Share

3

“Kalau kalian berdua tidak bisa serius, aku dengan senang hati mencukur leher kalian!”

“Ampun, nyonyaaaaaah!” sahut dua pria tersebut, bukan takut tapi menjengkelkan.

Sepertinya dua pria yang saat ini berada bersama Ilana adalah tipe manusia yang senang mencampur adukan antara masalah serius dan selera humor. Mereka lebih cocok jadi komedian dibanding pengusaha dan dokter. Namun, hal itu hanya terjadi ketika mereka berada bersama orang-orang terdekat. Ketika kedua pria tersebut di hadapkan pada forum formal, mereka akan kembali menjadi sosok penuh kharisma dan wibawa.

“Ya, logika saja, Agni. Kalau kamu yang ada di posisi dia, lalu kamu ditanya tentang masa lalu yang bikin kamu trauma. Bagaimana tanggapan kamu?” tanya Lexy. “Atau begini. Angkasa, adikmu itu pernah trauma karena kecelakaan yang menewaskan mendiang orang tua kalian, dia melihat semua kejadian tersebut sampai dia nggak mau makan dan kerjanya hanya mengurung diri di kamar. Apa kamu tega nyuruh dia untuk cerita tentang kronologis kejadiannya?” tanya Dokter Lexy.

“Ya, nggak sih,” jawab Agni seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Tapi, kalau kita diam saja ya dia bisa makin parah, Lex. Seenggaknya kita harus tahu masalahnya apa.”

“Jalan keluarnya gimana, Mas? Saat ini saja kita nggak tahu siapa orang tuanya, di kartu identas yang tertera alamatnya di Yogja dan dia nggak bawa smartphone.”

“Halo calon Bu DirUt Dirgantara Group, calon suamimu itu punya koneksi dan anak buah. Perlu aku kasih tahu kamu harus apa?” sarkas sang Dokter.

“Oh ya, aku lupa.” jawaban Ilana sukses membuat Agni dan Lexy tepok jidat. Ternyata gadis berparas ayu tersebut sebelas dua belas dengan mereka. “Tapi, nggak mungkin kan kalau dia nggak punya handphone? Barang-barangnya bukan barang yang terlihat murahan, jadi mustahil kalau nggak punya.”

“Mungkin dia kecopetan, Lana. Atau mungkin smartphone-nya dibuang karena dia ingin menghilangkan jejak. Terkadang memulai hidup dari awal setelah kejadian yang menyakitkan itu terlalu sulit dan aku salut pada orang-orang yang mampu berjuang untuk bangkit.”

“Terus kami harus bagaimana, Lex? katamu tadi kita nggak bisa to the point.”

“Pelan-pelan, Ni. Be gantle, segala yang terburu-buru tidak akan berhasil baik.”

“Tumben nasihatmu lurus mirip jalan tol,” sindir Agni.

“Serba salah ngomong sama kamu, Ni. Serius kamu bilang tumben, bercanda kamu omeli. Bikin kesel tahu nggak!” oceh pria berdarah campuran yang mengenakan jas putih khas seorang dokter. 

“Karena kamu bukan tipe orang yang cocok untuk dibawa serius, buktinya saja sudah berapa kali kamu ditinggal nikah sama pacarmu?” sindir Agni yang sepertinya menancap tepat di ulu hati sahabanya sejak remaja dahulu.

“Aduh, Agni! Hatiku sakit, Ni. Sungguh teganya dirimu mengungkit masalahku yang paling sensitif,” ujar sang dokter dramatis dengan tangan yang memegangi dada seolah dadanya berdarah karena ulah direktur utama Dirgantara Group.

Sebuah gebrakan keras di meja membuat Agni dan lexy terlonjak kaget, pasalnya Ilana bagai menggunakan tenaga dalam saat menggebrak meja kerja Lexy. “Kembali ke topik permasalahan atau katakan selamat tinggal pada pusaka kebanggaan kalian!” ancam Ilana dingin, matanya menatap tajam dua pria yang bersamanya bak elang siap menerkam mangsa. 

Sedang dua orang pria yang ditatap saling pandang bagai keduanya saling berbicara lewat tatapan mata, merasa ngeri sendiri mendengar ancaman Ilana yang berniat untuk memangkas benda keramat mereka. 

“Ehkem,” lagi-lagi Lexy berdehem mencoba mengembalikan wibawanya yang tercecer. “Kesulitannya memang ada disana, mengambil kepercayaan seseorang yang pernah terluka nggak akan mudah.” lanjutnya menjelaskan.

“Hm... kalau begitu caranya, artinya kita harus cari psikolog buat ngobrol bareng dia.”

“Aku psikolog, Mas. Sayangnya saja aku nggak dibolehkan kerja yang terikat, jadinya aku nggak punya pengalaman menghadapi hal semacam ini,” keluh Ilana. 

“Calon suamimu ini punya gudang duit, Lana. Kalau kamu kerja lalu suamimu ini siapa yang ngurusin?” kelakar Agni sambil tersenyum hangat, tak lupa jemarinya mengelus pipi sang terkasih.

“Bubar! Bubar! Kalian nggak perlu pamer romansa disini!” protes Lexy yang iritasi melihat kemesraan Agni dan Ilana.

“Terus, bagaimana caranya anak itu bisa sampai di Jakarta? Perjalanan Jogja-Jakarta itu bukan perjalanan singkat, ‘kan?” tanya Ilana bingung.

“Ya, mana kutahu! Kalau tahu, aku nggak bakal ikutan pusing nyari jalan keluar!” jawab dua pria di hadapannya, kompak. 

Keduanya lupa kalau wanita yang ada di hadapan mereka sudah mencoba bersabar sesabar-sabarnya ketika harus menghadapi mereka mereka yang selera humornya  batas normal dan menguji batas kesabaran orang lain.

“Demi Dewa! Kubotaki kalian berdua!” lengking Ilana tak lagi mempedulikan dimana mereka berada sekarang.

***

Ilana kembali ke ruang rawat Jingga diikuti sang calon suami, keduanya sama-sama menghela napas panjang, berharap tidak histeria dari Jingga seperti yang terjadi beberapa saat lalu.

“Maaf karena membuat kalian terkejut tadi,” ujar tulus gadis delapan belas tahun bersurai ikal.

“Nope, nggak masalah. Aku yakin kamu pasti kaget karena tiba-tiba berada di tempat yang tidak dikenal dengan orang asing disekeliling kamu. Jangan terlalu sungkan, ya.”

“Makasih, Kak!” ucap Jingga, kemudian berpaling pada pria yang berdiri di belakang Ilana. “Maaf membuat Mas Agni panik juga.”

Agni hanya menjawab dengan anggukan mahfum, pria bersurai panjang berkuncir rendah tersebut masih belum mau ambil resiko berbicara banyak dengan orang yang mereka tolong. Takut ada salah bicara.

“Kamu mau makan? Kebetulan Mas Agni mau balik ke kantor dan aku mau keluar sebentar, mungkin ada makanan yang kamu mau?”

“Nggak perlu, Kak. Aku sudah terlalu banyak merepotkan,” sahut Jingga sungkan. 

“Nggak perlu sungkan, kamu cuma perlu sembuh.”

“Tapi, aku kasih tahu ke kamu, jangan pernah coba masakannya Ilana, serius kamu bisa sakit perut. Jadi kalau calon istriku ini bawa makanan, kamu tanya dulu dari mana asalnya, ya!” ucap Agni bertujuan menggoda sang calon istri.

“Mas! Jangan ngajak ribut, deh!” omel Ilana, wajahnya ditekuk membuat Agni tersenyum memandangnya, pandangan penuh cinta.

“Habis kamu ngegemesin kalau lagi ngambek, bikin aku makin senang buat godain,” sahut sang pria tampan.

“Kerja sana, Mas. Kalau kamu nggak kerja, mau dikasi makan apa istri dan anakmu nanti?” 

“Ya, makan nasi dong sayang, masa iya makan batu?!”

“Maaaaaas!”

‘Beginilah cinta yang seharusnya, saling melengkapi, saling menghibur, saling memahami. Bukannya memaksakan kehendak dan menyakiti dengan alasan cinta,’ batin Jingga miris.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status