bungsu.“Sabar, Bu. Ayah ini sudah cari kesana kemari, juga sudah minta bantuan beberapa orang, Damar juga sudah Ayah hubungi mana tahu Jingga menyusul dia ke jakarta. Tapi, semua masih nihil. Aku juga sudah lapor polisi dan belum ada kabar lebih lanjut,” jawab Pak Dimas menjabarkan semua yang sudah dia lakukan pada sang istri yang masih tegangan tinggi.“Ini semua gara-gara harga dirimu yang terlalu kamu junjung tinggi itu, Mas! Jingga itu anakmu sendiri, kamu malah bisa-bisanya nggak percaya sama dia?!” cerca Ibu Mia. “Demi Tuhan, Mas!
“Apa sih istimewanya cewek itu sampai Mas Agni bela-belain buat berdebat sama aku?!” gerutu Angkasa.Sukma dan Irfan hanya bisa saling tatap mendengar gerutuan Angkasa, karena semenjak kedatangan Jingga di rumahnya, Angkasa menjadi lebih pemarah dan sering menggerutu.“Mbak Lana saja yang terlalu baik sama orang, karena pengaruh dia juga Mas Agni jadi seperti itu. Gara-gara cewek itu juga, Mas Agni jadi makin antipati ke aku, bikin jengkel!” sahut Karina memanasi Angkasa. Gadis itu tahu bagaimana caranya membuat masalah menjadi semakin runyam ketimbang sebaliknya.“Karin! Kamu nggak berhak menilai keluarga orang lain! Jangan menuang bahan bakar ke dalam api!” tegas Irfan memperingatkan.“Fan, apa yang aku katakan itu benar, Mbak Lana itu terlalu ngontrol Mas Agni. “Rin, bisa nggak kamu nggak jelek-jelekin Mbak Lana! Kamu nggak tahu apa-apa tentang dia, jadi jangan seenaknya ngomong!” Tegur Angkasa. “Sorry,” sahut Karina menggigit bibir.Bagaimanapun juga Ilana adalah orang yang sanga